Kasus Pelanggaran kebebasan berpendapat yang dilakukan pemerintah

idkuu, Jakarta - Kebebasan berpendapat menjadi landasan utama demokrasi modern. Namun, kerap kali untuk kebebasan berpendapat itu membentur peraturan atau norma yang ada.

Atau ada kalanya pendapat itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Hanya segelintir orang mampu menerima perbedaan pendapat.

BACA JUGA: Joseph Suryadi Ditahan di Polda Metro Jaya Atas Kasus Penistaan Agama

Namun, praktiknya, banyak sebagian orang, kebebasan berpendapat hanya akan diterima kalau sejalan dengan nilai-nilainya sendiri.

Ancaman nyata pada kebebasan berpendapat bukan berasal dari segelintir kelompok kecil yang mencoba memaksakan pembatasan pada diri kita. Tapi, ancaman sesungguhnya berasal dari politik buta yang mengijinkan kita bicara apapun yang kita ingin katakan sambil mencoba membungkam pihak lain.

Contoh yang paling santer adalah di Amerika Serikat di mana kebebasan berpendapat dijamin dalam Konstitusi AS. Selain individu,media di sana berhak merilis berita tanpa tekanan penguasa.

Namun, setelah Donald Trumpnaik jadi presiden, Orang Nomor Satu di Negeri Paman Samitu kerap kali melabelimedia mainstream yang mengkritik kebijakannyadisebut 'media atau berita palsu'.

Advertisement

Baca Juga

  • Sukarno hingga Mandela, 5 Pemimpin Dunia Ini Pernah Dipenjara
  • 5 Hal yang Wajar di Negara Lain tapi Luar Biasa di Korea Utara
  • Negara-Negara Ini Jadi Tempat Berbahaya bagi Wartawan

Selain itu, adanya teknologi internet yang kemudian menciptakan media sosial, aturan berdunia maya pun mulai diterapkan. Di beberapa negara, berkomentar buruk terhadap rezim atau siapapun dapat dikenakan undang-undang. Bahkan di beberapa negara yang pemerintahnya otoriter, media sosial dilarang.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat di dunia modern ini tengah terancam.Dikutip dari listverse.com pada Kamis [11/5/2017], berikut 7 kasus yang mengancam kebebasan berpendapat.

1. Perang Komentardi Dunia Maya

Waspada, internet adalah dunia yang ganas. Coba tulis sesuatu yang agak nyeleneh di Twitterdan tak lama kemudian para netizen ganas datang bertubi-tubi. Sudah ada kesadaran bahwa lingkungan daring memang beracun dan ada upaya-upaya untuk meredamnya.

Sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar internet memilih meredamsecara tanpa pandang bulu. Misalnya sensor kebebasan berpendapat melalui penghapusan konten yang dianggap "beracun."

Dalam tataran praktis, itu berarti ada suatu algoritma yang menghapus komentar-komentar pembaca dari beberapa situs tanpa menunggu masukan dari moderator atau editor situs tersebut, seakan melangkahi mereka yang berwenang di situs yang terdampak.

Tapi, bukan algoritma itu yang menghapus hal-hal yang dianggap tidak pantas. Semua bermula dari diri kita. Jika kita benar-benar meyakini kebebasan berpendapat, maka pandangan yang paling busuk sekalipun sebenarnya memiliki hak untuk tampil.

2. Serangan pada Anonimitas

Pada 2014, kelompok Anonymous menguak rahasia sejumlah anggota kelompok rasis KKK dan mengunggah sejumlah identitas secara daring.

Sambutan hangat datang dari berbagai sisi, tapi ada saja orang yang kemudian salah menuduh orang lain yang bukan anggota KKK. Ternyata, ada bahaya lain terkait pengungkapan itu.

Dengan merampas hak kelompok rasis itu menyuarakan pendapat mereka, para peretas itu sebenarnya merusak kebebasan berpendapat bagi semua orang. Anonimitas memberikan kesempatan kepada kita semua untuk melontarkan kritik kepada pemerintah tanpa khawatir dihajar balik.

Tapi, bukan pengungkapan identitas itu yang paling berbahaya, melainkan cara kita memberikan tanggapan terhadap pengungkapan identitas tersebut.

Jika kita tenang-tenang saja menghadapi terkuaknya para pegiat yang lantang berpendapat, kita seakan sepakat bahwa ada segelintir orang yang tidak berhak berpendapat secara tidak dikenal [anonim].

Dengan demikian, orang bisa saja berhenti mengungkapkan isi hatinya karena khawatir identitas mereka disebarkan. Ketika orang takut mengungkapkan pendapat, habislah kebebasan berpendapat itu.

3. Peningkatan Kasus Penistaan

Kasus dugaan penistaan agama yang paling hangat adalah yang dialami mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Hakim memvonis Ahokduatahun penjara dalam kasus itu.

Rupanya, kasus penistaan agama tak hanya terjadi di Indonesia. Sekitar seminggu lalu, Irlandia membatalkan kasus penistaan yang menyeret aktor dan komedian Stephen Fry dari Inggris. Irlandia memutuskan untuk tidak melanjutkan dakwaan terhadap Fry yang menyebut Tuhan itu "goblok."

Yang mencengangkan adalah adanya hukum tersebut. Tapi, contoh dari Irlandia itu hanyalah satu dari semakin banyaknya kasus penistaan yang mengancam kebebasan berpendapat di seluruh dunia. Di negara-negara berpenduduk Muslim, seseorang bisa dipenjara atau bahkan dihukum mati jika mencela Nabi.

Tapi bukan hanya di sana, karena, pada 2014 di Polandia, seorang penyanyi didakwa karena merobek Alkitab di atas panggung. Pihak berwenang Yunani pernah mendakwa seseorang yang mengunggah gambar biarawan Ortodoks dengan spageti yang direkayasa menempel di mukanya. Dua kasus itu rontok pada tahap banding.

Tapi, yang mencengangkan adalah kenyataan adanya proses pengadilan terhadap dua kasus itu. Hukum tentang penistaan itu sendiri tidak masuk akal, seakan Tuhan tidak cukup kuat berhadapan dengan foto spageti menempel di muka seorang biarawan.

Sementara itu, harian Independent di Inggris mengamati bahwa cukup banyak orang yang menanggapi pembantaian Charlie Hebdo pada 2015 dengan mempersalahkan para kartunisnya. Temuan itu dianggap menjadi dukungan diam-diam terhadap hukum penistaan.

Video

Bài mới nhất

Chủ Đề