Kekayaan tidak terletak pada banyaknya harta tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah hr ath thabrani

Oleh: Ikram Syah, Dhini, Caca, Merry dan Rizal

“Setiap orang sering mengatakan ingin bahagia”. Tetapi apa sebenarnya arti kebahagiaan itu sendiri dan dimana bisa  menemukannya?  Keinginan untuk bahagia sering tidak terwujud karena seseorang hanya mengharapkan kebahagiaan tanpa pernah mengetahui arti dan cara untuk mendapatkannya. Ada yang mengatakan kalau ingin bahagia harus kuliah tinggi-tinggi, memiliki uang atau harta yang  banyak, menikah dengan istri yang cantik, mempunyai anak yang lucu-lucu, dan lain sebagainya.

Benarkah demikian? Kebahagiaan memang menjadi sesuatu yang paling dicari sekaligus yang paling sulit dipahami.

Lalu dimanakah bisa menemukan kebahagiaan?

Apakah kebahagiaan hanya bisa diduga-duga?

Orang miskin mengira kalau kenikmatan terletak pada kekayaan. Orang sakit beranggapan kebahagiaan bisa diperoleh bila sudah sehat. Orang yang tidak sekolah menilai kebahagiaan sama dengan pendidikan yang tinggi. Orang biasa menyangka kebahagiaan sama dengan ketenaran. Para yang tidak punya kekasih alias [jones] berasumsi kebahagiaan datang bila memiliki kekasih.

Ada yang juga menduga bahagia bisa dicari dengan Traveliing,shopping, karokean, atau makan-makan dan lain sebaganya. Saat belanja-belanja mungkin bisa bahagia sesaat, namun setelah selesai shopping mengapa kebahagiaannya tiba-tiba lenyap? Uang udah habis, padahal masih di awal bulan.tentunya Masih banyak beranggapan tentang kebahagiaan yang terlihat begitu nikmat sehingga semua orang berusaha mengejarnya demi mencari sebuah kebahagiaan.

Kebahagiaan tidak perlu dicari jauh-jauh karena sebenarnya bisa ditemukan di dalam hati kita. Kebahagian tidak ditentukan oleh orang lain atau materi yang kita miliki tetapi kebahagiaan ditentukan diri manusia itu sendiri. Tingkat kebahagiaan berbanding lurus dengan hati yang penuh syukur karena bersyukur menimbulkan sensasi kenikmatan yang mengagumkan. Sebaliknya lalai bersyukur dan suka mengeluh hanya menimbulkan kesusahan karena beban pikiran negatif yang menghimpit.

Maka sebaiknya kita harus  bersukur terhadap apa yang telah kita peroleh  dengan bersyukur. Kita sadar bahwa nikmat tersebut adalah pemberian dari yang Maha Kuasa, dalam menjalankn  ketaatan kapada Allah Swt  dan tidak menyebabkan mereka sombong dan lupa kepada yang memberikan nikmat tersebut. Dan barang siapa yang mensyukuri nikmat-Nya, maka Allah pun akan membalasnya. Sebagaimana firman Allah Swt:

?????? ????????? ????????? ?????? ?????????? ???????????????? ? ???????? ?????????? ????? ???????? ?????????

Artinya: “Dan [ingatlah juga], tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [nikmat] kepadamu, dan jika kamu mengingkari [nikmat-Ku], maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". [Q S Ibrahim 7]

Kedudukan harta dalam islam

Menurut Drs.K.H. Yakhsyallah Mansur,M.A  Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal yang berasal dari kata ????? – ???????? – ??????? yang berarti condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa [benda dan manfaatnya].

Drs.K.H. Yakhsyallah Mansur,M.A  berpendapat tentang  keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan maupun terhadap sesama manusia.

Status harta yang dimiliki manusia

  1. Harta Sebagai Titipan Dari Allah Kedua Manusia Tidak Dapat Mengadakan.
  2. Harta Sebagai Perhiasan Hidup yang Memungkinkan Manusia Menggunakannya. dengan Baik dan Tidak Berlebih-lebihan.
  3. Harta Sebagai Ujian Keimanan.
  4. Harta Sebagai Bekal Ibadah.
  5. Harta Sebagai Penyelamat Azab Allah.

Selanjutnya harus kita ingat dalam Hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kita bahwasanya, kelak di hari kiamat setiap Bani Adam [manusia] akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengenai 5 [lima] perkara, diataranya adalah tentang:

  1. Umurnya
  2. Masa mudanya
  3. Hartanya [dari mana ia dapatkan]
  4. Hartanya [dalam hal apa ia belanjakan]
  5. Ilmu yang dimilikinya

 [HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir jilid 10 hal 8 Hadits no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-AHadits ash-Ashahihah no. 946]

Penulis adalah: Hahasiswa Universitas Jambi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis.



Artikel Rekomendasi

Harta benda merupakan bagian dari rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah azza wa jalla atas setiap hamba. Sebagian orang dilebihkan atas sebagian yang lain. Jadi, muncullah sebutan kaya dan miskin. Akan tetapi, siapakah sebenarnya orang yang disebut kaya atau miskin?

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta. Kekayaan adalah rasa cukup yang ada di dalam hati.” [HR. al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no.1051 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam penjelasannya terhadap hadits ini,

“Alhasil, orang yang disifati dengan ghina an-nafs [kekayaan jiwa] adalah yang qanaah terhadap rezeki yang Allah azza wa jalla berikan kepadanya. Dia tidak tamak untuk menumpuk-numpuk harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-minta kepada manusia dengan mendesak. Dia merasa ridha dengan pemberian Allah azza wa jalla kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup.

“Sementara itu, orang yang disifati dengan faqru an-nafs [kefakiran jiwa] adalah kebalikannya. Sebab, dia tidak qanaah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Dia selalu rakus untuk menimbun kekayaan, dari arah mana saja. Kemudian, apabila dia tidak mendapatkan apa yang dia cari, dia akan merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan, dia adalah orang yang tidak memiliki harta. Hal ini karena dia tidak merasa cukup dengan rezeki yang diberikan kepadanya sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.” [Fathul Bari, 2/277]

Demikian pula, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan orang yang pada hakikatnya miskin. Di antaranya, dalam sabda beliau,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang yang miskin itu bukanlah yang meminta-minta kepada manusia untuk diberi satu-dua suap makanan dan satu-dua butir kurma. Akan tetapi, orang yang miskin adalah yang tidak memiliki rasa cukup [dalam hatinya] yang membuat dirinya tidak meminta-minta kepada orang lain dan yang tidak menyembunyikan keadaannya sehingga orang bersedekah kepadanya tanpa dia meminta-minta.” [HR. al-Bukhari no. 1479 dan Muslim no. 1472 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kecukupan dalam hati akan tumbuh dengan keridhaan terhadap qadha Allah subhanahu wa ta’ala, berserah diri terhadap ketetapan-Nya, meyakini bahwa apa yang ada di sisi-Nya adalah lebih baik dan kekal. Hal ini akan membawa dirinya berpaling dari tamak dan rakus serta meminta-minta kepada manusia.” [Fathul Bari, 2/277]

Wallahu a’lam bish-shawab.

[Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar]

Assalamu'alaikum
*Riyädus salihin*


Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dari Abu Hurairah Ra., Nabi Saw, beliau bersabda,

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta dunia, akan tetapi kekayaan yang hakiki itu adalah kaya akan jiwa."

[HR Al-Bukhäri-Muslim].

Baca Juga: Harga Bensin Pertalite Turun, Berlaku Hingga 31 Agustus 2020

Hadis di atas menunjukkan bahwa kaya hakiki bukan banyaknya harta dunia disertai dengan sikap rakus terhadapnya, tetapi kaya hakiki itu orang yang merasa cukup dengan sesuatu yang Allah berikan dan merasa rela atas bagiannya, dan kaya jiwa itu terpuji karena akan menjaga diri dari propaganda kerakusan, sehingga ia menjadi orang yang lemah.


[Faisal bin Abdul Aziz Ali Mubarak, Tatriz Riyadi Al-salihina, Juz 1, t.t.: 362].

Red: Chairul Akhmad

Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail

Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” [HR Ibnu Majah].Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” [HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani].

Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. [HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll].

Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.

Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. [HR Tirmidzi].

Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. [QS. Thaha: 131]. Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” [HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi].

Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. [HR Ibnu Asakir dan Baihaqi].Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” [HR al-Hakim dan al-Baihaqi]. Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề