Raja paku buwono vii pernah menciptakan sebuah titilaras berwujud gambar yang di beri nama titilaras

TITI LARAS

Mengawali tulisan tentang gamelan, terlebih dahulu kami perkenalkan berbagai titilaras [tangga nada] pentatonis [lima nada] yang pernah ditulis, yaitu:

  • Titilaras Ding Dong, dibuat oleh pegawai di Singhamandawa tahun 896 M bukan berupa angka namun lambang: nding, ndong, ndeng, ndung, ndang dengan ombak nada lambat disebut Pengumbang dan gelombang nada cepat disebut Pengisep yang hanya ada di Gamelan Bali.
  • Titilaras Kepatihan, dibuat tahun 1910 oleh Kanjeng Raden Mas Haryo Wreksadininrat di Keraton Surakarta pada Gamelan Jawa. Ditulis dengan angka dan dibaca: 1 ji 2 ro 3 lu 4 pat 5 mo 6 nem 7 pi digunakan untuk menulis gendhing maupun tembangnya terutama di Jawa Tengah hingga Jawa Timur dan dimanapun gamelan jawa digunakan.
  • Titilaras Daminatila, ciptaan RM Machjar Angga Koesoemadinata untuk Gamelan Sunda.

Apa titilaras ding dong yang paling tua? Belum tentu, tulisan ini tadi hanya menyebutkan yang pernah [diketahui] ditulisnya.

KARAWITAN

Karawitan berasal dari kata rawit yang berarti karya seni yang memiliki sifat halus, rumit, dan indah namun juga bisa berarti berbelit-belit, setelah purna membaca tulisan ini pasti lalu akan tahu maksud berbelit-belit.

GAMELAN JAWA

Berdasar susunan perangkat unsur tetabuhan, terdapat bermacam-macam gamelan jawa antara lain:

  • Gamelan Kodhok Ngorek
  • Gamelan Monggang
  • Gamelan Carabalen
  • Gamelan Sekaten
  • Gamelan Ageng

Mengapa gamelan tidak dibakukan seperti musik barat? Kita lanjut ke:

LARAS dan PATHET sublaras

Pada umumnya orang mengetahui gamelan jawa ada dua jenis atau dua setel [pangkon] atau dua laras [tangga nada] yaitu Slendro dan Pelog. Keduanya sering disebut sebagai pentatonis karena memiliki lima nada, yaitu: Slendro 1 + 2 + 3 + 5 + 6 dan Pelog 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7. Lho pelognya ada tujuh nada? Inilah kesalah-kaprahan bagi mereka yang mengangggap gamelan jawa hanya ada dua tangga nada atau laras Slendro dan Pelog.

Sebenarnya laras Pelog juga ada dua, yaitu: Pelog Bem 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 dan Pelog Barang 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7 yang sama ada lima nada 2 + 3 + 4 + 5 + 6. Jadi kini kita tahu bahwa gamelan jawa itu ada tiga laras? Bukan begitu, tapi tunggu dulu ya?

  • Laras Slendro, yang berarti umum timbul atau menghasilkan suasana yang bersifat ringan, riang, gembira, bahkan ramai. Dalam wayang digunakan pada adegan baris berbaris, perkelahian serta perang. Jika suasana kebalikannya digunakan laras Slendro Miring [minor] seperti adegan umum: rindu, sedih, sendu, kematian, dlsb. Pada jaman dulu laras Slendro hanya untuk mengiringi wayang purwa [lakon Ramayana + Arjuna Sasrabahu + Mahabarata], karena wayang inilah yang umum atau ada dimana-mana. Nama nada pada gamelan jawa laras Slendro: 1 = Panunggul atau Bem dibaca ji kependekan dari siji; 2 = Gulu atau Jangga dibaca ro kependekan dari loro; 3 = Dhodho atau Jaja dibaca lu kependekan dari telu; 5 = Lima dibaca ma kependekan dari lima; 6 = Nem dibaca nem kependekan dari enem; ingat Slendro tak ada nada 4 dan 7. [Dalam Langgam atau Campursari Jawa laras Slendro diterjemahkan do – re – mi – sol – la – do tanpa nada fa dan si].
  • Laras Pelog, yang berarti khusus menghasilkan suasana gagah, agung, keramat, sakral dan berbagai suasana tidak umum lainnya seperti adegan pertemuan yang menegangkan, masuknya raja ke tempat pemujaan, atau balas dendam memakai Pelog Nem. Sedang pathet Barang digunakan untuk memberi kesan gembira atau semarak. Pada jaman dulu laras Pelog hanya untuk mengiringi wayang beber dan wayang madya [lakon Panji], karena wayang tersebut tidak umum atau hanya ada di tempat tertentu. Penamaan seperti Slendro namun ditambah 4 = Pelog dibaca pat kependekan dari papat dan 7 = Barang dibaca pi kependekan dari pitu. [Dalam Langgam atau Campursari Jawa laras Pelog diterjemahkan do – mi – fa – sol – si – do tanpa nada re dan la].

Di awal tulisan ini telah kami sebut dua jenis laras Slendro dan Pelog itu memang olahan para empu gamelan jawa untuk lebih menyederhanakan penyajiannya. Membicarakan laras [tangga nada] gamelan sebenarnya tak bisa dipisahkan dari waktu pagelaran [pertunjukan] gamelan itu sendiri terutama pada saat mengiringi pertunjukan wayang kulit jawa.

WAKTU PENTAS                               LARAS SLENDRO               LARAS PELOG

Jam 21.00 – 23.30                             pathet nem*                          pathet lima*

Jam 23.30 – 24.00                                  pathet lindur                              pathet lindur

Jam 00.00 – 02.00                           pathet sanga*                        pathet nem*

Jam 02.00 – 02.30                                 pathet nyamat                             pathet nyamat

Jam 02.30 – 05.00                           pathet manyura                    pathet barang

Catatan:               Waktu pentas hanya berupa sekitar jam … tidak kaku mengikat.

                              * perhatian mohon ditulis dengan huruf jangan angka.

Dalam pertunjukan wayang kulit jaman dahulu, untuk menerangi geber atau layar  pentas digunakan nyala lampu obor yang disebut blencong.

  • Pada awal [sekitar jam 21.00 – 23.30] nyala blencong berkarakter tenang dengan gerak nyala dan kedipan api agak lambat, sehingga dimainkanlah gamelan dengan tangga nada Slendro Nem atau Pelog Lima.
  • Pada [sekitar jam 23.30 – 24.00] nyala blencong walau berkarakter tenang namun gerak nyala dan kedipan api sangat lambat, saatnya dimainkan laras peralihan gamelan dengan tangga nada Slendro Lindur atau Pelog Lindur namun kini tangga nada ini jarang digunakan.
  • Pada pertengahan [sekitar jam 00.00 – 02.00] nyala blencong berkarakter tenang dengan gerak nyala dan kedipan api cenderung diam tak bergerak, sehingga dimainkanlah gamelan dengan tangga nada Slendro Sanga atau Pelog Nem.
  • Pada [sekitar jam 02.00 – 02.30] nyala blencong mulai berkarakter sering bergerak dengan gerak nyala dan kedipan api makin sering, saatnya dilantunkan laras peralihan dimainkanlah gamelan dengan tangga nada Slendro Nyamat atau Pelog Nyamat namun kini tangga nada ini jarang diperdengarkan lagi.
  • Pada akhir [sekitar jam 02.30 – 05.00] nyala blencong menjadi berkedip cepat dengan gerak nyala dan kedipan api cepat ke berbagai arah, sehingga dimainkanlah gamelan dengan tangga nada Slendro Manyura atau Pelog Barang.

Laras Pelog pathet Bem adalah sebutan lain dari Pelog Nem sekedar untuk membuat beda agar tidak rancu dengan Slendro Nem. Mungkin juga karena laras [tangga nada] pathet peralihan terlalu singkat, hanya sekitar setengah jam, maka pethet peralihan baik lindur maupun nyamat secara perlahan tak dipakai lagi. Jaman dulu laras Slendro dan Pelog digunakan untuk mementaskan jenis wayang yang berbeda namun kini digabung walau tetap dominan laras Slendro.

Jadi dahulu ada 10 setel [pangkon] gamelan bayangkan betapa mahalnya membuat gamelan lengkap serta bagaimana menata dalam suatu pertunjukan dan betapa banyaknya pemain gamelan apalagi jika satu gamelan satu orang. Kemudian dengan tak dipakainya empat laras pathet peralihan menyusut menjadi enam, dan kini dilebih praktiskan lagi menjadi dua setel atau dua pangkon laras Slendro dan Pelog dengan satu pemain gamelan menabuh dua laras tersebut bergantian sesuai keperluan.

Sehingga kini kita tahu bahwa menentukan laras dan pathet gamelan jawa bukan hanya sekedar suara penyanyi pas di tangga nada apa [seperti pada nada diatonis] namun lebih dari itu yakni menggambarkan situasi kala laras dan pathet tersebut diperdengarkan.

Perangkat gamelan laras Slendro umumnya disusun dengan jarak antar nada [interval] yang sesuai untuk pathet Manyuro dengan mengorbankan pathet Nem. Pathet Sanga tak disebut sebagai dikorbankan karena bisa memakai pathet Manyuro, termasuk dalam Gendhing Talu Wayangan menggunakan Slendro Manyuro karena sifatnya mengundang orang bahwa pertunjukan siap dimulai.

Perangkat gamelan laras Pelog umumnya disusun dengan jarak antar nada yang sesuai untuk pathet Barang dengan mengorbankan pathet Lima dan pathet Nem. Kemudian ada yang memasukkan nada 1 pathet Bem. Untuk menghemat ukuran gamelan ada yang memakaikan nada 1 = Bem atau Panunggul dan 7 = Barang laras pelog secara bergantian, hal ini disebut sorok[an]. Jika pelog barang maka nada 1 ditanggalkan diganti nada 7. Bilah nada yang tidak terpakai disimpan dalam kotak di bawah balungan.

Namun dalam kenyataan laras gamelan tak ada yang sama. Slendro Madura [cenderung mayor] beda dengan Slendro Banyuwangi [cenderung minor] beda dengan Slendro Jawa yang terdiri dari 3-5 pathet. Dalam gamelan jawa kekinian laras Slendro dapat juga dilagukan dengan laras Pelog dan sebaliknya.

EMBAT

Selain laras [tangga nada] dan pathet [kelompok nada] ada istilah lain yaitu embat [wilayah nada atau oktaf] tak seperti dalam musik diatonis, dalam pentatonis hanya ada tiga embat utama, yaitu:

  • Embat andhap yaitu wilayah nada rendah, dalam penulisan notasi ditandai TITIK di bawah angka not. Gamelan dengan embat andhap sering juga disebut gamelan pakurmatan terutama dipakai sebagai pengiring upacara di keraton. Selain wilayah nadanya rendah cara memaikkannyapun dipukul keras namun lambat agar getarannya besar namun tak segera menghilang maka gamelan jenis ini berukuran besar dan tebal.
  • Embat madya yaitu wilayah nada sedang. Gamelan jenis ini juga disebut gamelan beksan [pengiring tarian] dengan cara memainkan beragam kecepatan nanum tidak terlalu cepat [menyulitkan penari] maka gamelan jenis ini berukuran dan ketebalannya sedang.
  • Embat inggil yaitu wilayah nada tinggi, dalam penulisan notasi ditandai TITIK di atas angka not. Gamelan jenis ini biasa disebut sebagai gamelan wayangan [pengiring wayang] karena hanya sesekali saja menggunakan irama yang sangat lambat [saat sirepan] kebanyakan dengan tempo pukulan sedang hingga cepat [saat perang] maka gamelan jenis ini berukuran kecil dan ketebalan tipis sehingga ketika dibunyikan timbul getaran yang tak terlampau besar dan segera hilan bila dibunyikan dalam kecepatan tinggi.

Masih ada jenis pembagian embat yang lain namun umum jarang tahu karena itu wilayah teknis para empu pembuat gamelan. Dengan adanya berbagai laras, pathet dan embat tersebut di atas maka gamelan jawa sulit dibakukan.

Walau gamelan tak bisa dibakukan seperti alat musik barat namun ada fakta yang mengagumkan terutama para empu pembuat gamelan jawa sebab mereka menala nada gamelan hanya dengan pendengaran saja namun mampu hingga tingkat zero beat alias tepat nada tanpa perbedaan sama sekali. Suatu kebanggaan sekaligus kekhawatiran akan regenerasinya. Empu yang memiliki kemampuan penalaan baik disebut Panji dengan tingkatan Panji Anom > Panji > Panji Sepuh [mungkin kini setara lulusan S1 > S2 > S3]. Sedang yang cuma membantu membuat gamelan disebut perajin, mereka biasanya tak memiliki pengetahuan atau punya tapi minim.

Namun pada masa kini gamelan pentatonis jawa dan jenis lainnya sudah jarang dipakai, bahkan pada gamelan campursari digunakan gamelan diatonis dengan penataan seperti alat musik barat vibraphone namun ada yang dimainkan dengan duduk adapula yang bisa dimainkan sambil berdiri. Apakah itu suatu kemajuan atau malah kemunduran? Itu bukan maksud dari tulisan ini.

Tulisan ini hanya sekedar pengetahuan yang saya ketahui, bukan kajian ilmiah, karena saya sudah tua daripada sia-sia dibawa mati mendingan saya share-kan siapa tahu berguna? Terimakasih

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề