Alasan pembuatan teks proklamasi dilaksanakan di rumah laksamana maeda adalah

  Rumah Laksamana Maeda yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. WIKI COMMON

Perwira tinggi Angkatan Laut Jepang menyediakan rumah dinasnya sebagai lokasi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan. Rumah itu, pada 24 November 1984, ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Peringatan kemerdekaan yang dirayakan tiap 17 Agustus tak lepas dari sepenggal kisah bersejarah di sebuah rumah bercat putih bergaya art deco. Berdiri di atas lahan seluas 3.914 meter persegi [m2] dan luas bangunan 1.138 m2, bangunan dua lantai buatan tahun 1920 itu terletak di jantung Menteng, kawasan elite di Jakarta. Dulu, alamat bangunan ini adalah Jl Miyako-Doori nomor 1 atau saat ini lebih dikenal sebagai Jl Imam Bonjol nomor 1.

Pemiliknya bernama Laksamana Muda Tadashi Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut [Kaigun] Kekaisaran Jepang yang ditugaskan di Indonesia. Jabatannya adalah kepala Kantor Penghubung [Kaigun Bukanfu] antara Kaigun dan Angkatan Darat [Rikugun] Kerajaan Jepang di Indonesia. Ia diangkat pada 15 Agustus 1942 ketika Jepang menaklukkan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

Saat itu Rikugun berkuasa atas Pulau Jawa dan Sumatra, sementara Kaigun memerintah Indonesia timur. Maeda khawatir akan terjadi gesekan jika tidak ada yang mengawasi. Karena itu ia mengusulkan kepada Pemerintah Jepang dibentuknya sebuah badan koordinasi sebagai penghubung Rikugun dan Kaigun. Ketika lampu hijau diberikan, ia bergegas ke Jakarta dan meminta Aratame Naohisa, mantan Konsul Jenderal Jepang di Batavia untuk mencari lokasi kantor.

Akhirnya Naohisa berhasil menguasai sebuah bangunan dengan pekarangan sangat luas untuk dijadikan kantor sekaligus kediaman Maeda. Kantor Penghubung itu resmi beroperasi pada Oktober 1942. Ada empat departemen yang dibentuk Maeda di Kantor Penghubung dengan mayoritas staf adalah warga sipil. Salah satunya adalah Ahmad Soebardjo, kepala kantor cabang departemen penelitian.  

Soebardjo bukan orang baru bagi Maeda. Mereka sudah saling kenal sejak di Den Haag, Belanda dan Berlin, Jerman pada 1930. Saat itu Soebardjo diketahui aktif di organisasi Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia saat di Belanda.  Ia menjadi wakil Indonesia bersama Mohammad Hatta dalam Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah di Brussels, Belgia dan Jerman. Saat itu Maeda sempat menjadi atase pertahanan Kedutaan Besar Kekaisaran Jepang di Belanda dan Jerman.

Maeda adalah salah satu dari sedikit perwira militer Jepang yang bersimpati dengan perjuangan pemuda-pemuda Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan. Ia tidak keberatan kantornya digunakan Soebardjo dan kawan-kawan untuk melakukan berbagai pertemuan kecil.

Laksamana Muda Maeda yang kelahiran 3 Maret 1898 di Kajiki, sebuah kota kecil di Perfektur Kagoshima itu, bahkan meminta Soebardjo agar lebih intens berkomunikasi dan menggelar beragam pertemuan untuk mewujudkan kemerdekaan. Sejarawan Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-Bakal Tentara Nasional di Sumatra mengungkapkan bahwa kebijakan Maeda yang moderat itu bertolak belakang dengan sikap sinis militer Jepang, terutama Rikugun.

Saat Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, 6 dan 9 Agustus 1945, Kekaisaran Jepang langsung menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tiga tokoh nasional, Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diminta bertemu Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Pasifik Marsekal Hisaichi Terauchi di Dalat, Vietnam, 12 Agustus 1945. Dalam pertemuan itu, Terauchi mengatakan, Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945.

Tiga hari setelah pertemuan, Radio Asia Raya mengumumkan kekalahan Jepang atas Sekutu. Peristiwa ini membangkitkan asa para pemuda di Indonesia untuk meminta Soekarno mengumumkan kemerdekaan secepat mungkin. Pada 16 Agustus 1945, dipimpin Sukarni, para pemuda sempat mengasingkan Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta, ke Rengasdengklok, Karawang, untuk mengumumkan proklamasi hari itu juga. Ide itu ditolak kedua pemimpin pertama Indonesia itu. 

Soebardjo pun menjemput Dwi Tunggal untuk pulang ke Jakarta diiringi para pemuda. Sayangnya, mereka tiba di Jakarta dalam kondisi sudah larut malam dan tujuan ke Hotel Des Indes untuk menggelar rapat pun gagal karena sudah tidak bisa dipakai untuk kegiatan. Soebardjo yang aktif di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia [PPKI] kemudian meminta izin kepada Maeda untuk memakai kediamannya sebagai lokasi rapat persiapan kemerdekaan.

Perumusan Naskah Proklamasi

Maeda yang berlatar belakang anak seorang samurai Jepang ini tentu saja tidak menolak. Ia pasang badan dengan mempersilakan mereka untuk memakai ruang makan keluarga di lantai satu sebagai lokasi rapat. Sebagai salah satu petinggi militer Kekaisaran Jepang, kediaman Maeda memiliki imunitas khusus dan tidak akan dirazia Kempetai atau Polisi Militer Jepang.

Dalam buku Kilas Balik Evolusi karya Abu Bakar Loebis diceritakan bahwa di tempat inilah para tokoh kemerdekaan melakukan rapat maraton hingga menjelang subuh. Hatta bersama Soebardjo menyampaikan pemikiran secara lisan dan Soekarno bertindak sebagai penulis konsep naskah proklamasi pada secarik kertas. Pada beberapa bagian tulisan tangan Soekarno di kertas tersebut terdapat bagian kata yang kemudian dicoret.

Sukarni, Sudiro, dan Burhanuddin Mohammad Diah adalah sejumlah nama mewakili golongan muda yang ikut menunggu di luar ruang makan. Lalu ke mana Maeda? Rupanya ia mengaku tak kuasa menahan kantuk dan memilih pamit tidur ke lantai dua rumahnya. Apalagi saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Ia meminta semua yang hadir untuk meneruskan rapat hingga selesai.

Tak lupa Maeda mengucapkan selamat kepada semua yang hadir. Mendiang wartawan senior Rosihan Anwar yang ikut menunggu hasil rapat menuturkan, ini sebetulnya cara Maeda agar ia tetap dinilai netral dan tidak dipenjara oleh negaranya karena ikut mendukung kemerdekaan Indonesia.

Maeda juga meminta penerjemah Sunkichiro Miyoshi, kemudian ajudannya, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi untuk menemani Soebardjo dan kawan-kawan rapat. Tak lupa Maeda berpesan kepada asisten rumah tangga dan satu-satunya perempuan malam itu, Satsuki Mishima, memasakkan santap sahur bagi peserta rapat. Saat itu seluruh umat Islam di Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa hari ke-9 di Ramadan 1364 Hijriah.

Mau tahu menu sahur buatan Mishima? Dorothea Rini Yunarti dalam BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI menuliskan, Mishima memasakkan nasi goreng dengan lauk telur dadar dan ikan sarden.

Setelah konsep [klad] naskah proklamasi disetujui, rumusan itu harus diketik terlebih dulu sebelum diajukan kepada para anggota PPKI dan lainnya yang menunggu di ruang tengah. Soekarno menyuruh orang kepercayaannya Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi dengan rapi. Sayangnya mesin ketik di sana berhuruf hiragana dan bukan latin.

Mishima pun berinisiatif. Menembus udara dingin menjelang subuh di Menteng dengan memakai jipnya, ia pergi ke kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman [Kriegsmarine] di Gedung Koninklike Paaketvard Mastchappij [KPM]. Begitu tiba di kantor yang berada di kawasan Koningsplein Oost [Jalan Medan Merdeka Timur], asisten rumah tangga cekatan ini langsung meminjam Oriental, mesin ketik hitam besar dan kokoh buatan Jerman milik komandan kapal perang Jerman, Mayor Laut Hermann Kandeler.

Sayuti Melik pun selesai merapikan naskah untuk diperlihatkan kepada Soekarno. Ada sedikit perdebatan antara Soekarno dan Sukarni yang juga hadir sebagai saksi mewakili golongan muda. Soekarni, menyarankan agar Bung Besar, sapaan Soekarno, membacakan ikrar kemerdekaan itu di tempat terbuka yaitu Lapangan Ikada. Soekarno menolak usulan itu dan mengatakan pembacaan proklamasi akan digelar di halaman depan rumahnya di Pegangsaan Timur nomor 56, sekitar 2 kilometer dari rumah Maeda. "Pekarangan depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita memancing insiden?" kata Bung Besar.

Seperti dikisahkan Sergius Sutanto dalam Hatta: Aku Datang karena Sejarah yang terbit 2013, menjelang pukul 04.00 dinihari, Hatta menemui beberapa wartawan yang masih bersiaga di depan pintu. Ia meminta mereka untuk memperbanyak teks proklamasi. Hatta juga meminta Adam Malik, pimpinan kantor berita Domei di kawasan Pasar Baru untuk mengirim kawat berita proklamasi Indonesia ke seluruh dunia.

Adam Malik kemudian menugaskan jurnalisnya, Soegiarin di pagi buta Jumat menyusup ke ruang mesin morse yang diawasi ketat tentara Jepang untuk menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Di ruang morse Soegiarin menunggu salinan naskah proklamasi untuk ia teruskan kepada kantor-kantor berita dunia mengabarkan hari bersejarah bangsa Indonesia.

Hari itu, Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, Dwi Tunggal memproklamasikan Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat. Bendera Merah Putih hasil jahitan Fatmawati istri Soekarno, dikerek di tiang bambu yang ditancapkan di halaman rumah Bung Besar, Pegangsaan Timur nomor 56.

Belakangan, rumah Pegangsaan Timur nomor 56 dirobohkan sendiri oleh Soekarno pada 15 Agustus 1960. Di bekas halaman lokasi rumahnya berdiri menara tunggal putih setinggi 17 meter berujung besi seperti petir. Menara ini penanda lokasi dibacakannya naskah proklamasi. Soekarno juga memerintahkan arsitek Friedrich Silaban membangun Gedung Pola tepat di belakang bekas lokasi rumahnya. Pada 17 Agustus 1980 Presiden RI ke-2, Soeharto meresmikan Monumen Pahlawan Proklamasi di atas halaman bekas rumah Soekarno.

Sementara itu, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0476/1992, pemerintah pada 24 November 1992 menjadikan rumah Laksamana Maeda sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau Munasprok. Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Bintang Jasa Nararya kepada Maeda pada 17 Agustus 1977. Ia wafat 13 Desember 1977.

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề