Mengapa ada istilah good and clean governance apa latar belakang munculnya istilah tersebut?

Masruri*

*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Sekolah Tinggi Ilmu sosial dan Ilmu Politik [Stisip Kartika Bangsa] Yogyakarta

Jln. Rejowinangun  No. 6 Yogyakarta. Tlp/Fax. [0274] 4438543, 4438578. Kode Pos 55171

Pemerintah atau ”government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc” [pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya]. Ditinjau dari sisi semantik, kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.

Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Dalam versi World Bank, Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Hal ini bagi pemerintah maupun swasta di Indonesia ialah  merupakan suatu  terobosan mutakhir dalam menciptakan kredibilitas publik dan untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal

Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintah [Prasetijo, 2009]

Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good governance. Kita ambil satu saja untuk sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam laporannya tentang governance and development tahun 2002 mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggung jawab pada publiknya [Bintan R. Saragih 2008]

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan [financial], manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya.

Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sispil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum

Kepemerintahan yang baik adalah terciptanya suatu keadaan yang memberi rasa nyaman menyenangkan bagi para pihak dalam suasana yang berkepemimpinan yang demokratis menuju masyarakat adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para Pihak yang dimaksud adalah pemerintah yang baik [good government] dalam hal ini eksekutif, parlemen yang baik [good parlemen]/ anggota legislatif yakni DPRD dan rakyat yang baik [good citizen] bisa pewarta, tokoh, cendekiawan, pengusaha, ketiga para pihak ini merupakan aktor yang sangat penting dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik. Ketiga para pihak ini harus saling bekerjasama, berkoordinasi, bersinergis dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, sehingga apa yang kita harapkan yakni kepemerintahan yang baik [good governance] dapat terwujud

  1. Membangun Good Governance

Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka.

United Nations Development Programme [UNDP] mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki [three legs], yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan [decision-making processes] yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state [negara atau pemerintahan], private sector [sektor swasta atau dunia usaha], dan society [masyarakat], yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing [LAN, 2000 : 5]

Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah [Bintoro Tjokroamidjojo], tata-pemerintahan yang baik [UNDP], pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab [LAN], dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih [clean government]

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipation dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and sosial development.” Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial

OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Soviet Uni, sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: [1] menjunjung tinggi nilai-nilai HAM khususnya hak dan kebebasan individu, [2] demokrasi, [3] penegakan Rule of Law, [4] pasar bebas dan [5] perhatian terhadap lingkungnan. Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah [the state], civil society [masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil], dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan [trust], transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Konsep good governance yang dianjur-anjurkan oleh lembaga-lembaga donor internasional tersebut kemudian berubah akibat pengaruh Amerika Serikat yang menggunakan globalisasi untuk menebarkan sistem pasar bebas ke segala penjuru dunia. Sejak itu good governance diartikan sama dengan less government. Semua kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan masyarakat di negara dapat dipenuhi lebih baik bila campur tangan pemerintah tidak terlalu dominan. Berubahlah good governance menjadi best government adalah less government.

Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN [Clean Governance]. Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance ?

Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat memerlukan Good Governance. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia Masa Depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbuilnya good governance adalah dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang terlah bnerkembang selama lebih 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan terbuka.

Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance tersebut diatas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 – 2004, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.  Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Kondisi semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders. Disamping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan peluang ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-undanganan yang berlaku.

Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid yang bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang positif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat [LAN; 2000, 8], sedangkan hubungan diantara ketiga unsur utama  [domain] tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Sektor

Negara

Swasta

Masyarakat

Kunci untuk menciptakan good governance adalah suatu kepemempinan nasional yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Karena itu mungkin Pemilu 2004 yang memilih Pimpinan Nasional secara langsung, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban bagi terbentuknya pemenyelenggaraan pemerintahan yang baik. Itu pun kalau Pemilu tersebut mampu memilih seorang yang kredibel, yang mendapat dukungan popular, dan yang visioner dan kapabel sebagai Presiden ke 6. Sayangnya harapan tersebut belum terealisasi, setahun setelah Presiden yang paling memiliki legitimasi terpilih

  1. Governance and clean Governance

Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-undang [UU]. Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau management [pengelolaan] yang artinya kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain [LSM, swasta dan warga negara] yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif.

Sedangkan good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa [struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain]. Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintah [Prasetijo, 2009]

Clean and good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni : pertama pemerintah [the state], kedua civil society [masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil], dan ketiga pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan [trust], transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas

Di Indonesia, substansi wacana Good Governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahan yang bersih [Clean Governance] adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.

Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.

Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan pemerintahan yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah paradigma pengelolaan lembaga negara, Good and Clean Governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling terkait: negara dan Masyarakat Madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populi adalah tata kelola pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, sektor swasta [Corporate Sectors] harus pula bertanggung jawab dalam proses pengelolaan seumber daya alam dan perumusan kebijakan publik dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai bagian dari pelaksanaan Good and Clean Governance, dunia usaha berkewajiban untuk memiliki tanggung jawab sosial [Corporate Sosial Responsibility/CSR], yakni dalam bentuk kebijakan sosial perusahaan yang bertanggung jawab langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di mana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung  jawab sosial [CSR] ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan masyarakat [Community Empowerment] dan pelestarian lingkungan hidup.

  1. Prinsip Pokok Good And Clean Governance

Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang berstandar pada prinsip-prinsip Good Governance, Lembaga Administrasi Negara [LAN] merumuskan sembilan aspek fundamental [asas] dalam Good Governance yang harus diperhatikan, yaitu:

  1. Partisipasi [participation]

Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.

Paradigma birokrasi sebagai pusat pelayanan publik seyogianya diikuti dengan deregulasi berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Efisiensi pelayanan publik meliputi pelayanan  yang tepat waktu dengan biaya murah. Paradigama ini tentu saja menghajatkan perubahan orientasi birokrasi dari yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani.

  1. Penegakkan hukum [rule of law]

Asas pengakkan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung oleh penegakkan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakkannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik.

Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud Good and Clean Governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Supremasi hukum [supremacy of law], yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi [tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya].
  2. Kepastian hukum [legal certainly], bahwa setiap kehidupan berbangsa dan  bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
  3. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
  4. Penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakkan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
  5. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya
  1. Transparansi [transparency]

Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and Clean Governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu dalam pengelolaan kebijakan publik, khususnya bidang ekonomi, pemerintah di semua tingkatan harus menerapkan prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan baik pusat maupun yang di bawahnya.

Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:

  1. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
  2. Kekayaan pejabat publik.
  3. Pemberian penghargaan.
  4. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
  5. Kesehatan
  6. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
  7. Keamanan dan ketertiban.
  8. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanisme test and proper test [uji kelayakan] yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen. Uji kelayakan bisa dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial, kepolisian, dan pajak.

  1. Responsif [responsiveness]

Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean Governance bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tetapi pemerintah harus proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni:

Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.

Etika sosial menuntut pelaksana birokrasi pemerintah memiliki sensitivitas terhadap berbagai kebutuhan publik.

  1. Orientasi kesepakatan [consensus orientation]

Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa [coersive power] terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik seyogianya diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya dapat dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas kewenangannya.

Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

Asas kesetaraan [equity] adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.

  1. Efektivitas [effectiveness] dan efisiensi [efficiency]

Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Adapun, asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien.

  1. Akuntabilitas [accountability]

Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralis sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

  1. Visi strategis [strategic vision]

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good and Clean Governance. Dengan kata lain, kebijakan apa pun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya

Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan dari implementasi Good and Clean Governance. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengolahan lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan kontrol sosial  masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok Good and Clean Governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:

  1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.

Pengaturan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.

  1. Selain melalukan check and balance, lembaga legislative harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
  2. Kemandirian lembaga peradilan

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip Good and Clean Governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakkan hukum dan keadilan

  1. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.

Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi populis [pelayan masyarakat] harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.

  1. Penguatan partisipasi Masayarakat Madani [Civil Society].

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsure penting lainnya dalam merealisasikan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan difasilitasi oleh negara [pemerintah]

Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM. Masyarakat  mempunyai hak atas informasi, hak untuk menyampaikan usulan, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan, pers, maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.

  1. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah.

Untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat

Pelaksanaan Good Governance dan Clean Governance dalam Sistem Pemerintahan Nagari Hambatan dalam pelaksanaan Good Governance adalah masih kita rasakan belum terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, Birokrasi yang masih belum efesien, masih membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit, masih terjadi yang namamya dunsanakisme, ketika  ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas, tidak terjadi transparancy keuangan di nagara, bahkan akuntabilitas masih belum bagus begitu banyak hambatan atau kendalanya adalah di sebabkan oleh mesin birokrasi yang tidak berjalan sesuai dengan relnya.

Kita merasakan masih bayaknya terjadinya koropsi karena sistem tata kelola belum efektif, terbuktinya otonomi kebablasan bahkan hari ini yang terjadi korupsi tidak hanya di pusat tapi telah berimbas ke Negara, berbeda dengan rezim orde bari yang berani korupsi hanya pusat. Tapi hari ini justru telah terjadi raja raja  kecil di daearah dengan terciptanya pemindahan ladang korupsi secara berjemaah dan di kololam oleh DPRD. Prilaku yang sesuai dengan perananya selaku abdi tersebut.

Keseluruhan prilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan pada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip Fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu menjadi bagian masyarakat suatu institusi tertentu. Prinsip pelayanan yang harus di berikan kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat , ramah, korek tanpa diskriminasi dan tanpa pilih kasih. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah melayani bukan untuk di layani, hendaknya terwujud dalam praktek dan realisasinya dan akan tidak ada artinya kalau hanya pada tataran konsep tanpa di tuangkan ke prakteknya dan kita tidak inginkan hanya ungkapan tersebut hanya menjadi slogan tanpa di ikuti makna.

Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari prilaku yang tidak sesuai dengan perananya selaku abdi negara mayarakat. Dari inilah, “penting di pahami patologi birokrasi yang bersumber dari keprilakuan” . Pemahaman tentang prilaku dalam kaitanya pada birokrasi, mutlak perlu di soroti dari sudut andang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku adalah kultur sosial yang luas. Hambatan Pelaksanaan Good Governance selanjutnya adalah permasalahan atau tantangan masa depan Sistem Pemerintahan nagari menurut penulis  adalah tidak terciptanya good local governance, tata kelola pemerintahanyang baik dan bersih dan konsekuensinya adalah munculnya raja, raja kecil dari daerah, korupsi yang semakin bersarang di daerah, artinya seolah-olah otonomi daerah memberi peluang pemindahan korupsi dari pusat kepada daerah.

Pemekaran dalam daerah yang tidak proporsional, banyak pelimpaan kewenangan yang menyimpang sehinga bupati lebih presiden dari presiden sendiri. Persoalan diatas sebagai solusinya perlu good local governance agar daerah lebih efektif dan efeien dan akuntabilitas di dalam penyelengaraan sistem desentaralisasi

Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat di katakan baik apabila sistem pelayanannya yang  baik maka produk pelayanan itu akan berjalan sesuai dengan rel  yang ada. Standar buruk atau baik tata kelola pelayanan yang baik dan bersih sangat di tentukan pemberian  layanan publik yang lebih professional dan efektif, efisien, sederhana, transparan, tepat waktu, responsive dan adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas individu dalam arti menigkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif  masa depannya. Responsif, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan,competen tuntutan yang dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan. Pelayanan publik [publik services] merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara

Pelayanan publik [publik services] oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat [warga Negara] dari suatu Negara kesejahteraan [welfare state]. Dan sekali lagu tujuan dari good governce sebagai tujuan Primer adalah mewuhkan pendidikan politik kepada masyrakat [demokrasi] sementara tujuan sekunder dari Good Governance adalah menciptakan sistem pelayanan yang efesien dan efektif, akuntabilitas, tapai yang menjadi perslan sekarang adalah good governance lebh fokus kepada pelayan publik, artinya ketika seseorang berbicra Good Local Governnace maka yang terbayang di depan matanya adalah elayann yang efektif dan efesien. Pelayanan publik dapat diartikan disini adalah pemberi layanan atau keperluan orang aatau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan

DAFTAR PUSTKA

Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan   Publik. Gadjah Mada University Press. 2005

Sedarmayanti [2007] Good Governance [pemerintahan yang baik] dan Good Corporate Governance. CV.Mandar Maju

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2000. Memahami good Governance.  PT. Gava Media

Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat  Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Predana Media Group.

Wiliam N. Dunn [2003] Pengantar Analisis Kebijakan Publik [edisi kedua]. UGM Gajah Mada University Press

Wahyudi Kumorotomo, 2008, Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa transisi. Diterbitkan atas kerjasama antara Magistra Administrasi Publik [MAP] UGM dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề