Suatu keadaan dimana usaha mengalami peningkatan dari hasil yang sebelumnya sebagai suatu proses peningkatan kuantitas dari dimensi perusahaan tersebut disebut?

Pengertian keberhasilan usaha adalah suatu keadaan dimana usaha mengalami peningkatan dari hasil yang sebelumnya. Keberhasilan usaha merupakan tujuan utama dari sebuah perusahaan, dimana segala aktivitas yang ada di dalamnya ditujukan untuk mencapai suatu keberhasilan. Dalam pengertian umum, keberhasilan usaha menunjukkan suatu keadaan yang lebih baik/unggul dari pada masa sebelumnya. Hal tersebut selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Moch. Kohar Mudzakar [1998] yang menyatakan bahwa: Keberhasilan usaha adalah sesuatu keadaan yang menggambarkan lebih daripada lainnya yang sederajat atau sekelasnya.

Definisi Keberhasilan Usaha


Menurut Suyanto [2010:179]  Keberhasilan usaha industri kecil di pengaruhi oleh berbagai faktor. Kinerja usaha perusahaan merupakan salah satu tujuan dari setiap pengusaha. Kinerja usaha industri kecil dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan dalam pencapaian maksud atau tujuan yang diharapkan. Sebagai ukuran keberhasilan usaha suatu perusahaan dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti: kinerja keuangan dan image perusahaan.

Menurut Erliah [2007:49]

 “Suatu usaha dikatakan berhasil di dalam usahanya apabila setelah jangka waktu tertentu usaha tersebut mengalami peningkatan baik dalam permodalan, skala usaha, hasil atau laba, jenis usaha atau pengelolaan” .

Selain dari laba, keberhasilan  usaha dapat dilihat dari target yang dibuat oleh pengusaha. Hal ini seperti yang terungkap oleh Dalimunthe dalam Edi Noersasongko [2005:27] yang menyatakan bahwa kita dapat menganalisis keberhasilan usaha dengan mengetahui kinerja suatu perusahaan yang dapat dirumuskan melalui suatu perbandingan nilai yang dihasilkan perusahaan dengan nilai yang diharapkan dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.


Kinerja perusahaan adalah output dari berbagai faktor di atas yang oleh karenanya ukuran ini menjadi sangat penting untuk mengetahui tingkat adaptabilitas bisnis dengan lingkungannya. Kinerja usaha perlu dihubungkan dengan target perusahaan yang ditentukan oleh manajer-pemilik usaha. Apapun targetnya, kinerja usaha merupakan tolok ukur untuk menilai seberapa besar tingkat pencapaian suatu target atau tujuan usaha.
Menurut Ina Primiana [2009:49]  “Keberhasilan usaha adalah permodalan sudah terpenuhi, penyaluran yang produktif dan tercapainya tujuan organisasi”.

Algifari [2003:118] 

“Keberhasilan usaha dapat dilihat dari efisiensi proses produksi yang dikelompokkan berdasarkan efisiensi secara teknis dan efisiensi secara ekonomis”

Moch. Kohar Mudzakar dalam Ressa Andari [2011:21]

“Keberhasilan usaha adalah sesuatu keadaan yang menggambarkan lebih daripada yang lainnya yang sederajat/sekelasnya.”

Henry Faizal Noor [2007:397] 

“Keberhasilan usaha pada hakikatnya adalah keberhasilan dari bisnis mencapai tujuannya, suatu bisnis dikatakan berhasil bila mendapat laba, karena laba adalah tujuan dari seseorang melakukan bisnis”.

Dwi Riyanti [2003:24]

“Keberhasilan usaha didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau tujuan organisasi”.

Menurut Albert Wijaya dalam Suryana [2011:168]

“Faktor yang merupakan tujuan yang kritis dan menjadi ukuran dari keberhasilan suatu perusahaan adalah adalah laba”.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Usaha

Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Usaha dapat digambarkan seperti pada gambar berikut ini :

Sumber : Tulus Tambunan [2002:14]

Dari skema di atas terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha bersumber dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang  yaitu; kualitas sdm, penguasaan organisasi, struktur organisasi, sistem manajemen, partisipasi, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, tingkat entrepreneurship. Faktor eksternal  dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor pemerintah dan non pemerintah. Faktor pemerintah diantarannya; kebijakan ekonomi, birokrat, politik, dan tingkat demokrasi. Faktor non pemerintah yaitu; sistem perekonomian, sosio- kultur budaya masyarakat, sistem perburuhan dan kondisi perburuhan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan  lingkungan global.

Menurut Luk dalam  Suyatno [2010:179] berkaitan dengan faktor penentu keberhasilan usaha industri kecil ini, hasil penelitiannya menemukan bahwa keberhasilan  usaha kecil ditandai oleh inovasi, perilaku mau mengambil resiko. Begitu juga hasil penelitian Murphy dalam sumber yang sama menemukan bahwa keberhasilan usaha kecil disumbangkan oleh kerja keras, dedikasi, dan komitmen terhadap pelayanan dan kualitas. Berbagai faktor penentu keberhasilan usaha industri kecil hasil identifikasi penelitian Luk tersebut pada dasarnya adalah cerminan dari kemampuan usaha [pengetahuan, sikap dan keterampilan], pengalaman yang relevan, motivasi kerja dan tingkat pendidikan seseorang pengusaha.

INDIKATOR KEBERHASILAN USAHA

Terdapat beberapa indikator keberhasilan usaha. para ahli sudah mengidentifikasi Indikator keberhasilan usaha, dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan usaha industri kecil maupun industri skala besar. Finansial [Profitabilitas] sering dianggap sebagai aspek utama dalam pengukuran kinerja perusahaan/organisasi namun belum memadai untuk menjelaskan efektivitas perusahaan secara umum. Sehingga perlu ada kelengkapan kinerja dari aspek lain.

Suranti [2006:46], berpendapat bahwa indicator keberhasilan usaha dapan dinilai melalui 3 pendekatan yaitu :


  1. Pendekatan pencapaian tujuan menyebutkan bahwa keberhasilan usaha harus dinilai sehubungan dengan pencapaian tujuan yaitu mendapatkan laba atau keuntungan yang merupakan selisih antara harga jual dengan biaya produksi.
  2. Pendekatan sistem mengatakan bahwa keberhasilan usaha dinilai cara yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan akhir yaitu bagaimana hubungan antar individu dalam unit usaha dapat bekerjasama dan koordinasi sehingga tercipta kondisi kerja yang kondusif. 
  3. Pendekatan konstituensi strategis menyatakan bahwa keberhasilan usaha dinilai dari hubungan baik dengan mitra kerja yang menjadi pendukung kelanjutan unit usaha. Kotler [1997:58] menyebut bahwa yang termasuk mitra usaha/ pihak yang berkepentingan antara lain pelanggan, karyawan, dan pemasok.
Samir [2005:33] mengemukakan bahwa indikator dalam mengukur keberhasilan usaha atau kinerja organisasi, yaitu sebagai berikut :
  1. Produktivitas, yang diukur melalui perubahan output kepada perubahan di semua faktor input [modal dan tenaga kerja].
  2. Perubahan di tingkat kepegawaian [output, teknologi, cadangan modal, mekanisme penyesuaian, dan pengaruh terhadap perubahan status].
  3. Rasio finansial [mengurangi biaya pegawai dan meningkatkan nilai tambah pegawai].

Henry Faizal Noor [2007:397] indikator keberhasilan usaha adalah sebagai berikut :
  1. [Laba/Profitability]. Laba  merupakan  tujuan utama dari bisnis. Laba usaha adalah selisih antara pendapatan dengan biaya.
  2. Produktivitas dan Efisiensi. Besar kecilnya produktivitas suatu usaha akan menentukan besar kecilnya produksi. Hal ini akan mempengaruhi besar kecilnya penjualan dan pada akhirnya menentukan besar kecilnya pendapatan, sehingga mempengaruhi besar kecilnya laba yang diperoleh.
  3. Daya Saing. Daya saing adalah kemampuan atau ketangguhan dalam bersaing untuk merebut perhatian dan loyalitas konsumen. Suatu bisnis dapat dikatakan berhasil, bila dapat mengalahkan pesaing atau paling tidak masih bisa bertahan menghadapi pesaing.
  4. Kompetensi dan Etika Usaha. Kompetensi merupakan akumulasi dari pengetahuan, hasil penelitian, dan pengalaman secara kuantitatif maupun kualitatif dalam  bidangnya sehingga dapat menghasilkan  inovasi sesuai dengan tuntutan zaman.
  5. Terbangunnya citra baik. Citra baik perusahaan terbagi menjadi dua yaitu, trust internal dan trust external. Trust internal adalah amanah atau trust dari segenap orang yang ada dalam perusahaan. Sedangkan trust external adalah timbulnya rasa amanah atau percaya dari segenap stakeholder perusahaan, baik itu konsumen, pemasok, pemerintah, maupun masyarakat luas, bahkan juga pesaing.

Indikator keberhasilan usaha menurut Dwi Riyanti [2003:28], kriteria yang cukup signifikan untuk menentukan keberhasilan suatu usaha dapat dilihat dari : 1.      Peningkatan dalam akumulasi modal atau peningkatan modal 2.      Jumlah produksi 3.      Jumlah pelanggan 4.      Perluasan usaha 5.      Perluasan daerah pemsaran 6.      Perbaikan sarana fisik dan 7.      Pendapatan usaha

Adapun indikator keberhasilan usaha menurut Suryana [2003: 85] keberhasilan usaha terdiri dari :

1.      Modal 2.      Pendapatan 3.      Volume Penjualan 4.      Output produksi 5.      Tenaga Kerja

Mengukur Kinerja Produksi


Menurut Junaedi [ 2002 : 380-381] “Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan. Namun, sering terjadi pengukuran dilakukan secara tidak tepat. Ketidaktepatan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang menyebabkan ketidaktepatan pengukuran kinerja diantaranya adalah ketidakjelasan makna kinerja yang diimplementasikan, ketidapahaman pegawai mengenai kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan instrumen Pengukuran kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil untuk dicapai oleh program, investasi, dan akusisi yang dilakukan. Proses pengukuran kinerja seringkali membutuhkan penggunaan bukti statistik untuk menentukan tingkat kemajuan suatu organisasi dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di balik dilakukannya pengukuran adalah untuk meningkatkan kinerja secara umum. Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi. Pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pengukuran. Tahap persiapan atas penentuan bagian yang akan diukur, penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja, dan pengukuran kinerja yang sesungguhnya. Sedangkan tahap pengukuran terdiri atas pembanding kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya dan kinerja yang diinginkan [Mulyadi, 2001: 251]. Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu :

1. Ukuran Kriteria Tunggal [Single Criterium].

Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan atau bagiannya. Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan pertimbangan penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber daya manusia.

2. Ukuran Kriteria Beragam [Multiple Criterium]

Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja. Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang.  Karena dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya.

3. Ukuran Kriteria Gabungan [Composite Criterium]

Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing. Agar setiap aktifitas terukur kinerjanya, maka tentu kita perlu ukuran, termasuk juga pekerjaan kita-kita yang ada di medan juang manufaktur atau bagian produksi. Adalah disebut Overall Equipment Effectiveness [OEE] yang bisa diandalkan menjadi indikator kinerja produksi. Biasanya, OEE ini menjadi key performance indicator [KPI] atas implementasi lean manufacturing.

Contoh menghitung kinerja produksi

Misal, data produksi yang kita miliki adalah sebagai berikut :
  • Lama waktu 1 shift             = 8 jam = 480 menit
  • Waktu istirahat                    = 1 jam = 60 menit
  • Downtime                            = 40 menit
  • Target produksi                    = 8.400 kg
  • Ideal run rate                        = 20 kg/menit
  • Hasil total 1 shift                  = 6.500 kg
  • Jumlah scrap/reject               = 47 kg

Maka, terlebih dahulu perlu dihitung variabel-variabel berikut ini: Planned Production Time = lama waktu kerja 1 shift – waktu istirahat = 480 – 60

= 420 menit

Operating Time = planned production time – downtime = 420 – 40 = 380 menit Good Product  = hasil total – jumlah reject  = 6.500 – 47 = 6.453 kg Berikutnya, kita hitung OEE Factor, yang terdiri atas Availability, Performance, dan Quality: Availability = [Operating Time : Planned Production Time] x 100% = [380 : 420] x 100% = 0,9048 x 100% = 90,48% Performance = [[Hasil Total : Operating Time] : Ideal Run Rate] x 100% = [[6.500 : 380] : 20] x 100% =  0,8553 x 100% = 85,53% Quality  = [Good Product : Hasil Total] x 100% = [6.453 : 6.500] x 100% = 0,9928 x 100% = 99,28%

Jadi, nilai OEE-nya adalah:

OEE  = [Availability x Performance x Quality] x 100% = [0,9048 x 0,8553 x 0,9928] x 100% = 0,7683 x 100% = 76,83%

Sekiranya, kita perlu pembanding,  nilai OEE Standard World Class Manufacturing sebagai berikut :

  • Availability   = 90,0%
  • Performance = 95,0%
  • Quality      = 99,9%
  • OEE           = 85,0%

jika kita kembali kepada hasil perhitungan OEE kita di atas, maka nampak bahwa faktor availability sudah baik dan berhasil melampaui standar world class, namun untuk faktor performance dan quality masih di bawah standar sehingga masih perlu diperbaiki dengan mengurangi kerugian pada speed loss dan quality loss.

Karena hitungan-hitungan Overall Equipment Effectiveness [OEE] itu hanya dimengerti oleh para manajer, agar kinerja pada tingkat karyawan dapat meningkat sehingga keberhasilan usaha dapat tercapai maka perlu menggunakan istilah yang lebih sederhana dan mudah dipahami maksudnya Cukup gunakan saja istilah TAEDD, yakni:

  • Target, yaitu jumlah produksi yang ditargetkan pada satu shift produksi, dalam contoh di atas berarti 8.400 kg.
  • Actual, yaitu jumlah hasil aktual yang dapat diterima [good product] pada satu shift produksi, dalam contoh di atas berarti 6.453 kg.
  • Efficiency, yaitu perbandingan hasil aktual yang dapat diterima [good product] dengan target, dalam contoh di atas berarti 76,82%
  • Downtime, yaitu jumlah waktu downtime pada satu shift produksi, dalam contoh di atas berarti 40 menit.
  • Defect, yaitu jumlah produk yang cacat [reject], dalam contoh di atas berarti 47 kg.

Down Time adalah jumlah waktu dimana suatu equipment tidak dapat beroperasi disebabkan adanya kerusakan [failure], namun pabrik masih dapat beroperasi karna masih adanya equipment lain yang bisa menggantikan fungsi sehingga proses produksi masih bisa berjalan.
Loss Time adalah jumlah waktu produksi yang hilang [pabrik tidak dapat beroperasi] akibat adanya salah satu equipment yang kritis mengalami kerusakan.
Overall Equipment Effectiveness [OEE] artinya Efektifitas Peralatan Keseluruhan

Page 2

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề