Apa itu berserah diri kepada allah

BincangMuslimah.Com – Kata “Tawakkal” atau berserah diri kepada Allah sering muncul di mana-mana. Sebenarnya, apa makna kata tersebut dan bagaimana implikasinya dalam diri seorang Muslim/Muslimah?

Asal kata tawakkal dalam Bahasa Indonesia adalah dari bahasa Arab at-tawakkul yang dibentuk dari kata وكل yang berarti mewakilkan atau menyerahkan diri.

Kata tawakkal juga bisa berarti menyerahkan segala perkara, ihktiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah untuk mendapatkan manfaat atau menolak yang mudarat.

Kata tawakkal secara istilah bisa diartikan sebagai sikap menyandarkan diri kepada Allah Swt. apabila menghadapi suatu kepentingan.

Muhammad Al-Ghazali dalam Jawahir al-Quran (1992) menuliskan bahwa tawakkal adalah bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

Tawakkal juga bisa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Tawakkal adalah implikasi langsung dari iman seorang hamba kepad Allah Swt.

Saat membahas tentang maqamat dalam tasawuf, Harun Nasution menyatakan bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah Swt.

Dalam konteks Tasawuf, sebelum seorang calon sufi menjadi sufi, maka ia harus terlebih dahulu harus melewati jenjang atau maqamat yang tujuannya adalah untuk membersihkan jiwa agar mudah berhubungan dengan Allah.

Tawakkal atau berserah diri kepada Allah adalah jenjang keenam sebelum sampai ke jejang berikutnya yaitu Ridha. Ada bebepa jenjang atau maqamat yang harus dilalui seorang sufi: Taubat, Zuhud, Wara’, Fakir, Sabar, Tawakkal, Ridha.

Dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (1995), Harun Nasution menuliskan bahwa penerapan tawakkal terdiri atas tiga tingkatan yaitu: Hati selalu senantiasa merasa tenang dan tenteram terhadap apa yang di janjikan Allah Swt.

Baca Juga:  Batas Maksimal Masa Suci dan Haid

Keyakinan utama yang mendasari tawakkal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kebesaran Allah Swt. Tawakkal adalah bukti nyata seberapa besar kadar keimanan kepada Allah Swt.

Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah adalah menanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt., tidak seorangpun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah Swt.[]

Pada saat yang genting itu, Nabi Musa AS berkata "inna ma'eyah rabbi sayahdien (Sesungguhnya Tuhanku besertaku, Dia akan memberi petunjuk)". Lalu, Allah SWT memerintahkan dia untuk memukul laut dengan tongkatnya. Laut Merah pun menjadi terbelah.

Bertawakal kepada Allah adalah kalimat yang sudah sering kita ucapkan sehari-hari. Banyak orang mengucapkannya pada berbagai momen dan kesempatan. Akan tetapi sangat sedikit yang memahami maknanya. Dan sedikit pula dari yang sedikit tersebut yang merealisasikannya dari lafazh menjadi realita kehidupan yang digelutinya antara dirinya sendiri dan antara dia dengan Allah Swt.

Bertawakal kepada Allah adalah penyerahan sepenuhnya kepada Allah atas segala urusan kita. Disana ada rasa kepercayaan penuh (tsiqah) dan keimanan atas qudrah, kekuatan dan ilmuNya. Karena itu, tawakal adalah kebergantungan penuh kepada Allah Swt yang hasil akhirnya adalah penerapan iman yang aplikatif terhadap Nama dan Sifat-sifat Allah yang mulia.

Karena itulah Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Tahdzib Madaarijus Salikin menyatakan: “Bertawakal itu adalah separonya agama. Separonya lagi adalah inabah (kembali kepada Allah). Sebab agama itu adalah gabungan dari ibadah dan isti’anah (minta tolong). Maka tawakal adalah isti’anah dan inabah itu adalah ibadah.” Maka isti’anah (minta tolongnya) kita kepada Allah adalah pengakuan akan kelemahan kita dan ketidaktahuan kita. Sekaligus merupakan kepercayaan kita akan ilmu Allah dan qudrahNya. Sehingga kita kemudian tunduk kepadaNya dan meminta pertolongan kepadaNya serta mencintaiNya.

Berikut beberapa hamba Allah pilihan dalam aplikasi tawakal dan isti’anah kepada Allah:

a. Nabi Yususf as meminta tolong kepada manusia

Imam Ibnul Qayyim ketika menafsirkan surat Yusuf, cenderung melihat adanya semacam hukuman Allah Swt kepada Nabi Yusuf sehingga ia mendekam di penjara beberapa tahun lamanya. Ini terjadi karena sempat Nabi Yusuf meminta tolong kepada manusia sebelum minta tolong kepada Allah Swt. Hal itu terdapat dalam ayat yang menyebutkan Nabi Yusuf meminta tolong kepada salah seorang dari dua pemuda yang selamat dari hukuman raja. Allah Swt berfirman:

وَقَالَ لِلَّذِى ظَنَّ أَنَّهُۥ نَاجٍ مِّنْهُمَا ٱذْكُرْنِى عِندَ رَبِّكَ فأَنسَىٰهُ ٱلشَّيْطَٰنُ ذِكْرَ رَبِّهِۦ فَلَبِثَ فِى ٱلسِّجْنِ بِضْعَ سِنِينَ. (يوسف: 42).

Artinya: “Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: “Sebutkanlah keadaanku kepada tuanmu”. Maka syaitan menjadikan dia lupa menyebutkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS Yusuf: 42).

Nabi yusuf meminta tolong dulu kepada manusia. Kemudian syetan membuat orang itu lupa menyampaikan pesan Nabi Yusuf kepada tuannya. Ini menunjukkan Allah tidak menerima bila meminta tolong (isti’anah) kepada selainNya. Dikarenakan yang selainNya itu tidaklah punya daya apa-apa, walaupun ia memiliki kerajaan, kekuasaan dan peralatan. Ia hanya tetap seorang hamba yang segala gerak-geriknya, tarikan nafasnya dan keinginannya berada dibawah kehendak Allah Swt.

b. Maryam mengguncang pohon kurma

Kita sangat terkagum dengan ayat Allah Swt pada surat Maryam:

وَهُزِّىٓ إِلَيْكِ بِجِذْعِ ٱلنَّخْلَةِ تُسَٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا. (مريم: 25).

Artinya: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam: 25).

Manalah sanggup Maryam yang baru saja melahirkan (dalam keadaan nifas) yang sangat lemah dan tak berdaya untuk bergerak, menggoyang pangkal pohon kurma? Padahal kita tahu bahwa batang pohon kurma adalah batang yang sangat kokoh. Dan akarnya sangat kuat menghujam ke bumi. Sedangkan tandan kurma yang akan digoyang agar buah-buahnya yang masak berjatuhan, itu jauh tinggi di atasnya. Bagaimana mungkin bagi Maryam yang sangat lemah dan dalam kondisi tidak bugar secara fisik dan psikis untuk menggoyang pohon kurma?

Itu semua adalah sunnatullah bagi kita agar kita berusaha mengambil penyebab datangnya pertolongan. Dan itu bagian dari makna hakiki dari bertawakal. Maka siapa yang bertawakal kepada Allah Swt haruslah mengerahkan segenap usahanya untuk menghadirkan pertolongan dari Allah. Makna ini dapat kita temukan dalam firman Allah Swt yang lain:

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ. (الأنفال: 17).

Artinya: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS Al Anfal: 17).

Dengan demikian ketika Rasulullah Saw mengambil segenggam pasir dalam perang Badar, dan melemparkannya ke wajah orang-orang kafir, lalu pasir-pasir itu sampai dan masuk ke mata mereka, jadilah itu menjadi penyebab kemenangan pasukan kaum Muslimin. Kita lihat disini Allah Swt menghendaki dari RasulNya agar menggunakan penyebab kemenangan yaitu melempar pasir. Akan tetapi pemberi kemenangan yang hakiki tetaplah Allah Swt. Karenanya Allah Swt nafikan lemparan Nabi tersebut, lalu Allah tegaskan lemparan yang dariNya.

Disini Rasulullah Saw telah menyempurnakan tawakalnya (penyerahan diri) kepada Allah Swt dengan mengupayakan seluruh penyebab kemenangan. Tapi pemberi kemenangan itu tetaplah Allah Swt. Situasi ini sangat mirip dengan tongkat Nabi Musa as yang bisa membelah laut. Ukurannya tidak seimbang dengan besarnya laut. Namun Nabi Musa mesti melakukan penyebab terbelahnya yaitu pukulan tongkat. Sedangkan yang membelah laut itu sebenarnya adalah Allah Swt.

Tugas kita meniru mereka. Beruntunglah orang yang mengaplikasikan makna keimanan yang besar ini yaitu tawakal yang benar di dalam setiap unsur-unsur terkecil kehidupannya. Bagi mereka yang seperti itu akan datang berita-berita gembira yang silih berganti, diantaranya:

1. Mudah-mudahan ia akan termasuk di dalam 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab sama sekali. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih mereka itu adalah:

وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Artinya: “Dan mereka itu adalah orang yang bertawakal kepada Tuhan mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).

2. Semakin bertambah makrifahnya kepada Allah Swt melalui penerapan aplikatif dari berimana kepada nama-nama dan sifat Allah Swt. Sehingga terasa betul bahwa Allah Maha Berkuasa, Maha Pemberi rezeki, Maha Menghidupkan dan Mematikan. Akibatnya kemudian semakin bertambah kedekatannya kepada Allah.

3. Semakin menjauhi syirik dan segala bentuk berpaling kepada selain Allah. Sehingga ia semakin bertambah izzahnya (kehormatannya).

4. Semakin bertambah ridhanya kepada Allah atas segala taqdirNya dan semakin menyerahkan diri secara utuh kepadaNya.

5. Akan menghilang dari hatinya seluruh efek dari rasa takut dan gentar terhadap makhluk. Sebagaimana firmanNya tentang para sahabat Nabi yang terancam akan mendapatkan serangan besar dari kafir Quraisy pasca kekalahan perang uhud:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَٰنًا وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ. (أل عمران: 173).

Artinya: “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran: 173).

6. Bertambahnya hidayah dan penjagaan dari Allah dari berbagai keburukan, dan diberi kecukupan terhadap berbagai kebutuhan. Sebagaimana dalam hadits Nabi Saw tentang orang yang rutin membaca doa ketika keluar rumah:

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ؟ (رواه أبو داود والترميذي).

Artinya: ”Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian dia membaca doa: “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali Bersama Allah,” maka disampaikan kepadanya: “Kamu diberi petunjuk, kamu dicukupi kebutuhannya, dan kamu dilindungi.” Seketika itu setan-setanpun menjauh darinya. Lalu salah satu setan berkata kepada temannya, “Bagaimana mungkin kalian bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Apa arti berserah diri kepada Tuhan?

Berserah adalah kata kerja aktif yang bermakna menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah karena percaya atau iman, bahwa Allah akan memeliharanya dan memberikan yang terbaik kepadanya.

Apa yang dimaksud dengan berserah diri dalam Islam?

Tawakal (bahasa Arab: توكُل‎) atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.

Apa pentingnya berdoa dan berserah diri kepada Allah?

dengan berdoa dan bertawkal kepada allah swt insyaallh segala apa pun yg ingin kita lakukan bisa berjalan dengan lancar dan rezeki kita terus mengalir dengan penghasilan lebih, tpi ingat harus dibarengi dengan usaha dan kerja keras.

Mengapa kita harus berserah diri?

Dengan berpasrah diri kepada Allah, kita akan menjalani kehidupan di jalan yang benar, tanpa keraguan, kegelisahan, dan kekhawatiran yang berlebihan. Dengan kepasrahan diri yang total, kita akan menyadari bahwa sebaik-baiknya rencana kita, jauh lebih baik rencana dari Allah untuk kita.