Apa arti dari hubbul wathon minal iman

Meski Indonesia telah merdeka 77 tahun lalu, tapi sampai sekarang masih ada juga orang yang mempertentangkan wawasan kebangsaan dan ajaran agama. Mempertentangkan antara al-Quran dengan UUD 45; mempertentangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara Islam, dan selainnya. Sebagian orang mempermasalahkan jargon hubbul wathan minal iman sebagai hadits.

Show
 

Termasuk di antaranya masih berasumsi bahwa cinta tanah air tidak ada dalilnya dalam agama. Namun apakah sebenarnya cinta tanah air tidak ada dalilnya? Apakah jargon ‘Hubbul wathan minal iman’ tak cukup dijadikan dalil cinta Tanah Air dalam Islam?


Tentu cinta tanah air ada dalilnya baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun dalil-dalil agama lainnya. Namun kalau yang dipermasalahkan adalah jargon atau jargon ‘hubbul wathan minal iman’, apakah cukup atau tidak dijadikan sebagai dalil cinta tanah air, maka penjelasan Al-Hafizh as-Sakhawi (831 - 902 H) menarik untuk disimak.


Sebagai muhaddits atau pakar hadits, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani ini menjelaskan, bahwa memang ungkapan populer atau jargon ‘hubbul wathan minal iman’ bukan hadits. ‘Lam aqif ‘alaihi’, aku tidak menemukannya sebagai hadits’, kata as-Sakhawi. Namun demikian bukan berarti salah dan tidak dapat dijadikan pedoman.


Menurut peneliti hadits-hadits populer ini, meski jargon ‘hubbul wathan minal iman’ bukan hadits, namun maknanya sahih, maknanya benar. Kenapa demikian. Sebab jauh-jauh hari sebelum masa hidupnya jargon ini sudah dikenal dan diakui kebenarannya di lingkungan ulama Islam.  Imam as-Sakhawi menjelaskan:


لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ وَمَعْنَاهُ صَحِيْحٌ فِي ثَالِثِ الْمُجَالَسَةِ لِلدَّيْنَوَرِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْأَصْمَعِيِّ سَمِعْتُ اَعْرَابِيًّا يَقُوْلُ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ الرَّجُلَ فَانْظُرْ كَيْفَ تَحَنُّنُهُ إِلَى أَوْطَانِهِ وَتَشَوُّقُهُ إِلَى إِخْوَانِهِ وَبُكَاؤُهُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ زَمَانِهِ

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Tidak sedikit umat Islam yang menganggap bahwa slogan Hubbul Wathan Minal Iman atau cinta tanah air bagian dari iman berasal dari hadis Nabi Saw. Padahal, slogan ini lahir dari para pejuang Nasionalisme Suriah pada penghujung abad ke-19 Masehi. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafiq Mughni bahkan menyebut bahwa slogan tersebut dicetuskan oleh seorang misionaris Kristen yaitu Butrus al-Bustani.

“Butrus al-Bustani seorang misionaris Kristen yang sangat terkenal di dunia Arab, beliau memperkenalkan slogan Hubbul Wathan Minal Iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman. Slogan ini bukan dari teks Al-Quran maupun Hadis Nabi Saw,” kata Syafiq dalam acara Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (15/10).

Butrus al-Bustani dianggap sebagai tokoh nasionalis Suriah yang pertama. Berkat perannya, kawasan Suriah yang kala itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmaniyah, timbul kesadaran untuk melakukan gerakan an-Nahdlah (pembaharuan). Gerakan ini begitu menentang segala bentuk sektarianisme, hingga Butrus mencetuskan semboyan “cinta akan tanah air sebagian dari iman” ini.

Syafiq kemudian mengingatkan bahwa meskipun slogan Hubbul Wathan Minal Iman bukan berasal dari Rasulullah, umat Islam tidak perlu mencari-cari justifikasi untuk mengaitkan slogan tersebut dengan hadis-hadis Nabi Saw. Kesadaran akan ikatan kebangsaan merupakan sesuatu yang alamiah. Karena Islam memandang rasa cinta terhadap tanah air adalah tabiat semua manusia.

MateriTerkait

Makna Tarjih di Muhammadiyah Tidak Sekadar Perbandingan Dalil dan Pendapat Ulama

Darul Ahdi wa Syahadah Menuntut Muhammadiyah Menjaga Kemurnian Pancasila

Lazismu Resmikan Sumur Perdana untuk Sudan

“Tanpa harus mencari-cari justifikasi terhadap hadis-hadis Nabi, cinta tanah air adalah sesuatu yang natural karena kita butuh tempat untuk tinggal, kita butuh tetangga untuk bergaul, kita perlu sahabat sebangsa dan setanah air untuk melawan segala penjajahan dan kedzaliman,“ tegasnya.

Kalimat hubbul wathan minal iman akhir-akhir ini kembali popular. Kalimat itu berarti cinta tanah air bagian dari iman. Bersamaan dengan naik daunnya kalimat tersebut, ada sebagian pihak yang menerima pernyataan tersebut bulat-bulat dan menyebutnya sebagai hadis Nabi Muhammad saw.

Sebagian kelompok umat Islam lainnya tidak menerima pernyataan tersebut. Mereka secara ekstrim menyebut itu sebagai hadis maudhu’ alias palsu. Karena kepalsuannya, ia tidak dapat dijadikan dalil. Lebih jauh, mereka mengatakan, tidak ada dalil bagi nasionalisme. Kelompok ketiga, agaknya ingin mencari jalan tengah dengan mengatakan, kalimat itu bukan hadis, hanya perkataan ulama.

Lalu bagaimana kajian para ulama terhadap pernyataan tersebut? Benarkah ia hadis Nabi Muhamad saw? Bagaimana kualitasnya? Apakah sahih? Bagaimana dengan makna atau pengertiannya? Salah kah? Yuk, simak. Tulisan ini akan disusun secara kronologis.

Abad ke-9

Pembahasan tentang anjuran mencintai tanah air telah dijelaskan oleh dua ulama ahli hadis terkemuka. Mereka adalah Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852 H.) dan Badruddin al-Aini (762-855 H.). Dalam kitab Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari, al-Asqalani mengatakan,

وَفِي الْحَدِيثِ دِلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِيْنُ إِلَيْهِ

Dalam hadis ini terdapat dalil keutamaan kota Madinah, dalil pensyariatan mencintai tanah air dan anjuran merindukannya (Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari 3/621)

Dalam kitab Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, al-Aini mengataka

وَفِيه: دِلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالحِنَّةِ إِلَيْهِ.

Dalam hadis ini terdapat dalil keutamaan kota Madinah, dalil pensyariatan mencintai tanah air dan anjuran merindukannya (Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari 10/135)

Kedua penulis kitab syarah tersebut sedang menjelaskan hadis dalam Sahih al-Bukhari no. 2081,

حدَّثنا سَعِيدُ بنُ أبِي مَرْيَمَ قَالَ أخبرنَا مُحَمَّدُ بنُ جَعْفَرٍ قَالَ أخبرَنِي حُمَيْدٌ أنَّهُ سَمِعَ أنَسا رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ يقُولُ كانَ رسولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إذَا قدِمَ مِنْ سَفَرٍ فأبْصَرَ دَرَجَاتِ المَدِينَةِ أوْضَعَ ناقَتَهُ وإنْ كانَتْ دَابَّةً حرَّكَهَا

Ketika Rasulullah saw. datang dari suatu perjalanan, lalu melihat pepohonan sekitar kota Madinah, beliau mempercepat untanya, bila kendaraan beliau hewan, maka beliau menghelanya.

Dalam riwayat lain dijelaskan mengapa beliau menghela kendaraannya,

عَن أنس: أَن النَّبِي، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَة أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِن كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Dari Anas bahwa ketika Nabi saw. datang dari suatu perjalanan, lalu melihat tembok Madinah, beliau mempercepat untanya, jika beliau menaiki hewan kendaraan, beliau menghelanya karena kecintaan beliau kepada kota Madinah (Umdatul Qari, 10/135)

Kedua ulama di atas sepakat bahwa mencintai tanah air adalah dianjurkan karena Rasulullah saw. mengajarkannya.

Abad ke-10

Anjuran ini kemudian berkembang menjadi kalimat yang lebih tegas bahwa mencintai tanah air bukan saja bagian dari ajaran Islam, tapi merupakan bagian dari iman dalam Islam. Hubbul wathan minal iman. Kalimat ini menyebar dengan cepat sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sebuah hadis.

Namun, ulama pada abad berikutnya menjelaskan bahwa pernyataan itu bukan hadis. Namun memiliki pengertian yang cocok sesuai syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. Syekh Abdurrahman as-Sakhawi (831-902 H.) dalam kitab beliau, al-Maqasid al-Hasanah fi Bayani Katsirin Minal Ahadits al-Masyhurah fil Alsinah. Dalam nomor hadis 386, dikatakan,

حَدِيث: حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ، لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ، وَمَعْنَاهُ صَحِيْحٌ

Hadis hubbul wathan minal iman, saya belum menemukan sumbernya, tetapi makna pernyataan tersebut sahih (hal. 297)

Syekh as-Sakhawi, setelah melakukan kajian terhadap hadis tersebut, membuat kesimpulan yang sangat unik. Ketika beliau tidak menemukan teksnya dalam kitab-kitab hadis, beliau tidak langsung menghukuminya sebagai maudhu’. Sikap ini berbeda dengan sebagian pengkaji hadis modern, ketika tidak menemukan sumber hadis, mereka sering terburu-buru menghukuminya sebagai maudhu’.

Selain tidak langsung menghukumi maudhu’, as-Sakhawi juga menelaah kandungan matan atau isi hadis. Berdasarkan penelitiannya, as-Sakhawi menyimpulkan bahwa kandungan hadis tersebut tidak bermasalah alias benar. Beliau mengatakan, lam aqif ‘alaihi wa ma’nahu shahihun. Beliau sangat berhati-hati dalam menghukumi hadis, sampai hadis yang belum beliau temukan sumbernya, tidak langsung dihukumi maudhu’.

Syekh Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H.) menyebutkan hadis hubbul wathan minal iman dalam kitab ad-Durar al-Muntatsirah fil Ahadits al-Musytahirah no. 190. Beliau mengatakan,

190-حديث “حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ” لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ.

hadis hubbul wathan minal iman, saya belum menemukan sumbernya
(ad-Durar al-Muntatsirah fil Ahadits al-Musytahirah, 108)

As-Suyuthi mengikuti komentar as-Sakhawi yang sekadar menyatakan belum menemukan sumbernya. Beliau tidak menegaskan kepalsuan hadis tersebut, dengan menyatakan bahwa hadis tersebut maudhu’, misalnya.

Abad ke-11

Syekh Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H.) dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih mengatakan hal yang sama. Cinta tanah air adalah ajaran yang benar menurut Islam. Lebih tepat lagi jika dipahami bahwa wathan atau tanah air adalah surga. Artinya mencintai surga adalah bagian dari iman.

Ali al-Qari tidak menyalahkan, menyesatkan atau bahkan mengkafirkan, orang yang memaknai wathan sebagai tempat tinggal di dunia. Sekalipun beliau lebih setuju jika wathan dalam hadis dipahami sebagai surga (Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 3/1158).

Dalam kitabnya yang lain, al-Asrar al-Marfu’ah fil Akhbar al-Maudhu’ah, beliau menjelaskan status kalimat hubbul wathan minal iman. Beliau mengutip pendapat beberapa ulama. Pertama, pendapat az-Zarkasyi yang menyatakan belum menemukan sumbernya (lam aqif ‘alaihi). Kedua, pendapat Mu’inuddin as-Shafawi yang mengatakan, tidak punya sumber yang kuat (laisa bi tsabitin). Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa kalimat tersebut hanya ungkapan sebagian ulama salaf. Keempat, pendapat as-Sakhawi yang menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah hadis yang belum ditemukan sumbernya, namun memiliki pengertian yang sahih.

Terkait kandungan hadis tersebut, Ali Al-Qari menyatakan bahwa arti al-wathan dalam hadis hubbul wathan minal iman mempunyai beberapa kemungkinan pengertian. Beliau tidak menerima mentah-mentah pernyataan as-Sakhawi yang mengatakan makna hadis tersebut sahih. Beliau memberi catatan bahwa tidak ada korelasi antara cinta tanah air dan iman. Karena cinta tanah air juga dimiliki oleh orang-orang munafik seperti digambarkan dalam QS. an-Nisa: 66.

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang munafik enggan berangkat perang karena mereka mencintai tanah airnya. Syekh Ali Al-Qari menilai, perkataan as-Sakhawi hanya akan benar jika kecintaan tanah air sebagai tanda keimanan khusus bagi orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Baqarah: 246. Ayat ini menyatakan bahwa kaum beriman berperang karena mereka mencintai tanah airnya. Ayat inilah yang menjadi dasar pendapat as-Sakhawi yang menyatakan bahwa hadis hubbul wathan minal iman punya pengertian yang sahih.

Karena itu, agar jelas, Ali Al-Qari memberikan alternatif pengertian mengenai maksud al-wathan. Pertama, al-wathan berarti surga (al-jannah). Dengan demikian arti hubbul wathan minal iman adalah mencintai surga tanda keimanan. Dalam pengertian semacam ini, cinta tanah air dapat berarti tanda keimanan.

Kedua, al-wathan adalah kembali kepada Allah (al-ruju’ ila allah) sebagaimana pemahaman para ahli tasawuf (thariqati shufiyyah). Artinya senang kembali kepada Allah dengan cara bertaubat atau menjalankan perintah Allah, adalah tanda keimanan. Pengertian semacam ini tidak menyimpan kejanggalan.

Ketiga, al-wathan berarti tempat keluarga dan warga yang kurang mampu berada. Dimana kita bisa menyambung tali silaturahim dan berbagi kepada mereka. Dalam konteks ini, cinta tanah air artinya, senang menyambung tali silaturahim atau senang berbagi dengan sesama yang kurang beruntung. Ini berbeda jika al-wathan hanya diartikan tempat tinggal kita.

Keempat, al-wathan berarti kota Mekah. Dengan demikian, pengertian hubbul wathan minan iman adalah mencintai Mekah bagian dari iman. Pengertian ini cukup kuat karena didukung riwayat lain tentang penyelasan Nabi saw. ketika hendak meninggalkan kota Mekah karena kecintaan beliau pada kota Tersebut, serta riwayat Aisyah ra. yang merasa sedih meninggalkan Mekah saat berhaji karena pernah punya kenangan bersama Nabi di kota tersebut. Sepertinya, al-Ajluni lebih setuju dengan pendapat al-wathan diartikan dengan kota Mekah (al-Asrar al-Marfu’ah fil Akhbar al-Maudhu’ah, 180-183).

Ibnu ‘Allan as-Syafi’i (w. 1057 H.), dalam Dalilul Falihin Syarah Riyadhus Shalihin menjelaskan,

وَالْوَطَنُ الحَقِيْقِيُّ هُوَ الدَّارُ الآخِرَةُ الَّتِيْ لَا نِهَايَةَ لِآخِرِهَا بِإِرَادَةِ اللهِ تَعَالَى وَقُدْرَتِهِ كَمَا جَاءَ فِيْ الْحَدِيْثِ «يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ بِلَا مَوْتٍ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ بِلَا مَوْتٍ» . قَالَ بَعْضُهُمْ: هَذَا هُوَ الْمُرَادُ مِنْ حَدِيْثِ «حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ» أَيْ: فَيَنْبَغِي لِكَامِلِ الْإِيْمَانِ أَنْ يُعَمِّرَ وَطَنَهُ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالْإِحْسَانِ وَالْإِنْسَانُ فِي الدُّنْيَا غَرِيْبٌ عَلَى الْحَقِيْقَةِ، لِأَنَّ الْوَطَنَ الحَقِيْقِيَّ هُوَ الْجَنَّةُ كَمَا حَمَلَ عَلَيْهِ كَثِيْرٌ «حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْمَانِ» عَلَى الْجَنَّةِ

Tanah air hakiki adalah akhirat yang tiada punya akhir, karena kehendak dan kuasa Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis, “Wahai surga, kamu akan abadi tanpa kematian. Wahai neraka, kamu akan abadi tanpa kematian.” Sebagian ulama mengatakan, inilah yang dimaksud dengan hadis hubbul wathan minal iman; artinya, selayaknya orang sempurna imannya memakmurkan negerinya dengan amal perbuatan yang baik dan berbuat baik kepada sesama. Hakikatnya, manusia hanya melakukan perjalanan di dunia ini. Tanah airnya yang sejati adalah surga, sebagaimana banyak ulama mengartikan kata wathan dalam hadis hubbul wathan minal iman bermakna surga (Dalilul Falihin Syarah Riyadhus Shalihin, 1/37).

Abad ke-12

Syekh Ismail bin Muhammad al-Ajluni (w. 1162 H.) mencantumkan hadis hubbul wathan minal iman dalam kitab Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara minal Ahadits ‘ala Alsinatin Nas. Beliau memberi sejumlah komentar.

Pertama, hadis tersebut maudhu’ berdasarkan keterangan as-Shaghani. Kedua, pengertian hadis tersebut bermasalah. Dengan mengutip Syekh Ali al-Qari, beliau menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara cinta tanah air dan iman. Karena dalam QS. an-Nisa: 66 dikatakan, orang-orang munafik enggan berangkat perang karena mereka mencintai tanah airnya.

Dalam QS. al-Baqarah: 246, memang dikatakan bahwa kaum beriman berperang karena mereka mencintai tanah airnya. Ayat ini menjadi dasar pendapat as-Sakhawi yang menyatakan bahwa hadis hubbul wathan minal iman punya pengertian yang sahih.

Pertentangan ini hanya akan muncul jika kita memaknai al-wathan dalam hadis sebagai tanah air di dunia. Pertentangan itu akan hilang jika kita memaknai al-wathan dengan arti surga. Mencintai surga tanda keimanan. Atau, maksud al-wathan adalah kembali kepada Allah (al-ruju’ ila allah) sebagaimana para ahli tasawuf memaknainya. Bisa juga berarti tempat yang kita tinggali dengan syarat kecintaan itu karena kecintaan kita untuk menyambung hubungan persaudaraan atau karena keinginan kita menyantuni kaum fakir miskin di kota kita. Atau al-wathan dapat berati kota Mekah.

Pengertian terakhir ini, hubbul wathan minan iman dalam arti mencintai Mekah bagian dari iman, didukung riwayat lain tentang penyelasan Nabi saw. ketika hendak meninggalkan kota Mekah serta riwayat Aisyah ra. yang merasa sedih meninggalkan Mekah saat berhaji. Sepertinya, al-Ajluni lebih setuju dengan pendapat al-wathan diartikan dengan kota Mekah (Kasyful Khafa’, 1/398).

Abad ke-14 H.

Syekh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H.) dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi menjelaskan hadis tentang kedatangan Nabi saw. ke Madinah yang disertai dengan perasaan bahagia sebagaimana penjelasan al-Asqalani dan al-‘Aini,

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ

dalam hadis tersebut terdapat petunjuk akan keutamaan Madinah, serta disyariatkannya mencintai tanah air dan merindukannya (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi, 9/283).

Syekh Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H.) dalam kitab Qawa’idut Tahdits Min Fununil Musthalah al-Hadits, mengatakan bahwa hubbul wathan minal iman merupakan salah satu hadis palsu terkenal saat itu yang isinya menyesatkan dan berbahaya bagi persatuan Islam yang disatukan oleh ikatan keimanan (al-jami’ah al-islamiyah allati nunsyiduha al-iman).

Hadis ini akan mendorong umat Islam di Suriah merasa lebih mulia dibanding Mesir, dan seterusnya. Padahal, seharusnya umat Islam bersatu dalam ikatan keislaman dan ikatan ini lebih didahulukan dibanding ikatan kesukuan (Qawa’idut Tahdits Min Fununil Musthalah al-Hadits, 155).

Sikap al-Qasimi berbeda dalam karyanya yang lain. Dalam Dala’ilut Tauhid, Al-Qasimi terlihat sangat mendukung ide nasionalisme (hubbul wathan). Dia mengatakan, inna hubbal wathan min ummahatil fadha’il (cinta tanah air adalah sebagian dari pokok nilai luhur) (Dala’ilut Tauhid,205). Sepertinya pernyataannya dalam Qawa’idut Tahdits adalah bentuk kekecewaan terhadap ide nasionalisme yang pernah didukungnya. Hal ini karena, pada mulanya al-Qasimi mendukung gerakan Turki Muda mereformasi kekhalifahan Usmani. Namun ternyata dampak reformasi mereka lebih buruk bagi umat Islam.

Abad ke-15

Syekh Nasiruddin Al-Albani (w. 1420 H.) mencantumkan hadis hubbul wathan minal iman pada nomor 36. Terkait kualitas hadis, dia mengatakan bahwa hadis tersebut maudhu’. Dia mengutip as-Shaghani dan lainnya. Sedangkan terkait kandungan, al-Albani mengatakan,

وَمَعْنَاهُ غَيْرُ مُسْتَقِيْمٍ إِذْ إِنَّ حُبَّ الْوَطَنِ كَحُبِّ النَّفْسِ وَالْمَالِ وَنَحْوِهِ، كُلُّ ذَلِكَ غَرِيْزِيٌّ فِيْ الْإِنْسَانِ لَا يَمْدَحُ بِحُبِّهِ وَلَا هُوَ مِنْ لَوَازِمِ الْإِيْمَانِ، أَلَا تَرَى أَنَّ النَّاسَ كُلُّهُمْ مُشْتَرِكُوْنَ فِيْ هَذَا الْحُبِّ لَا فَرْقَ فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ مُؤْمِنِهِمْ وَكَافِرِهِمْ؟

Makna pernyataan tersebut tidak benar, karena cinta tanah air sama seperti cinta diri sendiri, harta, dan lainnya. Semua itu alamiah pada manusia. Cinta tanah air tidak perlu mendapat pujian, dan tidak pula ia merupakan keniscayaan iman. Bukankah semua manusia sama-sama memiliki kecintaan semacam ini. Tak ada beda antara orang mukmin dan kafir (Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah, 1/110).

Penutup

Uraian di atas menunjukkan suatu trend yang unik. Pada abad-abad lampau, para ulama yang berkecimpung dalam bidang hadis cenderung menerima hadis-hadis hubbul wathan minal iman. Pada era belakangan, justru mulai ada keraguan dan mungkin ketidaksukaan terhadap slogan hubbul wathan minal iman. Para ulama terdahulu selalu mengajarkan hubbul wathan, menganjurkan umat Islam untuk ber-hubbul wathan, dan melestarikan semangat tersebut.

Sekalipun hadisnya tidak ada sumbernya dalam kitab-kitab hadis, secara tekstual, namun mereka yakin bahwa pengertiannya tidak keluar dari ajaran Islam. Dalam istilah ilmu hadis, hubbul wathan minal iman termasuk dha’iful isnad, shahihul matni (daif secara sanad, sahih secara matan). Secara substansi matan, hadis hubbul wathan minal iman selaras dengan praktik Nabi saw. yang mencintai Mekah dan Madinah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis-hadis sahih. Selain itu, di kalangan ulama dahulu tidak ada logika membenturkan antara semangat hubbul wathan dengan ukhuwwah islamiyyah. (M. Khoirul Huda).

Apakah arti dari hubbul wathan minal iman?

Berikut penjelasannya. Dilansir laman resmi Nahdlatul Ulama, nu.or,id, Hubbul Wathon Minal Iman adalah slogan yang artinya adalah 'cinta tanah air atau nasionalisme bagian dari iman'. Dalam artikel 'Hubbul Wathan' Bukan Hadits, tapi...

Hubbul wathon minal iman hadits riwayat siapa?

PWMU.CO – Hubbul Wathan Minal Iman bukan hadits Nabi, tapi merupakan pernyataan yang dipopulerkan Butrus Bustani, seorang misionaris Kristen yang sangat terkenal di dunia Arab.

Apa maksud dari cinta tanah air adalah sebagian dari iman?

Mencintai tanah air adalah bagian dari iman karena tanah air merupakan sarana primer untuk melaksanakan perintah agama. Tanpa tanah air, seseorang akan menjadi tunawisma. Tanpa tanah air, agama seseorang kurang sempurna, dan tanpa tanah air, seseorang akan menjadi terhina.