Kasih yang menimbulkan ikatan suami istri adalah kasih

Sudah sejak dari awal hidup meng-Gereja, tuntutan sekaligus syarat menjadi murid Kristus, nampaknya mudah dan sederhana. Yakni bahwa seseorang harus menyatakan imannya akan Allah dengan perantaraan Yesus Kristus. Setelah itu, orang tersebut dibabtis dengan air dan Roh Kudus.

Syarat yang sederhana ini tidak berarti menjadi orang Katolik cukup hanya dengan mengucapkan pengakuan iman itu atau syahadat iman. Menjadi orang Katolik tentu saja terikat kewajiban untuk menghayati dan mangamalkan imannya dengan benar dan baik, sesuai dengan perintah Allah sendiri. Dan kewajiban ini bukan untuk mengikat seseorang ke dalam sebuah hukum yang membuatnya tidak bebas, tetapi supaya kasih Allah semakin hidup dan berbuah serta memberikan sukacita yang penuh dalam diri setiap orang yang mampu menjalankannya. Hukum yang dihayati dan dijalankan dengan kasih menghantar setiap orang beriman kepada pengalaman akan kasih Allah.

Setiap kita tentu ingin mengalami apa yang dinamakan ‘sukacita yang penuh itu’ lalu bagaimana kita memperjuangkannya atau memperolehnya? Yesus dengan jelas memberikan jawaban: “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.”  Sukacita yang sempurna hanya berasal dari perbuatan kasih seturut perintah Yesus.

Pada hari minggu ini, Tuhan Yesus melanjutkan wejangan penting ini dan menamakannya sebagai perintah baru kepada kita supaya saling mengasihi. Dasar kasih adalah Bapa yang mengasihi Yesus sebagai Putra-Nya dan Yesus yang mengasihi kita sebagai sahabat-sahabat-Nya. Maka kita dianjurkan untuk tinggal senantiasa di dalam kasih-Nya. Tuhan Yesus justru menunjukkan sebuah lokus baru untuk merasakan kasih dan mengasihi. Lokus baru tersebut adalah diri-Nya sendiri sebagai pusat kasih.

Bagi Yesus, kasih kepada Tuhan menjadi sempurna ketika kita memiliki sikap batin untuk menuruti semua perintah-perintah-Nya. Yesus sudah menuruti perintah Bapa di surga untuk menyerahkan diri sebagai penebus dunia. Bagi kita, perintah yang paling utama menurut ajaran Yesus adalah mengasihi Tuhan dan sesama sampai tuntas.

Tuhan memberikan perintah baru untuk saling mengasihi karena Ia telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tuhan tidak hanya memberi komando untuk saling mengasihi, tetapi Ia sudah terlebih dahulu sangat mengasihi kita dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri di atas kayu salib. Ia sendiri telah memberi contoh dan teladan.

Cinta kasih yang benar ini mengarahkan kita kepada pertobatan batin dan mengajak kita untuk meneladani-Nya saat kita melakukan perintah-Nya dengan menjalankan tugas dan karya pelayanan kita setiap hari. Melayani Allah terwujud dalam bekerja memenuhi apa yang menjadi kehendak-Nya. Itulah isi dari perintah-Nya. Dan pekerjaan yang kita lakukan dalam melayani Allah kita lakukan dalam keadaan hati penuh syukur dan sukacita. Mengapa? Karena kasih Bapa untuk Putra-Nya telah mendasari pelaksanaan kasih kita kepada sesama dan sekaligus pernyataan konkret dari tanda persahabatan Yesus dengan kita.

Pelayanan dalam kasih yang kita hayati dan laksanakan melalui ketaatan untuk menjalankan perintah-Nya itu didukung oleh bantuan Allah sendiri melalui Roh Kudus, sebagaimana Roh Allah menyertai karya Petrus [bacaan I], untuk melayani dan menobatkan Kornelius. Cinta yang kita wujudkan dalam pelayanan hendaknya berupa praksis kasih yang penuh dengan pengorbanan dan kasih yang inklusif, berlaku dan ditujukan kepada semua orang yang Allah berkenan tanpa memandang suku, ras, agama, bahkan hendaknya berlaku untuk musuh-musuh kita.

Marilah kita hidup dalam kasih dan menghidupi kehidupan kita dengan kasih serta berbuah dalam kasih karena Allah adalah Kasih [bacaan II], dan hanya kepada Allah saja, hidup kita mencapai tujuan dan memperoleh kepenuhannya. Wujud hidup yang terpenting sebagai pengikut Kristus adalah taat kepada perintah Allah, hidup dalam semangat kasih dan mau mengamalkan kasih itu satu terhadap yang lain, teristimewa kepada siapapun yang amat terbebani oleh deraan pandemi Covid-19.

Yesus sendiri telah menunjukkan inti kedatangan-Nya ke dunia ini dengan  menyerahkan nyawa bagi keselamatan manusia dan mengajarkan kepada semua kita, pengikut-Nya, agar mau melakukan hal yang sama: ”Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Tuhan menyertai kita selalu dengan Roh-Nya yang Kudus saat kita menghayati dan mengamalkan kasih itu dalam perbuatan dan kerja nyata kita di keseharian hidup kita. Amin.

Drs. Agustinus Tungga Gempa, MM [Direktur Pendidikan Katolik]

Suasana dalam keluarga Kristen, sebagaimana seharusnya suasana dalam gereja, adalah suasana "saling mengasihi", "saling menerima", "saling mengampuni". Setiap manusia, setiap kita, memerlukan ke-3 hal ini untuk tercapainya keutuhan kehidupan kita, dan kita memerlukannya baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan gereja.

Ketiga hal ini hanya dapat diperoleh selengkapnya di dalam keluarga, di mana baik suami maupun istri menaati Yesus Kristus sebagai Tuhan atas kehidupan. Sebagaimana suatu keluarga tidak lengkap dengan adanya seorang ayah atau seorang ibu saja, maka demikian pula suasana kasih dalam keluarga tidaklah lengkap dengan hanya ayah atau ibu yang menaati Yesus Kristus. Kehendak Allah adalah agar setiap keluarga Kristen menjadi keluarga yang menaati Yesus Kristus, baik suami maupun istri. Tidak jarang terjadi keretakan atau kehancuran kehidupan keluarga manakala suami atau istri, atau kedua-duanya tidak lagi menaati Yesus Kristus. Untuk tercapainya dan terpeliharanya "suasana saling mengasihi", "saling menerima" dan "saling mengampuni" dalam keluarga, syaratnya adalah bahwa baik suami maupun istri bersedia menaati Yesus Kristus.

Allah telah mencurahkan Kasih-Nya di dalam hati kita, melalui Roh-Nya [Roma 5:5 -- "Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita"]. Apabila Yesus Kristus bukan Tuhan atas kehidupan kita, apabila Roh-Nya tidak menguasai kehidupan kita, maka kita tidak memiliki "Kasih Agape". Kasih agape bukanlah sekadar kasih emosional, atau sekadar kasih persahabatan, tetapi kasih yang senantiasa memberi, yang senantiasa bersedia berkorban. Kasih agape hanya dapat diperoleh dari Allah. Sebagaimana halnya buah jeruk tidak dapat kita peroleh di toko buku, demikian pula kita tidak dapat memperoleh "Kasih Agape" di lain tempat selain dari Allah. Ia adalah satu-satunya sumber "Kasih Agape". "Kasih Agape" harus menjadi ciri utama setiap keluarga Kristen. Alkitab mengajar tentang "Kasih Agape" sebagai berikut: "hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya". [Efesus 5:25] Kasih agape selalu "memberi" -- Kasih yang berkorban.

Pernikahan ideal menurut Alkitab adalah suatu pernikahan di mana suami istri selalu "saling memberi". Kasih agape bersifat "memberi, memberi untuk memenuhi kebutuhan orang yang dikasihi, baik kebutuhan spiritual, emosional, maupun kebutuhan fisik. Salah satu hadiah kasih terbaik yang dapat diberikan kepada suami atau istri adalah "menerimanya sepenuhnya", menerimanya sebagaimana keadaannya. "Mengasihi", "menerima", "mengampuni", saling berkaitan erat sekali. Kita tidak perlu terkejut atau kecewa ketika menemukan kenyataan bahwa si suami atau si istri dengan siapa kita menikah, ternyata bukan malaikat dan hanyalah seorang berdosa seperti diri kita sendiri. "Menerima sepenuhnya" suami atau istri, berarti menerimanya sebagaimana keadaannya. Menerima sepenuhnya suami atau istri sebagaimana keadaannya, adalah suatu pemberian kasih terbesar yang dapat diberikan seorang suami kepada istrinya, atau yang dapat diberikan seorang istri kepada suaminya. Apabila Anda menemui kesukaran dalam hal ini, maka banyak kemungkinan penyebabnya adalah karena Anda sendiri sukar menerima diri Anda sebagaimana adanya, yang disebabkan oleh ketidakyakinan bahwa Allah menerima Anda sebagaimana keadaan Anda. Kemampuan "mengasihi" dan "menerima" sangat tergantung pada hubungan kita yang benar dengan Allah, yaitu percaya bahwa Allah melalui Kristus Yesus mengasihi dan menerima kita sebagaimana adanya kita.

Bersamaan dengan "mengasihi" dan "menerima", maka "mengampuni" merupakan unsur yang berefek "menyembuhkan" dalam kehidupan keluarga atau dalam kehidupan gereja. "Mengampuni" berarti "melupakan". Kita tidak benar-benar mengampuni seseorang, apabila kesalahannya masih kita ingat-ingat, masih kita simpan, dan sewaktu-waktu bilamana perlu dikeluarkan kembali. Mengampuni yang tidak mau melupakan dapat merusak kehidupan keluarga. Tidak mungkin dapat hidup tenang dengan suami atau istri yang gemar mengumpulkan kesalahan-kesalahan yang diungkit-ungkit kembali dengan maksud untuk memojokkan. Memang, hidup bersama serumah membuat tampak nyata kelemahan masing-masing. Suatu keluarga yang kokoh, bukanlah keluarga di mana anggota-anggotanya tidak memiliki kelemahan-kelemahan, tetapi di mana anggota-anggotanya mahir menangani dalam kasih kelemahan-kelemahan masing-masing.

Para suami istri dapat terhindar dari keadaan suram dalam keluarga, dari keadaan tidak ada lagi komunikasi, saling menghindari walaupun hidup serumah, apabila masing-masing bersedia "saling mengasihi", "saling menerima" dan "saling mengampuni". Firman Allah mengajar: "sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian". [Kolose 3:13] Bukankah Kristus mengampuni kita? Maka pengampunan Kristus menjadi dasar bagi kita untuk mengampuni kesalahan orang lain. Sebagai orang-orang percaya, kita tidak ada alasan untuk tidak mengampuni sesama dalam hubungan mana pun, terutama dalam hubungan keluarga.

Ialah yang mengasihi kita, yang menerima kita sebagaimana adanya kita, yang mengampuni segala kesalahan kita. Apabila kita membuka diri kita terhadap kasih-Nya, maka kita akan mulai mengasihi.

Perlu pula dimengerti bahwa yang dimaksudkan dengan "mengampuni" di sini adalah menciptakan atau memelihara "suasana mengampuni" dalam keluarga. Artinya, dalam keluarga harus selalu terdapat kesediaan untuk mengampuni yang berlaku atas setiap kesalahan dan bukan atas kesalahan tertentu saja, atau pada waktu tertentu saja. Dalam kehidupan keluarga, kita memerlukan kepastian pengetahuan bahwa apabila kita berbuat kesalahan, kita tetap dikasihi dan diampuni. Perlu sekali suasana untuk tidak saling mendendam dalam keluarga. Kesalahan akan selalu ada, karena itu jika kita mencari kesalahan, maka kita akan selalu menemukannya. Sebagai orang-orang berdosa yang sudah diampuni Kristus, kita tidak mencari-cari kesalahan dan setiap kesalahan yang terjadi, kita wajib mengampuninya. "Saling mengampuni" berefek membebaskan. Tanpa iklim saling mengampuni, tidak terdapat kebebasan hidup.

Apabila kita merindukan kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera, bangunlah suasana yang sejahtera, yaitu dengan mencabut rerumputan liar [seperti dendam, curiga, iri hati, suka mengkritik] dan tanamlah bibit yang baik. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Untuk menjadi keluarga sejahtera dan bahagia, tanamlah bibit "Kasih". Bagaimanakah kita melakukannya? Dengan menjadi orang yang mengasihi, dan untuk dapat menjadi orang yang mengasihi, kita harus merelakan diri hidup di bawah pengaturan Kristus, mengakui-Nya sebagai Tuhan atas kehidupan kita, sehingga Roh-Nya mencurahkan kasih Allah atau "Kasih Agape" itu di dalam hati kita.

Hanya Roh Kristus yang dapat menumbuhkan "Kasih Agape" dalam hati kita, sehingga tercapailah dan terpeliharalah suasana "saling mengasihi", "saling menerima" dan "saling mengampuni" dalam keluarga. Ialah yang mengasihi kita, yang menerima kita sebagaimana adanya kita, yang mengampuni segala kesalahan kita. Apabila kita membuka diri kita terhadap kasih-Nya, maka kita akan mulai mengasihi. Apabila kita menyadari penerimaan-Nya akan kita, maka kita akan mulai menerima orang-orang lain. Apabila kita mengalami pengampunan-Nya, kita pun akan dapat mengampuni.

Diambil dari:
Judul majalah : Hikmat Kekal, Edisi Mei/Juni 1986, No.30
Judul artikel : Kasih Agape dalam Keluarga
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan MST, Jakarta 1986
Halaman : 25 -- 26

Download Audio

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề