Ibrah yang dapat diambil dari faktor penyebab keruntuhan Daulah Abbasiyah tersebut adalah

Selasa , 24 Mar 2015, 16:55 WIB

davidmus.dk

Madrasah Mustanshriyah Baghdad peninggalan Dinasti Abbasiyah

Red: Nasih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Alf Lailah wa Lailah, sebuah epik yang diklaim karya Abu Abdullah bin Abd al-Jasyayari itu cukup menggambarkan tentang kemegahan dan kejayaan Kota Baghdad di bawah Pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dalam karya yang konon merupakan saduran dari cerita asal Persia yang bertajuk “Hazar Afsanah” [Seribu Legenda] itu, mengambil latarbelakang Baghdad yang menawan dan eksotis. 

Ada figur-figur yang dihormati dalam karya sastra itu, antara lain Harun al-Rasyid dan penyair tersohor Abu Nawas. Baghdad selama masa keemasannya pada abad ke 7 hingga 12 M adalah simbol kegemilangan peradaban. Infrastruktur berdiri megah, ilmu pengetahuan berdiri tegak, dan terjadi interaksi yang kuat lintas peradaban. Baghad Madinat as-Salam, Kota Kedamaian.

Tetapi kejayaan Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah selama hampir lima abad tersebut, hangus dalam waktu kurang lebih sebulan. Peristiwa tersebut sekaligus mengakhiri pemerintahan multinasional Islam selama beberapa dekade. Keruntuhan Baghdad menyisakan catatan kelam sepanjang sejarah Islam. Pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan membumihanguskan kota yang juga dikenal dengan sebutan Kota Bulat ini. Langit Baghdad menjelma pekat. Aroma Sungai Tigris anyir dan airnya yang jenir memerah dialiri darah manusia dan memekat akibat darah dan tinta ribuan buku yang ditenggelamkan.  Mongol nyaris tak  menyisakan korban selamat. Mereka yang berhasil sembunyi di tumpukan mayat atau di irigasi-irigasi yang berada di Baghdad, termasuk juga mencari keselamatan di sumur-sumur, harus berhadapan dengan wabah kolera. Tak banyak yang bertahan. Lantas bagaimana dengan Khalifah al-Mu’tashim? Perlakuan Mongol terhadap penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah itu juga tak kalah kejam. Ia dipisahkan dari keluarganya. Anak-anaknya diasingkan ke Samarkand tanpa meninggalkan jejak apapun bagi dunia Islam. Al-Mu’tashim merana. Hulugu Khan menawannya tanpa makanan. Bahkan Sang Khalifah dipaksa untuk memakan pundi-pundi emas yang selama ini ia timbun.“Bagaimana mungkin aku memakan emas?,” kata al-Mu’tashim.“Jika engkau sadar tak bisa memakan emas, mengapa engkau menimbun dan tidak membagikannya ke bala tentara mu agar mereka mempertahankan singgasanamu dari serangan tentaraku?,” jawab Hulagu.“Semua itu adalah takdir Allah SWT,” kilah Sang Khalifah.“Dengan begitu apa yang menimpa dirimu juga takdir-Nya,” ketus Hulagu. Selama kurang dari sepekan, Sang Khalifah ditahan tanpa makanan dan minuman hingga akhirnya meninggal dunia. Jasadnya dibungkus dengan karpet dan diikat lalu dibiarkan terinjak-injak oleh kuda-kuda Mongol. Al-Mu’tashim meninggal bukan akibat tebasan pedang. Mongol memang menginginkan demikian. Dalam tradisi dan kepercayaan mereka, darah penguasa tidak boleh tersentuh dengan tanah. Tragedi Baghdad menyisakan kisah pilu bagi dunia Islam. Ujian yang teramat berat. Kesedihan dan duka mendalam dirasakan oleh Muslim di berbagai wilayah saat itu. Luka dan lara di relung hati yang paling dalam tergoreskan lewat susunan kata dan frase. Tak sedikit sastrawan yang meluapkan kesedihan menggunakan cara mereka, berpuisi dan berprosa.  Lewat gubahan syairnya yang terkumpul dalam kasidah yang bertajuk “Fi Ratsai Baghdad”, Syamsuddin al-Kufi [1226-1276 M] meluapkan betapa ia sangat terpukul dengan peristiwa tragis tersebut. Dalam kepiluannya, al-Kufi menulis:

Rumah..rumah..di mana mereka tinggal


Kemana keagungan dan kebeseran itu
Wahai rumah kemana kemuliaanmu
Dan panjimu yang terhormat dan agung itu
Wahai orang yang telah pergi dalam hati dan rusukku
Terdapat ahaya yang tak akan pernah pada karena kepergian kalian//

Meski al-Kufi teramat larut dalam kesedihan, tetapi ia harus berbuat sesuatu. Jasanya yang tercatat sejarah, ia membeli anak-anak yang ditawan oleh Mongol dan merawat mereka.  

Keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad memang tinggal sejarah. Tetapi, sejarah adalah cermin bagi generasi mendatang. Pelajaran yang berharga tentunya adalah bagaimana umat Islam tetap waspada terhadap konspirasi musuh, yang terkadang kasat mata, tetapi kadang pula senyap.

Agama kita mengajarkan untuk menguasai dunia, bukan ‘mempertuhankannya’. Berbangga dengan kejayaan masa lalu dan melupakan masa depan, bukan ajaran agama. Islam adalah agama masa lalu, sekarang, dan esok. Faidza faraghta fanshab, tak ada kata lengah dan jaga konsistensi selalu.

Sebab kata Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”nya konsistensi merupakan kunci eksistensi sebuah peradaban. Jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban,  mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen memegang nilai dan moralitas.             

Dalam teori siklusnya, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa setiap peradaban akan mengalami tiga fase, yakni: perjuangan, kemajuan, dan kehancuran. Teori tersebut bisa ditarik pada konteks karier manusia, perusahaan, organisasi, bahkan negara. Dalam tulisan ini, kita terapkan teori tersebut atas siklus tiga imperium besar yang pernah berkuasa di bumi ini, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit.

Sebagaimana sebuah peradaban lainnya, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit juga mengalami tiga fase sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Khaldun. Kali ini kita fokuskan pada sejarah kehancuran tiga kerajaan tersebut, beserta sabab musababnya, sebagai ibrah untuk kehidupan kita di masa mendatang.

Pertama, Dinasti Umayyah. Sebuah peradaban Islam pertama yang menerapkan sistem pemerintahan monarki, dengan Damaskus sebagai ibukotanya. Didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Umayyah mengalami puncak kemajuan di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.Setelah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun, dinasti ini hancur pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad pada tahun 750 M.

Selain faktor eksternal, akibat pemberontakan yang diinisiasi oleh keluarga Bani Abbas yang dibantu Abu Muslim al-Khurasani, Dinasti Umayyah mengalami kemunduran akibat gaya hidup feodalisme dan konsumerisme khalifah dan pembesar-pembesar negara. Faktor lain yang dianggap sebagai biang utama kehancuran dinasti ini adalah klasifikasi sosial, dimana kaum Mawali [non Arab] memiliki status lebih rendah daripada mereka yang berasal dari Arab. Perlakuan diskriminatif ini, menyebabkan kaum Mawali bergabung dengan gerakan underground Bani Abbas dan melakukan konfrontasi yang berujung pada keruntuhan Umayyah.

Baca juga:  Tradisi Grebek Suro: Refleksi Dakwah Raden Bathoro Katong

Kedua, Dinasti Abbasiyah. Merupakan Renaisans Aufklarungnya dunia Islam. Pernah menguasai dunia selama 5 abad, kerajaan yang didirikan oleh Abdul Abbas as-Saffah ini mengalami puncak kejayaan di era Khalifah Harun ar-Rasyid. Kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam keilmuan, membuat Dinasti Abbasiyah menjadi pusat peradaban dunia. Ribuan ulama lahir dengan karyanya yang monumental, membuat dinasti ini menjadi inspirasi seluruh manusia di era itu.

Figur khalifah yang lemah dianggap sebagai biang kehancuran Dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah pasca al-Makmun tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagaimana para pendahulunya. Kenyamanan dan kemapanan hidup para pangeran berakibat pada kelengahan. Para calon raja ini tidak memiliki semangat juang sebagaimana moyangnya, karena dari kecil tidak pernah ditempa oleh kepedihan. Kepekaan sosial mereka juga lemah, mereka tidak paham akan makna penderitaan, karena terbiasa hidup dalam kemewahan.

Kondisi tersebut di atas sungguh mengecewakan rakyatnya, banyak dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Artinya, pemasukan negara mengalami penurunan drastis, karena semakin sedikit yang membayar upeti. Kondisi kerajaan yang sudah lemah ini diperparah oleh oknum-oknum penjilat yang penuh kepentingan. Dalam keadaan la yamutu wa la yahya, Dinasti Abbasiyah tak berdaya ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan meluluhlantahkan Baghhad. Golden Age tinggal sejarah.

Baca juga:  Membaca Kembali Sejarah Islam di Spanyol

Ketiga, Majapahit. Kerajaan yang kekuasaannya begitu luas ini berhasil menancapkan wibawanya dalam sejarah Nusantara. Duet antara Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, dianggap sebagai pemerintahan terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Sumpah Palapa begitu melegenda, sumpah ini berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Majapahit menerapkan persemakmuran, bukan penjajahan.

Sebagaimana siklus peradaban, secara pelan kerajaan yang didirikan Raden Wijaya ini juga mengalami kehancuran. Kemunduran Majapahit bermula ketika Prabu Wikramawardhana terlibat perang saudara dengan Bhre Wirabhumi, saudara iparnya, yang di kenal dengan Perang Paregreg. Perang ini selain melemahkan kerajaan itu sendiri, kepercayaan rakyat perlahan mulai pudar. Armada Majapahit yang berjaya di zamannya telah lumpuh dan tak mampu menjangkau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Majapahit perlahan melepaskan diri dengan mendirikan kadipaten-kadipaten baru. Majapahit tinggal puing-puing.

Dari Sejarah untuk Masa Depan

Adalah sunnatullah, bahwa tidak ada yang abadi selain Allah. Kefaanaan makhluk adalah suatu keniscayaan. Meskipun demikian, kita bisa belajar dari sejarah, tentang apa saja yang menjadi penyebab dari sebuah kehancuran. Takdir akan keusaian sesuatu memang telah ditulis oleh-Nya, namun kita sebagai manusia wajib untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Sejarah dicatat agar kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa yang baik, dan tidak terperosok di lubang keburukan yang sama. Karena memang siklus kehidupan terjadi berulang-ulang.

Dari keruntuhan Umayyah kita belajar tentang keadilan. Diskriminasi terhadap sesama hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan memancing pemberontakan. Karena pada hakikatnya, manusia tidak pernah tahan terhadap kedzaliman. Pada Abbasiyah kita merenungi kedewasaan. Bahwa hidup tanpa tantangan hanya akan meninabobokkan. Kesuksesan orang-orang besar diawali oleh berbagai tempaan, derajat kemuliaan harus diongkosi dengan masyaqat dan perjuangan.

Selanjutnya, ambisi kekuasaan hanya mengantarkan manusia pada kehinaan. Kerajaan sedigdaya Majapahit runtuh karena konflik perebutan tahta. Kekuasaan memang menggoda, tapi berubah menjadi malapetaka manakala diperoleh dengan menghalalkan segala cara. Dunia pernah memiliki sejarah kelam, nyawa ribuan prajurit melayang, anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan infrastruktur menjadi rusak, hanya gara-gara kegilaan satu orang yang penuh ambisi kekuasaan.

Indonesia hari ini masih terjebak hal yang sama, pemilihan umum yang digelar baik tingkat daerah sampai nasional syarat akan keculasan. Demokrasi masih menjadi jargon yang berada di menara gading. Konflik-konflik hari ini sering terjadi demi sebuah jabatan. Adanya demarkasi pendukung paslon A dan paslon B terus menganga bahkan ketika pemilu telah selesai. Jika persatuan tak lebih diutamakan ketimbang kekuasaan, bisa saja negeri kita juga mengalami kehancuran.

“Jika memburu kekuasaan hanya benar-benar demi kekuasaan itu sendiri, sebaiknya harap diingat bahwa tidak ada raja besar seberkuasa apapun yang tidak mengalami kehancuran.” –Cak Nun-. Wallahu A’lam

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề