Musibah yang turun kepada kita adalah bukti

Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menuturkan, bahwa jika langit mendung, awan menghitam dan angin kencang, wajah Baginda Nabi Muhammad Saw.–yang biasanya memancarkan cahaya–akan terlihat pucat-pasi. Sebab takut kepada Allah SWT. Beliau lalu keluar, lalu masuk ke masjid dalam keadaan gelisah seraya berdoa, “Ya Allah…aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hujan dan angin ini, dari keburukan apa saja yang dia kandung dan keburukan apa saja yang dia bawa.”

Aisyah ra. bertanya, “Ya Rasulullah, jika langit mendung, semua orang merasa gembira karena pertanda hujan akan turun. Namun, mengapa engkau tampak ketakutan?”

Nabi Saw. menjawab, “Aisyah, bagaimana aku dapat meyakini bahwa awan hitam dan angin kencang itu tidak akan mendatangkan azab Allah? Kaum ‘Ad telah dibinasakan oleh angin topan. Saat awan mendung, mereka bergembira karena mengira hujan akan turun. Padahal Allah kemudian mendatangkan azab atas mereka.” [HR Muslim dan at-Tirmidzi].

Baca Lainnya :

Masya Allah! Kita sepantasnya takjub dengan rasa takut Rasulullah Saw. kepada Allah SWT. Bayangkan, Rasul Saw. adalah kekasih-Nya. Penghulu ahli surga. Allah SWT mustahil mengazab beliau. Namun, rasa takut kepada Allah SWT sering menyelinap dalam batin beliau di saat-saat awan mendung dan angin kencang.

Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Sama saja. Para Sahabat adalah juga orang-orang yang paling takut kepada Allah setelah Baginda Rasulullah Saw. Padahal sebagian mereka telah dijamin masuk ke dalam surga-Nya.

Demikian pula para tabi’in dan generasi sesudah mereka. Kebanyakan mereka adalah generasi yang mengisi hari-harinya dengan amal-ibadah. Malam-malamnya diisi dengan zikir, tilawah Alquran dan qiyamul lail. Siangnya sering diisi dengan shaum sembari tetap mencari nafkah, berdakwah bahkan berjihad [berperang] di jalan Allah SWT.

Namun demikian, rasa takut mereka terhadap Allah SWT begitu luar biasa. Bagaimana dengan generasi Muslim saat ini? Sungguh, musibah demi musibah di negeri ini sudah sering terjadi. Mulai dari tsunami, gunung meletus, banjir bandang, kebakaran hutan hingga gempa bumi yang beruntun terjadi. Namun, sepertinya musibah demi musibah itu datang sekadar menimbulkan duka-lara seketika, kemudian setelah itu tak berbekas apa-apa.

Banyak orang kemudian bermaksiat seperti biasa. Melakukan banyak dosa seperti sedia kala. Penguasa dan wakil rakyat tetap menerapkan hukum-hukum kufur. Para ulama pun seolah tetap merasa ‘nyaman’ dengan tidak diberlakukannya hukum-hukum Allah. Kaum Muslim secara umum juga sepertinya tetap merasa ‘enjoy‘ dengan berbagai kemaksiatan dan kezaliman yang ada.

Padahal Allah SWT berfirman [yang artinya]:

Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang [berkuasa] di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang [berkuasa] di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak kalian akan mengetahui bagaimana [akibat mendustakan] peringatan-Ku? Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan [rasul-rasul-Nya]. Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku. [TQS al-Mulk [67]: 16-18]

Allah SWT juga berfirman [yang artinya]:

Apakah mereka tidak melihat bahwa sesunguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami mengurangi bumi itu [sedikit demi sedikit] dari tepi-tepinya? Allah menetapkan hukum [menurut kehendak-Nya]; tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. [TQS ar-Ra’d [13]: 41].

Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud dari “Kami mengurangi bumi itu [sedikit demi sedikit] dari tepi-tepinya” adalah dengan tenggelamnya sebagian bumi, gempa dan berbagai macam bencana. Semua ini, sebagaimana terungkap dalam ayat di atas, adalah semata-mata atas kehendak Allah SWT [Lihat: QS at-Taubah [9]: 51].

Harus disadari, segala bentuk bencana alam merupakan bukti kemahakuasaan Allah SWT. Dengan itulah kita seharusnya menyadari. Betapa manusia ini sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah [Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 41 di atas].

Harus disadari pula, bencana alam merupakan bukti kemahakuasaan Allah. Dengan itulah, kita seharusnya menyadari betapa manusia ini sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah [Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 41 di atas].

Harus disadari pula, dengan bencana alam itu Allah sebetulnya hendak menguji kesabaran manusia [QS al-Baqarah [2]: 155-157].

Lebih dari itu, harus disadari bahwa berbagai bencana dan musibah yang terjadi merupakan teguran sekaligus peringatan agar kita terdorong untuk rajin melakukan muhasabah [introspeksi diri]. Muhasabah tentu sangat penting. Dengan itu, setiap Muslim bisa mengukur sejauh mana ia telah betul-betul menaati seluruh perintah Allah SWT, dan sejauh mana ia benar-benar telah menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan itu pula, setiap saat ia akan terdorong untuk terus berupaya menjadi orang yang selalu taat kepada Allah SWT serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya.

Tentu, muhasabah wajib dilakukan setiap saat, bukan sekadar saat-saat terjadi musibah, seperti gempa yang terjadi saat ini.

Wa ma tawfiqi illa bilLah.

Cobaan adalah cara Allah mengetahui maqam [tingkat] keimanan manusia.

Jumat , 29 Nov 2019, 06:35 WIB

Republika/Tahta Aidilla

Keimanan/Ilustrasi

Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap manusia pasti pernah mendapatkan cobaan hidup. Ada yang sukses melalui cobaan itu, ada pula yang justru makin menjauh dari Allah SWT.

Sesungguhnya cobaan adalah cara Allah untuk mengetahui maqam [tingkat] keimanan manusia. Dan dengan cobaan itu, menjadikan manusia siap memasuki surga sebagaimana yang disampaikan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 214 berbunyi:

Baca Juga

“Am hasibtum an tadkhulul jannata wa lamma ya’tikum matsalulladzina khalau min qablikum massathumul-ba’sa-u waddhara-u wa zulzilu hatta yaqulurasulu walladzina amanu ma-ahu mata nashrullahi, ala inna nashralllahi qaribun.”

Yang artinya: “Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga? Padahal belum datang padamu [cobaan] sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa kesulitan dan kesempitan, serta diguncangkan [dengan bermacam-macam cobaan] sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Cobaan memang tidaklah menyenangkan. Cobaan pun datang dalam bentuk yang berbeda-beda, bisa dalam bentuk harta, fisik, kemiskinan, anak, pasangan hidup, bahkan hingga relasi kerja dan bisnis.

Hanya saja, cobaan yang diberikan Allah SWT kepada hambanya sebenarnya adalah bentuk kecintaan Allah. Bukankah dengan diturunkannya cobaan, manusia dapat teruji keimanannya? Kala menurunkan cobaan, sesungguhnya Allah tengah mencintai hamba-Nya.

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT pernah berfirman yang artinya: “Jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku turunkan ujian [kesulitan dan kesempitan] kepadanya. Hal itu agar ia memohon kepadaKu [agar ujian dapat diangkat darinya melalui doa-doa yang dipanjatkan].”

Hal yang harus diingat, setiap ujian atau cobaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya selalu diselipkan solusi. Solusi tersebut umumnya disesuaikan dengan kadar tingkatan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 286.

“La yukallifullaha nafsan illa wus-aha.” Yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang [menurunkan ujian], kecuali sesuai dengan kesanggupannya.”

  • cobaan allah
  • allah swt
  • keimanan
  • allah mencintai hambanya

Allah SWT memberikan ujian sesuai dengan kapasitas keimanan.

Selasa , 10 Mar 2020, 17:51 WIB

Allah SWT memberikan ujian sesuai dengan kapasitas keimanan. Cerdas dalam beribadah/ilustrasi[]

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, Pada hakikatnya ujian mencerminkan kasih sayang dan keadilan Allah SWT pada hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah SWT 'tidak rela' menimpakan azab yang tidak terperi sakitnya di akhirat kelak, hingga Ia menggantinya dengan azab dunia yang 'sangat ringan'. Dalam perspektif seperti ini, musibah berfungsi sebagai penggugur dosa-dosa.

Baca Juga

Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah. Orang yang paling dicintai Allah adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya. 

Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia tetap sabar.

Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan menyiapkan ujian baginya. 

Dalam Alquran tertulis janji Allah, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan [saja] mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta'' [QS Al Ankabut: 2-3].

"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia menyegerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Dia menahan hukuman kesalahannya sampai disempurnakannya pada hari Kiamat'' [HR Imam Ahmad, At Turmidzi, Hakim, Ath Thabrani, dan Baihaqi].

Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita pun marah. Lantaran terkejut, lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun terluka. Pascakejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ''Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik''. Setelah itu, Rasul mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.

Dalam riwayat At Turmidzi, hadis itu disempurnakan dengan lafadz sebagai berikut, ''Dan sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Jika mereka ridha, maka Allah ridha kepadanya. Jika mereka benci, Allah membencinya''. Kecintaan Allah kepada hamba-Nya di dunia tidak selalu diwujudkan dalam bentuk pemberian materi atau kenikmatan lainnya. Kecintaan Allah bisa berbentuk musibah.

Musibah yang ditimpakan Allah kepada manusia dapat dilihat dari empat perspektif. Yang pertama, sebagai ujian dari Allah. Kedua, sebagai tadzkirah atau peringatan dari Allah kepada manusia atas dasar sifat Rahman-Nya. Ketiga, sebagai azab bagi orang-orang fasiqin, munafiqin, ataupun kafirin. Kalau ia menemui kematian dalam musibah tersebut, maka ia mati dalam keadaan tidak diridhai Allah. Dalam konteks hadis ini, musibah, biasanya sesuatu yang menyakitkan, dapat dilihat sebagai ujian.   

  • sabar
  • hakikat sabar
  • cara bersabar
  • bersabar menurut islam

sumber : Harian Republika

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề