Seorang musafir yang menulis tentang perjalanan kerajaan sriwijaya

Gambar ilustrasi [Ken Ishii/Getty Images]

Jakarta - Kesaksian biksu asal China ini sangat berharga bagi catatan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Melaluinya, Sriwijaya diketahui merupakan pusat pendidikan Buddha internasional.Biksu itu bernama Yi Jing, sering pula ditulis I Ching atau I Tsing. Dia hidup pada tahun 635 hingga 713 Masehi, alias di era Dinasti Tang. Kesaksiannya tentang Sriwijaya termuat dalam 'Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan' atau 'Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan'.Biksu Yi Jing menyebut Sriwijaya sebagai 'Shili Foshi', dan Melayu [Jambi] sebagai 'Moluoyou'. Semuanya digolongkannya sebagai kawasan 'Pulau-pulau di Lautan Selatan'. Sriwijaya adalah tempatnya beraktivitas intelektual, menyalin teks-teks Sanskerta dan Pali ke Bahasa China, demi menambah khazanah pengajaran agama Buddha di Tiongkok. Yi Jing juga menyarankan kepada semua yang hendak belajar di Universitas Nalanda India agar terlebih dahulu memperdalam ilmunya di Sriwijaya. "Jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan [ajaran] dan melafalkan [kitab asli], lebih baik dia tinggal di sini selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, kemudian baru berlanjut ke India Tengah," kata Yi Jing dalam bukunya itu.Buku Yi Jing tersebut sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Biksu kelahiran Fanyang [saat ini kawasan Beijing] ini belajar agama Buddha sejak usia tujuh tahun. Dia bercita-cita untuk menuntut ilmu ke India sejak usia 20 tahun, namun keinginannya baru terwujud usai dia menginjak usia 37 tahun. Pada 671 Masehi, petualangannya dimulai. Dengan bantuan perbekalan dari pihak kerajaan, dia berangkat dengan menumpang kapal Persia di Guangdong. Pada masa itu, ada jalur pelayaran reguler Persia-India-Kepulauan Melayu-Tiongkok."Setelah berlayar selama 20 hari, kapal mencapai Foshi, di mana saya mendarat dan tinggal selama enam bulan, secara bertahap saya mempelajari sabdavidya [tata bahasa Sanskerta]. Raja setempat memberikan saya bantuan dan mengirim saya ke Moluoyou [Melayu], yang sekarang disebut Shili Foshi," tulis Yi Jing.Dia menginjakkan kaki pertama kali ke Sriwijaya membawa tujuan mempersiapkan diri ke India. Saat itu, teritori Sriwijaya belum mencakup Melayu. Barulah setelah dia kembali lagi dari menuntut ilmu di India, Melayu sudah menjadi bagian dari teritori Sriwijaya.

Situs Muaro Jambi [Dok Buku 'Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan']

Dalam perjalanannya ke India, dia berhenti di Negeri Orang-orang Telanjang [Insulae Nudorum]. Ahli memperkirakan itu adalah Kepulauan Nikobar. Dia menggambarkan orang-orang di situ telanjang dan meminta barter hasil kakao dengan logam, bila kapal musafir menolak barter maka mereka akan melepaskan anak panah beracun.Sesampainya di daratan India, Yi Jing harus menempuh perjalanan darat yang berat nan berbahaya. Karena kondisi fisiknya melemah, dia tercecer dari rombongan biksu peziarah bercampur saudagar. Dia tertangkap oleh perampok dan dilucuti pakaiannya, beruntung dia tidak dibunuh. Untuk menghindari kemungkinan terbunuh karena warna kulitnya yang berbeda dengan penduduk setempat, dia menceburkan diri ke dalam lumpur dan melanjutkan perjalanan sampai tujuan.Rampung menempuh pendidikan di India, dia kemudian pulang. Alih-alih balik ke Tiongkok, dia memilih balik ke Sriwijaya membawa aneka literatur Buddhisme."Teks-teks berbahasa Sanskerta yang saya bawa mencakup lebih dari 500.000 sloka, yang jika diterjemahkan ke bahasa Tionghoa akan menjadi 1.000 jilid, dan bersama teks-teks ini, sekarang saya tinggal di Foshi [Sriwijaya -red]," kata Yi Jing.

Kesan tentang Sriwijaya

Situs Muaro Jambi [Dok Buku 'Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan']

Dia menyebut Sriwijaya punya banyak daerah kekuasaan. Raja-raja di kawasan Lautan Selatan banyak meyakini agama Buddha. Ibu Kota Sriwijaya disebutnya berbenteng. Untuk kegiatan pendidikan keagamaan Buddha, Yi Jing menilai suasananya sama seperti yang dia rasakan di India."Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah [Madhyadesa, India]; tata cara danupacaranya sama sekali tak berbeda," kata dia.Sriwijaya yang kala itu menjadi pusat pembelajaran agama Buddha punya muara sungai sebagai jalur transportasi. J Takakusu sebagai ahli dan penerjemah ke Bahasa Inggris mengidentifikasi yang ditinggali Yi Jing saat itu adalah kota yang saat ini dinamakan Palembang.Ada cerita yang aneh tentang sungai ini. Suatu saat Yi Jing hendak menitip pesan ke koleganya di Guangzhou Tiongkok agar dibelikan kertas dan tinta, untuk dikirim ke Sriwijaya. Pesan itu ditulisnya dalam surat dan coba disampaikan lewat saudagar di kapal yang hendak berangkat dari muara sungai. Namun karena suasana awak kapal sedang terburu-buru, Yi Jing malah ikut terbawa kapal sampai pulang ke tanah Tiongkok. Padahal dokumen-dokumen hasil kerjanya selama ini masih ada di Sriwijaya. Namun di umur 55 tahunnya saat itu, dia balik lagi dari Tiongkok ke Sriwijaya, namun kali ini membawa sejumlah koleganya sebagai tenaga bantu. Jarak dari Guangdong ke Sriwijaya saat itu adalah 20 hari dengan kapal layar."Shili Foshi tampaknya adalah daerah yang sangat jaya di masa Yi Jing, di mana beliau mengunjungi tempat ini dua kali [tiga kalibila termasuk kepulangan ke Tiongkok yang tak direncanakan] dan menetap sekitar 10 tahun secara total, mempelajari dan menerjemahkan teks-teks, baik yang berbahasa Sanskerta maupun Pali," tulis Takakusu berkomentar di buku itu. Agama yang dianut mayoritas orang Sriwijaya saat itu adalah Buddha aliran Hinayana. Emas adalah barang yang relatif berlimpah di Sriwijaya dibanding di wilayah-wilayah lain yang pernah dilihat Yi Jing. Dia juga menyebut Sriwijaya dengan 'Jinzhou' atau 'Pulau Emas'. Mereka menggunakan kendi-kendi dari emas dan memiliki patung-patung dari emas.Busana yang umum dia lihat dikenakan masyarakat berbahasa Melayu di kerajaan itu adalah sarung. Penduduk Sriwijaya juga disebutnya gemar menggunakan minyak wangi.

Tonton video: Perspektif Lily Hambali: Muslim, Liong dan Barongsai

[Gambas:Video 20detik]

[dnu/fdn]

tirto.id - Sejarah Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti bahwa agama Buddha pernah besar di Indonesia. Selain sebagai kerajaan penganut Buddha pertama di Nusantara, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran ajaran yang dirintis oleh Sidharta Gautama ini. Selain itu, lokasi Kerajaan Sriwijaya juga masih kerap diperdebatkan.

Pada abad ke-7 Masehi, Kerajaan Sriwijaya muncul setelah adanya kota-kota perdagangan di wilayah Sumatera. Saat itu, wilayah pantai Sumatera terkenal dengan keramaiannya karena merupakan salah satu jalur perdagangan. Namun, lokasi tepatnya kerajaan ini belum diketahui kendati konon pernah berpusat di Palembang.

Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelagoand the Malay Peninsula [2006] mengungkapkan, salah satu alasan mengapa keberadaan Sriwijaya sangat sulit dipastikan adalah karena banyaknya nama yang dikait-kaitkan dengan penyebutan kerajaan ini.

Terdapat beberapa penyebutan untuk Sriwijaya. Dalam bahasa Sanskerta disebut sebagai Yavadesh atau Javadeh. Lalu, bangsa Cina menyebutnya Shih-li-fo-shih, San-fo-ts’I, atau San Fo Qi. Adapun para saudagar Arab memanggilnya Zabaj.

Baca juga:

  • Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
  • Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga
  • Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah

Melacak Jejak Kerajaan Sriwijaya

Salah satu petunjuk yang menguatkan keberadaan Sriwijaya adalah Prasasti Ligor. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, ditulis pada 775 M, dan terdapat penghormatan terhadap raja-raja Sriwijaya, seperti Sriwijayendraraja, Sriwijayeswarabhupati, dan Sriwijayanrpati.

Petunjuk lain mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat ditelusuri dari catatan seorang pendeta dari Cina pada masa Dinasti Tang di abad ke-7 bernama I Tsing. Menurut penelitian Gabriel Ferrand bertajuk L’Empire Sumatranais de Crivijaya [1922], I Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.

Nia Kurnia dalam Kerajaan Sriwijaya: Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya [1983] meyakini bahwa catatan I Tsing harus mendapat tempat sebagai sumber informasi terpenting tentang Kerajaan Sriwijaya.

Berangkat dari pendapat tersebut, ada salah satu catatan I Tsing mengenai Sriwijaya.

“Banyak raja dan kelapa suku di pulau-pulau Laut Selatan memuja dan percaya [pada Buddhisme], dan hati mereka penuh tekad menghimpun perbuatan baik. Di kota berbenteng Bhoga, bhiksu-bhiksu Buddhis berjumlah lebih dari seribu dan pikiran mereka terarah pada pengetahuan dan karya yang baik. Mereka meneliti dan mempelajari segala perkara yang sama seperti di Kerajaan Tengah [Tiongkok], peraturan dan upacara tidak jauh berbeda. Kalau seorang bhiksu Cina ingin pergi ke barat untuk mendengarkan [ajaran] dan membaca [teks asli] sebaiknya dia tinggal di sini satu dua tahun dan berlatih menjalankan peraturan yang tepat lalu meneruskan perjalanan ke India Tengah."

Masih ada lagi bukti yang menyatakan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yakni Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang. J.G. Casparis dalam Indonesian Palaeography [1975] mengungkapkan bahwa prasasti ini berangka tahun 682 atau masih dalam perjalanan abad ke-7 M.

Baca juga:

  • Benarkah Sejarah Kerajaan Sriwijaya Fiktif Macam Kata Ridwan Saidi?
  • Mengapa Negara Majapahit Bubar?
  • Ratu Pramodhawardani: Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi

Sriwijaya Pusat Agama Buddha

Kemaharajaan Sriwijaya dikenal sebagai negeri bahari juga merupakan pusat pembelajaran agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Saat itu, Sriwijaya banyak dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negara. Prasasti Ligor merupakan tanda petilasan Buddha telah dibuat di wilayah Sriwijaya.

Agama Buddha memiliki dua mazhab, Mahayana dan Hinayana. Dalam beberapa sumber tertulis dan arca yang ditemukan menyebutkan bahwa ajaran Buddha yang berkembang di Sriwijaya adalah Buddha Mahayana.

Kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan agama Buddha. Para biksu dari berbagai penjuru datang dan tinggal di kerajaan ini dalam waktu yang lama untuk mempelajari ajaran Buddha.

Terkenalnya Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ajaran Buddha tidak lepas dari peran Dharmakrti. Ia adalah biksu tertinggi di Kerajaan Sriwijaya yang memiliki pengetahuan luas tentang ajaran Buddha. Bahkan, Dharmakrti pernah menyusun kritik terhadap isi kitab Abhisamayalamkara.

Baca juga:

  • Gajah Mada dan Kontroversi Dalang Pembunuhan Raja Majapahit
  • Sejarah Kerajaan Majapahit: Pemimpin Lemah, Negara Punah
  • Mengenal Kerajaan Sekala Brak sebagai Leluhur Lampung

Dikutip dari situs resmi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, keilmuan Dharmakrti yang tinggi membuat seorang biksu dari Tibet yang bernama Atisa [Dipamkararsjnana] datang ke Sriwijaya untuk berguru kepadanya pada 1011 hingga 1023 M.

Setelah menjadi kerajaan besar dan pusat ajaran Buddha selama puluhan bahkan ratusan tahun, Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran, salah satunya lantaran invasi Kerajaan Chola dari India Selatan pada 1025 M.

Selain itu, munculnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara dan sekitarnya seperti Siam [Thailand] dan Singasari [Jawa bagian timur] juga semakin menggerus kejayaan Sriwijaya. Hingga akhirnya, Sriwijaya hancur pada 1377 M seiring dengan kemunculan dan semakin besarnya Kerajaan Majapahit.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN SRIWIJAYA atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
[tirto.id - prd/isw]


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề