Jelaskan 3 perbedaan orang yang berilmu dengan orang yang tidak Berilmu

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

pendidikan Islam

Agama Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sebagai agama ilmiah nan mulia, Islam sangat mendorong sekali umatnya menjadi orang yang berilmu, menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, terlebih seorang pendidik, guru, dosen, ustadz.

Bahkan mereka diklasifikasikan sebagai orang-orang yang ulul albab [orang yang berakal] dan beruntung baik di dunia maupun di akhirat. Derajat mereka tentu lebih tinggi bahkan tidak sama dengan mereka yang tidak berilmu, sebagaimana dalam firman-Nya surat az Zumar ayat 9;

اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

[Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung] ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada [azab] akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. [Q.S. az-Zumar [39]: 9]

Tafsir Surat az-Zumar Ayat 9

Al-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan asbabun nuzul ayat ini, menurut Ibnu Abi Hatim dari penuturan Ibnu Umar, ayat ini berkenaan dengan sahabat Utsman bin Affan. Sementara Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari jalur al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, bahwa orang yang dimaksudkan ialah Ammar bin Yasir. Adapun menurut Juwaibir dari Ibnu Abbas yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir, dan Salim mantan budak Abu Huzaifah.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini menurut ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Firas, dari as-Sya’by, dari Masruq, dari Ibnu Mas’ud yang dimaksud kata al-qanit adalah orang yang selalu taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Penafsiran yang lain datang dari al-Baghawy, ia menyebut al-qanit dengan al-muqim ala ath-tha’ah [senantiasa dalam keadaan taat]. Ibnu Umar mengatakan al-qunut bermakna qiraatul qur’an wa thulul qiyam [membaca Alquran dan panjang berdirinya [beribadah di tengah malam]].

Sedangkan Ibnu Abbas, al-Hasan, al-Saddi, dan Ibnu Zaid menafsiri redaksi ana al-lail ialah tengah malam, yakni waktu tengah-tengah malam [jauf al-lail]. Berbeda dengan mereka, al-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah waktu malam yang terletak antara Magrib dan Isya’. Al-Hasan dan Qatadah menyebutkan waktu permulaan, pertengahan dan akhirnya.

Pada redaksi selanjutnya, yahdzarul aakhirata wa yarju rahmata rabbihi, Ibnu Katsir menafsirinya dengan dalam ibadahnya ia takut [khaaif] dan berharap [raja’] kepada Allah. Dan memang sepatutnya ibadah kepada-Nya dilakukan dengan seperti itu. Sedangkan al-Baghawy menafsirkan redaksi yahdzarul akhirah dengan yakhaful akhirah [takut kepada azab akhirat] dan yarju rahmata rabbihi seperti perbuatan yang dilakukan tanpa mengharap sesuatu alias tulus dan ikhlas.

Kalimat yang menyebut, “adakah sama orag yang tidak mengetahui dengan yang mengetahui?” Ulama ahli tafsir beragam dalam menafsirkan kalimat ini. Di antaranya, Abu Sa’ud al-‘Imady Muhammad bin Muhammad dalam Irsyad al-‘Aqli as-Salim ila Mazaya Kitab al-Karim mengatakan apakah sama orang-orang yang mengetahui hakikat segala sesuatu kemudian melakukan sesuatu sesuai pengetahuan yang dimilikinya sebagaimana orang yang bangun di tengah malam dibanding mereka yang tidak mengetahui hakikat sesuatu kemudian beramal dengan kebodohan dan kesesatan?

Maka, jawabannya jelas tidak sama. Sejalan dengan al-Imady, Ibnu Katsir mengatakan, apakah sama orang yang sebelumnya menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah?

Al-Zujaj memberikan pandangannya dalam Tafsir al-Qurthuby, bahwa tidak sama orang yang berada dalam ketaatan dengan mereka yang berada dalam kemaksiatan. Ia menambahkan tidak sama orang yang melakukan suatu amal yang didasari dengan ilmu dengan suatu amal yang dilakukan tanpa berdasar pada ilmu.

Maka, sesungguhnya orang yang mengetahui perbedaan di antara keduanya hanyalah orang yang mempunyai akal, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Pungkas ayat ini.

Beda Derajat Orang Berilmu dan Tidak Berilmu

Kedudukan orang yang berilmu, orang yang taat berbeda dengan mereka yang tidak berilmu [bodoh] dan berada dalam kemaksiatan. Ayat di atas menyiratkan bahwa orang yang menghabiskan waktunya untuk berbuat taat kepada Allah dengan berbagai bentuk ketaatann didasarkan pada ilmu tidak sama dengan mereka yang hanya menuruti hawa nafsunya. Mereka memiliki kedudukan lebih tinggi dan mulia ketimbang yang senantiasa berbuat kemaksiatan dalam hidupnya.

Mengutip Kiai Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta’allim menjelaskan selisih derajat ulama dibandingkan orang Muslim pada umumnya dengan mengutip sahabat Ibnu Abbas, “Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”

Ini belum dibandingkan dengan derajat orang yang senantiasa bermaksiat dan berada dalam kesesatan, tentu perbedaannya cukup signifikan. Sungguh, barang siapa yang beramal tanpa didasari dengan ilmu, maka tertolak. Semoga spirit pendidikan yang terkandung dalam ayat di atas, mampu kita praktikkan dengan menuntut ilmu sepanjang hayat serta pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.

“Kamu [umat Islam] adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”
[Q.S. Ali Imrân [3]: 110]

Menjadi umat pilihan yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari umat lain adalah suatu anugrah dari Allah. Umat Islam adalah umat yang paling istimewa, salah satunya adalah dengan disempurnakannya agama Islam sebagai agama samawi yang di-ridhai oleh Allah. Di sisi lain ada orang-orang Islam yang lebih baik dari orang-orang Islam itu sendiri yaitu orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kepada keburukan. Mereka adalah para alim ulama yang memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ke hujjah-annya tidak diragukan lagi. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah ilmu, karena semua orang memiliki ilmu tapi tidak semua orang menjadikan ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Ilmu ialah hal yang sangat berharga di dunia ini. Ilmu sebagai alat untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram. Allah zat yang ilmunya tidak ada sekutu dan ilmunya paling luas, Dia menunjukan tanda-tanda keluasan ilmunya dengan mengajarkan Nabi Adam berbagai macam nama-nama yang ada di jagad raya. Lalu disebutkannya nama-nama yang telah diajarkan oleh Allah kepada Malaikat. Yang mana kisahnya diceritakan dalam firman Allah,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama [benda] semuanya, kemudia Dia perlihatkan kepada malaikuat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku semua nama [benda] ini, jika kamu yang benar!”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Maha Pengetahui, Maha Bijaksana”. Dia [Allah] berfitman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setalah dia [adam] menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan””. [Q.S. al-Baqarah [2]: 31-33]

Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa menuntut ilmu adalah sebagian kewajiban dari tiap-tiap manusia khususnya orang yang beriman. Dan menuntut ilmu wajib dengan guru-guru yang sanad ilmunya sampai kepada Rasulullah `.

Kriteria orang berlimu dibagi menjadi tiga yaitu muqallid, muttabi’, mujtahid. Orang-orang ini merupakan orang-orang yang berilmu tetapi berbeda tingkatannya. Muqallid adalah orang yang ilmunya sedikit, dia adalah yang mengikuti ulama tanpa tahu dalil atau dasar dari suatu hujjah-nya itu. Sebagai orang yang muqallid dia harus belajar dan bila ada kerancuan hukum dia belum boleh berfatwa. Muttabi’ adalah orang yang berlimu dan masih menuntut ilmu. Kelebihan muttabi’ dia mengikuti ulama tetapi dia tahu dalil-dalil yang membuat dia tertuju kepada satu ulama tertentu dengan yakin. Mujtahid adalah orang yang mendalam ilmunya dan jika ada hukum yang masih rancu maka diharuskan seorang mujtahid ini mengeluarkan fatwanya.

Tidak menutup kemungkinan seorang yang muqollid mengeluarkan fatwa-fatwa jika ada suatu hukum yang baru. Muqallid tersebut harus menuntut ilmu dengan giat melalui guru-guru yang berkompeten di tiap-tiap bidangnya.
Seorang yang berilmu harusnya memiliki adab-adab yang secara dzahir mencerminkan ilmunya. Adab-adab tersebut adalah sebuah pantangan bagi seorang yang berilmu untuk dilanggarnya demi kesempurnaan ilmunya dan demi ke-Ridhaan Allah l atas ilmu yang dia miliki. Lantas apa saja adab-adab yang harus dimiliki oleh oang yang berilmu?

1. Jangan menyombongkan diri.
Seseorang yang menyombongkan diri karena keluasan ilmunya adalah salah besar. Allah berfirman:

“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang seperti gunung”. [Q.S. al-Isra [17]: 37]

Allah l memberikan sindiran kepada orang-orang yang sombong. Sombong dalam harta, tahta, ataupun dalam hal memiliki ilmu. Terbesit jelas apa yang tersirat dalam ayat tersebut, bahwa bagi orang-orang yang sombong dengan hal yang dimilikinya pasti ada yang lebih dari apa yang mereka sombongkan. Maka dari itu mereka yang menyombongkan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak akan mampu menjulang seperti gunung.

2. Menjaga Ilmunya.
“Bencana orang berilmu adalah lupa, dan membicarakan dengan yang bukan ahlinya”[Ibnu Abu Syaibah]

Sungguh benar-benar merugi orang-orang yang tidak menjaga ilmunya. Itu menjadi sebuah bencana bagi para penuntut ilmu, mereka mencari ilmu dengan susah payah namun mereka lupa akan ilmu-ilmunya. Ada beberapa kiat-kiat untuk menjaga ilmunya, yaitu:

Pertama, Menulis. Ilmu yang tidak ditulis bagaikan unta di padang pasir, unta tersebut jika sudah lepas sangat mudah untuk hilang. Itulah ilmu yang diibaratkan dengan unta lepas. Dia akan mudah lupa jika tidak diikat dengan tulisan, dan setelah lupa tidak ada lagi yang harus di ingat karena tidak ada lagi yang membekas baik di fikiran maupun di tulisan. Maka sangat penting ilmu itu ditulis, sebagai bahan muroja’ah ataupun sebagai bahan untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kedua, Muroja’ah. Muroja’ah menjadi sangat penting sebagai kiat untuk menjadikan terjaganya ilmu yang dihafal. Muroja’ah juga bisa sebagai metode untuk mengkoreksi jika ada hal yang kurang dalam ilmu-ilmu yang didapat. Sedikit kisah tentang Imam Bukhari, ia seorang imam besar perawi hadist-hadist yang sahih. Setiap setelah beliau belajar dengan seorang guru, beliau selalu mencatat dan me-muroja’ah ilmunya di rumah. Ini adalah tanda keteladanan seorang yang berilmu. Dia giat dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.

3. Mengamalkan. Semaksimal tingkatan seorang yang berilmu adalah mengamalkannya. Sungguh orang yang menagamalkan ilmunya dia sungguh telah benar-benar menjaga ilmunya. Menjaga ilmunya dari kepunahan, karena akan dikaji oleh murid-muridnya. Sekaligus amal jariyah bagi yang mengamalkan ilmunya. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadist:

“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang diamalkan dan anak yang sholeh”. [H.R. Muslim no. 1631]

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề