Kenapa nabi menyebut kata kafir dalam perjanjian madinah

Jakarta - Keputusan Nahdlatul Ulama [NU] untuk tidak menggunakan kata "kafir" terhadap pemeluk agama yang bukan Islam menimbulkan polemik. Ada yang setuju, demi menghormati sesama anak bangsa yang imannya berbeda dengan kaum muslim. Ada yang menentang, karena menurut mereka kategori itu adalah ketetapan Quran. Benar bahwa Quran banyak menyebut kata kafir. Sebutan kafir sering muncul dalam konteks celaan. Kafir menurut ajaran Quran adalah keburukan. Tapi, ada baiknya ditegaskan bahwa kata kafir dalam Quran tidak tunggal konteksnya. Setidaknya ada dua konteks kafir dalam bahasan Quran. Pertama, kafir menurut akidah, yaitu menolak ajaran Tauhid yang dibawa Islam. Yang kedua, kafir dalam konteks sosial politik. Konteks kedua ini terkait dengan yang pertama. Orang-orang Mekkah tempat Nabi Muhammad pertama kali mengajarkan Islam tidak seluruhnya menerima ajaran itu. Sebagian menolak, dan mereka menolaknya dengan permusuhan. Akibatnya Nabi sampai harus pergi dari Mekkah, hijrah ke Madinah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Itu pun tak membuat permusuhan mereka berhenti. Orang-orang Mekkah terus menyatakan permusuhan dan mengobarkan perang. Sejumlah perang terjadi antara orang-orang Mekkah dan Madinah terjadi pada masa itu.

Banyak kata kafir dipakai dalam Quran untuk menunjuk orang-orang Mekkah itu. Tentu saja kata kafir dalam konteks ini sangat keras. Kafir digambarkan sebagai musuh yang harus dihadapi dengan segenap kekuatan, dan tidak boleh dibiarkan wujud, sekecil apapun wujudnya. Ringkasnya, mereka harus diperangi. Mereka ini disebut kafir harbi.

Selain itu ada pula orang-orang Yahudi di sekitar Madinah, yang tadinya adalah sekutu Nabi, mengikat janji damai dalam Piagam Madinah. Kemudian mereka berkonflik, lalu berperang.

Ketika kelak sudah menjadi kuat, pasukan Islam di Madinah menaklukkan Mekah. Tidak hanya itu, mereka mendatangi wilayah-wilayah di sekitar jazirah Arab, meminta penguasa di situ tunduk di bawah kekuasaannya, dengan membayar dzijyah atau upeti. Yang mau tunduk disebut kafir dzimmi. Yang menolak tunduk akan diperangi, diperlakukan sebagaimana kafir harbi.

Sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa yang dibahas itu adalah pola kekuasaan abad VII. Orang-orang berinteraksi dalam wadah negara yang basis identitasnya adalah agama. Arab basisnya Islam. Persia berbasis pada Zoroaster. Bizantium berbasis Kristen. Mereka saling berperang, saling menaklukkan. Perang antarmanusia, antarraja, sering pula dianggap sebagai perang antaragama.Apa hubungannya dengan NKRI? Tidak ada. Negara ini tidak didirikan atas dasar agama. Tidak ada kata Islam dalam UUD kita. Ingat itu. Negara ini tidak didirikan oleh [hanya] orang-orang Islam, untuk orang-orang Islam. Negara ini diperjuangkan tegaknya oleh banyak orang, dari berbagai daerah asal, suku, dan agama.

Maka negara ini tidak mengenal istilah kafir. Negara ini hanya mengenal istilah warga negara, dan kedudukan mereka sama, tak peduli apa agama dan suku mereka. Orang-orang non muslim di negara ini bukanlah orang taklukan yang mesti diberi label kafir hirbi atau kafir dzimmi.

Kita tidak lagi hidup pada zaman di mana negara-negara saling berperang untuk saling menaklukkan. Kita sudah lama meninggalkan kebiasaan itu. Kita tidak akan menaklukkan tetangga kita Singapura atau Malaysia. Mereka juga tidak akan mengganggu kita.

Di negeri ini kita sudah punya konstitusi dan hukum. Keduanya tidak akan diubah menjadi hukum Islam. Interaksi kita adalah interaksi untuk membangun bangsa ini, bukan untuk saling menaklukkan. Tidak akan ada Indonesia atau wilayah dalam negara ini di mana orang dikenali atas dasar identitas agamanya, dan tidak akan berlaku istilah kafir harbi dan kafir dzimmi.

Kita semua warga negara, kita tidak sedang bersaing. Kita akan bekerja sama membangun bangsa ini, sebagai warga negara yang setara. Dengan cara itulah kita harus memahami keputusan NU tadi.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

[mmu/mmu]

Kafir.  Kata ini sangat terkait dengan akidah Islam.  Apa itu kafir?  Secara bahasa, di dalam Kamus Al-Mujam al-Wasith [II/891], orang kafir dimaknai sebagai “siapa saja yang tidak mengimani keesaan Allah, atau kenabian Muhammad saw., atau risalah Islam, atau ketiga-tiganya”.

Secara syar’i, “Kafir adalah siapa saja yang tidak mengimani Allah dan Nabi Muhammad saw., atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam, atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.” Demikian antara lain ditulis oleh Prof. Rawwas Qal’ah Jie [Mujam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 268].

Dengan demikian kafir dengan non-Muslim memang maknanya sama.

Istilah sakral ini lalu ditetapkan untuk diganti dengan ‘non-Muslim’ atau ‘muwathinun’ [warga negara].  Katanya, itu hasil Munas Ulama dan Musyarawah Besar NU pada tahun 2019.  Sontak saja reaksi pun datang dari berbagai penjuru.  Aneh memang, pandangan seperti itu diklaim sebagai pendapat ulama.  Padahal para ulama salaf justru berpandangan sebaliknya.  Sebut saja, Imam an-Nawawi.  Beliau menuturkan, “Orang yang tidak mau mengkafirkan para pemeluk agama selain Islam seperti Nasrani, atau ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia mengaku Islam dan yakin dengan hal itu.” [An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin, X/70].

“Untung saja ada klarifikasi bahwa itu bukan pandangan ulama,” ungkap Pak Zulkifli.

Barangkali yang beliau maksud adalah pernyataan Habib Taufiq.  “Saya tidak ingin sampeyan larut dalam masalah ini.  Panggilan kafir, non-Muslim, perhatikan, itu bukan keputusannya ulama.  Itu komentarnya dua orang saja.  Profesor-profesor ini.  Jadi, itu bukan keputusan ulama NU.  Hati-hati,” ungkap Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf, Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur [6/3/2019].

Hal ini wajar belaka. Pasalnya, pimpinan komisi yang membahas perkara tersebut adalah Abdul Moqsith Ghazali.  Dia selama ini dikenal sebagai tokoh liberal.

Alasan yang diungkapkan, ini negara bangsa bukan negara agama.   Karena itu tidak ada istilah kafir harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahid dan kafir musta’man.  “Lha, kalau bukan negara agama mengapa menggunakan dalih agama untuk menghilangkan istilah dalam agama, dalam hal ini istilah kafir?” ujar Ustadz Anwar dengan nada tinggi.

“Iya, ini artinya mengadili ajaran agama oleh ajaran manusia.  Istilah kafir itu kan istilah Islam.  Namun, istilah itu diadili oleh istilah dalam negara bangsa,” Pak Iman menanggapi.

“Salah kacamata,” tambahnya.

Saya sampaikan kepada mereka, “Ini cara berpikir rancu dari dasarnya.  Pertama: Dasar berpikirnya adalah sekular, yakni memisahkan agama dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  Kedua: Mengotak-atik istilah Islam untuk disesuaikan dengan konsep bukan Islam.”

Saya sampaikan pula perkataan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Pak Din Syamsuddin [5/3/2019]: “Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin [warga negara] karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda. Kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik.”

Ustadz Ade yang dari tadi diam turut berkomentar, “Aneh.  Istilah kafir itu sangat erat dengan akidah Islam.  Adapun negara-bangsa ini landasannya bukan akidah Islam.  Jadi, ada kekacauan berpikir.  Ada upaya menyesuaikan ajaran Islam dengan ajaran manusia.”

Ada lagi alasan bahwa Rasulullah saw. tidak menggunakan kata kafir setelah di Madinah.  Sontak saja, KH Luthfi Bashori merespon, “Wong, di dalam Piagam Madinah disebut istilah kafir oleh Rasulullah.”

Beliau lalu mengutip Pasal 14 Watsiqah/Piagam Madinah yang berbunyi: “Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk [membunuh] orang beriman.”

Pengurus MUI Pusat, Ustadz Teungku Zulkainain, merespon pandangan Said Aqil dengan menulis cuitan: “Nuwun Sewu Kang Said…Ayat 72 dan 73 Surat al-Maidah turunnya di Madinah, Kang. Menurut Tafsir Ibnu Katsir begitu, kan?  Kalau Allah menyebut kata “kafir”, rasanya mustahil Nabi melawan Allah dengan tidak menyebutkannya. Bukankah Nabi wajib tablig? Mustahil Nabi pencitraan.  Punten.”

Belum lagi, setiap hukum dan istilah yang diturunkan oleh Allah SWT tetap berlaku hingga Hari Kiamat tanpa melihat apakah ayat itu diturunkan di Makkah ataukah di Madinah.  Saya sampaikan, “Surat al-Kafirun turun di Makkah, tentu surat ini tetap berlaku di Madinah, bahkan berlaku hingga kapan pun.”

Persoalannya, mengapa yang dipermasalahkan hanya istilah ‘kafir’.  Padahal tidak ada satu pun kata ‘kafir’ dalam perundang-undangan yang berlaku.  “Agama lain kan punya juga istilah untuk orang di luar agamanya,” ujar Pak Dede.  “Dalam ajaran Budha, Non Budhis disebut Abrahmacariyavasa. Dalam ajaran Yahudi, orang di luar agama mereka disebut Ghoyim yang artinya lebih rendah dari binatang. Menurut ajaran Kristen, Non-Kristiani disebut domba yang tersesat. Dalam ajaran Islam, Non-Muslim disebut Kafir,” jelasnya.

Ia segera menambahkan, “Begitu menurut Habib Rizieq.”

Bila alasannya menyakiti perasaan atau ada kekerasan teologis, bukankah sebutan-sebutan seperti ghayim dan ‘domba tersesat’ pun menyakiti perasaan dan mengandung kekerasan teologis?  Bukankah tudingan Wahabi, radikal, garis keras, fundamentalis, ekstremis dan tudingan senada juga sangat menyakitkan dan kekerasan teologis?  Apalagi, kata Zakir Naik, “Jika seorang non-Muslim merasa terhina bila disebut kafir, itu karena ia belum paham dengan Islam. Dia harus mencari sumber yang tepat untuk memahami Islam dan terminologi Islam. Dengan memahaminya, ia bukan saja tidak akan merasa terhina, tetapi justru menghargai Islam dalam perspektif yang lebih tepat.”

Lalu mengapa istilah kafir hendak dilenyapkan?  “Pasti ada sesuatu di balik ini,” tambah Pak Dede semangat.  Rupanya dengan mengeliminasi istilah kafir akan banyak hukum Islam yang dibuang.  Ustadz Shiddiq al-Jawi menyampaikan dengan dieliminasinya istilah kafir maka banyak hukum Islam akan disingkirkan, antara lain keharaman seorang kafir menikahi Muslimah, keharaman menjadikan kafir sebagai pemimpin, putusnya pewarisan ahli waris Muslim dengan kafir, keharaman menjadikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum Muslim, semua kata kafir di dalam al-Quran akan diamandemen, hukum terkait wali nikah akan berubah, dan sebagainya.  Waspada, penghilangan istilah kafir adalah gerbang penghapusan hukum-hukum Islam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề