Nilai luhur yang terkandung dalam adat sakai sambayan di Desa Negara nabung Lampung Timur adalah

ORANG Lampung sejak zaman dahulu memiliki nilai sosial sakai sambayan. Sakai sambayan yang dalam bahasa Lampung diartikan sebagai gotong royong, tolong-menolong, bahu-membahu, dan saling memberi terhadap sesuatu yang diperlukan oleh orang lain. Konsep saling memberi diberi berdasarkan dari apa yang telah dilakukan atau diberikan sehingga tercipta saling mengisi dan saling mengerti antarsesama.

Kebiasaan sakai sambayan secara terus-menerus itu kemudian menjadi piil pesenggiri. Sebab, sebagai orang Lampung yang memegang teguh falsafah hidupnya akan merasa kurang terpandang apabila ia tidak berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan.


Nilai-nilai yang terkandung dalam sakai sambayan itu erat kaitannya dengan falsafah nengah nyappur, yaitu membuka diri dalam pergaulan umum yang luas dan nemui nyimah atau bermurah hati dan ramah-tamah terhadap siapa saja. Nilai yang menjadi falsafah hidup tersebut dipakai terus-menerus sebagai suatu titie gumantie atau tata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan turun-temurun sejak zaman dahulu.

Nilai sakai sambayan orang Lampung tampak terlihat jelas dari corak hukum adat yang mengutamakan kepentingan bersama dan kekeluargaan, hal tersebut bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan, seperti nugal [tradisi gotong royong dalam membuka ladang]. Kemudian, pengelolaan tanah adat berupa hak ulayat tempat tanah adat merupakan pusaka atau warisan nenek moyang yang tidak terbagi-bagi secara individual, tetapi menjadi milik bersama untuk kepentingan umum yang dikerjakan dan dipakai secara bersama-sama.

Perilaku sakai sambayan lainnya masih tampak terlihat seperti dengan adanya nuwo/nuwa tuha yang merupakan rumah tua milik bersama yang dijadikan sebagai rumah keluarga besar yang oleh orang Lampung [Pepadun] dijadikan rumah bersama tempat berkumpulnya pada setiap ada acara-acara dalam kebuayan-nya. Selain itu, sistem kekerabatan orang Lampung yang bertingkat membuat adanya sistem pembagian kerja dalam bergotong royong  misalnya dengan adanya beduwa, seperti benulung dan pematu yang mempunyai fungsi untuk menolong atau mengerjakan semua kerja-kerja atau kegiatan dalam setiap upacara-upacara adat yang sedang berlangsung.

Sakai sambayan merupakan salah satu nilai sosial dalam pergaulan budaya adat Lampung yang perlu dilestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan diimplementasikan isinya melalui bentuk implementasi dalam kehidupan, khususnya dapat berupa model atau bentuk inovasi sebuah kebijakan, terutama dalam kebijakan pemerintahan.

Pentingnya memasukkan pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan adalah salah satu bentuk untuk mewujudkan aspirasi dan demokrasi yang sesungguhnya. BERSAMBUNG

Adat Bergotong Royong [Sakai Sambaian] dalam Upacara Perkawinan
di Desa Negara Nabung, Lampung Timur

oleh:Ani Rostiyati

[BPNB Jabar]

Sakai Sambaian adalah salah satu unsur dari prinsip hidup masyarakat Lampung, yang berarti gotong- royong melakukan kerja sama tolong-menolong. Ada dua pengertian dalam Sakai Sambaian yakni Sakai dan abir. Sakai adalah kerjasama tolong-menolong secara bergantian meskipun tanpa ada perjanjian atau ikatan untuk saling bantu. Sedangkan yang dimaksud dengan abir adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anggota yang lebih banyak dan tidak ada pamrihnya serta tidak ada kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Abir dilakukan karena mereka yang mengerjakan [menolong] merupakan sebuah kesadaran komunal. Bentuk dari Abir misalnya kerja bakti membuat jalan atau masjid. Sakai dan Abir terdapat dalam berbagai kegiatan yakni pertanian, pembuatan rumah, kerja bakti membuat jalan, mesjid, balai adat [sesat], perkawinan, kematian, dan kegiatan lain.

Kerjasama tolong-menolong dalam sakai sambaian kerap dilakukan dalam upacara perkawinan. Hal ini terlihat dalam beberapa kegiatan yakni nyani kubu, yaitu kegiatan kerjasama tolong-menolong dalam membuat tarup yang dilakukan laki-laki dewasa atau bujang. Ngakuk hibas, yaitu kegiatan kerjasama dalam mencari daun enau muda yang akan digunakan untuk membuat lepet. Ngerang, yaitu kegiatan kerja sama menumbuk padi. Tandang, yaitu mencari kayu bakar di hutan. Melawai, yaitu kegiatan kerjasama mencari ikan di sungai. Ngebebak kubu, atau ngabungkar kubu, yaitu kegiatan membongkar tarup. Terakhir, pekerjaan memasak yang dilakukan oleh ibu-ibu untuk keperluan pesta perkawinan.

Ibu-ibu yang membantu mempersiapkan upacara perkawinan
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Perkawinan bukan saja menjadi urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan para kerabat bahkan dirasakan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dari anggota atau masyarakat dari kampung yang bersangkutan. Oleh sebab itu semua dikerjakan secara bersama-sama mulai dari persiapan sampai pelaksanaan upacara adat perkawinan.

Satu minggu sebelum pelaksanaan upacara, keluarga melaksanakan suatu musyawarah [perwatin] bersama dengan pemimpin adat [penyimbang]. Kegiatan memasak biasanya dilakukan oleh para ibu-ibu yang dikoordinir oleh istri penyimbang. Adat Lampung mengharuskan kegiatan memasak diatur oleh bebai mirul yakni kelompok para istri penyimbang dan kaum ibu yang berhak dan berkewajiban mengatur wanita menurut jenjang kedudukan suami masing-masing.

Bergotong royong mempersiapkan bahan masakan

Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Dalam upacara adat mirul, semua perempuan yang bersuami dengan perkawian pembayaran jujur, berkewajiban bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan. Sedangkan, Lakau mengiyan dilakukan ipar laki-laki yang berkewajiban mempersiapkan tempat upacara di rumah maupun di balai adat, mempersiapkan alat-alat perlengkapan adat, mengatur undangan, dan membantu pekerjaan berat di dapur, seperti menimba air, membelah kayu, memasak, dan kegiatan lainnya. Peranan kerabat cukup besar dalam hal ini. Mereka berkewajiban dan berhak membantu dan mengatur dalam pelaksaan upacara perkawinan.

Dari rangkaian upacara perkawinan, mempersiapkan makanan untuk suguhan tamu inilah pekerjaan yang paling lama dilakukan. Mereka membuat beberapa macam kue baik kering maupun basah, membuat sayur lauk pauk, dan perlengkapan sesaji. Selain kue untuk suguhan, ibu-ibu juga mempersiapkan bahan untuk sesaji dan perlengkapan untuk bawaan pengantin. Kegiatan gotong royong dalam upacara perkawinan, terlihat juga pada saat makan bersama para tamu undangan yang dilaksanakan bersama-sama dengan cara duduk di bawah dengan alas tikar.

Makan Bersama

Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Malam sebelum pelaksanaan upacara perkawinan, mereka melaksanakan mengan jejama, cuwak mengan, dan awak mengani yang terdiri dari sesepuh adat dan tokoh masyarakat serta para bujang jejaka dan gadis. Mereka melaksanakan makan bersama dengan cara duduk di bawah beralaskan tikar. Di di Negara Nabung terdapat adat mulei menganai yakni bujang gadis berkumpul untuk makan dan menari bersama dengan harapan mendapatkan jodoh. Kebersamaan ini sebagai cermin kegotong royongan di bidang perkawinan pada saat menyantap hidangan makanan.

Kayu bakar untuk memasak
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar

Kegiatan gotong royong tolong-menolong dalam perkawinan juga terlihat pada sumbangan uang atau barang yang diberikan kepada pemilik hajat. Tetangga sekitar memberi kayu bakar yang nantinya untuk keperluan memasak, masing-masing memberi satu 1 gerobak kayu bakar yang diangkut sendiri.

Tetangga sekitar pada umumnya memberi sumbangan [ngejuk] berupa uang berkisar Rp.50.000,00, namun untuk keluarga dekat biasanya memberi uang lebih besar dan barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, mie, sayur mayur, ayam, dan kambing. Semua pemberian ini dicatat untuk kemudian dikembalikan lagi [bales] jika yang memberi sumbangan tersebut punya hajat perkawinan. Ngejuk adalah istilah masyarakat Negara Nabung berarti memberi sumbangan. Bales adalah istilah yang berarti membalas lagi. Kebimbangan adalah istilah yang berarti bergantian. Jadi gotong royong tolong-menolong di bidang perkawinan dilakukan secara kebimbangan [bergantian] atau resiprositas [timbal balik].

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề