Analisis akibat yang timbul apabila suatu negara tidak memiliki undang-undang Dasar

Analisis akibat yang timbul apabila suatu negara tidak memiliki undang-undang Dasar
Abstract
During the 4 (four ) years starting in 1999, 2000, 2001 until the year 2002 the Assembly (MPR) made changes to RI State Constitution Act 1945. These changes flow in response to demands for reform. The claim is, among others, against the background by the practice of statecraft in the reign of the centralized authoritarian Suharto regime using the Basic Law as an instrument to perpetuate his rule. Philosophical, historical, juridical, sociological, political, and theoretically reasons sufficient to support the need for changes to the constitution. Also the idea to change the Basic Law received wide support from various levels of society.

Viewed in quantitative and qualitative changes made in the MPR session very much and fundamental that the original Basic Law is not recognized anymore because in principle has been completely changed. Can be said that through these amendments to the Assembly 4 (four) times actually has formed a new Basic Law in order to build a democratic constitutional system, by law, with a clear separation of powers between organs of State accompanied by the principle of checks and balances, extension of guarantees for human rights and decentralization of authority to autonomous regions. Changes in RI State Constitution Act 1945 was not without problems.

There are a number of weaknesses and substance sistimatika Basic Law after changes such as inconsistencies, ambiguities system of government and administrative systems that are not clear. Constitution Amendment Act was not by itself foster constitutional obedience. As a result, after more than 10 (ten) years of change,  management practices Basic Law of our country is still far from complete, because the uncertainty of ground rules in the bureaucratic culture of state or because we have not changed much. Still requires time and effort that is more serious and consistent in moving from changing the constitution to change the community culture. For that seeding and fertilizing spirit of constitutionalism in different layers of society is a must along with the example of the leaders. 

Abstrak
Selama 4 tahun  mulai tahun 1999, 2000, 2001 sampai dengan tahun 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut mengalir begitu saja sebagai respon terhadap tuntutan reformasi. Tuntutan tersebut antara lain dilatar belakangi oleh praktek penyelenggaraan negara pada masa pemerintahan rezim Suharto yang otoriter sentralistik dengan menggunakan Undang-Undang Dasar sebagai instrument untuk melanggengkan kekuasaannya. Alasan filosofis, historis, yuridis, sosiologis, politis, dan teoritis cukup mendukung perlunya perubahan terhadap konstitusi. Selain itu gagasan untuk mengubah Undang-Undang Dasar mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat.

Dilihat secara kuantitatif dan kualitatif perubahan yang dilakukan dalam sidang MPR sangat banyak dan mendasar sehingga Undang-Undang Dasar aslinya tidak dikenali lagi karena secara prinsipil sudah berubah sama sekali. Dapat dikatakan bahwa melalui 4 kali amandemen tersebut MPR sesungguhnya telah membentuk Undang-Undang Dasar baru dalam rangka membangun sistem ketatanegaraan yang demokratis, berdasarkan hukum, dengan pemisahan kekuasaan yang jelas antar organ negara disertai prinsip check and balances, perluasan jaminan hak asasi manusia dan desentralisasi kewenangan kepada daerah otonom. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukannya tanpa masalah.

Terdapat sejumlah kelemahan sistimatika dan substansi Undang-Undang Dasar pasca perubahan seperti inkonsisten, kerancuan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas. Perubahan Undang-Undang Dasar ternyata tidak dengan sendirinya menumbuhkan budaya taat berkonstitusi. Akibatnya setelah lebih dari 10 tahun perubahan Undang-Undang Dasar praktek penyelenggaraan negara kita masih jauh dari harapan, karena kegamangan aturan dasar dalam bernegara maupun karena budaya birokrasi kita belum banyak berubah. Masih diperlukan waktu dan upaya yang lebih serius serta konsisten untuk bergerak dari perubahan konstitusi ke perubahan budaya masyarakat. Untuk itu penyemaian dan pemupukan spirit konstitusionalisme diberbagai lapisan masyarakat merupakan suatu keharusan disertai keteladanan dari para pemimpin.

 
A.      Pendahuluan

Kata reformasi sangat bertuah pada penghujung tahun 1990-an sampai pada awal tahun 2000-an. Betapa tidak, Suharto penguasa Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari 3 dekade lengser keprabon dilanda oleh kekuatan rakyat yang mengusung tema reformasi kekuasaan otoriter birokratik yang sentralitik. Gerakan reformasi menghendaki ditegakkannya pemerintahan demokratis berdasarkan hukum dengan desentralisasi kekuasaan. Instrumen terpenting yang digunakan Suharto melanggengkan kekuasaanya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang semula sangat disakralkan digugat. Desakralisasi Undang-undang Dasar tak terbendung. Slamet Effendi Yusuf dan Umar Basalim (2000:55) mengemukakan berbagai alasan mengapa UUDNRI Tahun 1945 perlu diubah, yaitu dilihat dari perspektif filosofis, historis, sosiologis, yuridis, praktek ketatanegaraan, dan materi. Sementara itu DPDRI (2009:53) mengemukakan ”penyebab utama mengapa konstitusi harus mengalami perubahan tentu saja karena konstitusi itu dianggap sudah ditinggalkan oleh zamannya, sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan rakyat yang membuatnya.” Perubahan pertama ditetapkan pada Sidang MPR tanggal 19 Oktober 1999. Ada 9 Pasal yang diubah secara mendasar.

Ada dua perubahan fundamental yang dilakukan, yaitu (1) pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR; dan (2) pembatasan masa jabatan presiden selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Perubahan kedua ditetapkan pada Sidang MPR tanggal 18 Agustus tahun 2000. Ada 25 Pasal perubahan/tambahan dan perubahan dan perubahan 5 Bab. Perubahan fundamental terpenting berkaitan dengan 8 hal, yaitu (1) otonomi daerah/desentralisasi; (2) pengakuan serta penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya; (3) penegasan fungsi dan hak DPR; (4) penegasan NKRI sebagai sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang; (5) perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia; (6) sistem pertahanan dan keamanan Negara; (7) pemisahan struktur dan fungsi TNI dengan Polri; dan (8) pengaturan bendera, bahasa, lambang Negara, dan lagu kebangsaan.

Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Ada 23 Pasal perubahan/tambahan dan 3 Bab tambahan. Perubahan ketiga ini merupakan perubahan yang paling luas mencakup 25 Pasal dan 3 Bab tambahan. Perubahan mendasar meliputi 10 hal,  yaitu (1) penegasan Indonesia sebagai negara demokratis berdasar hukum berbasis konstitusionalisme; (2) perubahan struktur dan kewenangan MPR; (3) pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung oleh rakyat; (4) mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden; (5) kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah; (6) pemilihan umum; (7) pembaharuan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan; (8) perubahan kewenangan dan proses pemilihan dan penetapan hakim agung; (9) pembentukan Mahkamah Konstitusi; dan (10) pembentukan Komisi Yudisial.

Perubahan keempat ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 10 Agustus 2002, meliputi 13 pasal, 3 pasal aturan peralihan, 2 pasal aturan tambahan dan perubahan 2 bab. Perubahan mendasar meliputi 12 hal, yaitu (1) perubahan susunan MPR menjadi terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum; (2) melengkapi aturan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; (3) pelaksana tugas kepresidenan; (4) Dewan Pertimbangan Presiden menggantikan Dewan Pertimbangan Agung yang dihapuskan; (5) bank sentral; (6) hak mendapat pendidikan bagi setiap warga negara dan prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%; (7) negara memajukan kebudayaan nasional, menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional; (8) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi selusuh rakyat dan bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; (9) syarat perubahan Undang-Undang Dasar; (10) tenggat waktu pembentukan Mahkamah Konstitusi paling lambat 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung; (11) penugasan kepada MPR untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR tahun 2003; dan (12) dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

Empat kali perubahan Undang-Undang Dasar yang dilakukan secara bertahap dalam waktu relatif singkat selama 4 tahun, yaitu dari tahun 1999-2002 berjalan begitu saja tanpa suatu grand design yang jelas. Pembahasan dalam sidang MPR tidak mengalami kendala berarti meskipun perdebatan sering berjalan tajam dan alot dengan argumentasi yang yang mendalam. Ada dua alasan mengapa pembahasan berjalan lancar, yaitu (1) romantisme reformasi masih hangat dalam hati partai politik, anggota MPR dan para aktivis; dan (2) tercapainya kesepakatan dasar dalam Panitia Ad Hoc I MPR yang dijadikan pegangan oleh para anggota MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUDNRI Tahun 1945 yang meliputi (a) tidak mengubah Pembukaan UUDNRI Tahun 1945; (b) tetap mempertahankan NKRI; (c) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (d) penjelasan UUDNRI Tahun 1945 ditiadakan serta hal-hal yang normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal, dan (e) perubahan dilakukan dengan “addendum”.  Dalam empat kali perubahan Undang-Undang Dasar secara kuantitatif dan kualitatif sebetulnya wajah Undang-Undang Dasar sebelum perubahan nyaris tak dikenali lagi. Jimly Asshiddiqie (2006:61) antara lain mengemukakan ”Dari segi kuantitatif saja sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUDNRI Tahun 1945 setelah mengalami empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran.”

B.       Perubahan Mendasar                                                                                                        

Perubahan mendasar pasca empat kali amandemen secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. ditegaskannya demokrasi konstitusional dan negara hukum;
  2. kesetaraan antar lembaga negara dengan sistem pemisahan kekuasaan dan check and balances;
  3. restukturisasi dan refungsionalisasi kelembagaan negara serta dihapuskannya sistem mandataris MPR;
  4. pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR;
  5. sistem pemerintahan presidensiil dengan pemilihan Presiden langsung oleh rakyat;
  6. lembaga perwakilan yang unik terdiri DPR dan DPD, serta MPR yang terdiri dari anggota DPR dan Anggota DPD;
  7. kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilah yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
  8. peran partai politik dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden;
  9. penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri;
  10. APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
  11. NKRI negara kepulauan yang berciri nusantara;
  12. perluasan jaminan hak asasi manusia;
  13. pemisahan TNI dengan Kepolisian Negara RI;
  14. anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD;
  15. demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
  16. Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat;
  17. negara memiliki suatu bank sentral independen;
  18. BPK yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara;
  19. syarat dan tata cara perubahan pasal-pasal UUDNRI Tahun 1945 serta khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan; dan
  20. dengan ditetapkannya perubahan UUDNRI Tahun 1945 tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

Perubahan UUDNRI Tahun 1945 telah berhasil mengubah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik menjadi kekuasaan yang demokratis berdasarkan atas hukum dan desentralistis. Penyelenggaraan negara yang berpusat pada negara (state) bergeser berbasis kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat mendapatkan kembali kedaulatannya yang sempat digenggam oleh Presiden sebagai Mandataris MPR selama lebih dari tiga dekade. Hubungan antar lembaga negara juga mengalami perubahan, karena lembaga negara diposisikan setara dengan prinsip check and balances. Hubungan pusat dan daerah juga lebih proporsional dengan diberikannya kewenangan bagi pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kekuasaan kehakiman mendapat jaminan konstitusional sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaran peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan sebagai wujud supremasi hukum. Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan menguji undang-undang terhadap UUDNRI Tahun 1945 dan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.


C.  Setelah 10 Tahun Perubahan

Permasalahannya sekarang ialah setelah lebih dari 10 tahun perubahan UUDNRI Tahun 1945 dilakukan, apakah kedaulatan betul-betul ditangan rakyat atau dengan kata lain demokrasi politik dan demokrasi ekonomi telah mampu mengantarkan rakyat menjadi lebih sejahtera? Apakah pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum mengabdi untuk kepentingan rakyat dan menjalankan pemerintahan secara adil, bertanggung jawab dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah hukum telah ditegakkan secara adil terhadap semua orang tanpa pandang bulu? Singkatnya setelah 10 tahun lebih perubahan UUDNRI Tahun 1945 apakah kultur penyelenggara negara telah mengalami reformasi atau belum? Kalau kita mau jujur perbaikan memang ada, tetapi belum menyentuh aspek yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara seperti yang dituntut oleh gerakan reformasi. Kata reformasi kehilangan kekuatannya untuk merombak kultur penyelenggara negara apalagi kultur masyarakat agar menjadi masyarakat yang berpikir, berkata, dan bertindak secara benar dalam menegakkan demokrasi di bidang politik dan ekonomi, menegakkan hukum, dan hak asasi manusia serta dalam membangun kepribadian dan jati diri bangsa yang Bhineka Tunggal Ika dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945.

Dalam 10 tahun terakhir ini ritual demokrasi telah dilakukan secara berkala. Rakyat terlibat dalam proses politik yang menelan biaya cukup tinggi untuk menghasilkan pemimpin politik di lembaga eksekutif dan legislatif yang memperoleh legitimasi rakyat. Rakyat diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elit politik secara perseorangan. Setelah pemilihan umum berlalu “permainan politik” berada ditangan aktor politik hasil pilihan rakyat yang dengan lantang menyatakan mereka berjuang untuk rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Perlu ditambahkan bahwa pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 khususnya setelah Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden terpilih yang mendapat dukungan mayoritas dari pemilih ternyata tidak didukung oleh mayoritas suara di DPR. Karena itulah koalisi taktis dilakukan antar partai politik pendukung presiden terpilih dengan partai politik lainnya yang memperoleh kursi di DPR. Koalisi semacam ini ternyata mudah goyah terutama jika dihadapkan kepada isu politik yang menarik perhatian publik. Mitra koalisi tidak sepenuhnya dapat diharapkan mendukung kebijakan partai politik pendukung presiden, karena masing-masing memiliki kepentingan untuk melukan “investasi politik” menyongsong pemilihan umum berikutnya. Dilihat dari hubungan eksekutif-legislatif pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945, pendulum berayun kencang kearah legislatif. Sebelum reformasi kekuasaan lebih berat ke eksekutif (executive heavy), kini kekuasaan lebih berat ke legislatif (legislative heavy). Sehingga terjadi anomali sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan DPR sangat kuat. DPR sangat berperan dalam menentukan anggaran, dalam membentuk undang-undang, dalam rekrutmen jabatan publik dan berbagai kebijakan negara lainnya, serta dalam mengawasi pemerintah. Tak heran apabila sistem pemerintahan kita disebut sebagai sistem pemerintahan semi presidensial, bahkan ada yang menyebutnya sebagai sistem pemerintahan parlementer, karena kuatnya lembaga legislatif dalam mengontrol pemerintahan.

Seiring dengan menyebarnya kekuasaan secara horizontal dan vertikal maka korupsi, kolusi, dan nepotisme mengikuti kekuasaan tersebut. Dalil Lord Acton, negarawan Inggris, menyatakan ”power trend to corrupt” masih berlaku. Simak saja berapa banyak pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di pusat dan daerah yang diseret ke meja hijau. Itu pun dengan catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, dan Kepolisian belum optimal. Penegakkan hukum dan hak asasi manusia juga belum memuaskan rakyat. Mafia hukum, makelar kasus, perang antara “cicak dan buaya“ mencemari dunia peradilan kita. Karena itu Presiden merasa perlu membentuk Satuan Tugas untuk memerangi mafia hukum. Meski terlalu dini masyarakat mulai bertanya apakah Satuan Tugas ini akan mampu memberantas mafia hukum yang sudah menyebar kemana-mana dan membersihkan dunia peradilan dari kanker ganas yang merusak citra aparat penegak hukum? Belum tuntas penanganan mafia hukum muncul lagi mafia pajak dan mungkin mafia lainnya yang mengindikasikan bahwa administrasi negara kita belum bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dikecam habis pada era reformasi. Pelaksanaan otonomi daerah juga belum menggembirakan, bahkan belakangan tercium adanya gejala resentralisasi urusan yang membuat desentralisasi tertatih-tatih. Prinsip money follow fungtion dalam penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya diikuti. Sering urusan sudah diserahkan ke daerah, tetapi pendanaan, personil, dan sarana pendukungnya belum mengikuti. Selain itu soal perimbangan keuangan antara pusat dan daerah masih merupakan masalah krusial. Beberapa daerah otonom bersuara keras mengenai soal ini, sebab hal tersebut sangat penting artinya bagi pembangunan daerah.

Mengenai hubungan negara dengan masyarakat pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Hak-hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi dan kewajiban negara untuk memenuhinya belum sepenuhnya terwujud. Prinsip kedaulatan negara masih menonjol daripada kedaulatan rakyat. Rakyat belum sepenuhnya menjadi subyek yang mesti diberikan pelayanan oleh negara, pelayanan publik yang berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalisme, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kemudahan dan keterjangkauan baru sebatas wacana dan belum menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Aparat negara masih bermental “pangreh” ketimbang “pamong” apalagi “abdi” rakyat. Amanat Pembukaan UUDNRI Tahun 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui sistim pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif, memang telah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun gerakan dari regulasi menuju implementasi undang-undang berjalan lamban.

D.  Belum Menjadi Kenyataan?

Mengapa setelah lebih dari 10 tahun perubahan UUDNRI Tahun 1945 harapan yang menyertai perubahan UUDNRI Tahun 1945 tersebut belum menjadi kenyataan? Apakah karena kelemahan yang inheren dengan UUDNRI Tahun 1945 pasca perubahan ataukah karena bangsa kita kehabisan energi sosial untuk semakin mendekatkan kenyataan dengan harapan?

Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI masa bakti 2004-2009, dalam kata sambutannya pada buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 antara lain mengemukakan ”Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dilakukan 4 kali ternyata masih menyisakan banyak kelemahan dan inkonsistensi, serta ketidaklengkapan sehingga membutuhkan peninjauan kembali…” (DPD RI 2009:iv) . Sementara itu Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memberikan beberapa catatan terhadap perubahan UUDNRI Tahun 1945 (DPD RI 64-66), yang intinya sebagai berikut (1) perubahan UUDNRI Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR tidak lagi dapat disebut sebagai amandemen melainkan sudah merupakan penggantian (alternation); (2) baik ditinjau dari aspek landasan filosofis maupun ketatanegaraan, sistem politik dan pemerintahan, hasil perubahan yang dilakukan oleh MPR sangat membingungkan; (3) berkaitan dengan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan ditemui kerancuan; (4) MPR tidak tegas menetapkan sistem pemerintahan yang dianut, apakah sistem presidensial atau parlementer murni atau semu; (5) kesimpulannya empat kali perubahan UUDNRI Tahun 1945 oleh MPR justru menciptakan sistem politik dan sistem ketatanegeraan Indonesia yang tidak jelas dan menghasilkan rumusan pasal-pasal yang multi interpretatif, sehingga dapat menimbulkan instabilitas hukum maupun politik.

Mengapa semua itu terjadi? Albert Hasibuan, Wakil Ketua Lembaga Kajian Konstitusi, dalam sambutannya atas penerbitan buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 (DPD RI:2009:viii-ix) antara lain mengemukakan ”…. kekurangan dan kelemahan rumusan UUD 1945 pasca perubahan dari MPR itu antara lain disebabkan oleh adanya proses kompetisi, bargaining, dan kompromi dalam merumuskan UUD 1945. Penyebab lainnya tidak adanya kerangka acuan atau naskah akademik yang dibutuhkan sebelum melakukan perubahan UUD 1945. Disamping itu pengalaman anggota MPR memegang peranan besar yang menimbulkan kekurangan dan kelemahan UUD 1945 pasca perubahan. Hal ini juga ditambah aspek legitimasi yang terkait dengan aspek metodologis yang kurang melibatkan peran serta masyarakat. Selanjutnya Albert menyimpulkan “…dalam UUD 1945 pasca perubahan kurang nampak check and balances atau pengawasan dan perimbangan di antara lembaga lembaga negara. Tidak kelihatan aspek equilibrium berdasarkan pengawasan dan perimbangan yang berlaku dalam suatu konstitusi. Justru yang kelihatan adalah disequilibrium dengan adanya dominasi kekuasaan legislatif. ”

Sangat boleh jadi kelemahan dan kekurangan UUDNRI Tahun 1945 pasca perubahan merupakan kendala dalam mewujudkan harapan rakyat yang begitu besar pada era reformasi yang mendambakan pemerintahan demokratis, konstitusional, adil, berpihak kepada rakyat, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok tanah air melalui pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, menghormati hak asasi manusia dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Disamping kelemahan UUDNRI Tahun 1945 pasca perubahan, energi sosial bangsa kita terkuras untuk menghadapi berbagai bencana alam yang silih berganti menimpa beberapa wilayah NKRI, untuk menyelesaikan konflik sosial di beberapa daerah, untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, politik dan hukum peninggalan rezim Soeharto, penanganan krisis ekonomi sebagai dampak krisis keuangan global, memerangi korupsi yang semakin meluas, memerangi terorisme dan kejahatan transnasional terorganisir lainya. Belum lagi keterlibatan intens warga negara dalam pemilihan umum menguras tenaga, dana dan waktu yang tidak sedikit mengingat seringnya diadakan pemilihan umum untuk berbagai keperluan rekrutmen lembaga legislatif, kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah. Selain itu isu politik yang hangat dalam berbagai aspek kehidupan bernegara mulai dari soal tarif dasar listrik, harga bahan bakar minyak, harga sembilan bahan pokok, ujian nasional, penggusuran pedagang kaki lima atau rumah pensiunan prajurit, mafia hukum, mafia pajak, kamar mewah di lembaga pemasyarakatan untuk narapidana atau tahanan berduit, pengendalian peredaran narkoba dari lembaga pemasyarakatan sampai prokontra kunjungan Obama ke Indonesia.

Masih banyak lagi deretan masalah yang menyita perhatian pemerintah, lembaga legislatif, penegak hukum, para pakar dan masyarakat pada umumnya. Berbagai isu hangat tersebut diperdebatkan dengan sengit dan sering  tanpa solusi yang jelas. Masyarakat beralih dari isu yang satu ke isu yang lain sebelum ditemukan penyelesaian yang memadai atas sesuatu isu. Kadang-kadang seperti mengunyah permen karet yang tinggal karetnya saja. Melelahkan dan tidak memperbaiki keadaan. Sebagai masyarakat yang majemuk yang demokratis keterlibatan masyarakat dalam membahas masalah nyata yang dihadapi sehari-hari adalah hal yang wajar, anomalinya ialah ketika tidak ada kebijakan strategis yang diambil berdasarkan hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara tuntas. Bahkan para penguasa atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan sebatas ikut meramaikan wacana, bukan mengambil kebijakan untuk menyelesaikannya, sehingga masalah yang sama akan muncul kembali selang beberapa lama.

Amanat Pembukaan UUDNRI Tahun 1945 yang berkenaan dengan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, meskipun sebagian telah mengalir ke dalam batang tubuh atau pasal-pasal UUDNRI Tahun 1945, namun belum mengalir ke dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya serta ke dalam semangat para penyelenggara negara. Itulah sebabnya realitas sosial dalam kehidupan masyarakat pasca perubahan UUDNRI Tahun 1945 belum berubah secara signifikan. Elit yang berkuasa silih berganti, dan mereka mengucapkan janji yang sama untuk melaksanakan UUDNRI Tahun 1945, menjaga keutuhan NKRI, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mengembangkan demokrasi demi kesejahteraan rakyat dan kehormatan Indonesia di dunia internasional. Tetapi rakyat mencatat bahwa hanya sedikit janji yang dipenuhi, dan lebih banyak yang diingkari tanpa rasa bersalah.

E.  Grand Design dan Visioner

Dimasa yang akan datang perubahan ke-5 UUDNRI Tahun 1945 perlu dilakukan dengan suatu grand design yang jelas, disertai visi yang aspiratif. Sebab undang-undang dasar suatu negara bersifat dinamis, mengikuti gerak masyarakatnya, bahkan diharapkan dapat menjadi guiding star yang memandu kehidupan masyarakatnya dalam meraih cita-cita bersama. Karena itu pembentuk undang-undang dasar dan perubahannya harus mampu menangkap semangat zaman dan sekaligus berfikir visioner. Perubahan UUDNRI Tahun 1945 nanti harus dapat merevitalisasi fungsi konstitusi. Jimly Asshiddiqie (2006:33-34) merinci fungsi konstisusi sebagai berikut:

  1. Penentu dan pembatas kekuasaan organ negara;
  2. pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara;
  3. pengatur hubungan antar organ kekuasaan negara dengan warga;
  4. pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara;
  5. penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara;
  6. simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity);
  7. simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation);
  8. sebagai pusat upacara (center of ceremony);
  9. sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit dan hanya di bidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi;
  10. sarana perekayasaan dan pembaharuan masyarakat (social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.

Perubahan undang-undang dasar harus diikuti pula oleh perubahan budaya masyarakat, perubahan budaya birokrasi yang kondusif untuk pelaksanaan nilai-nilai konstitusi untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Sebab tanpa perubahan budaya tersebut jurang pemisah antara harapan dan kenyataan akan tetap lebar. Bangsa Indonesia harus bergerak dari regulasi ke implementasi secara konsisten dengan kecerdasan menangkap peluang-peluang yang terbuka di hadapan kita.

Mengubah undang-undang dasar tidak mudah, tetapi yang tidak kalah sulitnya ialah membangun budaya taat berkonstitusi. Untuk itu diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara berkelanjutan oleh segenap lapisan masyarakat dengan keteladanan dari para pemimpin. Spirit konstitusionalisme harus disemai dan terus dipupuk agar tumbuh subur dalam kesadaran masyarakat, terutama dikalangan para penyelenggara negara dan para pemimpin politik.