Setelah mendapatkan haknya mendapat barang yang diinginkan seorang pembeli mempunyai kewajiban untuk

Kolom Hukum J. Satrio

2 April 2018

Kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

J. Satrio

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang pembuat undang-undang dalam Pasal 582 BW lebih memilih melindungi pemilik yang mempunyai unsur salah atas hilang atau dicurinya barang miliknya, daripada melindungi pembeli yang iktikadnya baik, yang membeli di luar tempat-tempat atau bukan dari orang yang disebutkan dalam Pasal 582 BW.

Bagaimana kalau terjadi, bahwa L telah menjual benda X di pasar kepada B dan B telah menjual lagi benda X di pasar kepada C dan A [pemilik] merevindikasi benda X dari tangan C?

Jadi urutan peristiwanya adalah A adalah pemilik benda X yang hilang. Lalu, L yang semula memegang benda X, adalah seorang pedagang pasar, telah menjual benda X di pasar kepada B. Kemudian B menjual lagi benda X di pasar kepada C. Benda X di tempat C direvindikasi oleh A.

Pada waktu benda X direvindikasi oleh A di tempat C, C mempunyai hak untuk berlindung di belakang Pasal 582 BW, yaitu menahan benda X sampai kepadanya dibayar uang pembelian benda X. Namun, karena itu merupakan hak, maka sesuai dengan prinsip hak yang empunya hak boleh menggunakan hak itu atau tidak. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa C tidak menggunakan haknya untuk berlindung di belakang Pasal 582 BW, tetapi memilih untuk menuntut penanggungan [vrijwaring] dari penjualnya, si B. Dasarnya ada dalam Pasal 1474 jo. Pasal 1491 BW.

Pasal 1474 BW mengatakan “ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya”.

Karena Pasal 1474 BW terletak pada Bagian Kedua Bab Kelima Buku II BW, di bawah judul “Tentang kewajiban-kewajiban penjual”, maka yang dimaksud dengan kata “ia” dalam Pasal 1474 BW adalah “penjual”.

Selanjutnya Pasal 1491 BW mengatakan; “Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.

Page 2

Kolom Hukum J. Satrio

2 April 2018

Kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

Karena obyek jual beli direvindikasi oleh pemilik [A], maka pembeli [C] -berdasarkan Pasal 1491 BW- berhak menuntut pembatalan perjanjian dan uang kembali. Bukankah kalau perjanjian dibatalkan, maka para pihak dikembalikan kepada posisi sebelum ada perjanjian? Bukankah Pasal 1265 BW mengatakan:

“Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan”.

Kebatalan membawa para pihak kembali kepada keadaan sebelum ada perikatan. Sebelum ada perikatan, tidak kewajiban timbal balik pada para pihak. Konsekuensinya, apa yang telah terlanjur dibayarkan adalah suatu pembayaran yang tidak terhutang dan kerenanya -atas tuntutan- harus dikembalikan [baca Pasal 1359 BW]. 

Kalau begitu, B harus mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh C untuk membeli benda X dan hal itu berarti, B harus menderita rugi, kecuali ia bisa menemukan L yang telah menjual benda X kepadanya.

Apakah B tidak bisa berlindung di belakang Pasal 582 BW? Bukankah pasal tersebut hendak melindungi orang yang membeli -barang curian atau barang hilang- dari tempat atau orang yang disebutkan dalam Pasal 582 BW? Kalau betul, lalu -dalam peristiwa seperti tersebut di atas- bagaimana bentuk perlindungan yang mungkin diberikan kepada B?

Mestinya, jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memberikan hak kepada B untuk menuntut, agar A membayar uang, yang B telah keluarkan untuk membeli benda X. Apakah posisi seperti itu tidak aneh?

A merevindikasi benda X -miliknya- dari tangan C. Karena C tidak menggunakan haknya berdasarkan Pasal 582 BW -untuk mendapatkan penggantian uang pembeliannya- tetapi memilih menggugat B atas dasar kewajiban penanggungannya [vrijwaring] sebagai penjual, maka B, yang menghadapi tuntutan C, menggunakan haknya untuk minta, agar A mengganti uang pembeliannya. Sekalipun kedengaran aneh, namun itulah cara  untuk bisa mewujudkan janji Pasal 582 BW, yaitu janji bahwa pembeli barang curian/hilang, yang membeli barang itu dari tempat atau orang yang disebutkan dalam Pasal 582 BW, mendapat perlindungan hukum. Apakah anda bisa setuju dengan cara penyelesaian seperti di atas?

Page 3

Kolom Hukum J. Satrio

2 April 2018

Kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

Apakah tindakan C, tidak menggunakan haknya untuk minta penggantian uang pembelian dari pemilik [A], yang merevindikasi benda X dari tangannya -yang ternyata merugikan B- bisa dibenarkan?

Apakah -dalam hukum- tidak ada kewajiban bagi C untuk menghindarkan atau paling tidak, mengurangi kerugian pada B, kalau ada sarana untuk itu pada C, yang memungkinkan hal itu, tanpa memberatkan bagi C? Bukankah tindakan menahan benda X pada dirinya sampai ia mendapatkan penggantian uang pembeliannya -dengan mendasarkan pada kewenangannya untuk itu dari Pasal 582 BW- adalah lebih mudah daripada untuk mulai suatu gugatan penjaminan [vrijwaring] terhadap B?

Peristiwa seperti di atas, mengingatkan kita kepada Pasal 283 KUHD yang menetapkan:

“Dengan tidak mengurangi adanya ketentuan-ketentuan khusus mengenai berbagai macam pertanggungan, maka wajiblah seorang tertanggung untuk mengusahakan segala sesuatu guna mencegah atau mengurangi kerugian dan wajiblah ia segera setelah terjadinya kerugian itu, memberitahukan kepada si penanggung; semuanya itu atas ancaman mengganti biaya, rugi dan bunga, apabila ada alasan untuk itu”. 

Ketentuan itu ada pada Bab Kesembilan Buku Kesatu KUHD, di bawah judul: Tentang Asuransi dan pertanggungan seumumnya, sehingga ketentuan dalam Pasal 283 KUHD hendak melindungi kepentingan pihak asuransi dari kelalaian tertanggungnya. Kiranya merupakan suatu ketentuan yang patut.

Apakah prinsip yang terkandung dalam Pasal 283 KUHD bisa kita terapkan pada peristiwa penerapan Pasal 582 BW, sebagai yang telah disebutkan di depan?

Sekalipun harus diakui, bahwa ketentuan Pasal 283 KUHD merupakan ketentuan khusus, yang mengatur hubungan hukum antara penanggung dengan tertanggungnya, namun demikian, apakah, atas dasar kepatutan, kita tidak bisa menerapkannya juga -secara analogi- pada peristiwa yang telah disebutkan di depan? Bukankah dalam hukum, kita mengenal adanya penerapan secara analogi atas peristiwa lain yang tidak secara tegas diatur dalam undang-undang? Di samping itu, bukankah kita sering melihat adanya perikatan yang lahir dari kepatutan? Apakah anda setuju dengan pendirian di atas?

Kalau C berhak untuk melancarkan tangkisan dengan mengatakan, bahwa B, dengan tidak menggunakan haknya yang diberikan oleh undang-undang, telah merugikan dirinya [B] dan C tahu, bahwa perbuatannya akan menimbulkan kerugian pada B, apakah perbuatan atau sikap C -terhadap B- merupakan suatu perbuatan atau sikap, yang -dalam pergaulan hidup- tidak secara patut memperhatikan kepentingan diri dan harta C dan karenanya -dengan mendasarkan kepada penafsiran perbuatan melawan hukum yang luas, sesuai dengan arrest Lindenbaum–Cohen 31 Januari 1919, dimuat dalam NJ. 1919, 161- merupakan suatu perbuatan melawan hukum?

Page 4

Kolom Hukum J. Satrio

2 April 2018

Kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

Dengan dibenarkannya B menuntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka ada tekanan terhadap C untuk menggunakan haknya -yang diberikan oleh Pasal 582 BW- yang tidak merugikan B.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sikap tidak menggunakan hak yang dipunyai seseorang, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, betul merupakan perbuatan melawan hukum? Bukankah ada banyak peristiwa di mana orang tidak menggunakan hak yang dipunyainya, yang mungkin sekali berakibat kerugian pada orang lain, yang tidak kita ketahui dan tidak sepatutnya kita duga?

Kalau begitu, bagaimana kalau kita batasi lingkupnya menjadi apakah, kalau orang tidak menggunakan haknya, padahal ia tahu atau sepatutnya tahu, bahwa sikap yang diambil olehnya akan merugikan orang lain, merupakan perbuatan melawan hukum? Bukankah dalam peristiwa di atas, C tahu, bahwa sikapnya lebih memilih menuntut tanggung jawab B atas dasar vrijwaring daripada menggunakan haknya berdasarkan Pasal 582 BW, merugikan B? Apakah dengan demikian boleh kita katakan, bahwa kalau orang tidak menggunakan hak yang dipunyainya berdasarkan undang-undang dan tahu -atau sepatutnya tahu- bahwa tidak digunakannya hak itu akan merugikan orang lain, merupakan perbuatan melawan hukum dengan segala konsekwensinya?

Bukankah cara berfikir seperti itu -atas dasar kepatutan- bisa diterima? Apakah anda setuju?

Bagaimana dengan nasib pembeli barang curian dan barang yang hilang, yang telah membeli di luar tempat-tempat atau bukan dari orang yang disebutkan dalam Pasal 582 BW, setelah lewat 3 tahun sejak barang itu hilang atau dicuri?

Undang-undang tidak mengatur secara jelas hal itu. Namun, kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

Demikian rangkaian pembicaraan kita tentang Kedudukan Hukum Pembeli Barang Curian. Semoga bermanfaat.

J. Satrio

Page 5

Kolom Hukum J. Satrio

2 April 2018

Kalau pemegang telah membelinya dengan iktikad baik, maka -dengan berpegang pada Pasal 1977 ayat [1] BW- kiranya kita bisa setujui, bahwa barang itu selanjutnya menjadi milik pembeli.

J. Satrio

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang pembuat undang-undang dalam Pasal 582 BW lebih memilih melindungi pemilik yang mempunyai unsur salah atas hilang atau dicurinya barang miliknya, daripada melindungi pembeli yang iktikadnya baik, yang membeli di luar tempat-tempat atau bukan dari orang yang disebutkan dalam Pasal 582 BW.

Bagaimana kalau terjadi, bahwa L telah menjual benda X di pasar kepada B dan B telah menjual lagi benda X di pasar kepada C dan A [pemilik] merevindikasi benda X dari tangan C?

Jadi urutan peristiwanya adalah A adalah pemilik benda X yang hilang. Lalu, L yang semula memegang benda X, adalah seorang pedagang pasar, telah menjual benda X di pasar kepada B. Kemudian B menjual lagi benda X di pasar kepada C. Benda X di tempat C direvindikasi oleh A.

Pada waktu benda X direvindikasi oleh A di tempat C, C mempunyai hak untuk berlindung di belakang Pasal 582 BW, yaitu menahan benda X sampai kepadanya dibayar uang pembelian benda X. Namun, karena itu merupakan hak, maka sesuai dengan prinsip hak yang empunya hak boleh menggunakan hak itu atau tidak. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa C tidak menggunakan haknya untuk berlindung di belakang Pasal 582 BW, tetapi memilih untuk menuntut penanggungan [vrijwaring] dari penjualnya, si B. Dasarnya ada dalam Pasal 1474 jo. Pasal 1491 BW.

Pasal 1474 BW mengatakan “ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya”.

Karena Pasal 1474 BW terletak pada Bagian Kedua Bab Kelima Buku II BW, di bawah judul “Tentang kewajiban-kewajiban penjual”, maka yang dimaksud dengan kata “ia” dalam Pasal 1474 BW adalah “penjual”.

Selanjutnya Pasal 1491 BW mengatakan; “Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề