Seorang memberi pinjaman dengan barang yang bermanfaat dan peminjam

Jakarta -

Kegiatan pinjam meminjam dalam Bahasa Arab dikenal dengan nama 'Ariyah. Agama Islam, mengatur kegiatan ini berdasarkan beberapa dalil.

Dikutip dari Kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri 'ariyah atau pinjam meminjam adalah suatu barang yang diberikan kepada seseorfang yang dapat memanfaatkannya hingga jangka waktu tertentu, kemudian setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya tanpa ada imbalan.


Hukum Pinjam Meminjam dalam Islam:

Menurut Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri hukum pinjam meminjam atau 'Ariyah adalah disyariatkan. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 2:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ


"Dan tolong-menolong lah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

Diriwayatkan dalam hadits Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ

"Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya".


Kemudian, hukum pinjam meminjam bisa menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Contohnya, seperti meminjam pisau untuk memotong kambing yang mendekati mati atau pakaian untuk menutup aurat.

Namun, hukum pinjam meminjam bisa menjadi haram ketika seseorang melakukan kegiatan tersebut untuk hal-hal yang dilarang. Contohnya adalah meminjam pisau untuk membunuh orang.

Rukun pinjam meminjam dikutip dari buku 'Fikih Madrasah Tsanawiyah' karya Zainal Muttaqin dan Drs. Amir Abyan terbagi menjadi empat macam. Semua rukunnya memiliki syarat pinjam meminjam dalam Islam

Orang yang meminjamkan, disyaratkan:

- Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan
-Barang yang dipinjam itu milik sendiri atau menjadi tanggungjawab orang yang meminjamkannya

Orang yang meminjam, disyaratkan

-Berhak menerima kebaikan. Oleh karena itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam
-Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam

Barang yang dipinjam, disyaratkan

-Ada manfaatnya
-Barang bersifat kekal [tidak habis setelah diambil manfaatnya]. Oleh karena itu, makanan yang habis tidak sah bila dipinjam

Akad pinjam meminjam

Kegiatan pinjam-meminjam berakhir bila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya. Sehingga barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiknya.

Selain itu, kegiatan ini juga bisa berakhir apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia atau gila. Atau karena pemiliknya meminta barang sewaktu-waktu, sebab, kegiatan ini sifatnya tidak tetap.

Sementara itu, hukum pinjam meminjam jika terjadi perselisihan di antara keduanya mengenai barang sudah dikembalikan atau belum, maka diharuskan yang meminjam melakukan sumpah. Hal ini sesuai pada hukum asalnya, yakni belum dikembalikan.

[pay/erd]

Beberapa kalangan menyamakan aktivitas meminjam dengan berutang.

REPUBLIKA.CO.ID, Pinjam-meminjam telah menjadi bagian keseharian masyarakat, baik yang melibatkan barang, uang, tanah, maupun benda lainnya. Sejak zaman Rasulullah, kegiatan ini telah dipraktikkan dan terus mengalami perkembangan. Kini banyak hadir institusi keuangan yang khusus berkecimpung dalam usaha ini. Misalnya, koperasi simpan-pinjam.

Demikian pula industri perbankan, memiliki divisi perkreditan yang pada dasarnya juga memberikan pinjaman uang bagi nasabahnya. Rasulullah juga telah memberikan petunjuk dan arahan mengenai hal ini. Beberapa kalangan menyamakan aktivitas meminjam dengan berutang. 

Maka itu, pada beberapa hal hukum keduanya saling berkait. Praktik ini dalam bahasa Arab adalah qardh, artinya hampir mirip dengan jual beli. Secara harfiah, maknanya yakni pengalihan hak milik harta atas harta. Menurut paham hanafiah, qardh merupakan harta yang memiliki kesepadanan yang diberikan, kemudian ditagih kembali.

Kalangan ulama membolehkan transaksi tersebut. Dasarnya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Bukan seorang Muslim [mereka] yang meminjamkan Muslim [lainnya] dua kali, kecuali yang satunya adalah [senilai] sedekah”. Demikian pernyataan Rasulullah.

Dasar lainya adalah Alquran dalam surah al-Haddid ayat 11. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan [balasan] pinjaman itu untuknya. Dan, dia akan memperoleh pahala yang banyak”. Meminjam sesuatu juga punya landasan secara ijma.

Para ulama memandang, kesepakatan itu tidak lepas dari hakikat manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Sesuatu yang tidak dimiliki, padahal sangat dibutuhkan, bisa didapat melalui cara meminjam. Ketentuan mengenai transaksi peminjaman ini mendapat perhatian ulama mazhab.

Mazhab Hanafi memandang beberapa barang bisa dipinjamkan karena mempunyai nilai kesepadanan serta perbedaan nilainya tidak terlampau jauh. Antara lain, barang-barang yang ditimbang, seperti biji-bijian; yang ukurannya serupa, misalnya kelapa dan telur; dan yang diukur, seperti kain dan bahan.

Sementara mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali memperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang dapat diperjualbelikan, semisal perak, emas, binatang, maupun makanan. Adapun menyangkut hak kepemilikan, merujuk pada pendapat Abu Hanifah, maka telah berlaku melalui penyerahan. Seseorang yang meminjam satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh [penyerahan], maka berhak menggunakan dan mengembalikan dengan yang semisalnya. Pendapat dari mazhab Maliki menegaskan hak kepemilikan berlangsung lewat transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta.

Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri, baik harta itu memiliki kesepadanan maupun tidak, selama tidak mengalami perubahan: bertambah atau berkurang. Apabila berubah, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.

Mazhab Syafi’i dan Hambali mengemukakan, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Muqtaridh mengembalikan harta yang semisal ketika harta yang dipinjam punya nilai sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya.

Imam Hanbali mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang diutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fikih.  Bila objek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi: harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh atau harus dikembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.

Keempat mazhab sepakat bahwa dalam transaksi ini tidak diperbolehkan qardh yang bertujuan mendatangkan keuntungan bagi peminjam. Dengan kata lain, praktik riba harus dijauhi dan hukumnya haram. Misalnya, memberi pinjaman seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya.

Nabi Muhammad mengatakan, semua utang yang menarik manfaat adalah riba. Dalam kitab Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi memberi penekanan terhadap pinjaman yang dilakukan kepada bank konvensional. Ia menggarisbawahi, bank konvensional biasanya menerapkan sistem bunga yang diharamkan Islam.

Namun, ia memberi toleransi dengan beberapa catatan. Pertama, tidak ada alternatif lain. Kedua, hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Dan ketiga, dibolehkan sekadarnya hingga kebutuhan terpenuhi. Apabila sudah terpenuhi, meminjam tersebut menjadi haram kembali. ed: ferry kisihandi

sumber : Pusat Data Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Muhammad Abdul Wahab, Lc Thu 23 August 2018 21:49 | 189663 views

Bagikan lewat

Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil [menyeluruh dan sempurna] mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia antar sesama. Yang diejawantahkan oleh para ulama dalam pembahasan fiqih mumalah.

Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang lain.

Apa saja ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam? Apa saja hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh peminjam maupun pemilik barang?

A. Pengertian ‘Ariyah

‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.

Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1] dan malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض

“Menyerahkan kepemilikan manfaat [suatu benda] dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”

Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3], Hanbilah[4] dan Zahiriyyah[5], mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع يقاء عينه بلا عوض

“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”

Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.

Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.

B. Hukum Taklifi

‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam [musta’ir] merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang [mu’ir]. Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.

Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.

Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir.[6]

‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.

C. Syarat Barang Pinjaman

Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat berikut:

Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.

Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

D. Hak dan Kewajiban Peminjam

Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf [kebiasaan]. Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:

المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً

“Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”

Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.

Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urf  hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.

Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang disyaratkan oleh pemilik barang.

E.  Waktu Pengembalian Barang Pinjaman

Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.

1.  Pendapat Pertama

Ulama dari kalangan Hanafiyyah[8], Syafi’iyyah[9], Hanabilah[10] dan Zhahiriyyah[11] memandang bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau. Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.

2. Pendapat Kedua

Sedangkan Malikiyyah[12] berpendapat, pemilik barang tidak boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati. Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam.

Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan akad atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah ayat 1 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”

Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad :

المسلمون عند شروطهم

“Muslim itu terikat dengan syarat-syarat [yang disepakati di antara mereka].”[13]

F.  Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?

Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan tentang status peminjam dalam kegiatan pinjam-meminjam [‘ariyah] apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman.

Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari pihak lain. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal tersebut tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.

Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang berstatus sebagai penjamin terhadap barang milik orang lain. Di mana jika terjadi kerusakan atau kehilangan --apa pun alasannya-- dia bertanggung jawab atas barang tersebut.

Dalam kegiatan pinjam-meminjam [‘ariyah], para ulama berbeda pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad amanah atau yad dhaman.

1.  Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah

Kelompok pertama yang diwakili oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah[14], Zahiriyyah[15] dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad[16] berpandangan bahwa peminjam berlaku sebagai yad amanah.

Sehingga, jika terjadi sesuatu pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban untuk mengganti barang tersebut. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya sendiri atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta oleh pemilik barang.

Landasan pendapat ini adalah hadis riwayat ad-Daruquthni[17]:

ليس على المستعير غير المغل ضمان

 “Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan [barang pinjaman].”

Juga secara logis, Malikiyyah berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin yang sah untuk menggunakan barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak disebabkan oleh kesalahan peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu akan mengalami kerusakan jika dipakai berulang-ulang.

2.  Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad

Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh ulama Syafi’iyyah[18] dan pendapat rajih dari Imam Ahmad[19] memandang bahwa peminjam berlaku sebagai yad dhaman. Itu artinya, peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau bukan.

Dalil pendapat kedua ini adalah hadis berikut ini[20]:

عن أمية بن صفوان، عن أبيه - رضي الله عنه - : أن النبي -صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال : أغصبا يا محمد؟ قال "بل عارية مضمونة "

“Dari Umayyah bin Shafwan, dari ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad meminjam tameng darinya pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini menjadi pinjaman yang dijamin [kembali].”

Dalam hadis di atas Nabi menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau, sehingga dipahami bahwa menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari ‘ariyah [pinjam-meminjam].

3.  Malikiyyah

Ulama Malikiyyah[21] membedakan jenis barang yang dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa disembunyikan [ما يغاب عليه] seperti pakaian dan perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk kerusakan atau kehilangan kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa kerusakan itu bukan akibat kesalahannya.

Sedangkan jika barang pinjaman berupa barang yang tampak dan tidak bisa disembunyikan seperti rumah atau kios, maka peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan. Kecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa kerusakan itu adalah akibat dari kesalahannya.

Rusak Karena Pemakaian wajar

Yang perlu digarisbawahi ketika membahas penyebab kerusakan barang pinjaman yang menentukan apakah peminjam wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika kerusakan barang itu terjadi karena pemakaian normal, semua ulama sepakat[22] bahwa peminjam tidak wajib mengganti.

Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.

G.  Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik Barang

Bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat.

1.  Pendapat Pertama

Hanafiyyah[23], Syafi’iyyah[24] dan Hanabilah[25] berpendapat tidak boleh peminjam menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.

Di samping itu, pada umumnya, pemilik barang ketika meminjamkan barangnya kepada orang lain, izin untuk menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si peminjam semata, tidak untuk orang lain.

2.  Pendapat Kedua

Sedangkan ulama Malikiyyah[26] membolehkan peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.

Hal tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda [تمليك المنفعة]. Sehingga, selama kepemilikan itu berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun termasuk untuk disewakan kepada orang lain.

Di samping itu, menurut Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang yang dipinjam pada saat jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal. Sehingga tidak masalah barang itu disewakan selama belum jatuh tempo.

H.   Hukum Meminjamkan Emas

Para ulama sepakat[27], boleh hukumnya meminjamkan emas jika digunakan untuk perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya. Selama emas tersebut tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.

Namun, jika emas tersebut dipakai sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak lagi berwujud emas yang sama dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh.

[1] As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal. 133/11, Ibnu al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal. 464/7.

[2] Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal. 320, Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal. 570/3.

[3] Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal. 263/2.

[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal. 220/5.

[5] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 164/9.

[6] Lihat: al-Lubab, hal. 201/2, Hasyiyah al-Syarqawi, hal. 91/2.

[7] Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 99.

[8] Lihat: Bada’i al-Shana’i, hal. 217/6, Tabyin al-Haqaiq, hal. 84/5.

[9] Lihat: Asna al-Mathalib, hal. 331/2, Mughni al-Muhtaj, hal. 270/2.

[10] Lihat: Al-Mughni, hal. 229/5, Al-Kafi, hal. 273/2.

[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 168/9.

[12] Lihat: Bidayah al-Mujtahid, hal. 313/1.

[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud, No. hadis: 3594, Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638, Ibnu Hibban, No. 1199, al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.

[14] Lihat: Al-Hidayah ma’a Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal. 468/7, Majma’ al-Anhur, hal. 348/2.

[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, hal. 169/9.

[16] Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, hal. 365/5, Al-Mughni, hal. 341/7.

[17] Sunan al-Daruquthni, hal. 41/3, hadits ini di-dha’if-kan oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish, hal. 97/3.

[18] Lihat: Al-Hawi, 118/7, Syarh Raudhah at-Thalib, 328/2.

[19] Lihat: Ibnu Muflih, Al-Furu’, 474/4

[20] Musnad Ahmad, No. 27636, Sunan Abi Daud, No. 3562, Sunan al-Daruquthni, No. 2955.

[21] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320, al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.

[22] Lihat: Al-Hawi, 394/8, Raudhah at-Thalibin, 432/4, Mughni al-Muhtaj, 267/2, Al-Mughni, 165/5.

[23] Lihat: Al-Durr al-Mukhtar, 503/4.

[24] Lihat: Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, 127/7.

[25] Lihat: Asy-Syarh al-Kabir, 180/3, Al-Mughni, 247/7.

[26] Lihat: Syarh az-Zarqani ‘ala Mukhtashsar Khalil, 127/6.

[27] Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.

x

Baca Lainnya :

more...

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề