Kenapa nu bertentangan dengan muhamadiyah

Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia karena terdapat dua organisasi Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama [NU]. Kedua organisasi keislaman ini memiliki jumlah pengikut lebih dari seratus juta orang.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dua organisasi yang telah berdiri sejak 1920-an tersebut telah berkiprah dalam menjaga stabilitas politik dalam negeri dan mendukung demokrasi negara. Mereka telah menciptakan perdamaian sembari mengembangkan nilai-nilai Islam yang moderat.

Namun dalam studi yang sedang saya kerjakan saat ini menunjukkan indikasi bahwa pengaruh NU dan Muhammadiyah tersebut semakin berkurang, terutama di lingkungan perkotaan.

Riset yang segera terbit ini mengidentifikasi setidaknya dua alasan di balik penurunan popularitas NU dan Muhammadiyah di kalangan umat Islam yang tinggal di kota.

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news.

Muhammadiyah dan NU tidak lagi merespons kebutuhan Muslim perkotaan

Demografi sosial ekonomi Muslim Indonesia telah bergeser dengan tumbuhnya kelas menengah di daerah perkotaan. Kelompok baru yang meliputi kelas menengah yang beragama Muslim ini memiliki kepentingan yang berbeda dari apa yang biasa NU dan Muhammadiyah berikan.

Gerakan NU dan Muhammadiyah sulit untuk jauh dari perjuangan politik. Hal ini merupakan respons terhadap rezim Suharto yang otoriter yang telah cukup lama menekan ekspresi umat Islam. Oleh karena itu, kedua organisasi Islam selalu berjuang untuk demokrasi, moderasi agama, toleransi dan pluralisme dan peran mereka telah menguat sejak jatuhnya rezim Suharto pada akhir 1990-an.

Saat ini, komunitas Muslim perkotaan kurang tertarik dengan perjuangan politik. Mereka melihat masalah yang harus mereka tangani setiap hari sebagai hal yang lebih mendesak. Kekhawatiran mereka misalnya termasuk terbatasnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan dan masalah sosial lainnya.

Oleh karena itu, kelompok Muslim urban sering terlibat dengan beragam program sosial untuk mengatasi masalah ini. Salah satu programnya adalah membentuk jaringan sekolah Islam di banyak kota. Jaringan tersebut misalnya Jaringan Sekolah Islam Terpadu [JSIT]. Data tahun 2017 menunjukkan ada 2.418 unit sekolah mulai dari jenjang TK hingga SMA dengan jumlah siswa mencapai lebih dari satu juta orang.

Dalam wadah yang lain, komunitas-komunitas Muslim perkotaan juga terlibat dalam penggalangan dana untuk bencana dan masalah kemanusiaan lainnya seperti yang dilakukan oleh komunitas Kajian Musawarah dan Pemuda Hijrah. Mereka juga terlibat dalam dalam aksi amal dan filantropi seperti Dompet Dhuafa dan Aksi Cepat Tanggap [ACT].

Sebagian kaum Muslim perkotaan ini telah belajar untuk meninggalkan kehidupan yang mereka anggap tidak Islami, dan kemudian berusaha mendalami Islam melalui forum-forum yang difasilitasi oleh komunitas dan yayasan di luar jaringan NU atau Muhammadiyah.

Mereka kerap menghadiri pengajian komunal yang rutin dengan tema-tema yang berkaitan dengan syariah Islam menjadi pokok bahasan. Pengkhotbah yang terlibat dalam ritual ini kebanyakan tidak berafiliasi dengan Muhammadiyah atau NU namun mereka memiliki jutaan pengikut di platform media sosial, terutama YouTube dan Instagram.

Pendakwah Oki Setiana Dewi, pendakwah mualaf Felix Siauw, dan pendakwah gaul Hanan Attaki adalah beberapa contohnya.

Bagi sebagian Muslim yang tinggal di kota, kebutuhan mereka hanyalah menghadiri pengajian-pengajian biasa yang mudah dipahami dan dicerna. Ini sedikit berbeda dengan Muhammadiyah dan NU yang dalam pengajiannya cenderung menawarkan materi-materi yang lebih kompleks termasuk mengajak jemaah untuk berpikir kritis dan reflektif.

Alasan lainnya adalah kebutuhan khusus kaum urban Muslim dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari terutama di kalangan anak muda.

Dalam konteks itu, komunitas-komunitas Muslim perkotaan dengan pandai menerapkan strategi kebudayaan untuk menawarkan nilai-nilai Islami dalam menghadapi setiap masalah kehidupan.

Mereka berupaya menjangkau anak muda misalnya dengan kegiatan yang memfasilitasi perjodohan Islami [taauruf], memberikan konsultasi masalah-masalah anak muda, serta mengajak komunitas-komunitas hobi seperti pemain bola, musisi dan pencinta sepeda dan skateboard untuk menjalani hidup sesuai syariat Islam.

Meminjam konsep dari sosiolog Celia Lury, fenomena tersebut adalah cermin dari budaya yang didasarkan pada konsumsi atas sesuatu. Komunitas Muslim baru di wilayah perkotaan ini, dengan demikian, tampak berani mengungkapkan identitas Islam baru di mana mereka diharuskan untuk mengkonsumsi apa pun yang berlabel Islam yang sebenarnya menjadikan mereka sasaran empuk pasar. Ini termasuk pakaian, film, musik, pendidikan dan layanan perbankan dan lain sebagainya.

Seorang pria melihat poster yang menampilkan poster yang berisi tokoh Nahdlatul Ulama [NU] pada baliho Muktamar ke-33 NU yang terpasang di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Syaiful Arif/ss/Spt/15

2. Kedekatan NU dan Muhammadiyah dengan kekuasaan

Pasca kepemimpinan Abdurrahman Wahid [Gus Dur] di NU, NU memiliki wajah politik partisan. Sejak itu pula, NU kerap dikaitkan dengan kekuatan politik negara sampai hari ini.

Peneliti dari Australia Greg Fealy mencatat bahwa NU menikmati hubungan dekat dengan presiden saat ini, Joko “Jokowi” Widodo. NU juga memiliki akses yang baik ke dalam lingkaran kekuasaan. Dalam pidato Hari Lahir NU ke-96 Januari lalu misalnya, Presiden Jokowi menawarkan NU beberapa konsesi pertambangan dan pertanian di Indonesia karena NU dianggap memiliki sumber daya manusia yang mumpuni.

Semua itu tampaknya akan membantu NU dalam memperluas layanannya kepada anggotanya.

Sementara itu, Muhammadiyah tampak malu-malu dalam menghadapi kekuasaan. Ini misalnya dapat dilihat dari minimnya kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis.

Citra dekat NU dan Muhammadiyah terhadap kekuasaan itulah yang kemudian telah memberi ruang bagi Muslim perkotaan untuk mewadahi diri ke dalam komunitas-komunitas maupun yayasan lain. Dengan kata lain, terdapat ceruk yang lebar antara kedua ormas Islam ini yang terus diisi oleh kaum Muslim perkotaan.

Untuk mengatasi hal ini, baik Muhammadiyah maupun NU perlu lebih dinamis dalam menghadapi masyarakat Muslim perkotaan. Muhammadiyah dan NU harus bisa menawarkan Islam yang lebih humanis dan dekat dengan masyarakat. Tidak ada salahnya mereka lebih giat dalam pemanfaatan teknologi digital mengingat tingginya keterlibatan masyarakat Muslim perkotaan dengan internet dan media sosial.

Dengan strategi-strategi di atas, NU dan Muhammadiyah akan tetap bisa mempromosikan pendekatan moderatnya agar seluruh umat Islam masih merasa diterima di tengah keanekaragaman Indonesia.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini

Suatu hari teman saya berujar bahwa dirinya bukan Muhammadiyah, NU, atau Wahabi, tapi Islam. Menurutnya, zaman Nabi tidak ada cabang Islam lain. Hanya ada satu. Islam ya Islam. Tanpa embel-embel Berkemajuan, Nusantara, atau moderat. Munculnya nama-nama aliran, organisasi, mazhab, menurutnya terkadang menumbuhkan kecurigaan, rasa tidak senang, bahkan permusuhan. Paling tidak silaturahim menjadi terputus, tegasnya.

Resiko adanya embel-embel setelah “Islam” akan muncul suasana batin yang berlebihan. Nampaknya, teman saya itu tidak senang bila harus terlibat dalam gaduh-gaduh tempur ideologi yang hanya membuat Islam semakin terpecah-pecah. Misalnya, gaduh debat soal qunut salat subuh sampai berbusa-busa tapi malah lupa akar masalahnya adalah mereka yang tidak subuhan. Baginya, mewujudkan ukhuwah Islam adalah dengan meninggalkan embel-embel pada Islam.

Namun, bisakah mewujudkan Islam tanpa embel-embel?

Pada zaman Nabi Saw, Islam berkembang tanpa embel-embel Islam Mekkah atau Islam Madani. Saat sahabat Nabi Saw dalam perjalanan menuju Bani Quraidzah, misalnya, mereka berbeda pendapat. Ada yang memahami perintah Nabi untuk salat Asar di tempat Bani Quraidzah secara literal, ada juga kelompok yang memahami perintah tersebut secara kontekstual. Setibanya di Bani Quraidzah kedua pandangan tersebut diterima dan diapresiasi Nabi Saw.

Saat Nabi Saw masih hidup, perbedaan pandangan di antara umat Islam dapat dikelola dengan baik. Nabi Saw merupakan figur yang memiliki otoritas tertinggi dan pandangannya dihormati semua kalangan umat Islam. Umpama ketika itu ada Islam yang bermacam-macam, seperti yang terjadi sekarang, maka Nabi Saw akan segera mempersatukannya. Karenanya, tidak salah bila menyebut pada zaman Nabi Saw Islam hanya satu. Islam ya Islam saja. Tanpa embel-embel.

Setelah Nabi Saw meninggal, para sahabat berbeda pendapat tentang tampuk kepemimpinan pasca Rasulullah Saw. Dalam pelaksanaan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah itu, para sahabat menemui kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan. Namun pada akhirnya pertemuan politik atau forum musyawarah itu berlangsung hangat, terbuka, dan demokratis. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah lantaran memiliki kapasitas pemahaman agama yang tinggi, kecerdasan, dan sangat dipercaya Rasulullah Saw.

Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan khalifah Ali, bahkan perang secara fisik terjadi beberapa kali yang dipicu dari perbedaan pandangan. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal yang terjadi antara Ali dan Aisyah binti Abu Bakar dan Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.

Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam paling awal, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murujiah, Qadariyah, Asy’ariyah dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan teologi. Misalnya, kemunculan ragam pandangan tentang di mana Allah, status al-Quran sebagai kalamullah atau makhluk Allah, pelaku dosa besar, takdir, kehendak bebas dan lain-lain.

Setelah aliran-aliran tersebut berkembang, warna Islam pun semakin beragam. Pemahaman Islam tidak lagi satu lantaran adanya perbedaan pemikiran. Misalnya perbedaan pandangan tentang kehendak bebas. Menurut Qadariyah, manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan total dalam menjalani hidupnya. Sementara menurut Jabariyah kebalikannya, manusia tidak memiliki otoritas apapun dalam menentukan nasibnya. Sedangkan menurut Asy’ariah, manusia memiliki kehendas bebas namun Allah telah menetapkan takdir baginya secara rahasia. Ketiga pandangan ini dapat menjadi alat ukur corak keislaman seseorang, apakah ia Islam Qadariyah, Jabariyah, atau Ahlu Sunah wal Jamaah.

Tidak hanya di bidang akidah, semua bidang terjadi perbedaan pandangan. Dalam fikih, antara Syafiyyah dan Hanafiyah berbeda pandangan ihwal istihsan sebagai instrumen dalam instibath hukum. Dalam hadis, para ulama kadang berselisih tentang kriteria hadis Mutawatir. Dalam filsafat, Imam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd berdebat tentang alam semesta itu qadim atau hadis. Dalam politik, status Khilafah masih diperdebatkan dan memunculkan variasi pandangan.

Ide mewujudkan Islam tanpa embel-embel merupakan tawaran solusi yang justru menambah persoalan. Seolah-olah pemahaman Islam hanya ada satu versi. Padahal, bagi saya, penambahan embel-embel pada kata Islam pada hakikatnya hanyalah kebutuhan teknis sebagai konsekuensi dari adanya ragam pemikiran. Penambahan embel-embel membuktikan bahwa adanya ragam pandangan dalam memahami Islam. Dalam rangka membedakan antara pemahaman Islam yang satu dengan yang lain, mau tidak mau harus ditambahi embel-embel.

Walau teks al-Quran tak pernah berubah namun pemikiran setiap orang berbeda-beda. Dalam kaidah usul disebutkan, setiap kepala memiliki pandangan [kullu ra’sin ra’yun]. Sayangnya, masih ada beberapa kalangan Muslim yang tidak dapat melihatnya sebagai sebuah keniscayaan dari perbedaan interpretasi dan juga tidak dapat mempertimbangkan berbagai dimensi dari sebuah isu. Padahal kalau ditanya di mana Allah, apakah Allah memiliki sifat, benarkah wajib mendirikan kekhilafahan, jawabannya akan menentukan corak keislamannya.

Pada intinya, adanya bermacam-macam aliran pemikiran dalam Islam yang kemudian menjadi sebuah kelompok besar merupakan sunnatullah. Dengan berbagai kelompok itu, maka akan terjadi kompetisi hingga membuahkan dinamika yang diperlukan dalam kehidupan bersama. Yang salah itu kompetisi dalam keburukan, kezaliman, dan kemaksiatan, bukan pada embel-embelnya. Dengan demikian, solusi dalam mewujudkan ukhuwah Islam adalah semua kelompok Islam sama-sama berlomba-lomba dalam kebaikan [fastabiqu al-khairat].

Naskah: Ilham Ibrahim

Editor: Fauzan AS

Tags: headlineislammuhammadiyahTuntunanwahabi

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề