Makalah tentang pembentukan pemerintahan militer dan pemerintahan sipil

KOMPAS.com - Selain membentuk pemerintahan militer, Jepang juga membentuk pemerintahan sipil ketika menduduki Indonesia.

Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia [2019], sebelumnya pemerintah militer Jepang sudah menunjuk gunseibu. Gunseibu kira-kira semacam gubernur. Tugasnya memulihkan ketertiban dan keamanan. Pembagiannya meliputi:

  • Jawa Barat berpusat di Bandung
  • Jawa Tengah berpusat di Semarang
  • Jawa Timur berpusat di Surabaya
  • Daerah istimewa [Kochi] di Yogyakarta
  • Daerah istimewa [Kochi] di Surakarta

Pada Agustus 1942 Jepang menetapkan Undang-Undang Nomor 27 tentang Aturan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsushi [daerah istimewa, Batavia].

Baca juga: Heiho dan PETA, Organisasi Militer Bentukan Jepang

Berdasarkan undang-undang itu, gunseibu dihapus. Sebagai gantinya dibentuk pemerintahan syu [setingkat keresidenan pada zaman pemerintah Hindia Belanda].

Di Pulau Jawa, selain daerah khusus Yogyakarta dan Surakarta, pemerintahan daerah dibagi menjadi enam tingkat. Berikut pembagiannya:

  • Syu [karesidenan], dipimpin oleh seorang syuco.
  • Syi [kotapraja], dipimpin oleh seorang syico.
  • Ken [kabupaten], dipimpin oleh seorang kenco.
  • Gun [kawedanan atau distrik], dipimpin oleh seorang gunco.
  • Son [kecamatan], dipimpin oleh seorang sonco.
  • Ku [kelurahan atau desa], dipimpin oleh seorang kuco.

Pemerintahan syu ini merupakan pemerintahan daerah tertinggi di bawah Gunseikanbu yang dipimpin oleh seorang syucokan.

Baca juga: PETA, Pasukan Indonesia Bentukan Jepang

Dalam melaksanakan tugasnya, syucokan dibantu oleh cokan kanbo [Majelis Permusyawaratan] yang mempunyai tiga bu atau departemen. Berikut tiga bu yang dimaksud:

  • Naiseibu [departemen umum]
  • Keizaibu [departemen ekonomi]
  • Keisatsubu [departemen kepolisian]

Jepang juga membentuk Tonarigumi yang kita kenal sebagai rukun tetangga [RT]. Gunanya, untuk memata-matai rakyat.

Orang Indonesia diangkat jadi pejabat

Di Jawa Barat, petinggi militer Jepang Kolonel Matsui yang merangkap sebagai gunseibu, menyelenggarakan pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana dan kerja sama yang baik. Dalam pertemuan itu, R Pandu Suradiningrat diangkat menjadi wakil gubernur dan Atik Suardi diangkat menjadi pembantu wakil gubernur.

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Dengan adanya pengangkatan orang Indonesia sebagai pejabat, pada 1 April 1942, Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai dan lokal.

Pegawai Indonesia tak bisa mendapatkan gaji lebih dari 500 gulden. Pejabat Indonesia yang gajinya di atas 100 gulden mendapat potongan pajak yang besar.

Setelah R Pandu Suradiningrat dan Atik Suardi, menyusul beberapa tokoh nasional yang diangkat juga sebagai pejabat oleh Jepang. Berikut daftarnya:

  • Prof Dr Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama
  • Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo diangkat sebagai syukocan Batavia
  • RMTA Surio diangkat sebagai syukocan Bojonegoro

Namun, seluruh jabatan pemerintahan yang strategis harus dipegang orang-orang Jepang. Jumlah pegawai Jepang di Pulau Jawa saat itu sekitar 23.242 orang.

Arniati Prasedyawati Herkusumo Buku Chuo sangi-in, Dewan Pertimbangan Pusat pada Masa Pendudukan Jepang [1984] karangan Drs. Arniati Prasedyawati Herkusumo.

Chuo sangi-in

Untuk membantu pemerintah, dibentuk pula Badan Pertimbangan Pusat [Chuo sangi-in]. Chuo sangi-in bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah mengenai politik.

Baca juga: Sejarah BPUPKI dan Perjalanannya

Chuo sangi-in juga berwenang menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Militer.

Chuo sangi-in beranggotakan 23 orang yang diangkat oleh Saiko Shikikan [Panglima Tertinggi]. Pada 17 Oktober 1943, Soekarno secara resmi diangkat sebagai Ketua Chuo sang-in. Wakilnya RMAA Kusumo Utojo.

Dalam sidang, para tokoh nasionalis yang bergabung di Chuo sangi-in selalu berusaha mengajukan usulan yang mengarah pada perbaikan sosial rakyat yang saat itu semakin buruk.

Sayangnya, dari sidang pertama sampai sidang keempat, pemerintah Jepang hanya membahas usaha-usaha pengerahan rakyat bagi kepentingan Asia Timur Raya.

Baca juga: Terbentuknya PPKI dan Detik-detik Proklamasi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Suatu negara berdiri atas beberapa unsur, misalnya adanya wilayah, rakyat, diakui negara lain dan kedaulatan. Namun suatu negara tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya suatu sistem yang mengatur gerak atau langkah negara yang akan mereka majukan. Karena negara akan bersifat pasif dan negatif jika tidak melakukan gerak – gerik apapun.

Dengan adanya sistem, maka rakyat dapat menjalankan kehidupannya dengan teratur, sistem juga dapat mengontrol arah kemajuan sebuah negara. Dengan adanya cita-cita serta tujuan negara maka kerja sistem akan lebih efektif. Sistem yang digunakan sebuah negara untuk mengatur gerak langkah perjalanan sebuah negara inilah yang disebut sistem pemerintahan.

Berdasarkan uraian diatas kami berharap akan menambah wawasan pengetahuan masyarakat tentang pemerintahan baik di Indonesia maupun di negara lain, sehingga masyarakat dapat mengontrol sistem kerja pemerintah

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan pemerintahan?

2.      Bagaimanakah karakteristik pemerintahan sipil dan militer?

3.      Bagaiamanakah hubungan sipil-militer di Indonesia?

C.    Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.

1.      Memahami pengertian dari pemerintahan

2.      Memahami karakteristik pemerintahan sipil dan militer

3.      Mengetahui hubungan antara sipil dan militer di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pemerintahan

Pemerintah [Government] secara etimologis, berasal dari bahasa yunani kuno yaitu “kubernan” atau nahkoda kapal. Artinya, menatap ke depan. Lalu, perkataan “memerintah” berarti melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah ditetapkan. Maka terkait dengan hal tersebut, pengertian pemerintah dapat ditinjau dari tiga dimensi [aspek], yaitu :

1.        Aspek kegiatan [dinamika]

2.        Aspek struktural fungsional

3.        Aspek tugas dan kewenangan [fungsi]

Jikalau dilihat dari aspek dinamika, pemerintah dapat diartikan sebagai segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan yang bersumber dari kedaulatan dan berlandaskan kepada Dasar Negara, rakyat, wilayah negara tersebut demi tercapainya tujuan negara, dan jikalau konsep pemerintah dilihat dari aspek struktural fumgsional maka pemerintah dapat diartikan sebagai seperangkat fungsi negara yang berhubungan satu dengan yang lainnya, berhubungan secara fungsional dan melaksanakan fungsinya berlandaskan kepada dasar-dasar dan prinsip tertentu demi tercapaianya tujuan negara, dan yang terakhir aspek tugas dan kewenangan negara diartikan pemerintah di sini adalah seluruh tugas dan kewenangan negara.

Maka dengan berdasarkan pada ketiga pengertian tentang pemerintah di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan negara atau sebagai fungsi negara,

dan yang melaksanakan tugas dan kewenangan negara itu adalah pemerintah. Berkaitan dengan pengertian pemerintahan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan fungsi negara, ada juga pengertian pemerintahan dalam arti yang luas dan dalam arti yang sempit.

Pemerintahan dalam arti yang luas, adalah mencakup seluruh fungsi negara, yakni fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit, adalah hanyalah salah satu dari fungsi negara yakni fungsi eksekutif. [Surbakti, 2010:168-169]. Hal ini sama artinya dengan memandang dan memahami politik itu sebagai pemerintahan sehingga politik ekuivalen dengan pemerintahan itu sendiri, yang dimaksudkan dengan pemerintahan [government] itu sendiri adalah mekanisme politik [lembaga], Undang-Undang [UU], Kebijakan Publik dan Pelaku-Pelaku utama dalam pemerintahan. Terkadang pengertian antara pemerintahan [politik] dan negara dipandang sama, dan bahkan dalam definisinya yakni di mana politik dipahami sebagai semua kegiatan, proses dan struktur dalam pemerintahan. Segala yang terjadi di Senat Amerika Serikat [AS], Bundestag di Jerman, dan Parlemen di Inggris, setuju dengan definisi di atas adalah termasuk dalam bidang politik. Sementara itu segala yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu di luar wilayah pemerintahan tidak bersifat politik. Meskipun fenomena sosial memang bisa menumbuhkan dampak daripada politik, tetapi fenomena sosialnya itu sendiri tidak bersifat politik. [Caporaso, 2008: 4-5].

Dalam hal pelaksanaan di lapangan, pemerintahan di setiap negara sangat beragam. Hal demikian menyangkut bentuk-bentuk pemerintahan yang dianut oleh suatu negara.

Bentuk pemerintahan suatu negara dibedakan sebagai berikut,

1.      Berdasarkan jumlah orang yang memerintah

a.       Monarki

Bentuk pemerintahan dikatakan monarki apabila pemerintahan itu terletak di tangan satu orang.

b.      Oligarki

Adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan terletak di tangan sejumlah orang yang memerintah.

c.       Demokrasi

Pada bentuk pemerintahan ini kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat.

2.      Berdasarkan cara pengangkatan kepala negara atau kepala pemerintahan

a.       Kerajaan [Monarki]

1.      Monarki absolut [kerajaan mutlak]

Raja selaku kepala negaranya memegang seluruh kekuasaan negara, baik eksekutif, legislative, maupun yudikatif. Monarki absolut biasanya dilandasi paham teokrasi, yaitu raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.

2.      Monarki konstitusional

Kekuasaan raja selaku kepala negara dibatasi oleh konstitusi.

b.      Republik

1.      Republik absolut

Pemerintahan bersifat diktator tanpa ada batasan kekuasaan. Dalam pemerintahan ini parlemen tidak berfungsi.

2.      Republik konstitusional

Presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun, kekuasaan presiden dibatasi oleh konstitusi.

3.      Republik parlementer

Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara. Kepala pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.

3.    Berdasarkan segi kabinet dan fungsi kepala negara

a.       Presidensial

b.      Parlementer

B.       Pemerintahan Sipil dan Militer

Perbedaan mendasar tentang keduanya yaitu terletak pada sejauh mana kelompok tersebut berpengaruh dan ikut serta dalam pemerintahan. Serta sejauh mana satu kelompok mampu mengatur kelompok yang lain. Kendati keduanya memiliki wewenang masing-masing, dalam sejarah pemerintahan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan roda pemeritahan. Jika dalam pemerintahan tersebut, kalangan sipil mampu lebih dominan bahkan dalam masalah kemiliteran dan politik keamanan Negara, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. Sebaliknya jika militer banyak kontrol dalam politik dan kehidupan sipil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan militer.

1.         Pemerintahan Sipil

Pemerintahan sipil adalah pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Sebelum sebuah keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu, dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan suara [referendum]. Setelah itu pun sebuah keputusan harus menunggu pengesahan terlebih dahulu dari lembaga negara yang berwenang lewat sebuah sidang. 

Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer. Kedua istilah ini muncul ketika terjadi hubungan antara elit sipil yang diwakili oleh politisi yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan elit militer dalam suatu Negara.  

Secara teoritis, pemerintahan sipil dapat dibagi menjadi tiga: 

a]        Model tradisional

Pemerintahan sipil model ini adalah pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dengan elit militer. Model ini merupakan gambaran pemerintahan kerajaan di eropa pada abad 17 dan 18, dengan pendukung utamanya terdiri dari golongan aristokrat eropa baik dari kalangan elit sipil maupun elit milliter. Di dalam model ini masing-masing mereka memegang satu kekuasaan saja, mereka membangun ikatan kekeluargaan dalam memepertahankan kekuasaan masing-masing. Karena tidak adanya perbedaan prinsip inilah pada masa model pemerintahan tradisional tidak ditemukan adanya konflik-konflik diantara keduanya.

b]        Model liberal

Pemerintahan jenis ini adalah pemerintahan yang mendasarkan pada pemisahan para elitnya menurut keahlian dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatannya dalam pemerintahan. Posisi militer dalam pemerintahan ini adalah masih dibawah kendali sipil. Dalam bidang keamanan, perwira hanya dapat menasehati pemerintah serta hanya mampu melaksanakan apa yang diinstruksikan pihak sipil. Dalam model ini kemungkinan militer dalam melakukan intervensi dan kegiatan politik terhadap elit sipil akan tertutup.

Terdapat prinsip penting yang dipegang oleh model liberal ini, dimana elit tidak melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan profesionalisme militer. Misalnya melalui pengangkatan perwira militer yang didasari oleh kesetiaan mereka di bidang politik domestik. Jika prinsip ini dilaksanakan elit sipil dengan konsisiten, maka semakin kecillah alasan militer untuk melakukan intervensi di bidang politik dan pemerintahan.

c]      Model serapan

Model ini adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan para ahli politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang model ini berkuasa. Para ahli politik ditempatkan di setiap unit dan peringkat hierarki militer. Mereka bertanggung jawab kepada politisi yang lebih tinggi kepada pemimpin sipil, bukan kepada perwira militer yang lebih tinggi pangkatnya. Jadi dapat dikatakan pada model ini pemerintahan sipil yang berkuasa benar-benar telah mengambil alih kekuasaan dan pemerintahan secara penuh bahkan sampai ke seluk-beluk militer.

2.         Pemerintahan Militer

Pemerintahan militer ini pada dasarnya merupakan bagaimana partisipasi militer dalam politik dan pemerintahan. Keikutsertaan ini didasarkan pada perasaan mereka tentang tanggung jawab dalam melindungi keutuhan negara, termasuk didalamnya tanggung jawab tehadap konstitusi negara. 

Seperti yang kita ketahui bahwa Negara mempunyai kelegalan dalam monopoli dan penggunaan kekerasan terhadap warganya ataupun terhadap siapapun atas alasan dan sebab-sebab tertentu. Dalam hal ini keberadaan militer boleh dikatakan merupakan konsekuensi dari kebutuhan Negara akan perangkat keamanan dan kekerasan dalam tujuan pertahanan Negara.

Sejauh mana keterlibatan militer ke dalam kehidupan politik, dalam pandangan Amos Perlmutter, pada gilirannya telah melahirkan pengelompokkan militer ke dalam tiga jenis militer, yakni militer professional, militer pretorian dan militer revolusioner.

Adapun partisipasi militer dalam pemerintahan sipil sering juga disebut dengan pretorianisme. Kajian ini digunakan dalam rangka menggambarkan keikutsertaan tentara sebagai aktor utama yang sangat dominan dalam menggunakan kekuasaannya. Istilah tersebut diambil  dari contoh kasus campur tangan militer yang paling awal dan paling terkenal dalam pemerintahan kerajaan romawi pada abad 17 dan 18. Pada masa ini tentara pretorian mereka digunakan sebagai prajurit khusus yang digunakan untuk mengawal raja.  

Sebagaimana dalam pemerintahan sipil, di dalam pemerintah militer terdapat tiga model: 

a]        Moderator pretorian

Ciri khas dalam model ini adalah adanya penggunaan hak veto terhadap keputusan dalam pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Sekalipun  kelompok sipil yang memerintah, mereka masih bisa untuk tidak mengikuti sepenuhnya supremasi pihak sipil. Kelompok pretorian masih bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik

Dalam praktiknya, apabila ada ketidak sepakatan dengan kebijakan sipil, pretorian mediator ini dapat melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil dan menggantikannya dengan sekelompok elit sipil yang dapat dikuasai dan diterima oleh militer. Perilaku politik dalam metode ini hanya sebatas mempertahankan status-quo, menjaga keseimbangan atau ketidakseimbangan kekuasan di antara fraksi-fraksi atau kelompok politik yang bersaing. Serta melarang setiap percobaan penting dalam hal pengalihan hasil ekonomi, dan menjaga stabilitas politik dan pemerintahan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok militer ini merupakan kekuatan politik konservatif yang lebih menyukai untuk mengalihkan perubahan daripada pelaksanaanya yang dapat diperoleh dengan pemerintahan. Alasan-alasan inilah yang melatari mengapa kelompok ini tidak meguasai puncak pemerintahan.

b]        Pengawal Pretorian

Pemerintahan model ini merupakan lanjutan dari moderator pretorian. Jika yang pertama bersifat konservatif, kelompok ini lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Setelah para moderator berhasil menggulingkan  kekuasaan pemerintah, akhirnya mereka mengubah diri sebagai pengawal pretorian sebelum akhirnya berkuasa penuh atas pemerintahan.

Setelah penggulingan elit sipil, umumnya kelompok ini akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode singkat antara dua sampai empat tahun. Seperti halnya kelompok pertama, para pengawal pretorian tidak setuju terhadap perubahan politik serta akan berusaha untuk mempertahankan poltik yang lama. Perbedaan mencolok kelompok ini ialah keyakinan mereka akan agenda pemerintahan yang mereka canangkan hanya mereka sendirilah yang dapat melaksanakannya. Keyakinan ini muncul dari asumsi mereka tentang tidak adanya elit di luar mereka yang mampu mempertahanan status-quo politik dan ekonomi. Atau tanpa tindakan kudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang memiliki tujan dan agenda politik yang berbeda.

Langkah selanjutnya setelah kudeta  adalah tindakan pemecatan ahli politik sipil yang diduga melakukan kecurangan dalam penyusunan kembali struktur pemerintahan dan administrasi serta pembagian kekuasaan dan fungsi ekonomi di kalangan kelompok sipil. Sisi lain dari kelompok ini ialah sikap yang tidak terlalu otoriter, karena kebebasan politik, kebebasan pers dan berserikat adalah dibenarkan.

Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Namun seluruh agenda perubahan yang mereka lakukan tetap dalam koridor membatasi kegiatan dan hak sipil. Bagi mereka perubahan mendasar dalam hal-hal tersebut tidaklah dibutuhkan, karenanya kelompok ini tidak menganggap penting untuk membentuk sebuah rezim yang dapat menguasai orang banyak.

c]        Penguasa  Pretorian

Pemerintahan model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan model yang dua sebelumnya. Yang membedakan model ini dengan model yang lain ialah luasnya wilayah kekuasaan serta tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model yang ketiga ini tidak hanya menguasai pemerintahan namun juga mendominasi rezim yang berkuasa, bahkan kadang kala mencoba menguasai sebagian ekonomi-politik dan sosial melalui mobilisasi. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok moderis radikal atau kelompok revolusioner dengan visi menata kembali negara dari segi moral, institusi dan materi lainnya.

Dengan agenda yang menyeluruh dan mendalam dari kelompok ini, pastinya akan membutuhkan waktu yang lama. Maka mendominasi rezim dan pemerintahan yang cukup lama adalah diperlukan. Jika kelompok pengawal pretorian berkuasa dalam tempo sementara dan berjanji akan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu singkat, sebaliknya penguasa pretorian tidak demikian. Umumnya mereka mengatakan bahwa rezim sipil akan dipulihkan kembali.

3.         Hubungan Sipil-Militer di Indonesia

Sejalan lengsernya Orde Baru pada 21 Mei 1998, berahir pula lah dominasi militer di Indonesia. Masa setelahnya ialah masa reformasi dimana menjalankan demokrasi secara tepat adalah tujuan pada era setelah orde baru lengser. Pada masa transisi ini tak jarang hujatan serta kritik ditujukkaan masyarakat kepada ABRI atau TNI atas peran yang mereka lakukan selama Orde Baru. Karena selama itu pula terjadi hubungan sipil-militer yang tidak seimbang yang mengakibatkan krisis di Indonesia dalam segala aspek kehidupan. 

Kehadiran TNI/ABRI di hampir semua lembaga baik di pemerintahan maupun swasta yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sampai ke soal agama dianggap menutup upaya kalangan sipil yang berpotensi, dan itu dapat diartikan  pula mengurangi kesempatan sipil untuk menunjukan kemampuannya dalam berkiprah di bidang kemasyaraktan kenegaraan. Kritik dan sinyalemen lainnya yang perlu diperhatikan oleh TNI adalah pernyataan beberapa kalangan masyarakat bahwa ABRI tak lagi membela kepentingan rakyat, melainkan membela dan menjadi alat para penguasa untuk mempertahankan status-quo. Bahkan ABRI dicurigai sebagai mengarah pada militerisme dan kediktatoran.  

Di barat terdapat model hubungan sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas militer”, atau militer merupakan subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Tetapi pada kasus-kasus di negara berkembang termasuk Indonesia hubungan sipil-militer tidaklah dapat disamakan dengan kenyataan dengan praktik yang terjadi di negara barat. Karena pada kenyataannya, makna hubungan sipil-militer di Indonesia lebih mengandung pengertian adanya  “kerja sama” dan hubungan kemitraan. Secara historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-militer yang sangat nyata pada masa revolusi kemerdekaan [1945-1949] Keikutsertaan militer dalam penataan sosial dan administrasi pemerintahan pada akhirnya melahirkan konsep dwifungsi ABRI yang menjadi doktrin dasar keterlibatan kaum militer diluar bidang keamanan. 

Lahirnya konsep dwifungsi ABRI sendiri karena di masa itu belum terbentuk atau lahir sebuah tentara reguler, kala itu baru terbentuk badan keamanan rakyat yang bersatu dengan rakyat dalam menjaga keamanan negara. 

Dan untuk menggalang perlawanan terhadap kekuatan pasukan Belanda yang hendak kembali menjajah, pasukan direkrut dari kalangan siapa saja untuk memanggul senjata dan menunjukan kualitas kepemimpinannya. Basis untuk menjadi tentara adalah non-profesionalisme seperti semua kedudukan dalam revolusi. Dengan sendirinya banyak tentara melakukan baik fungsi politik maupun pemerintahan. Fakta sejarah awal inilah yang melandasi konsepsi tidak dipisahkannya tentara dari kegiatan politik. 

Sebenarnya sudah ditegaskan bahwasanya intervensi militer dalam politik ini merupakan sebuah proses yang lama, hampir setua umur republik ini. Pada awalnya intervensi tersebut lahir dari tradisi perang gerilya. Dimana mau tidak mau membuat tentara harus mempelajari fungsi non-militer, karena perang ini melibatkan seluruh masyarakat. Dan dengan jalan mempelajarinya pengelolaan masyarakat dan desa sebagai kekuatan perang semesta bisa dilakukan. Selanjutnya pengalaman dalam perang gerilya ini tak hanya menunjukan bagaimana kemampuan militer dalam mengurus urusan non-militer, namun juga bukti tentang jasa-jasa militer dalam merebut kemerdekaan. Dikemudian hari jasa-jasa ini menjadi klaim utama bagi keterlibatan para perwira dalam urusan politik. 

Bukan itu saja, adalah ketidakcocokan para pemimpin militer dengan cara-cara kepemimpiman sipil tak jarang menjadi presepsi buruk tentang kepemimpinan sipil. Sudah tentu anggapan-anggapan sepihak ini bisa dibaca sebagai upaya mendeskreditkan para pemimpin sipil, sambil megedepankan para perwira sebagai sumber daya yang tersedia untuk mengatur politik. 

Dalam sejarah politik Indonesia, hubungan antara sipil-militer dapat dijelaskan secara singkat melalui pasang surut intervensi sipil atas militer atau sebaliknya. Misalnya pada masa demokrasi parlementer, partai poltik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subjektif. Dengan kata lain, kontrol subjektif sipil terhadap militer telah terjadi secara mendalam dalam tubuh militer, diantaranya dalam masalah menentukan posisi jabatan di dalam struktur TNI, khususnya angkatan darat.

Puncaknya pada peristiwa 17 Oktober 1952 saat pasukan TNI-AD mengarahkan moncong meriam kearah istana Presiden, dan memaksa presiden Soekarno untuk membubarkan konstituante.  

Lalu ketika runtuhnya Orde Lama dan tegaknya Orde Baru dibawah rezim Soeharto bergantilah intervensi militer yang terlalu jauh dalam urusan sipil yang mencakup politik, ekonomi, sosial bahkan sampai bidang Olah Raga. Memang pemerintahan militer yang bergulir di Indonesia paling terlihat jelas adalah ketika Mayjen Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia yang ke dua menggantikan presiden Soekarno. Ancaman militer secara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan. Mengambil alih kekuasaan pemerintahan dan mengubah rezim sipil menjadi rezim militer .Tentara mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta. Para pejabat tinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata. Pemerintahan masih terus bergantung kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaanya.adalah praktik-praktik yang dilaksanakan dalam pemerintahan militer.


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Seperti yang kita ketahui, pengertian pemerintah dapat kita tinjau dari 3 aspek dimensi yaitu  aspek kegiatan, aspek struktural fungsional, dan aspek tugas dan kewenangan [fungsi] maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan negara atau sebagai fungsi negara, dan yang melaksanakan tugas dan kewenangan negara itu adalah pemerintah.

Pemerintahan di setiap negara terbagi menjadi dua, yaitu Pemerintahan Sipil dan Militer. Perbedaan mendasar tentang keduanya yaitu terletak pada sejauh mana kelompok tersebut berpengaruh dan ikut serta dalam pemerintahan. Serta sejauh mana satu kelompok mampu mengatur kelompok yang lain. Kendati keduanya memiliki wewenang masing-masing, dalam sejarah pemerintahan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan roda pemeritahan. Jika dalam pemerintahan tersebut, kalangan sipil mampu lebih dominan bahkan dalam masalah kemiliteran dan politik keamanan Negara, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. Sebaliknya jika militer banyak kontrol dalam politik dan kehidupan sipil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan militer. 

Adapun hubungan sipil-militer di Indonesia, tidak ada golongan yang lebih dominan. Hubungan sipil-militer lebih ke arah  “kerja sama” dan hubungan kemitraan. Secara historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-militer.

Ruhpina, H.L. Said, 2005, Menuju Demokrasi Pemerintahan, Universitas Mataram Press, Mataram.

Sitepu, P. Anthonius, 2012, Teori – Teori Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Gatara, A.A. Sahid, 2009, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan, Pustaka Setia, Bandung.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi, dan Civil Society,  Graha Ilmu, Yogyakarta.

Tokoh Indonesia, Hubungan Sipil dan Militer,

Page 2

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề