Allah menyatakan bahwa orang-orang yang mengotori jiwanya akan diberi balasan berupa

5 dari 5 halaman

© Shutterstock.com

Setiap surat yang ada di dalam Al-Quran tentunya sangat baik untuk dibaca dan memiliki keutamaannya masing-masing. Salah satunya surat As Syam yang juga memiliki keistimewaan sendiri jika rutin membacanya. Seperti dikutip dari bincangsyariah.com, ada beberapa keutamaan membaca surat As Syam yang dijelaskan dalam kitab Lamahatul Anwar wa Nafahatul Azhar oleh Muhammad bin Abdul Wahid Al-Ghafiqi berikut ini:

Mendapat Keamanan dari Hal yang Menakutkan

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini ada kalanya kita merasa tidak aman dengan kondisi di sekeliling. Bahkan hal yang tidak diinginkan bisa kapan saja terjadi secara tidak terduga. Oleh karena itu, sahabat Dream perlu untuk membentengi diri yang salah satunya dengan membaca surat As Syam.

Surat ini sangat baik dibaca setiap pagi agar kamu mendapatkan rasa aman dari segala sesuatu yang menakutkan. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam hadis berikut ini:

عن ابي بن كعب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من قرأ سورة والشمس وضحاها في كل غداة امن من كل خوف

Artinya: “ Dari Ubay bin Ka’ab, dari Nabi Saw bersabda; Barangsiapa membaca surah ‘Wasy syamsi wa dhuhaha’ setiap pagi, maka dia akan aman dari setiap hal yang menakutkan.”

Pahalanya seperti Sedekah Seisi Langit dan Bumi

Keumataan lainnya ketika rutin membaca surat As Syam adalah mendapatkan pahala yang melimpah seperti sedang bersedekah dengan seisi langit dan bumi. Tentunya hal ini jangan sampai kamu sia-siakan, sahabat Dream. Bahkan telah dijelaskan dalam hadis berikut:

عن ابي بن كعب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قرأ سورة والشمس وضحاها فكأنما تصدق بكل شيئ طلعت عليه الشمس والقمر

Artinya: “ Dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda; Barangsiapa membaca surah ‘Wasy syamsi wa dhuhaha’, maka seakan-akan dia bersedekah dengan segala sesuatu yang terbit atasnya matahari dan bulan.”

Mendapatkan Ampunan Dosa

Setiap manusia tidaklah pernah luput dari adanya dosa. Baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu, sebagai umat Islam sebaiknya banyak-banyak memohon kepada Allah SWT agar diampuni dari segala dosa dan melakukan amalan-amalan yang diperintahkan Allah SWT.

Nah, membaca surat As Syam secara rutin bisa membuatmu mendapatkan ampunan dosa. Hal tersebut telah dijelaskan dalam sebuah hadis berikut ini:

روي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال من قرأ سورة والشمس وضحاها غفرله ما غربت عليه الشمس وما طلعت

Artinya: “ Diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda; Barangsiapa membaca surah ‘Wasy syamsi wa dhuhaha’, maka diampuni dosa yang tenggelam dan terbit atasnya matahari.”

Page 2

AsSAJIDIN.COM — Surah Asy-Syams [bahasa Arab: الشّمس‎] adalah surah ke-91 dalam al-Qur’an, terdiri atas 15 ayat, termasuk golongan surah Makkiyah, diturunkan sesudah surah Al-Qadr. Dinamai Asy Syams [matahari] diambil dari perkataan Asy Syams yang terdapat pada ayat permulaan surat ini.

Surat Asy Syams berisi dorongan kepada manusia untuk membersihkan jiwanya agar mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat dan menyatakan bahwa Allah akan menimpakan azab kepada orang-orang yang mengotori jiwanya seperti halnya kaum Tsamud.

Kaum Tsamud telah dihancurkan Allah karena kedurhakaannya. Tuhan membayangkan bahwa hal ini adalah mudah bagi-Nya, sebagaimana mudahnya menciptakan benda-benda alam, siang dan malam, dan menciptakan jiwa yang tersebut dalam sumpah-Nya; Allah memberitahukan kepada manusia jalan ketakwaan dan jalan kekafiran; manusia mempunyai kebebasan memilih antara kedua jalan itu.

Lihat Juga :  Rezeki Selalu Ada Alamat

Surat Asy Syams
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَاۖ wasy-syamsi wa ḍuḥāhā Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari, وَالْقَمَرِ اِذَا تَلٰىهَاۖ wal-qamari iżā talāhā demi bulan apabila mengiringinya, وَالنَّهَارِ اِذَا جَلّٰىهَاۖ wan-nahāri iżā jallāhā demi siang apabila menampakkannya, وَالَّيْلِ اِذَا يَغْشٰىهَاۖ wal-laili iżā yagsyāhā demi malam apabila menutupinya [gelap gulita], وَالسَّمَاۤءِ وَمَا بَنٰىهَاۖ was-samā`i wa mā banāhā demi langit serta pembinaannya [yang menakjubkan], وَالْاَرْضِ وَمَا طَحٰىهَاۖ wal-arḍi wa mā ṭaḥāhā demi bumi serta penghamparannya, وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ wa nafsiw wa mā sawwāhā demi jiwa serta penyempurnaan [ciptaan]nya, فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ fa al-hamahā fujụrahā wa taqwāhā maka Dia mengilhamkan kepadanya [jalan] kejahatan dan ketakwaannya, قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ qad aflaḥa man zakkāhā sungguh beruntung orang yang menyucikannya [jiwa itu], وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ wa qad khāba man dassāhā dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِطَغْوٰىهَآ ۖ każżabaṡ ṡamụdu biṭagwāhā [Kaum] samud telah mendustakan [rasulnya] karena mereka melampaui batas [zalim], اِذِ انْۢبَعَثَ اَشْقٰىهَاۖ iżimba’aṡa asyqāhā ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللّٰهِ نَاقَةَ اللّٰهِ وَسُقْيٰهَاۗ fa qāla lahum rasụlullāhi nāqatallāhi wa suqyāhā lalu Rasul Allah [Saleh] berkata kepada mereka, “[Biarkanlah] unta betina dari Allah ini dengan minumannya.” فَكَذَّبُوْهُ فَعَقَرُوْهَاۖ فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْۢبِهِمْ فَسَوّٰىهَاۖ fa każżabụhu fa ‘aqarụhā fa damdama ‘alaihim rabbuhum biżambihim fa sawwāhā Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya [dengan tanah], وَلَا يَخَافُ عُقْبٰهَا wa lā yakhāfu ‘uqbāhā

dan Dia tidak takut terhadap akibatnya.

Oleh Zainal Arifin M. Nur

Jabbar Sabil

LANJUTAN pengajian di Rumoh Aceh Kopi Luwak, bersama Ustad Jabbar Sabil MA, Rabu [15/02/2012] malam. Pengajian dimulai sejak pukul 21.00 WIB dan baru berakhir 23.00 WIB. Hadir Muhammad Nur [pemilik Rumoh Aceh], Tarmizi A Hamid [kolektor naskah kuno], Bukhari M Ali, Misbah, dan beberapa mahasiswa.

Kandidat doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ini, memaparkan pembahasan tentang penciptaan manusia. Beliau mengupas Surat al-Syams ayat 7-10, mengutip beberapa pendapat ulama. Berikut kupasannya, semoga bermanfaat.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا [7] فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا [8] قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا [9] وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا [10]

Demi jiwa dan penyempurnaan [ciptaannya], maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. [Q. S. al-Syams [91]: 7-10].

Dalam ayat di atas, setelah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi, Allah bersumpah atas nama jati diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia. Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian ulama mengartikan kata ‘nafs’ sebagai Nabi Adam, namun sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jati diri manusia itu sendiri.

Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘nafs’ dalam ayat berbentuk nakirah [tanpa alif lam ta‘rif], ini menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. Hal ini senada dengan penggunaan kata yang sama secara nakirah dalam ayat 5 surat al-Infithar:

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ [الانفطار [82]: 5]

Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. [Q. S. al-Infithar [82]: 5].

Oleh karena itu kata ‘wa ma sawwaha’ mengandung penjelasan bahwa Allah menciptakan diri setiap manusia dalam kondisi yang sama, tidak berbeda antar satu dengan lainnya. Sebab kesempurnaan bentuk manusia [taswiyyah] tercapai setelah proses pembentukan janin sempurna, yaitu pada awal masa kanak-kanak.

Karena taswiyyah merupakan pembentukan fisik manusia, penyiapan kemampuan motorik, dan intelektual. Seiring pertumbuhannya, potensi dalam diri manusia meningkat sehingga ia siap menerima ilham dari Allah.

Kata ilham sebagaimana pengertian dalam ayat tidak dikenal di kalangan orang Arab sebelum Islam, sehingga penjelasan untuk kata ilham tidak bisa dicari dalam syair-syair Arab kuno. Tidak diketahui kapan pertama kali kata ini muncul, namun diyakini Alquran lah yang menghidupkan kata ini, sebab ia adalah kata yang mendalam dan mengandung makna kejiwaan. Menurut Ibn Asyur, kata ilham diambil dari kata “allahm“ yang berarti tegukan dalam sekali gerak.

Secara terminologis, kata ilham digunakan untuk menyatakan konsep keilmuan tertentu di kalangan para ahli sufi. Ia diartikan sebagai hadirnya pengetahuan dalam diri manusia tanpa harus melalui usaha belajar dan penalaran. Dengan kata lain, ini merupakan ilmu yang tidak berdasar dalil, yaitu ilmu yang hadir seumpama insting bagi manusia. Bandingannya, seperti hadirnya pengetahuan pada seseorang agar segera menghindar saat berhadapan dengan hal yang tidak baik baginya.

Dengan pengertian seperti di atas, Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah mengajarkan manusia [‘arrafaha] tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh berbeda, Mujahid juga menafsirkan kataalhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia. Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al-Farra’, namun ada juga ulama yang melakukan penafsiran berbeda.

Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ka‘ab, ia berkata: “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka diilhamkan kebaikan baginya sehingga ia berbuat baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki keburukan terhadap seseorang, maka diilhamkan lah keburukan dalam jiwanya sehingga ia berbuat jahat.” Pendapat yang serupa juga diriwayatkan oleh al-Dhahhak, menurutnya bersumber dari Ibn Abbas.

Sebagian ulama berpendirian bahwa penafsiran seperti ini lebih kuat karena bersumber dari keterangan Rasulullah saw. sendiri. Imam Muslim dalam Sahih-nya [kitab al-Qadr, bab cara penciptaan anak Adam] meriwayatkan hadis berikut dari Abu al-Aswad al-Dili:

إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ، وَيَكْدَحُونَ فِيهِ، أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ، أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ، وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟ فَقَالَ: ” لَا، بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ، وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا “

Bahwa dua orang lelaki dari Muzaynah datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang perbuatan dan usaha yang dilakukan manusia, adakah sesuatu telah ditetapkan atas mereka, dan berlaku sebagaimana takdirnya dahulu? Atau ketetapan itu berlaku pada masa yang akan datang sebagaimana diberitakan oleh nabi mereka, dan telah ditetapkan hujah atas diri mereka?” Rasul menjawab: “Tidak, bahkan sesuatu telah lebih dahulu ditetapkan dan berlaku atas mereka, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Allah ‘Azza wa Jalla: Wa nafs wa ma sawwaha…” [HR. Muslim]

Penjelasan dari Rasulullah saw. ini tidak menutup peluang bagi penafsiran lain [seperti penafsiran Mujahid di atas] selama masih relevan dengan redaksi dan munasabah antarayat, sebab kedua penafsiran ini berbeda perspektif. Rasul menjelaskan secara metafisis, sedang yang lain beranjak dari redaksi teks ayat yang ternyata sesuai dengan pola berpikir logis akal manusia.

Hadis mengisyaratkan pemberian satu jenis ilham untuk satu orang sesuai dengan takdirnya. Jika seseorang ditakdirkan baik, maka ia mendapat ilham takwa, sebaliknya jika seseorang ditakdirkan buruk, maka ia mendapat ilham ke arah maksiat. Sedangkan redaksi dan munasabah ayat memungkinkan untuk ditafsir bahwa kedua jenis ilham itu diturunkan kepada setiap orang, baik ia ditakdirkan baik, atau ditakdirkan buruk.

Menurut Ibn Asyur, penurunan ilham ini memiliki relevansi dengan pengutusan para rasul yang mengajarkan apa itu kefasikan dan ketakwaan. Sebab jika tanpa ilham tentang kebaikan dan keburukan dalam diri manusia, maka manusia tidak akan mampu memahami syariat Allah.

Tanpa pengilhaman kedua hal itu, akal tidak akan mampu memahami apa itu fasik dan takwa, demikian pula manusia tidak akan mampu memahami apa itu dosa dan pahala. Hal ini lah yang mempertautkan pernyataan ayat 8 dengan konsekuensinya dalam ayat 9 dan 10.

Redaksi dan munasabah menunjukkan bahwa kedua ayat ini merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya, jadi tidak bisa ditafsirkan secara terpenggal. Logika yang terbangun; setelah Allah menjelaskan adanya pengilhaman fujur dan taqwa dalam diri manusia, lalu Allah menyatakan konsekuensinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Logika ini cukup relevan dengan redaksi ayat, sebab ayat 8 menggunakan waw‘athaf yang berarti fujur dan taqwa sama-sama diilhamkan dalam jiwa manusia, maka pernyataan dalam ayat 9 dan 10 menunjukkan akibat dari fujur dan taqwa itu.

Dari itu manusia patut disifatkan sebagai orang yang beruntung atau rugi, karena ia sendiri yang memilih untuk menyucikan, atau mengotori jiwanya. Sebab sebelumnya ia telah diberi ilham sehingga dapat membedakan antara fujur dantaqwa, bahkan para nabi pun telah diutus untuk memberinya pengajaran.

Jika logika yang sama diterapkan kepada hadis di atas, maka akan terjadi kontradiksi dengan ayat 9 dan 10. Sebab hadis menyatakan ilham fujur diberikan kepada orang yang ditakdirkan masuk neraka, dan ilham taqwa diberikan kepada orang yang ditakdirkan masuk syurga. Dari itu, perbuatan membersihkan, atau mengotori jiwa menjadi bukan perbuatan manusia.

Akibatnya, untung dan rugi tidak patut dinyatakan sebagai akibat perbuatan manusia sendiri. Dengan demikian, logika ini tidak cocok untuk memahami penjelasan metafisis Rasulullah, sebab Allah menyatakan tidak ada kontradiksi dalam Alquran sebagaimana bunyi ayat berikut:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا [النساء [4]: 82]

Tidakkah kamu merenungkan isi Alquran? Kalau bukan datang dari Allah, tentu kamu akan menemukan banyak kontradiksi di dalamnya. [Q.S. al-Nisa’ [4]: 82].

Menurut penulis, penjelasan Rasulullah saw. itu tidak menunjukkan kontradiksi antarayat Alquran, tapi menunjukkan adanya dimensi berbeda dalam Alquran. Jadi kita harus melihat Alquran sebagai kitab hidayah yang di samping berbicara dalam dimensi kemanusiaan, tapi juga menyampaikan informasi tentang hakikat/metafisika dalam dimensi ketuhanan. Lalu bagaimana kesan kontradiksi antara penjelasan hadis dengan redaksi ayat itu ditengahi?

Bagi penulis, Hadis di atas harus diperlakukan sebagai informasi penyeimbang, bukan hujah yang bisa dijadikan proposisi sehingga disimpulkan; tidak ada gunanya seseorang membersihkan jiwa, sebab fujur dan taqwa-nya telah ditentukan oleh Allah.

Kesimpulan seperti ini malah tidak logis, sebab seseorang tidak bisa mengetahui takdir Allah atas dirinya, lalu bagaimana ia bisa menyatakan amalannya menjadi tidak berguna? Yang logis, justru menjadikan Hadis itu sebagai petunjuk, agar kita menggunakan logika yang berbeda untuk informasi metafisika.

Benar bahwa Allah telah menentukan siapa penghuni syurga dan siapa penghuni neraka sejak dalam sulbi ayahnya. Tetapi tidak ada seorang pun manusia yang bisa mengetahui tentang dirinya, apakah ia ditakdirkan sebagai isi neraka, atau isi syurga.

Jadi pernyataan [proposisi] di atas tidak bisa diturunkan dalam pengalaman manusia. Demikian pula kesimpulan; “bahwa amal manusia menjadi tidak berguna,” ini tidak bisa dijadikan dasar bertindak dalam pengalaman manusia, karena tidak ada dasar pembenarnya dalam pengalaman manusia.

Logikanya, informasi di luar pengalaman manusia itu hanya menegaskan ketidakniscayaan pengalaman manusia. Oleh karena seseorang tidak bisa mengetahui apa yang telah ditakdirkan Allah atas dirinya, maka ia harus terus memperbaiki seluruh amalnya. Sebab sebaik apa pun amal yang telah ia kerjakan, tetap tidak bisa dijadikan jaminan untuk memastikan dirinya sebagai isi syurga.

Demikian pula bagi orang yang terjerumus dalam kenistaan, jangan berputus asa dan mengira tidak ada jalan keluar. Sebab meskipun ia sedang bergelimang dosa, tapi itu belum tentu merupakan petunjuk atas takdirnya, karena tidak ada seorang pun yang bisa memastikan itu sebagai takdir Allah atas dirinya.

Di sisi lain, adanya Hadis di atas mengharuskan manusia untuk mampu berfikir moderat, yaitu berfikir pertengahan sehingga informasi metafisik dari hadis tidak kontradiksi dengan rasionalitas yang ditunjukkan oleh redaksi ayat. Oleh karena itu, logika yang dibangun Alquran harus diikuti, bahwa orang yang membersihkan jiwanya akan beruntung, adapun orang yang mengotori jiwanya akan merugi. Namun logika ini tidak boleh dijadikan sebagai suatu prinsip yang niscaya [determinan], melainkan harus disikapi secara pertengahan.

Perlu dicatat, ilmu konseptual manusia hanya lah berupa kemungkinan [probabilitas], jadi tidak ada sesuatu pun yang bisa dipastikan manusia sampai sesuatu terjadi dalam kasus partikular. Demikian kesimpulan Kenneth T. Gallagher setelah melihat runtuhnya ‘keniscayaan kausalitas’ sains modern pasca temuan fisika kuantum. Manusia harus puas dengan probabilitas. Maka keberuntungan bagi orang yang membersihkan jiwanya memiliki probabilitas yang lebih tinggi dibanding kebalikannya.

Demikian pula kerugian bagi orang yang mengotori jiwanya, tentu lebih tinggi probabilitasnya dibanding keberuntungan yang mungkin didapatnya. Dengan demikian, ia tidak bertentangan dengan penjelasan metafisis yang disampaikan oleh Rasulullah.

Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa informasi metafisik harus diterima manusia apa adanya berdasar wahyu melalui lisan para nabi. Jadi kebenaran nabi lah yang menjadi jaminan kebenaran bagi informasi ini. Maka hadis di atas harus diperlakukan sebagai penjelasan tentang hakikat yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya saja, dan tidak bisa dipahami dengan pendekatan rasionalitas-intelektualitas berdasar pengalaman manusia.

Keberadaan manusia sebagai bagian dari alam membuat kemampuan meneliti dan berpikir manusia terbatas sesuai sunnatullah. Kemampuan dan logika berpikir manusia terikat dengan hukum yang diberlakukan Allah atas alam ini. Karena terikatnya rasionalitas akal manusia dengan alam fisik yang dihuninya, maka Allah menurunkan Alquran dengan bahasa dan logika yang sesuai dengan kemampuan memahami yang ada dalam diri manusia.

Namun manusia juga disuguhi informasi metafisik, agar sunnatullah yang mengikat rasionalitas akal manusia tidak dikira berlaku secara niscaya. Sekali lagi, kausalitas yang dipersepsikan manusia hanya lah probabilitas.

Dari itu dapat disimpulkan, bahwa kesan kontradiksi dari ayat-ayat di atas muncul karena manusia melihat informasi metafisika berdasar rasionalitas akalnya yang terbatas, yaitu terbatasi oleh berlakunya sunnatullah terhadap alam fisik ini. Jadi penjelasan Rasul dalam hadis di atas tidak menunjukkan adanya kontradiksi antar ayat, tapi menegaskan probabilitas.

Bahwa memperoleh keberuntungan akhirat lebih tinggi probabilitasnya bagi orang yang membersihkan jiwanya. Namun karena tidak bersifat niscaya, maka manusia dituntut untuk terus menerus membersihkan jiwanya…

sumber //www.zainalarifin.tk/2012/03/demi-jiwa-penafsiran-ayat-7-10-surat-al-syams/

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề