Raja islam indonesia yang pertama kali menggunakan gelar sultan

Raja-raja di Jawa mengirim utusan ke Makkah untuk mendapatkan gelar sultan.

Kamis , 06 Feb 2020, 04:30 WIB

Antara/Weli Ayu Rejeki

Saat Raja-Raja di Jawa Berburu Gelar Sultan. Foto: Sejumlah warga berwisata di komplek Mesjid Agung Kesultanan Banten di Kasemen, Serang, Senin [25/3/2019].

Rep: Ahmad Syalabi Ichsan Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan internasional masyarakat Jawa diduga di mulai sejak masa Kesultanan Demak. Deden Herdiansyah mengutip HJ De Graaf dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram menulis tentang keberadaan jamaah yang berpengaruh sehingga dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam internasional di luar negeri [di Tanah Suci, dan bila perlu khilafah Turki]. Ini yang membedakan pemerintahan negara Keraton Majapahit dengan Kesultanan Demak.De Graaf juga menyebut, hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak terkait dengan gelar sultan yang disandang Sultan Trenggana. Gelar sultan untuk Raja Demak ketiga itu di berikan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.Mengutip cerita Jawa, De Graaf mengungkapkan, Syekh Nurullah telah pergi ke Tanah Suci Makkah. Kepergian tersebut tergolong istimewa mengingat buruknya hubungan pada waktu itu. Jika berita ini benar, dia tentu mendengar jika Sultan Turki, Sultan Salim I Akbar, pada 1517 telah merebut Mesir.Sultan itu pun mengangkat diri sebagai khalifah. Adanya pemusatan kekuasaan dalam dunia Islam ini menyebabkan Syekh Nurullah setelah kembali ke Nusantara dan karena terpengaruh oleh internasionalisme Islam- menganjurkan kepada Raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam yang benar. Gelar dan nama bahasa Arab itu dapat dianggap sebagai sahnya niat untuk menjadikan Demak sebagai ibu kota Kerajaan Islam.Prosesi penerimaan gelar sultan Raja Mataram, Den Mas Rangsang, yang di kemudian hari dikenal sebagai Sultan Agung menemui jalan berliku. Pada 20 Oktober 1638, Den Mas Rangsang mengirim utusan kepada orang-orang Inggris yang berada di Banten.Sultan menitipkan hadiah berupa sebilah pedang dan keris. Utusan itu membawa pesan sang raja, yaitu sebuah permintaan agar orang-orang Inggris itu bersedia membawa utusan raja yang akan melakukan perjalanan ke Makkah sebagai penumpang di kapal Inggris.Pada 1639, utusan itu mulai berlayar dari Banten menuju Makkah melalui Surat, India. Sesampainya di Surat, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki kapal milik orang-orang Islam. Saat pulang dari Makkah, sang utusan raja juga melalui rute yang sama dan berakhir di Banten.Perjalanan kepulangan mereka menuju Mataram pada 27 Januari 1641 dikawal Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Setelah tiba di Mataram, utusan raja mempersembahkan gelar baru untuk Den Mas Rangsang yang diberikan oleh Syarif Makkah. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Sebelumnya, Raja Banten juga sudah menerima gelar Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dari Syarif Makkah pada 1638.Permintaan gelar kedua raja tersebut menimbulkan pertanyaan karena yang menjadi penguasa dunia Islam adalah Turki Utsmani, bukan Syarif Makkah. Beberapa sejarawan pun mengungkapkan pendapatnya.Raja Mataram ataupun raja Banten menganggap lebih penting untuk mengikat hubungan dengan pemilik legitimasi keturunan Rasulullah [Syarif Makkah] ketimbang menyerahkan diri mereka sebagai wilayah vasal kepada kekuasaan Turki Utsmani. Tidak hanya itu, faktor letak wilayah dan konfrontasi dengan Portugis juga berpengaruh pada pertalian antarkerajaan Islam, baik dengan sesama kekuasaan lokal maupun dengan kekuasaan internasional.Ketika itu, kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir dan terlibat dalam jalur perdagangan rempahrempah harus berhadapan dengan Portugis. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki kesadaraan untuk melakukan perlawanan. Segala upaya dilakukan untuk mendukung perjuangan mereka, termasuk dengan menjalin kerja sama dengan kekuasaan Islam, baik lokal maupun internasional.Aceh dan Jambi adalah contoh kerajaan yang meletakkan harapan pada Imperium Utsmani dalam upaya menghadapi musuh, terutama penjajah Barat. Demi mendapatkan bantuan, kedua kerajaan itu tidak ragu untuk memosisikan kedaulatannya di bawah Utsmani.

Kondisi ini berbeda dengan kerajaan Islam yang tidak terletak di wilayah pesisir. Dukungan militer bukan menjadi orientasi hubungan kerja sama mereka dengan kekuasaan lain. Orientasi utama kerajaan-kerajaan itu adalah membangun dan memperkuat legitimasi kekuasaannya baik di dalam masyarakat, musuh lokal, maupun berhadapan dengan kekuatan asing. Deden A Herdiansyah menilai, hal itu yang melatarbelakangi pengiriman utusan Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram ke Makkah untuk mendapatkan gelar sultan.

Baca Juga

sumber : Harian Republika

Sebelum menjadi kerajaan Islam, Samudra Pasai merupakan bagian dari Kerajaan Perlak. DI bawah Marah Silu, kerajaan tersebut berkembang pesat

Sebelum menjadi kerajaan Islam, Samudra Pasai merupakan bagian dari Kerajaan Perlak. DI bawah Marah Silu, kerajaan tersebut berkembang pesat. Berkat bimbingan Syekh Ismail dari Arab, Marah Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Malik al Saleh. 

Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Kesultanan Peureulak atau Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia dan merupakan kesultanan yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.

Sultan [bahasa Arab: سلطان, sulṭān] adalah gelar dalam dunia Muslim yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam sepanjang sejarah penggunaannya. Namun seringnya, sultan digunakan untuk mengacu pada kepala monarki Muslim yang berkuasa atas sebuah negara Islam.

Mehmed II, Sultan Utsmaniyah. Juga dikenal dengan Muhammad Al-Fatih. Dilukis oleh Gentile Bellini [1429–1507].

Di masa modern, gelar sultan kerap disamakan dengan khalifah, meskipun terdapat beberapa perbedaan mendasar atas kedua gelar ini. Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin seluruh umat Islam [terlepas sebagai pemimpin secara hierarkis atau sekadar simbolis], sementara sultan adalah penguasa dari sebuah negara Muslim, sehingga dia bukanlah pemimpin umat Muslim yang berada di wilayah kekuasaannya. Kedua gelar ini kerap disamakan, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani menyandang gelar khalifah dan sultan secara bersamaan selama sekitar empat abad, mengaburkan batas peran dari kedua kedudukan tersebut.

Sultan juga kerap disamakan dengan raja [ملك, malik]. Meski sama-sama merujuk kepada kepala monarki, sultan memiliki konotasi agama Islam di dalamnya sehingga tidak sepenuhnya dapat disamakan. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak diterjemahkan menjadi 'raja' dalam berbagai bahasa setempat, tetapi diserap apa-adanya.

Meski kerap diidentikan dengan seorang laki-laki yang menjadi kepala monarki Muslim di suatu negara Muslim, sultan juga pernah secara resmi digunakan oleh wanita yang menjadi kepala monarki Muslim, meski secara bahasa, sultan memiliki bentuk wanita, yakni sultanah. Di Kesultanan Utsmani, sultan juga digunakan tidak hanya untuk kepala negara saja, tetapi juga kerabatnya, dengan laki-laki menyandang gelar tersebut di depan nama dan perempuan di belakang nama.

Pada awalnya, sultan merupakan kata benda yang berarti "kekuatan", "kewenangan", atau "kepemimpinan", diturunkan dari kata kerja sulṭah [سلطة] yang bermakna "wewenang" atau "kuasa". Wilayah kekuasaan sultan disebut kesultanan [سلطنة, salṭanah]. Dalam bahasa Ibrani, shilton atau shaltan [bahasa Ibrani: שלטן] berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim".

Bentuk wanita dari gelar sultan adalah sultanah dan dapat digunakan untuk merujuk pada sultan wanita atau istri dari sultan pria.

Gelar sultan pertama kali diberikan oleh Khalifah Al-Mu'tashim [berkuasa 833 – 842] dari Dinasti Abbasiyah kepada seorang panglima muslim turki bernama Asynas at-Turki. Sebagai sultan, Asynas at-Turki mempunyai kekuasaan yang besar, tetapi ia tetap berada di bawah dan tunduk kepada Khalifah al-Mu'tashim.

Dalam periode ini, sultan berperan selayaknya seorang amir, yakni setara dengan gubernur dan khalifah menjadi kepala negara dan pemerintahan dari sebuah kekaisaran besar. Pada keberjalanannya, kekuatan politik khalifah makin menyusut dan sultan secara de facto menjadi independen. Meski demikian, para sultan ini masih mengakui ketundukan kepada khalifah secara simbolis.

Setelah Baghdad hancur oleh serangan Mongol pada 1258, kekuatan politik khalifah lenyap sehingga khalifah setelah ini hanya berperan sebagai pemimpin umat Islam sepenuhnya simbolis, dan lebih dalam konteks keagamaan daripada pemerintahan seperti periode sebelumnya. Dengan keadaan demikian, tiap sultan menjadi pemimpin tertinggi di wilayah kekuasaannya masing-masing secara resmi. Dengan demikian, sultan dapat disetarakan dengan raja atau kaisar. Keadaan ini tetap berlangsung setelah kekhalifahan dibubarkan pada 1924.

Saat ini, negara berdaulat yang kepala negaranya menyandang gelar sultan adalah Oman dan Brunei Darussalam.

Kepala negara bawahan

Selain digunakan oleh penguasa dari negara berdaulat seperti Kesultanan Utsmani dan Mamluk, sultan juga digunakan untuk kepala monarki yang negaranya secara resmi menjadi bawahan negara lain. Di sumatera bagian timur [wilayah indonesia sebelum penjajahan belanda] pemimpin dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Asahan juga menyandang gelar sultan, akan tetapi di awal pendirian, kedua negeri tersebut dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.

Malaysia merupakan sebuah negara monarki konstitusional yang terdiri dari tiga belas negara bagian. Beberapa kepala negara bagian ini bergelar sultan, seperti Johor, Kedah, dan Kelantan.

Di Indonesia, Sultan Yogyakarta berperan sebagai gubernur dan menjadi bawahan dari presiden selaku kepala negara Indonesia.

Sultan di Indonesia

Di Indonesia, raja pertama yang diketahui menyandang gelar "Sultan" adalah Sultan Sulaiman [wafat 1211] dari Lamreh [kini di provinsi Aceh].

Di Jawa, raja pertama yang memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratu dari Banten [bertahta 1596—1651], yang mengambil nama tahta Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1638. Ini berarti misalnya sebutan "Sultan Trenggana" [bertakhta 1505—1518 dan 1521—1546] adalah salah, karena Trenggana bertahta sebelum tahun 1638 tersebut.

Di Indonesia, gelar ini kini masih digunakan antara lain oleh:

  • Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman dan Sultan Kacirebonan di Cirebon;
  • Sultan Kutai;
  • Sultan Pontianak;
  • Sultan Buton;
  • Sultan Ternate;
  • Sultan Tidore;
  • Sultan Yogyakarta saat ini, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwana X. Sultan Yogyakarta adalah satu-satunya sultan di Indonesia yang masih memiliki kekuatan politik secara resmi.

Wanita

Artikel utama: Sultanah

Secara bahasa, gelar sultan memiliki bentuk wanita, sultanah. Meski demikian, beberapa wanita secara resmi menyandang gelar sultan, bukan sultanah, saat berkuasa, seperti Syajaruddur yang berkuasa di Mesir pada 1250 dan Razia Sultan yang berkuasa di India pada 1236 - 1240. Sebagian muslimah lain yang naik takhta menjadi penguasa menyandang gelar sultanah.

Sultan dan raja

Sultan kerap disepadankan dengan raja [ملك, malik] lantaran keduanya sama-sama merujuk kepada kepala monarki. Meski demikian, gelar sultan memiliki kandungan keislaman di dalamnya sehingga hanya penguasa Muslim yang dapat menyandang gelar ini.[1][2] Hal ini berbeda dengan gelar raja yang lebih cenderung netral dan sekuler. Dengan demikian, sultan tidak dapat disamakan dengan raja secara mutlak, meski memang ada beberapa persamaan di antara keduanya. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak diterjemahkan menjadi 'raja', tetapi diserap apa-adanya dengan sedikit perubahan dalam dialek penduduk yang bersangkutan.

Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa kepala monarki Muslim mengganti gelar sultan yang mereka sandang, menggantinya dengan 'raja'. Salah satu contohnya adalah Maroko yang melakukan pergantian gelar ini pada 1957.

Di Kesultanan Utsmani, gelar sultan tidak hanya disandang oleh kepala negara, tetapi juga anggota keluarganya. Para pangeran [Şehzade] menyandang gelar itu sebelum namanya dan para putri menyandang gelar itu setelah namanya. Contoh: Şehzade Sultan Mehmed dan Mihrimah Sultan, putra dan putri Sultan Suleiman Al Qanuni. Layaknya para putri, ibu suri dan permaisuri sultan juga menyandang gelar itu setelah nama mereka, seperti Hafsa Sultan, ibunda Suleiman dan valide sultan pertama, dan Hürrem Sultan, istri Suleiman dan haseki sultan pertama. Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani terkait kekuasaan sebagai kewenangan keluarga.[3]

  •  

    Prangko Sultan Agung

  •  

    Prangko Sultan Adji Mohamad Parikesit

  •  

    Prangko Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah

  •  

    Prangko Sultan Hasanuddin

Dalam film animasi Disney Aladdin, Sultan adalah gelar bagi penguasa Agrabah. Dalam adaptasinya pada Aladdin [2019], putri dan anak tunggalnya, Jasmine, mewarisi takhta Agrabah sebagai sultan.

Daftar berikut adalah penguasa monarki berdaulat yang gelarnya diterjemahkan sebagai sultan, yang berbeda dengan raja atau kaisar.

Sultan Negara Sejak Tanggal
Hassanal Bolkiah
 
  Brunei Darussalam 4 Oktober 1967
Haitham
 
  Oman 11 Januari 2020
  • Sutan
  • Sunan

  1. ^ James Edward Montgomery [2004]. ʻAbbasid Studies: Occasional Papers of the School of ʻAbbasid Studies, Cambridge, 6-10 July 2002. Peeters Publishers. hlm. 83. ISBN 978-90-429-1433-9. 
  2. ^ Riad Aziz Kassis [1999]. The Book of Proverbs and Arabic Proverbial Works. BRILL. hlm. 65. ISBN 90-04-11305-3. 
  3. ^ Peirce, Leslie P. [1993]. The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire. New York: Oxford University Press, Inc. ISBN 0-19-507673-7. 

  • Khalid, Abu, MA. Kamus Arab Al-Huda Arab-Indonesia, Penerbit Fajar Mulya, Surabaya [tanpa tahun].
  • Anonim, 2002, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

 

Artikel bertopik gelar ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sultan&oldid=20810828"

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề