Kelompok non-Muslim yang menyatakan keinginan untuk hidup berdampingan secara damai disebut

Selain terkait ketidakpercayaan pada Allah Swt dan ajaran-Nya, non-muslim juga terkait persoalan politik dan sosial. Secara politik, orang-orang yang bukan Islam atau non-muslim terkelompokkan dalam empat kategori: non-muslim harbi, non-muslim musta’man, non-muslim dzimmi dan non-muslim mu’ahad.

Dalam konteks modern, diakui bahwa diskusi tentang kategori non-muslim yang seperti ini tidak lagi populer dan bahkan banyak yang menggugatnya, karena dinilai tidak sesuai dengan semangat kesetaraan warga negara. Pengelompokan yang demikian bahkan dinilai cenderung tidak egaliter. Namun sebagai khazanah diskursus keilmuan, tentu saja tidak mengapa hal ini kembali dibincangkan.

Non-muslim harbi, adalah non-muslim yang mengganggu Islam dan mengacau/mengancam keselamatan kaum muslim. Pada non-muslim kategori ini, Allah Swt menolerir untuk memeranginya sebagai pembelaan diri [Qs. al-Ma’idah [5]: 33]. Sebaliknya, andai non-muslim harbi ini memasuki wilayah kedaulatan Islam dengan damai, maka ia berhak mendapat perlindungan bagi jiwa, harta, hak-hak lainnya dan juga kemaslahatan. Inilah yang oleh al-Sayyid Sabiq [Fiqh al-Sunnah, III/71] disebut komunitas musta’man.

Non-muslim dzimmi atau ahl al-dzimmah, adalah non-muslim yang tunduk pada pemerintahan Islam [istilah ini juga debatable tentu saja dalam konteks modern] dengan kewajiban membayar jizyah [pajak/imbal keamanan] bagi yang mampu. Sedangkan non-muslim mu’aha[i]d, adalah non-muslim yang telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam, bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dengan umat Islam selama perjanjian berlaku.

Diantara empat kategori non-muslim ini, manakah yang wajib dilindungi oleh penguasa Islam? Mereka adalah non-muslim dzimmi dan non-muslim mu’ahad, karena keduanya berikrar untuk hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan komunitas muslim. Tidak ada keinginan untuk berseteru apalagi memerangi saudaranya yang muslim. Kekeluargaan sebagai makhluk Allah Swt karenanya senantiasa [lebih] dikedepankan.

Pada dua kelompok non-muslim yang mengedankan kerahiman inilah Islam memberikan penghargaan dan bahkan penghormatan yang tinggi, karena sejak awal Islam memang menjunjung tinggi nilai-nilai kerahmatan bagi alam raya. Tak heran karenanya, jika Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang beriman, Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama kalian. Mereka juga tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [Qs. al-Mumtahanah: 8].

Untuk menguatkan ayat di atas, dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw menegaskan; “Siapa menyakiti dzimmi, maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.” Dalam riwayat Imam al-Thabrani, Rasulullah Saw juga menyebutkan: “Siapa menyakiti dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku. Dan siapa menyakitiku, maka sungguh ia menyakiti Allah.”

Dengan demikian jelas, menyakiti atau mengganggu komunitas non-muslim dzimmi sama halnya menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya. Ini bukan sanksi yang main-main. Tentu saja ada resiko teologis yang serius, karena siapapun yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya niscaya tidak akan pernah mendapatkan ridha keduanya. Tidak meraih ridha keduanya, otomatis tidak akan pernah mencecap kenikmatan surganya.

Karena itu, dalam keterangan yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari [Shahih al-Bukhari, II/202], Rasulullah Saw menyatakan: “Siapa membunuh mu’ahad, maka dia tidak akan mencium baunya surga. Dan sesungguhnya baunya surga bisa dicium dari jarak perjalanan 40 tahun.”

Pada kesempatan yang lain lagi, Rasulullah Saw juga menyatakan, siapa membunuh non-muslim mu’ahad [yang terikat perdamaian dengan komunitas muslim] tidak pada waktu dan dengan alasan yang tepat/dibenarkan, maka Allah SWT mengharamkan surga baginya. Keterangan ini, antara lain, diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal [Musnad Ahmad bin Hanbal, V/36], Abu Dawud [Sunan Abi Dawud, II/92], al-Nasa’i [Sunan al-Nasai, VIII/24] dan dan al-Darimi [Sunan al-Darimi, II/308].

Berdasarkan sabda-sabda di atas, yang diriwayatkan oleh banyak ahli Hadis papan atas, jelas tersirat bahwa siapapun yang berpegang teguh dan berkomitmen pada perdamaian, maka semestinya mereka dijaga dan dilindungi jiwa, harta dan kehormatannya. Selama tidak ada pengingkaran atas komitmen perdamaian, maka tak ada alasan apapun untuk menyakitinya. Bahkan dengan tegas disebutkan, yang mengganggu mereka tidak akan pernah mencium baunya surga. Suatu kerugian yang amat sangat, hanya gara-gara mengganggu komunitas yang semestinya justru dilindungi dengan kasih sayang.

Inilah bukti nyata keramahan Islam pada komunitas non-muslim yang juga ramah pada komunitas muslim. Keramahan, karenanya, dibalas dengan kerahaman. Dan ketidakramahan, karenanya, juga boleh [sekali lagi boleh] dibalas dengan ketidakramahan. Hal sama berlaku bagi kelompok muslim yang mengganggu kedamaian pihak lain. Namun memaafkan dan kasih sayang jauh lebih diutamakan, bagi siapapun. Dalam riwayat Ahmad bin Hanbal, Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang yang menyayangi akan disayangi Allah Swt. Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian disayangi penduduk langit!” 

Dengan demikian nyata, hubungan dengan siapapun, termasuk dengan yang berbeda keyakinan, semestinya lebih mengedepankan kasih sayang dan bukan kebencian. Dalam konteks Indonesia modern dengan berbagai keragamannya, pengedepanan kasih sayang ini menjadi kian kontekstual yang karenanya sangat dibutuhkan. Tidak zamannya lagi hidup saling bermusuhan dan membenci.

Bhinneka Tunggal Ika semestinya menjadi semboyan bersama yang benar-benar menyala terang menyinari kehidupan semuanya. Hanya dengan relasi-sosial seperti inilah, kehidupan yang harmonis dan saling mencintai akan benar-benar terwujud; dan inilah inti kebersatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Islam mempunyai prinsip dalam memandang non-Muslim dalam interaksi sosial.

Senin , 07 Sep 2020, 20:54 WIB

Republika/Mardiah

Islam mempunyai prinsip dalam memandang non-Muslim dalam interaksi sosial. Kerukunan Beragama [Ilustrasi]

Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagaimana Islam memandang non Muslim, apakah mereka dipandang sebagai teman atau musuh?

Baca Juga

Semua ulama sebenarnya telah sepakat bahwa pada dasarnya hubungan Muslim dan non-Muslim adalah pertemanan, damai dan hidup berdampingan.

Tapi tema hubungan Muslim dan non-Muslim ini selalu menjadi bahan pertanyaan. Sebab ini adalah pertanyaan yang paling mendasar, yaitu apa hakikat paling dasar hubungan Muslim dengan non-Muslim?

Ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam buku Fikih Interaksi Muslim Dengan non Muslim terbitan Rumah Fikih Publishing menjelaskan hubungan dasar Muslim dan non-Muslim. Apakah hubungan dasarnya pertemanan, damai dan hidup berdampingan atau hubungan dasarnya permusuhan, perang dan saling bunuh?

"Sebenarnya pertanyaan ini mudah sekali dijawab, karena seluruh ulama sudah ber-ijma bahwa hubungan dasar Muslim dengan non-Muslim adalah hubungan pertemanan, damai, dan hidup berdampingan," kata Ustadz Sarwat dalam bukunya. 

Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Alquran dan hadits. Hasil ijma tersebut hubungan dasar Muslim dengan non-Muslim adalah hubungan pertemanan, damai dan hidup berdampingan.  

Sejak diangkat menjadi utusan Allah SWT secara resmi, Nabi Muhammad SAW tidak pernah berada di lingkunan yang steril dari orang kafir. Justru kehidupan Nabi baik selama di Makkah selama 13 tahun maupun setelah hijrah ke Madinah selama 10 tahun, selalu dikerumuni oleh kalangan non Muslim di sekeliling beliau.  

Abu Thalib adalah paman Nabi, bahkan tahun kematiannya diresmikan menjadi tahun duka cita. Padahal Abu Thalib tidak pernah mengucapkan syahadat.

Kemudian, Abu Sufyan bin Al-Harb sebelum akhirnya masuk Islam, ternyata sepanjang 21 tahun dakwah kenabian selalu berada pada posisi sebagai orang kafir yang memerangi. Padahal putrinya sendiri, Ibunda Ramlah radhiyallahuanha menikah dengan Nabi. Ini berarti Nabi punya mertua yang agamanya non-Muslim.

Salah satu menantu Nabi yang bernama Abul Ash agak lama menjadi orang kafir. Sampai pernah berhadapan dengan Nabi di medan perang, Abul Ash ikut berperang di pihak Quraisy memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Atas pertolongan Allah SWT, kaum Muslimin menang di Badar dan Abul Ash pun menjadi tawanan.  

"Dalam sirah Nabawiyah, kalau kita bandingkan siapa saja yang jadi orang kafir pada saat awal kenabian dengan pada 23 tahun kemudian kala hembuskan nafas terakhir, maka kita bisa temukan fakta bahwa semua yang kafir itu pada akhirnya masuk Islam juga," kata Ustadz Sarwat.

Hamzah dan Umar bin Khattab pada awalnya kafir, tapi akhirnya masuk Islam juga. Amar bin Al Ash dan Khalid bin Walid itu kafir yang jadi musuh Islam, tapi akhirnya masuk Islam juga. Bahkan sekelas Abu Sufyan, walaupun sudah di akhir waktu tapi masuk Islam juga.  

Ustadz Sarwat menjelaskan, kalau pun nanti ada kisah perang, yang jadi titik masalah bukan karena berbeda iman dan aqidah. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang-perang yang lain itu bisa dibedah satu per satu penyebabnya. Dan tidak ada satu pun perang yang didasari perbedaan agama dan keyakinan.

"Buktinya saat Perang Badar, Uhud dan Khandaq berlangsung, di Madinah ada begitu banyak orang Yahudi yang bukan Muslim. Mereka terikat perjanjian untuk saling membela dengan sesama penduduk Madinah, meski beda agama," kata Ustadz Sarwat.

Dia menerangkan, ketika Rasulullah SAW mengusir Yahudi dari Madinah, sebenarnya dasarnya bukan karena perbedaan aqidah. Dasarnya khianat yang mereka lakukan. Ibarat menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan. 

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề