Tulislah dalil naqli yang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci yang terakhir

Jakarta -

Di dalam Kitab Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri menjelaskan arti Iman kepada Allah SWT sebagai sikap seorang Muslim yang meyakini wujud atau adanya Allah Yang Maha Suci. Orang yang memiliki Iman kepada Allah, meyakini bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi, mengetahui yang ghaib dan yang tampak.

"Tiada Tuhan [sembahan] yang berhak disembah selain Allah dan tiada Rabb selain Dia [Allah]," tulis Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri dalam Kitab Minhajul Muslim seperti dikutip Tim Hikmah detikcom.


Dalil Naqli Iman Kepada Allah SWT

Al Quran Surat Al A'raf ayat 54

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُۥ حَثِيثًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتٍۭ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya, "Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan [diciptakan-Nya pula] matahari, bulan dan bintang-bintang [masing-masing] tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha penuh berkah Allah, Rabb semesta alam."

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri mengatakan, melalui surat Al A'raf ayat 54, Allah SWT menceritakan sendiri tentang wujud-Nya, tentang rububiyah-Nya atas makhluk-Nya. "Dan tentang asma-Nya [nama-nama-Nya] dan sifat-sifat-Nya," tulis Syaikh Abu Bakar

Al Qur'an Surat Al-Qashash ayat 30

Dalil naqli iman kepada Allah SWT juga disebutkan dalam Al Qur'an Surat Al-Qashash ayat 30. Ini adalah firman Allah SWT ketika menyeru kepada Nabi Musa AS dari sebatang pohon, di tepi kanan sebuah lembah, di suatu tempat yang diberkahi.

فَلَمَّآ أَتَىٰهَا نُودِىَ مِن شَٰطِئِ ٱلْوَادِ ٱلْأَيْمَنِ فِى ٱلْبُقْعَةِ ٱلْمُبَٰرَكَةِ مِنَ ٱلشَّجَرَةِ أَن يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّىٓ أَنَا ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya: "Maka tatkala Musa sampai ke [tempat] api itu, diserulah dia dari [arah] pinggir lembah yang sebelah kanan[nya] pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Rabb semesta alam. [Al Qur'an Surat Al-Qashash ayat 30]


Al Qur'an Surat Al-Anbiya' ayat 22

لَوْ كَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Artinya: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, niscaya hancurlah keduanya. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan."

Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri, melalui Surat Al-Anbiya' ayat 22, Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah di langit dan bumi selain Dia.


Dalil Aqli Iman kepada Allah SWT

Setidaknya ada 3 hal yang disebutkan Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri sebagai dalil Aqli iman kepada Allah SWT. Pertama, adanya alam semesta dengan aneka makhluk hidup ini menjadi bukti dan memberi kesaksian tentang adanya wujud Sang Pencipta, Allah SWT. "Karena tidak ada seorang pun di alam raya ini yang mengklaim telah menciptakan alam raya ini beserta isinya selain dari Allah SWT," tulis Syaikh Abu Bakar.

Kedua adalah adanya firman-firman Allah SWT di dalam Al Quran yang selalu dibaca oleh umat Islam. Tak hanya dibaca tetapi juga dihayati dan dipahami maknanya.

Dalil Aqli iman kepada Allah SWT yang ketiga adalah adanya sistem yang teratur dalam tata surya dan kehidupan di bumi. Mulai dari proses penciptaan, pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang ada di alam semesta ini tunduk kepada Sunatullah. "Tidak dapat keluar darinya [Sunatullah] bagaimana pun jua." kata Syaikh Abu Bakar.

[erd/erd]

Jakarta -

Iman kepada kitab Allah SWT adalah rukun iman yang ketiga. Setiap muslim harus mengimani kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah SWT yakni kitab Zabur kepada Nabi Daud AS, kitab Taurat kepada Nabi Musa AS, kitab Injil kepada Nabi Isa As dan Al quran kepada Nabi Muhammad SAW.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri dalam Kitab Minhajul Muslim mengatakan, iman kepada kitab Allah berarti seorang muslim meyakini bahwa semua itu adalah firman Allah SWT [Kalamullah]. Kitab-kitab tersebut diturunkan kepada RasulNya, agar dengan wahyu tersebut mereka mengajarkan syariat dan agama Allah kepada manusia.

Percaya dengan kitab Allah SWT berarti kita perlu mengamalkannya apa yang ada di dalam kitab suci tersebut. Umat Islam harus berpegang teguh kepada Al-qur'an dan menjalankan segala sesuatu sesuai dengan pedoman Al-qur'an.

Dikutip dalam buku 'Pengantar Ilmu Tauhid' oleh A. Muzammil Alfan Nasrullah, M.Ag yang dimaksud iman kepada kitab-kitab Allah SWT adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup bagi umat Islam untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Al-Qur'an merupakan penyempurna syariat-syariat sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT di dalam Surat Al Maidah ayat 48 yang artinya, "Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab [yang diturunkan sebelumnya] dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain..." [QS. Al-Maidah: 48].

Dalil Naqli Iman kepada Kitab Allah

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri menyebut ada sejumlah ayat di dalam Al Quran yang menjadi dalil naqli Iman kepada Kitab Allah. Antara lain, firman Allah SWT di dalam Al Quran surat An-Nisa ayat 136 berikut ini:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلْكِتَٰبِ ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلْكِتَٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada kitab [Al Quran] yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

Disebutkan juga di dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 2 - 4.

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ

Artinya: Allah, tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.

Surat Ali Imran ayat 3

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ


Artinya: Dia [Allah] menurunkan Al Kitab [Al Quran] kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,

Surat Ali Imran ayat 4

مِن قَبْلُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ ٱلْفُرْقَانَ ۗ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ ذُو ٱنتِقَامٍ


Artinya: Sebelum [Al Quran], menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan [siksa].

Beriman kepada kitab-kitab Allah hukumnya wajib. Kitab Al-Qur'an diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Isinya memuat tentang syariat yang menghapus sebagian isi kitab-kitab terdahulu yang sudah tidak relevan lagi dengan zamannya.

[lus/erd]

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami [pula] yang memeliharanya”. [QS. al-Hijr, 15:9]

    Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi akhir zaman dan saayidul anbiyaa’ wal mursalin. Sejalan dengan kedudukannya ini, Allah Swt. membekalinya dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi umatnya, petunjuk jalan menuju keridlaan-Nya untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

    Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya dinilai sebagai ibadah. Sebagai kitab suci yang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat akhir zaman, Allah Swt. senantiasa menjaganya. Kenyataan ini tercantum dalam surat al-Hijr, 15:9, Allah Swt. berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

 Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami [pula] yang memeliharanya”. [QS. al-Hijr, 15:9]

    Ayat di atas menguatkan dan memastikan orisinalitas Al-Qur’an sejak pertama diturunkan sampai sekarang, tidak ada keraguan sama sekali. Ayat ini berkaitan dengan ayat 6 dan 7 surat al-Hijr. Ayat ini sebagai bantahan terhadap orang-orang kafir yang meragukan sumber datangnya Al-Qur’an. Sekaligus sebagai mendorong orang-orang kafir untuk mempercayai Al-Qur’an dan memutus harapan mereka untuk mempertahankan keyakinan sesat mereka. Demikian dijelaskan oleh Quraisy Syihab dalam Tafsir al-Mishbah halaman 95.

   Muhammad Amin al-Harori di dalam tafsirnya, Hadaiq al-Rauh Wa al-Raihan Fi Rawabi 'Ulum al-Qur'an, jilid 15 halaman 21 menguraikan maksud ayat tersebut di atas yaitu Allah Swt. menjaga Al-Qur’an dari sesuatu yang tidak pantas baginya [Al-Qur’an], dari perdebataan hakikatnya, dari pendustaannya, dari memperolok-olokannya, dari pengubahan, dari penggantian, dari penambahan maupun dari pengurangan di setiap waktu dan setiap zaman.     

   Takdir dan kehendak Allah SAW. berjalan dalam penjagaan Al-Qur’an. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW., beliau membacakan di depan para sahabat dan memerintahkan untuk mencatatnya.

    Memang, Al-Qur’an di wahyukan secara lisan. Namun, Al-Qur’an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab yang tertulis [QS. at-Thur, 52:2]. Pada dasarnya tradisi pencatatan Al-Qur’an telah dimulai sejak awal perkembangan Islam. Hal ini bisa dilihat dari bukti sejarah. Pada masa periode Makkah terdapat shahifah yang berisi surat Thaha yang dipegang oleh Fatimah, saudara perempuan Umar bin Khaththab. Pada masa periode Madinah, Nabi Muhammad SAW. menugaskan kurang lebih enam puluh lima sahabat untuk bertindak sebagai penulis wahyu [A’zami, 2005:72].

    Memasuki periode Khulafaurrasyidin, penulisan Al-Qur’an semakin digalakkan. Hal ini dilakukan setelah terjadinya perang Yamamah pada masa Abu Bakar. Peristiwa  ini merenggut nyawa para penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang cukup besar. Khawatir Al-Qur’an musnah, Umar bin Khaththab mengusulkan kepada Abu Bakar selaku khalifah, untuk mengumpulkan semua shahifah yang berisi Al-Qur’an. Dibentuklah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Pada masa ini, kompilasi shahifah Al-Qur’an berhasil dibuat kemudian disimpan di bawah pengawasan Abu Bakar.

    Pada masa Umar bin Khaththab, strategi pelestarian Al-Qur’an dilakukan melalui pengajaran. Beliau mengutus kurang lebih sepuluh sahabat ke Basrah [Mesir] untuk mengajarkan Al-Qur’an. Adapun Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah [Irak]. Pemerintahan di bawah Umar bin Khaththab berhasil mengembangkan pelestarian Al-Qur’an melalui pengajaran di halaqah [semacam madrasah].

    Perkembangan pembukuan Al-Qur’an mencapai puncaknya pada masa Utsman bin Affan. Sebuah tim yang terdiri atas 12 orang dibentuk oleh Utsman bin ‘Affan untuk melakukan sebuah kerja ilmiah yang sangat berat, yaitu menyusun sebuah naskah Al-Qur’an menjadi mushaf. Tim tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Setelah naskah [mushhaf] Al-Qur’an tersusun, kemudian dilakukan validasi [tashhih]. Proses validasi dilakukan di hadapat Utsman bin ‘Affan dan para sahabat lainnya. Setelah dinyatakan valid, kemudian mushaf Al-Qur’an tersebut disalin dan menjadi empat buah, kemudian dikirim ke Kufah, Basrah, Suriah dan di Madinah. Inilah yang dikenal dengan Mushhaf Utsmani. Pendapat lain menyebutkan, jumlah naskah sebanyak sembilan buah.

    Mushaf Al-Qur’an yang dikirim ke berbagai negara tersebut disertai dengan qari’ [pembaca]. Atau dengan kata lain, tiada mushaf yang dikirim tanpa seorang qari’. Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin as-Sa’ib ke Makkah, al-Mughirah bin Shihab ke Suriah, ‘Amir bin ‘Abd Qais ke Basra dan Abu ‘Abdurrahman as-Sulami ke Kufah. Bagaimana bentuk tulisan mushaf saat itu? Jangan dibayangkan seperti mushaf Al-Qur’an yang saat ini kita lihat. Pada masa itu, mushaf Al-Qur’an hanya berupa huruf konsonan, tidak ada harokat, titik, maupun tanda-tanda baca. Namun demikian, usaha penyusunan mushaf ini berupakan kerja yang luar biasa. Mushaf Utsmani menjadi mushaf standar penyusunan naskah Al-Qur’an. Dan dalam perkembangannya, mushaf Al-Qur’an yang saat ini banyak digunakan dinisbatkan [disandarkan] pada mushaf Utsmani.

    Mengenai pencetakan Al-Qur’an, mayoritas sarjana baik muslim maupun non muslim berpendapat bahwa Al-Qur’an pertama kali dicetak di Venesia, Italia antara 9 Agustus 1937 dan 9 Agustus 1938 oleh Paganino dan Alessandro Paganini. Kedunya merupakah ayah dan anak yang ahli di bidang pencetakan dan penerbitan. Pencetakan Al-Qur’an menggunakan mesin the moveable type, sejenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg sekitar tahun 1440 di Main, Jerman. [Faizin, 2011: 137-138]. Pencetakan Al-Qur’an berlanjut antara lain di Hamburg Jerman tahun 1652-1692 yang dilakukan oleh yang dilakukan oleh Abraham Hinckelmann. Berikutnya pencetakan Al-Qur’an di Petersburg pada tahun 1787, setelah perang Rusia-Turki [1768-1774]. Pada tahun 1834, Al-Qur’an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman. Pencetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh negara-negara ini umumnya menimbulkan kontroversi. Antara Tahun 1923-1925 pencetakan Al-Qur’an dengan percetakan modern dilakukan di Mesir [Edisi Mesir]. Edisi ini menjadi pencetakan mushaf standar karena bacaan sudah diseragamkan. pada tahun-tahun berikutnya, pencetakan mushaf Al-Qur’an semakin berkembang yang dicirikan adanya variasi model, khat kaligrafi dan hiasan.

    Sejak Al-Qur’an dicetak secara massal, muncul pertanyaan dari sebagian kelompok mengenai keotentikan Al-Qur’an. Menurut Syeikh Ali Jum’ah, mufti mesir dan pernah menjabat sebagai Grand Syeikh al-Azhar, usaha untuk membuktikan keotentikan Al-Qur’an pernah dilakukan oleh sebuah Lembaga Kajian Al-Qur’an yang di dirikan oleh Universitas Munich. Ini terjadi sebelum perang dunia kedua. Lembaga tersebut berusaha mengumpulkan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an. Mereka menetapkan kriteria Al-Qur’an yang dikumpulkan dicetak di zaman yang berbeda-beda dan dari tempat yang beda-beda, dan berhasil mereka lakukan. Langkah selanjutnya, tim melakukan kajian komparatif antar naskah. Mereka tidak menemukan sesuatu pun adanya perubahan/ ada yang di ubah dalam Al-Qur’an. Ketika mereka telah melakukan kajian komparatif sebanyak lebih 80% dari 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an, mereka membuat sebuah laporan yang kemudian disimpan di Perpustakaan Nasional, Berlin. Laporan tersebut berisi hasil kerja tim, yaitu: 1] pengumpulan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an, 2] Proses kajian komparasi, 3] Tidak ditemukan adanya pengubahan dalam Al-Qur’an. Mereka temukan hanya kesalahan penulisan, misalnya kata  لا ريب فيه tertulis لازيت فيه . Ini adalah kesalahan titik, dan kata لازيت dalam bahasa arab tidak ada maknanya, dan ini bukanlah sebuah tahrif [pengubahan]. Riwayat Syeikh Ali Jum’ah ini senada dengan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Muhammad Musthofa ‘A’zami yang dimuat dalam bukunya berjudul “The History Of The Qur’anic Text” halaman 206.

    Usaha - usaha untuk melestarikan Al-Qur’an sebagaimana di jelaskan di atas, yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW., masa Sahabat hingga sekarang merupakan kehendak dan kuasa Allah Swt. Ini di antara bukti bahwa Allah yang menjaga Al-Qur’an. Dari segi hafalan, kita bisa melihat banyak umat Islam yang berlomba-lomba menghafalkan Al-Qur’an. Di samping itu, banyak berdiri pondok-pondok pesantren khusus untuk menghafalkan Al-Qur’an. Kemudian lomba-lomba hafalan Al-Qur’an yang diadakan melalui musabaqah hifdzi Al-Qur’an baik tingkat nasional, regional maupun internasional. Sedangkan dari segi penulisan [teks] kita bisa melihatnya melalui kerja-kerja ilmiah berupa pentashihan [pengesahan] teks/khot penulisan Al-Qur’an yang akan diterbitkan oleh perusahaan penerbit. Di Indonesia terdapat institusi yang bekerja untuk itu, yaitu Lajnah Pentashih Mushhaf Al-Qur’an [LPTQ].

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk agar tidak hanya dihafalkan saja, tapi juga dipahami maknanya dan diamalkan agar kita mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.

Referensi:

  1. Al-Harori, Muhammad Amin, Tafsir Hadaiq Rouh al-Bayan, Beirut: Daar at-Thouq an-Najah, 2001.
  2. Faizin, Hamam. Pencetaka Al-Qur’an dari Vensia Hingga Indonesia. Jurnal Esensia Vo. XII No. 1 Tahun 2011.
  3. Muhammad Musthofa ‘Azami, The History Of The Qur’anic Text, England: Islamic Academy, tt.
  4. Syihab, Qurais. [2002]. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
  5. //www.youtube.com/watch?v=uDJGRyPAeSI

Sumber :

Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI

Editor : Fandy A

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề