Sebutkan 5 agenda reformasi menurut kalian diantara agenda reformasi tersebut agenda reformasi yang mana yang sudah terlaksana sampai sekarang?

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia

Minggu, 20 Mei 2018 23:41 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Peringatan 20 tahun reformasi dinilai masih menyisakan kegagalan pelaksanaan enam agenda reformasi. Tercatat ada enam agenda reformasi setelah Presiden Soeharto lengser pada 1998, yakni adili Soeharto dan kroninya, amendemen UUD 1945, hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme [KKN], otonomi daerah seluas-luasnya, dan tegakkan supremasi hukum.Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Jakarta Al Ghifari Aqsa menilai hingga saat ini pemerintah belum berhasil menjalankan enam agenda reformasi. Salah satunya mengadili Soeharto hingga akhir hayatnya atas dugaan kasus korupsi."Pengadilan tidak berhasil mengadili Soeharto hingga tuntas, sementara para pelaku lainnya hingga kini masih menikmati impunitas," ujar Al Ghifari di kantor LBH Jakarta, Minggu [20/5].

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kemudian amendemen UUD 1945 juga dinilai tak berhasil menjamin pelaksanaan reformasi di berbagai bidang. Bahkan, kata dia, belakangan justru muncul gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.Hal ini juga terlihat dari penghapusan dwifungsi ABRI yang saat ini justru diupayakan kembali militer masuk dalam berbagai kegiatan pemerintahan."Ada Tentara Manungal Masuk Desa, program bela negara, kesepakatan polisi dan TNI untuk pengamanan, sampai yang terbaru pelibatan TNI untuk memberantas terorisme lewat revisi UU terorisme," katanya.Selain itu, lanjut Al Ghifari, militer mulai masuk ke ranah olahraga ketika Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia [PSSI] dipimpin oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Edy Rahmayadi yang kini mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara."Pencitraan TNI yang seolah mau bersatu dengan masyarakat sipil tidak menghilangkan watak militerisme," ucap Al Ghifari.Ia juga melihat tak ada perkembangan yang berarti dalam penegakan hukum di era reformasi. Dalam aspek hak asasi manusia [HAM], menurutnya, pemerintah tak pernah serius menjalankan janji menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

Direktur Eksekutif LBH Jakarta Alghifari Aqsa. [CNN Indonesia/Riva Dessthania]

Di sisi lain, kata dia, potensi pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum justru semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan di antaranya dengan penerbitaan Perppu Ormas, UU MD3, pembahasan rancangan KUHP, hingga RUU terorisme yang kini masih dibahas di DPR."Pembangkangan pada hukum juga masih terjadi mulai dari kasus petani Kendeng, privatisasi air, dan kasus penggusuran paksa," tuturnya.Sementara dalam kasus korupsi, lanjutnya, pemerintah juga dinilai belum berhasil memberantas tindak pidana tersebut.Hasil survei Corruption Perception Index [CPI] pada 1998 menunjukkan Indonesia menempati urutan ke-80 dari 85 negara dengan skor 2. Skor CPI berada pada rentang 0-100 dengan 0 sangat korup dan 100 bersih dari korupsi.Kemudian pada 2008, penilaian CPI sedikit meningkat menjadi 2,6 dan terakhir pada 2016 hingga 2017 angkanya berada pada skor 3,7."Selama dua tahun terakhir skornya sama. Ini menunjukkan stagnasi upaya dari pemerintah maupun politisi dalam usaha pencegahan pemberantasan korupsi di Indonesia," terangnya.Berkaca dari kegagalan pelaksanaan agenda reformasi, pihaknya pun meminta pemerintah mengevaluasi setiap kebijakan dan peraturan yang ada. Ia juga mendesak agar pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memberikan hak-hak pada korban."Kami serukan juga pada masyarakat untuk terus mengawal agenda reformasi dan membangun solidaritas untuk melawan segala bentuk pelanggaran HAM," ucapnya. [pmg/pmg]

TOPIK TERKAIT

reformasi reformasi 98 lbh jakarta soeharto

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Sudah banyak asa dan amarah dicurahkan oleh gelombang massa yang menginginkan perubahan setelah 32 tahun hidup di bawah tatanan militer dan demokrasi palsu. Suharto berhasil ditumbangkan oleh kombinasi kekuatan moral solidaritas mahasiswa di jalanan dan manuver-manuver politik kelompok elite di parlemen dan gedung-gedung partai. Meski tercoreng oleh serangkaian konflik horizontal di kalangan rakyat biasa, namun tak salah menyebut bahwa gerakan reformasi adalah sebuah usaha patungan yang luar biasa.

Gerakan reformasi sudah menemukan akarnya setidaknya semenjak peristiwa Malapetaka Limabelas Januari [Malari] 1974, gerilya Buku Putih mahasiswa ITB tahun 1978, dan penyampaian Petisi 50 di parlemen tahun 1980. Meski usaha-usaha tersebut belum mampu menggoyang pilar-pilar Orde Baru, yakni dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, dan tafsir tunggal Pancasila, namun sudah menjadi bukti bahwa angan-angan keamanan dan ketertiban masyarakat ala Suharto tidaklah ideal; sebuah selimut keangkuhan yang menyelimuti rakyatnya dengan kebijakan opresif dan anti-kritik.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Reformasi dapat tercipta karena orang-orangnya menginginkan pembaharuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi, dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dibalas todongan bedil oleh penguasa. Dengan kata lain, ada impian untuk mewujudkan masyarakat madani. Reformis, sebagai motor dalam menjalankan segala aspek kehidupan di masa reformasi, tentu sudah seharusnya meninggalkan nilai-nilai otoriter Orde Baru dan turunannya yang terbukti gagal. Masa reformasi diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan bercorak pembaharuan.

Namun, melihat menjengkelkannya fenomena sosial-politik yang belakangan ini tersaji, mulai dari gelombang politik identitas, membanjirnya hoaks dan persekusi, sampai kasus-kasus korupsi tak berkesudahan, terlebih ketika hal-hal tersebut disponsori oleh para pentolan reformis yang dahulu begitu menjanjikan sebagai agen perubahan, maka tak salah untuk mempertanyakan apakah bahwasanya reformasi sudah berjalan di trek yang benar, dan disetir oleh orang-orang yang tepat.

Menilai Reformasi

Sebelumnya saya menyebut bahwa gerakan reformasi adalah usaha patungan, namun, tergantung dengan siapa yang diajak bicara, porsi patungan kelompok-kelompok yang berkontribusi di dalamnya tidaklah setara. Keduanya sejatinya komplementer, namun banyak pula hal-hal yang tidak mereka saling sepakati. Kelompok mahasiswa merasa bahwa mereka adalah penggerak utama gagasan reformasi, dan kelompok elit juga merasa perannya vital karena merekalah yang secara langsung terlibat dalam upaya-upaya perbaikan birokrasi-administratif dalam pemerintahan.

Karena itulah, banyak suara sumbang terdengar di mana-mana tak lama pasca Suharto dilengserkan. Tanda muramnya potensi reformasi mulai terlihat ketika trisula reformis, Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais terlibat dalam pembagian kekuasaan, terutama kala Amien Rais membuat Poros Tengah untuk menjegal Megawati dan kemudian menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenannya. Ditambah, dua kelompok mahasiswa paling mencolok, yakni kiri [sosialis-moderat] dan kanan [Islam-konservatif] yang sebelumnya menemukan tujuan bersamanya menggulingkan Orde Baru pun saling sibuk dengan kepentingan kelompoknya masing-masing.

Tidak adanya gerak kompak untuk menyamakan visi misi reformasi itulah yang menyebabkan mengapa tokoh-tokoh reformis terlihat gagal membentuk tatanan reformasi yang ideal dan benar-benar mengeliminasi warisan Orde Baru. Pilar-pilar Orde Baru memang berhasil diruntuhkan, tetapi lantai kotor yang menjadi tempat pilar-pilar tersebut tegak berdiri luput untuk dibersihkan. Dan celakanya, di atas lantai itulah pilar-pilar reformasi kini didirikan, terlihat kokoh namun tidak sedap dipandang mata.

Hal itu sejalan dengan amanat reformasi yang belum sepenuhnya terlaksana. Suharto dan kroni-kroninya belum mendapatkan pengadilan yang pantas. Nama Suharto masih mengkilap, bahkan seruan untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional diajukan seakan-akan dengan tidak menghiraukan cela pemerintahannya. Keluarga Cendana, dengan Tommy sebagai nahkodanya, pun bisa bebas menguji peruntungan politiknya kembali dengan mulus dan minim kritik.

Fenomena dominasi militer dan terpusatnya kekuasaan di Jakarta memang sudah berhasil dilucuti dengan mengembalikan fungsi tentara sebagai alat militer dan otonomi daerah yang kian diperluas. Namun hal itu tidak memperbaiki masalah-masalah mendasarnya.

Arogansi tentara dan campur tangan seenaknya terhadap aspek-aspek kehidupan sipil masih terjadi di mana-mana, utamanya kala menyinggung Peristiwa 1965. Otonomi daerah tanpa pengawasan yang tepat sasaran lantas melestarikan korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat-pejabat daerah. Terlebih lagi minimnya peninjauan terhadap peraturan-peraturan daerah yang kontroversial dan melukai angan-angan pembaharuan, seperti misalnya hukuman cambuk di Aceh dan pelarangan kepemilikan tanah bagi orang-orang nonpribumi di Yogyakarta.

Bagaimana dengan supremasi hukum? Setelah puluhan tahun prosedur hukum dimanipulasi demi kepentingan penguasa, kini hukum telah menjadi payung pelindung handal bagi segenap rakyat Indonesia. Bahkan, ia bisa diciptakan secara serampangan oleh wakil-wakil rakyat untuk membentengi diri mereka dari kritik masyarakat. UU MD3 yang kontroversial karena mencederai kedaulatan rakyat itu semakin mencitrakan DPR sebagai entitas superior yang tak terjangkau alih-alih penyambung suara rakyat. Kesannya, DPR meminta rakyat untuk menghamba dan tunduk, bukan sebaliknya.

Satu lagi yang amat disayangkan adalah semakin meluasnya konflik horizontal di kalangan masyarakat dengan sebab-sebab fundamentalisme agama, diskriminasi ras dan etnis, serta kesenjangan sosial-ekonomi yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik. Terlebih ketika hal tersebut dikompori oleh tokoh-tokoh yang pernah menjadi wajah reformasi, seperti Amien Rais yang dengan kritik-kritik nyinyirnya mencoba berkonfrontasi dengan pemerintahan Jokowi. Jika dahulu Amien dikatakan menunggangi kelompok mahasiswa, maka kini kelompok Islam yang berada di belakangnya. Celakanya, aksinya tersebut justru menyulut api bernama politik identitas.

Apa yang buruk di Orde Baru memang sebagian berhasil diperbaiki, walau lalu menelurkan masalah-masalah baru akibat kelalaian para reformis dalam merawat dan membesarkan reformasi. Lantas, akan seperti apakah masa depan angan-angan reformasi ini?

Tidak Sepenuhnya Gagal

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daud Jusuf, pernah menulis sebuah opini di harian Kompas pada 2007 silam yang berjudul ‘Untuk Apa Reformasi?'. Ia menyinggung bahwa reformasi adalah sebuah kesia-siaan apabila pemimpin tidak menjawab panggilan tugasnya, yakni menciptakan harmoni politik dan ekonomi demi kebajikan kedua-duanya. Harmoni inilah yang menjadi cita-cita adiluhung bagi para reformis, bukan seperti harmoni yang dibuat-buat Orde Baru, namun harmoni sesungguhnya yang lahir dari nilai-nilai demokrasi.

20 tahun sudah reformasi berjalan. Ada banyak hal yang dapat disyukuri darinya, sebagaimana banyak juga hal yang bisa disesalkan. Jelasnya, sulit mengatakan bahwa reformasi yang mencoba memperbaiki, utamanya sektor politik-ekonomi ini, sebagai kegagalan total.

Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati: ketika reformis-reformis tua tercemari, maka sudah saatnya reformis-reformis muda tampil menawarkan keharmonian yang dicita-citakan. Panggung Pilpres 2019, dan kemungkinan-kemungkinan baik atau buruk yang akan terjadi di sekitarnya, akan menjadi momen pembuktian apakah semangat reformasi masih ditekuni oleh reformis-reformis yang bersemangat untuk berkuasa di negeri ini.

Penulis: Rahadian Rundjan [ap/vlz]

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề