Uraikan tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai tokoh persatuan

Memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukanlah hal yang mudah. Setelah Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda kembali datang berniat menjajah Indonesia.

Kedatangan Belanda yang menciptakan situasi tidak kondusif di Jakarta, memaksa pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Tepat pada tanggal 4 Januari 1946, Ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.

Mengingat betapa pentingnya peranan ibu kota bagi suatu pemerintahan, lebih-lebih dalam masa perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, maka Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia akan selalu mendapat tantangan dan gangguan dari pihak lawan. Karena itu, tidak aneh apabila Belanda senantiasa berusaha untuk menghancurkan atau merebut Ibu Kota RI, Yogyakarta.

Melalui Agresi Militer Belanda II, Belanda menduduki Yogyakarta, menciptakan propaganda seolah TNI telah takluk di tangan Belanda. Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin Yogyakarta yang tak pernah absen mendengarkan siaran radio sidang Dewan Keamanan PBB yang sedang membahas masalah Indonesia-Belanda, meminta izin kepada Jenderal Soedirman untuk melakukan sebuah serangan serentak. Jenderal Soedirman meminta Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.

Kisah ini berbeda dengan apa yang tertulis pada buku-buku sejarah. Melalui kisah yang tertulis dalam laman Museum Vredeburg ini, sejarawan berpendapat bahwa sesungguhnya inisiator serangan besar tanggal 1 Maret 1949 adalah Sultan HB IX bukanlah Letkol Soeharto.

17 Agustus 1945
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

19 Agustus 1945
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta masing-masing mengirimkan kawat kepada Presiden dan Wakil Presiden menyampaikan sukacita dan dukungan atas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

19 Agustus 1945
Merespon dukungan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, Presiden Soekarno menerbitkan sebuah piagam yang menyatakan kedudukan kedua raja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah dibuatnya piagam ini, segera dibentuk Komite Nasional Indonesia [KNI] Daerah Yogyakarta.

23 Agustus 1945
Pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh.

15 September 1945
Pasukan Sekutu dan NICA sampai di Jakarta.

26 September 1945
KNI Daerah Yogyakarta menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Yogyakarta seluruhnya telah berada di tangan Bangsa Indonesia.

5 Oktober 1945
Tentara Keamanan Rakyat [TKR] dibentuk. TKR inilah yang selanjutnya berganti nama menjadi TNI [Tentara Nasional Indonesia]. Kota Yogyakarta dipilih sebagai Markas Tertinggi TKR.

4 Januari 1946
Ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta karena kegentingan atas kedatang kembali Belanda.

21 Juli 1947
Van Mook mendapat kekuasaan dari Den Haag untuk melancarkan Agresi Militer Belanda I

19 Desember 1948
Belanda melanggar perundingan Renville dan melancarkan Agresi Militer Belanda II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta.

29 Desember 1948
Serangan Umum Ke-1 yang dipimpin langsung oleh Komandan Wehrkreise III, Letkol Soeharto dan merupakan “Hadiah Tahun Baru” bagi tentara Belanda. Serangan ini dilakukan dengan penuh kerahasiaan dan terorganisasi secara menyeluruh di setiap sektor. Serangan ke-1 ini mampu memecah tentara Belanda, mengubah gerakan dari ofensif menjadi defensive.

9 Januari 1949
Serangan Umum Ke-2 dilancarkan menyusul gelora semangat yang tercipta setelah dilakukan serangan ke-1. Serangan kali ini, Panglima Divisi III memerintahkan kepada 3 Komandan Wehrkreise di wilayah III agar melancarkan serangan serentak. Seperti serangan ke-1, serangan ke-2 ini dilakukan pada malam hari, namun lebih serentak di seluruh Sub-Wehrkreise.

TNI, terdiri dari Brigade Garuda Mataram, Militer Akademi, Brigade 16 [Kris], TP dan TGP, dibawah pimpinan Letkol. Soeharto sebagai Komandan WK III [Daerah Istimewa Yogyakarta] mengadakan perlawanan [gerilya] terhadap tentara Belanda di sekitar Yogyakarta dan dalam kota Yogyakarta pada Bulan Desembar 1948 hingga bulan Juni 1949. [IPPHOS]

16 Januari 1949
Meskipun setiap selesai serangan umum, pihak tentara Belanda menjadi lebih gencar melakukan pembersihan, namun semangat tentara Indonesia tak mengendur. Pada serangan umum ke-3, setiap Sub-Wehrkreise diperintahkan untuk melakukan serangan gerilya secara mandiri di sektornya masing-masing. Serangan ke-3 cukup merugikan Belanda, sehingga pembersihan oleh Tentara Belanda makin gencar dilakukan.

4 Februari 1949
Serangan ke-4 dilakukan dengan kerjasama lebih luas lagi yaitu dengan pemerintahan sipil. Serangan ini dipimpin langsung oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Dukungan segenap rakyat Yogyakarta tak perlu diragukan lagi ketika Sultan sudah turun tangan. Serangan kali ini untuk mempersiapkan serangan yang lebih besar lagi, yang tidak akan dilakukan malam hari, namun siang hari.

13 Februari 1949
Pada malam hari, Lettu Marsudi “menyelundupkan” Letkol Soeharto masuk kota dan keraton untuk menghadap Sultan Hamengku Buwono IX. Pertemuan ini adalah hasil dari permintaan ijin Sultan ke Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan serentak pada siang hari. Jenderal Soedirman meminta Sultan untuk berkoordinasi langsung dengan Letkol Soeharto, maka terjadilah pertemuan ini.

1 Maret 1949
Bertepatan dengan sirine tanda jam malam berakhir, tanggal 28 Februari 1949, pasukan di tiap-tiap Sub-Wehrkreise menempatkan diri, bergerak maju ke area area yang telah disepakati untuk diserang. Serangan TNI memburu tentara Belanda di seluruh penjuru Yogyakarta. TNI berhasil merebut Yogyakarta selama 6 jam. Peristiwa ini berhasil disiarkan melalui pemancar radio di Wonosari, sehingga mata dunia terbuka, bahwa TNI masih ada.

Abdurrahman, Dudung. [2011]. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.

Atmakusumah. [1982]. Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Jakarta: Gramedia.

Buwono V, Sultan Hamengku. [1847]. Serat Wuruk Respati.

Darban, Adaby. [1998]. Biografi Pahlawan Nasional Sultan Hamenku Buwana IX. Jakarta: Depdikbud.

Eswe, M.A. Rumawe. [2008]. Ngarsa Dalem Dundum Warisan. Yogyakarta: LKiS.

G. Moedjanto. [1994]. Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Kanisius.

Jandra, Mifedwil, et al. [2006]. Konsep Moral dan Pendidikan dalam Manuskrip Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: YKII UIN Sunan Kalijaga.

Jirhanudin. [2010]. Perbandingan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kansil, C.S.T. [1993]. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Karim, M. Abdul. [2007]. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya.

Karim, M. Abdul. [2014]. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara Yogyakarta.

Margana, S. [2004]. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan The Toyota Foundation.

Maryam, Siti. [2002]. Sejarah Peradaban Islam, Dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI.

Munslow, Alun. [2003]. The New History. England: Pearson Education Limited.

Nurhajarini, Dwi Ratna, et al. [2012]. Yogyakarta dari Hutan Beringin ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Yogyakarta.

Pangesti, Rama Ageng. [2007]. Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cahaya Ningrat.

Poerwokoesoemo, Soedarisman. [1981]. Sebuah Tinjauan tentaang Pepatih Dalem. Yogyakarta: Proyek Javanologi.

Pour, Julius dan Nur Adji [Eds.]. [2012]. Sepanjang Hayat Bersama Rakyat 100 Tahun Sultan IX. Jakarta: PT Kompas Media Indonesia.

Purwadi. [2006]. Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX. Yogyakarta: Hanan Pustaka.

Setiawan, Otong. [2001]. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Bandung: Penerbit Yrama Widya.

Soeratnoet, Chamamah. et al. [ed]. [2004]. Kraton Yogyakarta: the History and cultural heritage [2nd print]. Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations.

Suwarno, P.J. [1994]. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun. [2017]. Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta tanpa penerbit.

Yatim, Badri. [1995]. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yunita et al. [2004]. Karya Tulis Ilmiah Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Yuniyanto, Tri. [2010]. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan di Yogyakarta. Surakarta: Penerbit Cakra Books.

Yusuf, Mundzirin. [2014]. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: SUKA Press.

KOMPAS.com - Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah Sultan Yogyakarta kesembilan yang berperan besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Pasalnya, ia memiliki peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan integrasi bangsa.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan maklumat 5 September 1945 dan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia yang pernah menempati jabatan penting di pemerintahan.

Seperti contohnya, ia merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama setelah kemerdekaan, Wakil Presiden Indonesia kedua periode 1973-1978, dan menjabat sebagai menteri negara selama beberapa periode.

Baca juga: Amanat 5 September 1945: Bergabungnya Yogyakarta dengan NKRI

Masa kecil

Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngasem, Yogyakarta, pada 12 April 1912 dengan nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun.

Ia merupakan putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah.

Ketika baru berusia dua tahun, Dorodjatun menyandang status sebagai Putra Mahkota Yogyakarta. Kemudian, di usia empat tahun, ia telah dididik untuk tinggal terpisah dari keraton.

Dorodjatun tinggal bersama keluarga Belanda, Mulder, yang menjabat sebagai kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School di daerah Gondokusuman.

Selama tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil dengan nama Henkie, yang diambil dari nama Pangeran Belanda, Hendrik.

Nama Henkie terus melekat padanya sampai ia sekolah dan kuliah di Belanda.

Baca juga: Hoogere Burgerschool [HBS], Sekolah Menengah Umum Hindia Belanda

Pendidikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Dorodjatun menempuh pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste Europeesche Lagere School B.

Setahun setelahnya, ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan sekolah di Neutrale Europeesche Lagere School.

Setelah lulus pada 1925, Dorodjatun melanjutkan ke sekolah menengah Hoogere Burgerschool [HBS] Semarang.

Sewaktu sekolah di HBS, ia tinggal bersama keluarga sipir penjara Semarang, Voskuil. Namun karena merasa tidak cocok dengan lingkungannya, ia pindah ke HBS Bandung pada 1928.

Di Bandung, Dorodjatun tinggal bersama tentara militer Belanda, Letkol De Boer. Namun, sebelum pendidikannya selesai, ia diminta oleh sang ayah untuk belajar ke Belanda.

Ia pun berangkat pada Maret 1930 dengan didampingi oleh keluarga Hofland, seorang direktur pabrik gula.

Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Kesultanan Yogyakarta

Sesampainya di Belanda, Dorodjatun sekolah di dua lembaga yang berbeda, yakni HBS B dan Stedelijk Gymnasium.

Setelah lulus pada 1934, ia pindah ke Leiden dan masuk ke Universitas Leiden mengambil studi Indologi, yakni studi tentang administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda.

Belum sempat menyelesaikan tugas akhirnya, Dorodjatun dipanggil untuk kembali ke Indonesia pada 1939.

Sesampainya di Batavia pada Oktober 1939, Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok.

Ia menginap di Hotel Des Indes karena dijadwalkan menghadiri acara makan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama keluarganya.

Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II

Saat sedang bersiap, sang ayah menyematkan Keris Kiai Jaka Piturun kepadanya, yang menjadi penanda bahwa ia merupakan pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.

Setelah tiga hari di Batavia, Dorodjatun dan keluarganya kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan, tiba-tiba Sri Sultan Hamengkubuwono VIII jatuh sakit dan tidak sadarkan diri.

Pada 22 Oktober 1939, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII meninggal dunia, dan takhta Kesultanan Yogyakarta pun jatuh ke tangan Dorodjatun.

Dorodjatun dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta kesembilan pada 18 Maret 1940 dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Ia menyandang dua gelar sekaligus, yakni Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram dan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

Baca juga: Asal-usul Nama Yogyakarta

Perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Masa pendudukan Jepang

Sewaktu Jepang menduduki Indonesia, banyak penduduk pribumi yang diambil untuk menjadi tenaga kerja paksa [romusha].

Untuk melindungi rakyatnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengajukan pembangunan kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak kepada Jepang.

Usulan itu diterima oleh Jepang, sehingga masyarakat Yogyakarta fokus mengerjakan pembangunan kanal irigasi dan terhindar dari romusha.

Kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan beberapa reformasi di kesultanan. Misalnya, pada Juli 1942, ia mengubah nama-nama institusi pemerintahan daerah yang sebelumnya menggunakan bahasa Belanda menjadi bahasa Jawa.

Dua tahun setelahnya, sultan juga membuat layanan publik yang bisa diakses oleh siapa saja.

Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono III: Masa Pemerintahan dan Peninggalannya

Masa kemerdekaan

Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah mendukung penuh NKRI.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945 dan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta.

Lewat Amanat 5 September 1945, sultan menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta masuk dalam NKRI.

Pemerintah pusat menerima dengan baik amanat tersebut, yang kemudian mengirim Mr. Sartono dan Mr. A.A Maramis ke Yogyakarta untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta yang telah ditandatangani oleh Soekarno pada 19 Agustus 1945.

Baca juga: Mengapa Ibu Kota Indonesia Pernah Dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta?

Mengusulkan pemindahan ibu kota Indonesia

Pada 4 April 1946, ibu kota Indonesia sempat dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakara karena situasi Jakarta yang sangat tidak aman setelah kedatangan Sekutu.

Melihat kondisi di Jakarta yang sedang tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan sebuah surat pada 2 Januari 1946.

Isi dari surat itu adalah apabila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali.

Tawaran itu pun disambut baik oleh Presiden Soekarno, yang kemudian memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta.

Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota, sultan melakukan beberapa perubahan, salah satunya menetapkan semua bisnis resmi memberlakukan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa.

Sultan juga memberikan sebagian dari keraton untuk dibangun Universitas Gadjah Mada [UGM].

Baca juga: Hamengkubuwono IV, Sultan Termuda Yogyakarta

Setelah itu, pada masa kabinet Sjahrir III, untuk pertama kalinya Sutan menjadi salah satu anggota kabinet. Ia diangkat menjadi Menteri Negara pada 1947.

Tanggung jawab Menteri Negara terus ia emban pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, hingga masa kabinet Hatta I.

Peran Sultan Hamengkubuwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret

Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan berlanjut ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta pada 19 September 1948.

Sultan mengerahkan seluruh usahanya untuk mempertahankan Yogyakarta dengan memerintahkan agar semua gerbang keraton segera ditutup, sehingga tidak ada orang Belanda yang bisa masuk.

Namun, pada Januari 1949, Sultan memutukan untuk mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pertama.

Baca juga: Serangan Umum 1 Maret 1949: Latar Belakang, Aksi, dan Dampak

Karena kondisi perang yang berkepanjangan, sultan mengusulkan kepada Jenderal Sudirman untuk melancarkan sebuah serangan agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada.

Kompas.com/JB Suratno [RAT] Sri Sultan Hamengku Buwono IX, selesai pengukuhan susunan Majelis Pembimbing Nasional dan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka masa bakti 1978-1983 oleh Kepala Negara di Istana Negara, pertengahan Januari 1979. Paling kiri M. Jusuf [kini Ketua Bepeka], di belakang Sultan, almarhum Ali Moertopo, almarhum Lasiyah Soetanto, dan mantan Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin.

Seteah itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan pertemuan rahasia dengan Letkol Soeharto guna merencanakan serangan, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Usai serangan, sultan sempat menduga bahwa dirinya pasti dilengserkan dan ditangkap oleh Belanda.

Namun, ia selamat setelah dilindungi oleh Jenderal Meijer, Komandan Jenderal Jawa Tengah.

Baca juga: Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, Mangkunegara, Apa Bedanya?

Bapak Pramuka Indonesia

Menjelang 1960-an, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang telah aktif dalam kegiatan kepanduan sejak muda, menjadi Pandu Agung atau pemimpin kepanduan.

Pada 1961, ketika banyak organisasi kepanduan akan dijadikan dalam satu wadah, Soekarno kerap berkonsultasi kepada sultan.

Akhirnya, pada 9 Maret 1961, Soekarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, di mana Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi salah satu pengurusnya.

Pada 14 Agustus 1961, dilakukan penganugerahan panji kepramukaan, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pramuka.

Setelah itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama empat periode berturut-turut, yakni 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia kedua periode 1973-1978.

Baca juga: Sejarah Pramuka Indonesia

Wafat

Pada 14 September 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghadiri acara Pageralan Kesenian Mataram di Kyoto, Jepang, didampingi oleh Pangeran Mangkubumi.

Setelah itu, ia lanjut ke Washington DC karena telah dijadwalkan melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Walter Reed.

Namun, pada 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dinyatakan meninggal setelah muntah-muntah di kamar hotelnya.

Jasadnya kemudian dibawa pulang ke Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada 7 Oktober 1988.

Berkat semua jasanya bagi bangsa Indonesia, pemerintah telah menobatkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pahlawan nasional.

Referensi: 

  • Seno, Joko. Suyono. [2015]. Hamengku Buwono IX: Pengorbanan Sang Pembela Republik. Jakarta: Parera, Philipus.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề