Siapakah yang bertanggung jawab atas upaya pengosongan terhadap agunan yang sudah dilelang?

Lihat Foto

Thinkstock

Ilustrasi rumah

Membeli rumah dari proses lelang yang diselenggarakan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang [KPKNL] sudah jamak dilakukan oleh beberapa pihak.

Namun, proses pembelian rumah melalui mekanisme tersebut tak lepas dari permasalahan. Salah satu problematikanya adalah terkait pengosongan rumah.

Pihak penghuni rumah yang sudah dilelang dan telah beralih kepemilikannya ke pemenang lelang tidak bersedia mengosongkan objek lelang.

Alhasil, tindakan tersebut tentu merugikan pihak pemenang lelang karena tidak dapat memperoleh kenikmatan dari rumah yang telah dibelinya.

Sehubungan dengan tindakan penghuni yang tidak bersedia mengosongkan rumah lelang, apa langkah hukum dapat ditempuh pihak pemenang lelang untuk mempertahankan haknya atas rumah yang dibelinya?

Peralihan hak milik atas rumah lelang

Secara umum, proses lelang terhadap rumah dilakukan apabila objek dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan.

Lelang dilakukan apabila pihak debitur melakukan wanprestasi atas kewajiban pembayaran kepada pihak kreditur.

Pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari sertipikat hak tanggungan.

Baca juga: Berencana Membeli Rumah, Ini Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui

Menurut Pasal 14 ayat [3] UU No. 4 Tahun 1996 tentang Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah [UU No. 4 Tahun 1996], ditegaskan bahwa sertifikat hak tanggungan dipersamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selengkapnya pasal tersebut menyatakan:

Lembaga lelang memiliki peranan yang strategis dalam menggerakkan perekonomian Indonesia, diantaranya melalui lelang eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan [UUHT]. Pihak perbankan menggunakan lelang Pasal 6 UUHT untuk memperoleh pelunasan atas utang debitur yang macet yang secara langsung akan menurunkan tingkat Non Performing Loan [NPL] dan akan berdampak positif terhadap tingkat kesehatan keuangan perbankan.

Penyaluran kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan kepada debitur disertai pengikatan jaminan milik debitur dengan “Akta Pemberian Hak Tangungan [APHT]”. APHT pada dasarnya memberikan kepastian hukum dan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan di muka umum atas barang jaminan apabila debitur wanprestasi [parate eksekusi] sebagai bagian dari proses penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank/kreditur.

Atas pelaksanaan lelang Pasal 6 UUHT yang laku dan telah ditetapkan pemenang lelang, maka akan dibuatkan risalah lelang oleh pejabat lelang yang berfungsi sebagai akta otentik adanya peralihan hak atas tanah tersebut dari pemilik lama [debitur] kepada pemenang lelang. Selanjutnya, berdasarkan risalah lelang tersebut, pemenang lelang dapat melakukan pengurusan balik nama ke kantor Badan Pertanahan Nasional.

Dalam praktiknya terdapat dinamika yang mungkin terjadi dalam upaya kreditur untuk menjual barang jaminan melalui lelang, salah satunya adalah upaya gugatan atau bantahan ke pengadilan dari debitur yang ditujukan kepada kreditur sebagai penjual, KPKNL sebagai perantara pelaksanaan lelang, dan pemenang lelang. Oleh karenanya, masih ada masyarakat yang kurang berminat mengikuti lelang karena dalam prosesnya cukup rentan terhadap upaya hukum seperti gugatan. Hal ini kiranya perlu menjadi perhatian bagi para pihak terkait untuk melakukan edukasi sehingga masyarakat mengetahui proses yang perlu dilakukan agar mendapat perlindungan hukum.

Banyak faktor yang dapat menimbulkan gugatan atau bantahan salah satunya terjadi karena debitur dimungkinkan tidak mau menyerahkan objek yang telah laku dilelang kepada pemenang lelang secara sukarela. Namun demikian, dalam APHT pada dasarnya telah diperjanjikan mengenai pengosongan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 11 ayat [2] huruf K UUHT, sehingga tidak ada alasan lagi bagi debitur untuk berkelit dan menolak pengosongan. Atas perbuatan debitur tersebut, pemenang lelang dapat mengajukan permohonan Eksekusi Pengosongan ke pengadilan.

Sebelum mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke pengadilan, pemenang lelang mengajukan permohonan Grosse Risalah Lelang yang merupakan salinan asli Risalah Lelang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuahan Yang Maha Esa” ke KPKNL. Grosse Risalah Lelang memiliki kekuatan eksekutorial yang berkekuatan sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Setelah memperoleh Grosse Risalah Lelang, pemenang lelang dapat mengajukan permohonan pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tanpa harus melalui gugatan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 200 ayat [11] HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung [SEMA] Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyatakan “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”.

Selanjutnya setelah permohonan eksekusi pengosongan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri maka Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan untuk aanmaning yang berisi perintah kepada juru sita untuk memanggil Termohon eksekusi hadir pada sidang aanmaning yang akan dihadiri oleh Ketua, Panitera dan Termohon EksekusiNantinya dalam sidang tersebut Ketua Pengadilan Negeri akan memberi peringatan kepada Termohon eksekusi agar mengosongkan objek tereksekusi. Ketua Pengadilan kemudian menerbitkan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita untuk kemudian diberitahukan kepada pihak-pihak dalam eksekusi dan pejabat yang terkait dalam pelaksanaan eksekusi.

Adapun apabila sebelum pelaksanaan eksekusi pengosongan, Termohon eksekusi melakukan perlawanan ke pengadilan agar pelaksanaan eksekusi tersebut ditangguhkan, maka yang berwenang untuk menangguhkan atau meneruskan eksekusi tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, pentingnya pemahaman yang memadai atas peraturan perundang-undangan yang ada secara prinsip akan memberikan perlindungan hukum bagi pemenang lelang untuk menguasai barang jaminan yang dibeli melalui lelang dan perlawanan yang diajukan oleh Termohon Eksekusi.

 Nor Fuad Al Hakim – Pelaksana Seksi HI KPKNL Parepare

 Daftar Pustaka

Website Pengadilan Agama Giri Menang, SOP eksekusi riil pengosongan dan pembongkaran;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Lelang eksekusi hak tanggungan khususnya yang objeknya pada perbankan syariah maupun konvensional memiliki peran yang sangat strategis dalan perekonomian Indonesia. Manfaaat yang diterima oleh perbankan dari proses lelang ini tentu saja selain memperoleh pelunasan dan menurunkan tingkat Non Performing Loan [NPL],  juga akan berdampak positif terhadap tingkat kesehatan keuangan perbankan itu sendiri. Kredit yang disalurkan kreditur kepada debitur akan diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan [APHT] yang memungkinkan pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan di muka umum atas barang jaminan apabila debitur wanprestasi, dalam hal ini dapat melakukan proses penyelesaian kredit melalui proses lelang barang jaminan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang [KPKNL].

Namun fakta di lapangan, permasalahan terjadi ketika objek hak tanggungan berupa tanah dan/atau bangunan dalam masih berpenghuni. Proses pengosongan objek lelang ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli lelang. Dalam hal penghuni tidak bersedia mengosongkan objek lelang secara sukarela, maka pembeli lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga peradilan. Hal tersebut lumrah terjadi apabila objek lelang tersebut berasal dari bank konvensional, namun bagaimana perlindungan hukum bagi pemenang  objek lelang hak tanggungan dari perbankan syariah? kemudian siapakah yang mempunyai kewenangan mengeksekusi pengosongan objek lelang hak tanggungan bila pemenang lelang belum bisa menguasai objek lelang secara sukarela?. Pertanyaan tersebut muncul sebab terdapat perbedaan dasar-dasar dalam melakukan perjanjian atau akad kredit pada bank konvensional dan bank syariah.

Bagaimana Peranan KPKNL Dalam Penyelesaian Debitur Wanprestasi Pada Perbankan

Lelang merupakan sarana jual beli yang saat ini terus berkembang dan menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menjual ataupun membeli objek lelang. Lelang bersifat terbuka untuk umum sehingga siapa saja dapat menjadi penjual dan pembeli lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dibanding sarana jual beli lainnya, dalam lelang terdapat unsur kompetisi dan dijamin keamanannya oleh Undang-Undang. Masing-masing peserta lelang memberikan penawaran terhadap barang yang diminatinya yang pada akhirnya penawar tertinggilah yang akan ditetapkan sebagai pembeli lelang. Pelaksanaan lelang telah diatur dalam Undang-Undang Lelang [Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad1908:189 j.o Staatsblad 1941:3], sehingga memberikan jaminan bagi penjual dan pembeli lelang untuk memperoleh haknya dari pelaksanaan lelang.

Keunggulan  tersebut membuat lelang menjadi pilihan juga dalam melaksanakan lelang eksekusi hak tanggungan. Perjanjian kredit antara kreditur dan debitur, dimana kreditur memberikan sejumlah uang sebagai pinjaman kepada debitur yang di kemudian hari wajib dilunasi oleh debitur dalam jangka waktu tertentu. Demi mengurangi risiko kredit, perjanjian kredit ini diikuti pula dengan perjanjian terhadap barang jaminan, yaitu debitur menjadikan tanah dan/atau bangunan miliknya untuk menjadi tanggungan utang. Dalam hal debitur wanprestasi tidak mampu membayar kewajiban utangnya, maka kreditur dapat melakukan penjualan atas barang jaminan tersebut.

Perjanjian atau akad kredit antara kreditur dan debitur pada bank konvesional dan bank syariah memliki perbedaan. Dalam perbankan syariah, tentunya perjanjian kredit harus menerapkan prinsip-prinsip syariah. Walaupun terdapat perbedaan dalam perjanjian kreditnya, untuk perjanjian jaminan utangnya secara prinsip sama, karena mengacu ke pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam hal debitur cedera janji, maka kreditur perbankan konvensional ataupun perbankan syariah dapat melaksanakan penjualan melalui lelang pada KPKNL.

Kehati-Hatian Pejabat Lelang Dalam Menerbitkan  Grosse Risalah Lelang  

            Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Terdapat perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah dalam memperlakukan  Risalah Lelang dalam hal pemenang lelang mengajukan eksekusi pengosongan ke Pengadilan setempat. Tentunya dapat diambil benang merahnya antara permohonan lelang Hak Tanggungan dari Bank Konvesional dengan Bank Syariah. Ketika pemenang lelang mengajukan eksekusi pengosongan maka sebagai pemenang lelang juga harus mengetahui dalam pengosongan atas objek hak tanggungan yang dilaksanakan oleh KPKNL dikenal dengan istilah Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pembeli lelang yang telah ditetapkan sebagai pemenang dalam lelang berhak untuk menguasai dan memiliki objek hak tanggungan. Kerap terjadi objek hak tanggungan yang berupa tanah dan/atau bangunan tidak dalam keadaan kosong atau berpenghuni, untuk itu pembeli lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke lembaga peradilan. Dalam beberapa kasus, permohonan eksekusi ini mendapat penolakan dari lembaga peradilan yang berwenang. Permohonan eksekusi dari pembeli lelang atas objek hak tanggungan perbankan syariah mendapat penolakan oleh pengadilan negeri, dengan alasan pengadilan negeri bukanlah pihak yang berwenang melakukan eksekusi. Di sisi lain, ketika permohonan eksekusi dimohonkan ke pengadilan agama juga mendapat penolakan. Dalam beberapa kasus, penolakan oleh pengadilan agama karena ada klausula dalam grosse risalah lelang yang mencantumkan eksekusi oleh “pengadilan negeri”, sebagai berikut:

“Apabila pengosongan bangunan tersebut tidak dapat dilakukan secara sukarela, maka Pembeli berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 200 HIR dapat meminta bantuan Pengadilan Negeri setempat untuk pengosongannya”.

Walaupun penolakan eksekusi atas objek lelang dari hak tanggungan perbankan syariah tidak jamak terjadi di semua KPKNL, namun hal ini perlu di analisis lebih lanjut guna memberikan kepastian hukum bagi pembeli lelang dalam mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.

Kewenangan Pengadilan Apa Yang Berhak Melaksanakan Eksekusi Pengosongan Atas Objek Lelang Hak Hanggungan Dari Perbankan Syariah

1.     Siapakah yang berwenang melaksanakan eksekusi pengosongan atas objek lelang hak tanggungan dari perbankan syariah?

Perlu diketahui bahwa perjanjian atau akad kredit antara kreditur dan debitur terdapat perbedaan antara bank konvesional dan bank Syariah. Maka kewenangan Pengadilan Agama dalam Sistem Peradilan sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam Pasal 24 ayat [2] bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.

Dalam Pasal 49 menyatakan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syariah.

Penjelasan Pasal 49 menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah; lembaga keuangan mikro syariah; asuransi syariah; reasuransi syariah; reksa dana syariah; obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; sekuritas syariah; pembiayaan syariah; pegadaian syariah; dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan bisnis syariah.

Gambaran Objek Penelitian dalam artikel ini adalah pelaksanaan eksekusi pengosongan objek lelang berupa hak tanggungan pada perbankan syariah. Pembeli lelang yang telah ditetapkan sebagai pemenang atas objek lelang, dalam beberapa kasus terdapat kesulitan dalam menguasai objek mengingat objek lelang masih berpenghuni. Kebanyakan penghuni tidak berkenan mengosongkan objek lelang, walaupun pembeli lelang telah melakukan upaya musyawarah dan meminta penghuni untuk mengosongkan objek lelang secara sukarela.

Dalam hal penghuni tidak berkenan mengosongkan objek lelang, maka pembeli lelang mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Terkait permohonan eksekusi ini ada ketidakseragaman dalam pelaksanaannya, apakah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Di sisi lain, lembaga peradilan yang berwenang melakukan eksekusi juga mempermasalahkan klausula pada grosse risalah lelang yang menjadi dasar penetapan eksekusi oleh pengadilan. Terkait hal ini, pada bagian berikutnya akan dianalisis dan dibahas lebih lanjut mengenai kewenangan pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pengosongan objek lelang yang berasal dari eksekusi hak tanggungan pada perbankan syariah.

2. Dalam hal risalah lelang telah terbit dan dalam klausula risalahnya masih disebutkan pelaksanaan eksekusi pengosongan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, langkah apa yang dapat diambil agar pelaksanaan eksekusi sebagaimana angka 1 dapat dilakukan?

Dalam analisis dan pembahasan dalam artikel ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 55 menyebutkan bahwa:

[1]   penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

[2]   dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat [1], penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

[3]   penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat [2] tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, yang dimaksud “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad” pada Pasal 55 ayat [2] merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional [Basyarnas] atau lembaga arbitrase lain, dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, dimana ayat [1] penyelesaian sengketa dilakukan di Pengadilan Agama, sementara di ayat [2] dilakukan sesuai isi perjanjian. Permasalahan ini menjadi rumit dalam bidang peradilan, apabila dalam isi akad dicantumkan frasa bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan di Pengadilan Negeri [peradilan umum], mengingat hak tanggungan ini terkait dengan hak keperdataan. Dilatarbelakangi ketidakpastian ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013 dengan amar putusan sebagai berikut:

1.     Mengabulkan permohonan untuk sebagian;

2.     Penjelasan Pasal 55 ayat [2] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3.     Penjelasan Pasal 55 ayat [2] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4.     Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

5.     Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Berdasarkan putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama merupakan lembaga peradilan yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Pada prinsipnya perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian yang bersifat “assecoir” [melekat] terhadap perjanjian pokok, sehingga apabila perjanjian pokoknya dilaksanakan dengan prinsip syariah maka melekat pula prinsip syariah pada hak tanggungan tersebut. Dengan demikian, Pengadilan Agama berwenang pula melaksanakan eksekusi atas barang jaminan yang perjanjian pokoknya dilaksanakan dengan prinsip syariah.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung [SEMA] Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, disebutkan, “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh Kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”. Namun dalam SEMA ini tidak mengatur secara jelas apakah eksekusi hak tanggungan dimaksud berdasarkan prinsip syariah atau tidak.

            Selanjutnya Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA baru yaitu, SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Dalam Huruf B Rumusan Hukum Kamar Perdata Angka 8 dan Huruf C Rumusan Hukum Kamar Agama Angka 2 dalam SEMA tersebut menyebutkan bahwa, “Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan fiducia yang akadnya berdasarkan prinsip syariah merupakan kewenanggan peradilan agama, sedangkan yang selainnya merupakan kewenangan peradilan umum”. Diatur pula berkenaan dalam hal rumusan pleno kamar tahun-tahun sebelumnya secara substansi bertentangan dengan rumusan hasil pleno kamar tahun 2016, rumusan hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku.

Dalam beberapa kasus, risalah lelang yang memuat klausula eksekusi mencantumkan frasa yang pada intinya menerangkan bahwa pengosongan objek dapat dilakukan oleh pengadilan negeri setempat. Permasalahan muncul ketika Pengadilan Negeri menolak permohonan eksekusi dari pembeli lelang, karena pengadilan negeri bukanlah lambaga peradilan yang berwenang melakukan eksekusi, mengingat objek lelang tersebut berkaitan dengan pelaksanaan lelang hak tanggungan pada perbankan syariah. Namun demikian, permohonan eksekusi baru dapat dilakukan oleh pengadilan agama apabila klausula eksekusi yang tertuang di dalam risalah lelang yang memuat “Pengadilan Negeri” untuk diubah terlebih dahulu.

Klausula eksekusi di atas merupakan klausula yang tertuang dalam penulisan risalah lelang sesuai Perdirjen Kekayaan Negara Nomor 03/KN/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembuatan Risalah Lelang. Walaupun Perdirjen tersebut telah diubah dengan Perdirjen Kekayaan Negara Nomor 5/KN/2017, namun demikian pada prakteknya masih terdapat permasalahan terkait klausula eksekusi tersebut. Klausula eksekusi yang diatur dalam Perdirjen KN Nomor 05/KN/2017 dan PMK 213/PMK.06/2020 adalah sebagai berikut:

“Apabila tanah dan/ atau bangunan yang akan dilelang berada dalam
keadaan berpenghuni, maka pengosongan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pembeli. Apabila pengosongan tersebut tidak dapat dilakukan secara sukarela, maka Pembeli berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat meminta penetapan Ketua Pengadilan setempat untuk pengosongannya.”

Pencantuman klausula terkait eksekusi dengan frasa “Ketua Pengadilan setempat” akan memberikan fleksibilitas bagi pembeli lelang dalam mengajukan permohonan eksekusi, sehingga dapat dimohonkan ke Pengadilan Negeri [untuk hak tanggungan pada bank konvensional] atau Pengadilan Agama [untuk hak tanggungan pada perbankan syariah]. Namun demikian, untuk memperjelas kewenangan eksekusi objek lelang yang berasal dari hak tanggungan pada perbankan syariah, maka klausulanya dapat dibuat sebagai berikut:

“Apabila tanah dan/ atau bangunan yang akan dilelang berada dalam
keadaan berpenghuni, maka pengosongan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pembeli. Apabila pengosongan tersebut tidak dapat dilakukan secara sukarela, maka Pembeli berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat meminta penetapan Ketua Pengadilan Agama setempat untuk pengosongannya.”


Dalam hal risalah lelang yang telah terbit atas objek lelang berupa hak tanggungan perbankan syariah memuat frasa “Pengadilan Negeri”, maka dapat dilakukan pembetulan atas redaksional risalah lelang. Perbaikan klausula atau pembetulan redaksional risalah lelang sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pembetulan risalah lelang dapat dilakukan sebelum atau sesudah ditutup dan ditandatangninya risalah lelang. Pembetulan yang dilakukan sesudah ditutup dan ditandatanganinya risalah lelang tidak boleh dilakukan, kecuali terdapat kesalahan redaksional yang:

  •  bersifat prinsipiil terkait legalitas subjek dan objek lelang yang dapat merugikan Penjual dan/ atau Pembeli apabila tidak dilakukan pembetulan; atau
  • menjadi temuan Superintenden atau aparat fungsional pemeriksa dan perlu ditindaklanjuti dengan pembetulan.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulis menulis artikel ini sebagai berikut: Menganalisis dari sisi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pihak pengadilan yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi pengosongan objek lelang yang berasal dari hak tanggungan pada perbankan Syariah, dan Memberikan solusi atau langkah-langkah perbaikan risalah lelang yang telah terbit yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan eksekusi pengosongan objek lelang. Kemudian manfaat yang diberikan dari artikel ini adalah sebagai berikut: Memberikan kepastian hukum kepada pembeli lelang untuk mengajukan permohonan eksekusi pengosongan objek lelang kepada lembaga peradilan, dalam hal pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilakukan secara sukarela, dan Memberikan masukan kepada DJKN terkait pencantuman klausula dalam risalah lelang, utamanya yang terkait dengan pelaksanaan eksekusi pengosongan objek lelang yang berasal dari pelaksanaan lelang hak tanggungan pada perbankan syariah.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pelaksanaan eksekusi pengosongan objek hak tanggungan pada perbankan syariah yang akadnya dilaksanakan dengan prinsip syariah, kewenangan eksekusinya merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pembeli lelang yang belum dapat menguasai objek lelang karena penghuni belum mengosongkan objek lelang secara sukarela, maka sebagai pemenang lelang Hak Tanggungan dari Bank Syariah dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama, dan  guna memenuhi hak pembeli lelang sebagai pengguna layanan lelang untuk menguasai objek lelang, dan membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Agama, dalam hal risalah lelang masih menggunakan klausula “Pengadilan Negeri”, maka KPKNL c.q. Pejabat Lelang dapat melakukan pembetulan klausula/redaksional risalah lelang tersebut sesuai dengan PMK Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Saran berdasarkan simpulan di atas penulis  menyarankan hal-hal sebagai berikut:

1.     KPKNL c.q. Pejabat Lelang agar mengarahkan pembeli lelang untuk mengajukan permohonan eksekusi pengosongan objek lelang dari perbankan syariah kepada Pengadilan Agama. Hal ini dilakukan apabila penghuni atas objek tersebut berkeberatan untuk mengosongkan objek secara sukarela.

1.     Memberikan saran kepada DJKN untuk menetapkan standar klausula eksekusi pengosongan objek lelang hak tanggungan pada perbankan syariah sebagai berikut:

“Apabila tanah dan/ atau bangunan yang akan dilelang berada dalam
keadaan berpenghuni, maka pengosongan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pembeli. Apabila pengosongan tersebut tidak dapat dilakukan secara sukarela, maka Pembeli berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat meminta penetapan Ketua Pengadilan Agama setempat untuk pengosongannya.”

2.     KPKNL perlu membangun fungsi koordinasi dan komunikasi yang baik dengan badan peradilan terkait pelaksanaan eksekusi pengosongan objek lelang, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Penulis : Tim Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palu dan bekerja sama dengan :

1. Sdr. Maulana Gilang Firdaus [Peserta PJJ Pejabat Lelang Kelompok 3 tahun 2021];

2. Sdr. Christian Bernardo [Peserta PJJ Pejabat Lelang Kelompok 3 tahun 2021];

3. Sdri. Iva Nurdianah Azizah [Peserta PJJ Pejabat Lelang Kelompok 3 tahun 2021].

Referensi        :

1.     Undang - Undang Lelang [Vendu Reglement Staatblad 1908: 189 sebagaimana telah diubah dengan Staatblad 1940:56];

2.     Instruksi Lelang [Vendu Instructie Staatblad 1908: 190 sebagaimana telah diubah dengan Staatblad 1930:85];

3.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria;

4.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama;

5.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

6.     Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

7.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 tahun 2020 Tentang Jenis dan Tarif atas PNBP yang berlaku pada Kementerian Keuangan;

8.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;

9.     Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 5/KN/2017 tentang Risalah Lelang.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề