A. Pengertian Lingkungan Belajar Belajar adalah kegiatan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tempat dan lingkungan belajar yang nyaman memudahkan peserta didik untuk berkonsentrasi. Dengan mempersiapkan lingkungan yang tepat, peserta didik akan mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat menikmati proses belajar yang peserta didik lakukan. Hutabarat [1986] lingkungan belajar ialah segala sesuatu yang terdapat di tempat belajar. Sedang Nasution [1993], lingkungan belajar yaitu lingkungan alami dan lingkungan sosial. Lingkungan alami seperti keadaan suhu, kelembaban udara, sedangkan lingkungan sosial dapat berwujud manusia dan representatifnya maupun berwujud hal-hal lain. Prestasi belajar itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Menurut Dunn dan Dunn [dalam Mudhofir, 1999] kondisi belajar dapat mempengaruhi konsentrasi, pencerapan, dan penerimaan informasi. Senada dengan hal di atas Rachman [1998/1999] menyatakan lingkungan fisik tembat belajar mempunyai pengaruh penting terhadap hasil pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan belajar berpengaruh terhadap hasil belajar. Menata lingkungan belajar pada hakekatnya melakukan pengelolaan lingkungan belajar. Aktivitas pembelajar dalam menata lingkungan belajar lebih terkonsentrasi pada pengelolaan lingkungan belajar di dalam kelas. Oleh karena itu pembelajar/guru dalam melakukan penataan lingkungan belajar di kelas tiada lain melakukan aktivitas pengelolaan kelas atau manajemen kelas [classroom management]. Menurut Rianto [2007:1], pengelolaan kelas merupakan upaya pendidik untuk menciptakan dan mengendalikan kondisi belajar serta memulihkannya apabila terjadi gangguan dan/atau penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara optimal. Optimalisasi proses pembelajaran menunjukan bahwa keterlaksanaan serangkaian kegiatan pembelajaran [instructional activities] yang sengaja direkayasa oleh pendidik dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta didik sampai dapat meraih hasil belajar sesuai harapan. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai macam bentuk interaksi yang terbangun memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar [learning experiences] dalam rangka menumbuh-kembangkan kemampuannya [kompetensi], yaitu spiritual, mental: intelektual, emosional, sosial, dan fisik [indera] atau kognitif, afektif, dan psikomotorik. Indra Djati Sidi [2005:148–150], menegaskan dalam menata lingkungan belajar di kelas yang menarik minat dan menunjang peserta didik dalam pembelajaran erat kaitannya dengan keadaan lingkungan fisik kelas, pengaturan ruangan, pengelolaan peserta didik dan pemanfaatan sumber belajar, pajangan kelas, dan lain sebagainya.” Oleh karena itu dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa secara fisik lingkungan belajar harus menarik dan mampu membangkitkan gairah belajar serta menghadirkan suasana yang nyaman untuk belajar. Kelas belajar harus bersih, tempat duduk ditata sedemikian rupa agar anak bisa melakukan aktivitas belajar dengan bebas. Dinding kelas dicat berwarna sejuk, terpampang gambar-gambar atau foto yang mendukung kegiatan belajar seperti gambar pahlawan, lambang negara, presiden dan wakil presiden, kebersihan lingkungan, famlet narkoba, dan sebagainya. Salah satu aspek penting keberhasilan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar/guru menurut Muhammad Saroni [2006:81-82], adalah penciptaan kondisi pembelajaran yang efektif. Kondisi pembelajaran efektif adalah kondisi yang benar-benar kondusif, kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung kelancaran serta kelangsungan proses pembelajaran. Indra Djati Sidi [1996] dalam Cope [No. 02 tahun VI Desember 2002 : 36], menegaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, setiap pembelajar harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, suasana interaksi pembelajaran yang hidup, mengembangkan media yang sesuai, memanfaatkan sumber belajar yang sesuai, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran, dan lingkungan belajar di kelas yang kondusif. Agar pembelajaran benar-benar kondusif maka pembelajar mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan kondisi pembelajaran tersebut. Di antara yang dapat diciptakan pembelajar untuk kondisi tersebut adalah penciptaan lingkungan belajar. Lingkungan belajar menurut Muhammad Saroni [2006:82-84], adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga peserta didik merasa kerasan di sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar dan bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan. Berbagai penelitian lingkungan belajar di atas dapat bahwa lingkungan belajar merupakan situasi buatan yang menyangkut lingkungan fisik maupun yang menyangkut lingungan sosial. Dengan demikian lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikain rupa, sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan belajar. Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari interaksi pembelajaran yang merupakan konteks terjadinya pengalaman belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Menurut I Made Alit Mariana [2005:13], lingkungan belajar dapat merefleksikan ekspektasi yang tinggi untuk kesuksesan seluruh peserta didik. Lingkungan tersebut mengacu pada ruang secara fisik tempat belajar, lingkungan sosial dan psikologi peserta didik yang mendorong belajar, perlakuan dan etika dalam menggunakan makhluk hidup, dan keamanan [dalam area belajar yang berhubungan dengan pembelajaran sains]. Berdasarkan uraian pendapat tentang lingkungan belajar tersebut di atas maka dapat disarikan bahwa lingkungan belajar yang dikelola adalah terutama bagaimana mengemas suasana kelas belajar, kelas belajarnya, dan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah ataupun yang dapat diadakan dari dibuat/alam lingkungan sekolah. Lingkungan belajar dalam hal terutama di kelas adalah sesuatu yang diupayakan atau diciptakan oleh guru agar proses pembelajaran kondusif dapat mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya. Lingkungan belajar di kelas sebagai situasi buatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran atau konteks terjadinya pengalaman belajar, dapat diklasifikasikan yang menyangkut : 1] lingkungan [keadaan] fisik, dan 2] lingkungan sosial. Dengan demikian lingkungan belajar merupakan situasi buatan yang menyangkut lingkungan fisik maupun yang menyangkut lingungan sosial. Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikain rupa, sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan belajar. Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari interaksi dalam proses pembelajaran yang merupakan konteks terjadinya pengalaman belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Lingkungan fisik. Menurut Muhammad Saroni [2006:82-83], yang intinya bahwa lingkungan fisik adalah lingkungan yang memberi peluang gerak dan segala aspek yang berhubungan dengan upaya penyegaran pikiran bagi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran yang sangat membosankan. Lingkungan fisik ini meliputi saran prasarana pembelajaran yang dimiliki sekolah seperti lampu, ventilasi, bangku, dan tempat duduk yang sesuai untuk peserta didik, dan lain sebagainya. Hal yang senada Suprayekti [2003:18], juga menegaskan bahwa “lingkungan fisik yaitu lingkungan yang ada di sekitar peserta didik baik itu di kelas, sekolah, atau di luar sekolah yang perlu di optimalkan pegelolaannya agar interaksi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Artinya lingkungan fisik dapat difungsikan sebagai sumber atau tempat belajar yang direncanakan atau dimanfaatkan. Yang termasuk lingkungan fisik tersebut di antanya adalah kelas, laboratorium, tata ruang, situasi fisik yang ada di sekitar kelas, dan sebagainya.” Lingkungan sosial, Muhammad Saroni [2006:83], menjelaskan bahwa: ”lingkungan sosial berhubungan dengan pola interaksi antarpersonil yang ada di lingkungan sekolah secara umum. Lingkungan sosial yang baik memungkinkan para peserta didik untuk berinteraksi secara baik, peserta didik dengan peserta didik, guru dengan peserta didik, guru dengan guru, atau guru dengan karyawan, dan peserta didik dengan karyawan, serta secara umum interaksi antar personil. Dan kondisi pembelajaran yang kondusif hanya dapat dicapai jika interaksi sosial ini berlangsung secara baik. Lingkungan sosial yang kondusif dalam hal ini, misalnya adanya keakraban yang proporsional antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.” Oleh karena itu dalam lingkungan sosial kelas hendaknya juga diciptakan sekondusif mungkin, agar suasana kelas dapat digunakan sebagai ajang dialog mendalam dan berpikir kritis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip manusiawi, empati, dan lain-lain, demokratis serta religius. Selanjutnya lingkungan non fisik/lingkungan sosial dapat dikembangkan fungsinya yaitu untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif seperti adanya musik yang digunakan sebagai latar pada saat interaksi proses pembelajaran berlangsung. Musik tersebut digunakan menjadikan suasana belajar terasa santai, peserta didik dapat belajar dan siap terkonsentrasi. Beberapa uraian di atas maka dapat dipertegas bahwa lingkungan sosial kelas adalah upaya penciptaan suasana belajar atau suasana kelas belajar sehingga interaksi di dalam kelas kondusif. Di mana suasana kelas belajar berlangsung santai bermakna, demokratis, adil, religius, dan peserta didik dapat belajar dan siap untuk berkonsentrasi. Di samping itu ketika peserta didik sedang bekerja /mengerjakan suatu masalah dapat diputarkan musik belajar.
Sedangkan di kelas, sebaiknya kelas cukup besar dengan jumlah peserta didik yang tidak terlalu banyak sehingga guru dapat memonitor setiap peserta didik. Kelas yang baik dan produktif adalah kelas yang nyaman secara tata ruang, memunculkan motivasi internal peserta didik untuk belajar, kegiatan guru yang terarah serta kegiatan monitor terhadap peserta didik [Gage & Berliner, 1992].
C. Ciri-Ciri Sekolah Berkualitas
Lima kriteria sekolah berkualitas
Dalam dunia industri pada abad ke-19, sistem pendidikan yang dirancang dalam satu ukuran untuk semua [one-size-fits-all] cukup membantu mengurangi pelecehan terhadap tenaga kerja anak dan membawa kesempatan bagi dunia luas. Pada tahun 1950-an, banyak orang mampu mendapatkan pekerjaan layak dengan kemampuan yang terbatas. Tapi keadaan berubah dengan dramatis. Pekerjaan menuntut latar belakang pendidikan yang tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, sekolah untuk mengikuti perkembangan semacam itu dan juga perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan dalam struktur keluarga, perubahan trend dalam kebudayaan populer dan pertelevisian, konsumerisme, kemiskinan, kekerasan, pelecehan anak, kehamilan pada masa remaja, dan perubahan sosial yang terus-menerus. Dilain pihak, sekolah juga mengalami tekanan terus-menerus untuk menekan laju perubahan, untuk lebih konservatif, untuk tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan tidak meninggalkannya.
Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan, muncul sejumlah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai sekolah berkualitas. Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School That’s Learn [2003; 59-93]. Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu. Seperti kita ketahui bersama, ada beberapa keahlian yang dapat dimiliki seseorang dalam mengelola pendidikan seperti, bertindak dengan otonomi yang lebih luas, berani mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan masalah yang sulit dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan sehingga mampu membangun kemampuan untuk keberhasilan di masa mendatang. Semua itu adalah sikap yang dibutuhkan dalam organisasi pembelajaran dan masyarakat. Kemampuan menyinergikan lima prinsip disiplin kolektif menurut Peter Senge ini dimaksudkan untuk meraih keahlian-keahlian yang akan dapat membantu setiap sekolah di Indonesia menghadapi tekanan dan dilema dalam mengelola pendidikannya.
Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut. Pertama, penguasaan diri [personal mastery], merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik. Kedua, keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan [shared vision], sebuah disiplin kolektif yang menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama.
Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental [mental models], sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka
kritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Keempat, bentuklah kelompok belajar [team learning], sebuah disiplin dalam interaksi kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan. Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara pembelajar/guru dan orang tua peserta didik, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar perubahan sukses dalam sekolah. Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir [systems thinking]. Dalam disiplin ini kita belajar memahami kebergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai simulasi yang membantu peserta didik untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari. Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan [sekolah] yang mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu [quality assurance]. Merujuk pada pemikiran Edward Sallis dalam Sudarwan Danim [2006] mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu: 1. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. 2. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal. 3. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikinya. 4. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif. 5. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya 6. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. 7. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya. 8. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas. 9. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal. 10. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas. 11. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut. 12. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja. 13. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan. Secara umum kerangka kerja penjaminan mutu pendidikan di sekolah mempunya ciri-ciri [Ali, 2007:634] sebagai berikut: 1. Penjaminan mutu didasarkan atas indikator-indikator kinerja yang bersifat umum, terbuka dan objektif, yang dirumuskan berdasarkan pernyataan-pernyataan tujuan, yang dijadikan sebagai alat penilaian mutu pendidikan di sekolah. 2. Penjaminan mutu dilakukan melalui proses yang transparan dan interaktif melalui penilaian diri dan inspeksi penjaminan mutu. 3. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan mempraktikan kekuatan-kekuatan berbagai aktivitas dalam proses penjaminan mutu dan manajemen berbasis sekolah, serta nilai-nilai tradisional dan kebutuhan-kebutuhan sekolah untuk berubah. 4. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan menjaga keseimbangan antara dukungan kepada sekolah melaui kemitraan dan tekanan kepada sekolah melalui monitoring. 5. Tujuan penjaminan mutu adalah untuk mencapai mutu pendidikan sekolah melalui pengembangan dan akuntabilitas. D. Akreditasi Sekolah/Madrasah Akreditasi merupakan bagian dari penjaminan mutu lembaga pendidikan [perguruan tinggi atau sekolah]. Akreditasi yang dilaksanakan saat ini didasarkan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah [BAN-S/M]. Ada tiga maksud dilaksanakannya akreditasi sekolah, yaitu: 1. Untuk kepentingan pengetahuan yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan dan kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait dengan mengacu kepada standar yang ditetapkan secara nasional. 2. Untuk kepentingan akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada masyarakat, apakah layanan yang diberikan telah memenuhi harapan atau keinginan mereka. 3. Untuk kepentingan pembinaan dan peningkatan mutu yaitu sebagai dasar bagi pihak terkait, baik sekolah, pemerintah, maupun masyarakat dalam melakukan pembinaan dan peningkatan mutu sekolah. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pelaksanaan akreditasi dilakukan terhadap seluruh sekolah/madrasah, baik negeri maupun swasta, pada seluruh jenjang mulai TK/RA, SD/MI,SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MA Kejuruan, dan SLB pada semua tingkatan. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrument dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan. Akuntabilitas merupakan proses akreditasi yang harus dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan. Akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAN-S/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan. Untuk melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah pemerintah membentuk badan itu yang merupakan badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Perannya dalam penjaminan mutu adalah memberikan rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi, dan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. BAN-S/M ini merupakan badan nonstruktural yang bersifat nirlaba dan mandiri yang bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan Nasional. Tugasnya, adalah merumuskan kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan, dan melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah. Sedangkan, fungsinya untuk: 1. Merumuskan kebijakan dan menetapkan akreditasi sekolah/madrasah. 2. Merumuskan kriteria dan perangkat akreditasi sekolah/madrasah untuk diusulkan kepada Menteri. 3. Melaksanakan sosialisasi kebijakan, kriteria, dan perangkat akreditasi sekolah/madrasah. 4. Melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah 5. Memberikan rekomendasi tentang tindak lanjut hasil akreditasi. 6. Mengumumkan hasil akreditasi sekolah/madrasah secara nasional. 7. Melaporkan hasil akreditasi sekolah/madrasah kepada Menteri. 8. Melaksanakan ketatausahaan BAN-S/M. Dalam melaksanakan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah [BAP-S/M] yang dibentuk oleh Gubernur. Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah ini adalah badan evaluasi mandiri di provinsi yang membantu BAN-S/M dalam melaksanakan akreditasi. Penjaminan mutu pendidikan dalam sistem pendidikan nasional meliputi dua pendekatan, yaitu pertama, penjaminan mutu eksternal yang dilakukan oleh berbagai pihak/institusi di luar satuan pendidikan yang secara formal memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan penjaminan mutu pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kedua model pendekatan tersebut, sungguh pun dapat dibedakan, tetapi memiliki keterkaitan satu sama lain, termasuk keterkaitan antar institusi eksternal yang dimaksud. Ada empat pilar pokok dalam penjaminan mutu eksternal sekolah/madrasah, yaitu: 1. Penetapan Standar Nasional Pendidikan [SNP] yang penetapannya oleh Menteri, sedangkan pengembangan, pemantauan, dan pengendalian SNP oleh BSNP. 2. Pemenuhan SNP pada setiap satuan pendidikan oleh pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kotamadya, LPMP, dan institusi pembina pendidikan pusat. 3. Penentuan kelayakan satuan/program [pengecekan derajat pemenuhan SNP yang dicapai satuan/program pendidikan] melalui penilaian kelayakan satuan/program pendidikan mengacu pada kriteria SNP sebagai bentuk akuntabilitas publik. 4. Penilaian hasil belajar [PHB] dan evaluasi pendidikan, yaitu Ujian Nasional, USBN, sertifikasi lulusan, berbagai bentuk ujian lainnya, dan evaluasi kinerja pendidikan oleh pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kotamadya serta lembaga evaluasi mandiri. Penjaminan mutu internal oleh satuan pendidikan meliputi: 1. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah, yaitu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. 2. Satuan pendidikan mengembangkan visi dan misi, menyusun KTSP, melakukan penilaian hasilbelajar termasuk ujian nasioanl, dan evaluasi kinerja masing-masing. 3. Satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan untuk memenuhi atau melampaui SNP. Penjaminan mutu pendidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional merupakan rangkaian mata rantai tugas fungsional antar institusi yang selalu berhubungan dengan fokus peningkatan mutu secara berkelanjutan pada level satuan pendidikan. Pemahaman akan peran masing-masing institusi, termasuk satuan pendidikan, dan sinkronisasi peran-peran tersebut secara fungsional diharapkan dapat mempercepat tercapainya mutu pendidikan seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. E. Konsep Sekolah Unggulan Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi peserta didik yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah. Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada peserta didik dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Suyanto, program kelas unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan peserta didik menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan peserta didik ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen. Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu. Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan. Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input peserta didik yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses di tempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.
Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat [Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991], h. 6-7]. Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI [1991] penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat [baca: unggul] sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.