Apa itu pembangunan sosial dan contohnya?

Artikel () 30 Oktober 2015 19:49:53 WIB


STRATEGI PEMBANGUNAN SOSIAL :

UPAYA PENGENTASAN MASALAH KEMISKINAN

Oleh :

ROMI SUKMA, S.H.

Staf BKD Provinsi Sumatera Barat

Pembangunan sosial merupakan sebuah proses perubahan sosial yang terencana, yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dimana pembangunan yang dilakukan saling melengkapi dengan proses pembangunan ekonomi. Konsep pembangunan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Dimana pendekatan pembangunan sosial lebih berfokus pada peningkatan kemampuan individu, komunitas, dan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan pengentasan masalah kemiskinan.

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang sangat krusial, sebab sampai sekarang ini masih menggorogoti sandi-sandi kehidupan masyarakat indonesia. Hal ini disebabkan karena kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Jika ditinjau dari segi kebijakan, selama ini kebijakan-kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan masih dalam tataran yang artifisial. Persoalan kemiskinan hanya dipandang sebagai kurangnya pendapatan atau bersifat ekonomis (Singh, 2012). Dengan konsepsi semacam ini berimplikasi pada kebijakan atau program yang dibuat hanya menyentuh pada tataran quantifikasi pendapatan dan pengeluaran masyarakat (baca: aspek ekonomi).

Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam menanggulangi masalah kemiskinan adalah dengan menerapkan konsep pembangunan sosial, karena pembangunan sosial bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat supaya bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar, mengelola masalah-masalah sosial, dan peningkatan peluang berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, konsep pembangunan sosial secara konseptual lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial ketimbang pertumbuhan ekonomi.

  1. Kemiskinan: dilema, konsep, dan dampaknya

Kesulitan dalam memahami masalah kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masalah ini tak kunjung selesai. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas masalah tersebut, mulai dari pemberian bantuan langsung tunai (BLT), memberikan kredit kepada masyarakat miskin, dan lain-lain, namun masih jauh dari harapan. Kesulitan tersebut terjadi disebabkan dua hal, yaitu pertama, kesulitan dalam mengukur dan mengoperasikan konsep kemiskinan dan kedua, kesulitan dalam menentukan asal usul masalah kemiskinan tersebut (Yanagisawa, 2011).

Pertama, kesulitan mengukur dan mengoperasikan konsep kemiskinan. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, kemiskinan selalu digambarkan sebagai keadaan seseorang atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai. Ketika konsep ini digunakani untuk mengukur kemiskinan seseorang atau kelompok, maka pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat menentukan apa kebutuhan dasar individu atau kelompok. Menurut Karelis dalam Yanagisawa (2014) bahwa kebutuhan dasar manusia bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan fisik saja, melainkan kebutuhan non fisik juga termasuk kebutuhan dasar manusia seperti martabat, harga diri, interaksi sosial, kesetiakawan dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam mengukur kemiskinan kita tidak hanya memakai indikator-indikator ekonomis semata, melainkan juga memakai indikator yang non ekonomi. Kedua, terkait dengan pengalaman subjektif individu atau kelompok yang berbeda terhadap kondisi kemiskinan. Hal ini membuat kita kesulitan dalam mengukur dan mengoperasikan konsep kemiskinan kepada individu atau kelompok, karena kemiskinan yang mereka alami bervariasi antara satu orang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Menurut Yanagisawa (2014), penyebab pengalaman subjektif yang bervariasi disebabkan adanya wacana sosial ekonomi yang di internalisasi dalam diri mereka. Sehingga mereka memiliki pengalaman yang berbeda terhadap kondisi kemiskinan. Misalnya, budaya Chuuk Mikronesia, dimana orang-orang tersebut tidak memiliki air bersih dan listrik, namun mereka tidak merasa dalam kondisi miskin.

Kedua, yaitu kesulitan dalam menentukan asal usul kemiskinan. Dalam konteks ini, terkait dengan pandapat para ahli yang berbeda dalam menentukan faktor-faktor penyebab kemiskinan. Dalam perspektif makro, kemiskinan di pandang sebagai efek dari struktur masyarakat seperti struktur sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang bersifat eksploitatif (lihat Cecchini, 2014; Yanagisawa, 2014). Sedangkan dalam perspektif mikro, kemiskinan dipandang sebagai efek dari individu itu sendiri, dimana individu tersebut tidak memiliki jiwa kewirausahaan, malas, berorientasi masa lalu, dan bersifat eksklusif (Yanagisawa, 2014).

Dari penjelasan di atas, menunjukan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional (Nugroho, 1999; Yanagisawa, 2011). Di mana semua aspek kehidupan dapat terjangkiti oleh virus ini, baik aspek sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan aspek non fisik dari manusia itu sendiri. Menurut Yanagisawa (2014), meskipun sulit untuk mendefinisikan konsep kemiskinan dengan tepat, akan tetapi kita harus mendefinisikannya, karena dengan mendefinisikan kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya sehingga kita dapat menemukan solusi untuk mengatasinya.

Bank Dunia (World Bank)mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka atau tidak memiliki cukup sumberdaya (Kiggundu, 2012). Yang dimaksud dengan kebutuhan hidup manusiayaitu terutama pada pendapatan dan konsumsi, kemudian pada aspekpendidikan, kesehatan dan kepemilikanaset. Disini kemiskinan dipandang sebagai kurangnya pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, Bank Dunia menggunakan ukuran 1 atau 2 US$ sebagai pendapatan perhari masyarakat untuk membedakan antara masyarakat miskin dan tidak miskin. Sedangkan menurut Singh (2012), kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu kemiskinan absolutdan kemiskinan relative.Kemiskinanabsolute adalah ketidakmampuan untuk memenuhi atau membelikebutuhan dasar, yang biasanya mencakup air bersih, nutrisi, perawatan kesehatan, pendidikan, sandang dan papan. Kemiskinan tersebut, berkaitan dengan pendapatan seseorang yang dibawah garis kemiskinan yang di tetapkan oleh suatu negara. Sedangkan kemiskinan relatifadalah kondisi miskin yang dialami oleh individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat atau negara. Dari pembagian tersebut, Singh (2012) berkesimpulan bahwa kemiskinanterjadi disebabkan faktor ekonomi yaitu kurangnya harta atau material (uang).

Berbeda dengan Hatta dan Ali (2013), yang menganggap bahwa kemiskinanmerupakanpenggabungan dari berbagai aspek yang bukan hanya berkaitan dengan kurangnya pendapatan atauterbatas padafenomena individu. Mereka memandang bahwa kemiskinan terjadi karena adanya dampak sosial dan psikologis yang merugikansepertikekerasan dalam rumah tangga, kejahatan, investasi sosial yang dirasakan tidak memadai, masalah modal manusia, pemberian pelayanan yang tidak adil dan partisipasi politik yang lemah. Dari pendapat tersebut, maka untuk mendefinisikan kemiskinan mereka mengusulkan harus sesuai dengan konteks negara yang bersangkutan (Hatta & Ali, 2013).

Pendapat tersebut, senada dengan pendapat Karelis dalam Yanagisawa (2011), dengan konsep kerelativan kemiskinannya, Diamengusulkan bahwa dalam mendefinisikan kemiskinan selaludisingkat "Kemiskinan adalah tempat x dan waktu y: memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi apa yang biasanya dipandang sebagai kebutuhan dasar di tempat dan waktu". Di mana dalam mendefinisikan kemiskinan kita tidak dapat mengeneralisasikannya, sebab kemiskinan di suatu tempat berbeda dengan kemiskinan di tempat lain begitu juga dengan waktunya. Hal ini terkait dengan adanya pengalaman subjektif yang berbeda tentang kondisi kemiskinan baik antara individu satu dengan individu yang lain atau antara kelompok satu dengan kelompok lain dan sebagainya. Pengalaman subjektif inilah yang membuat masalah kemiskinan menjadi masalah yang multidimensional.

Selain itu, masalah kemiskinan juga memiliki banyak konsekuensi negatif, karena kemiskinan akan mengakibatkan terjadinya ketegangan sosial dalam kehidupan masyarakat (Sergeyev dan Limansky, 2009 dalam Surkov, 2014). Sebab, kehadiran orang miskin dapat membawa kerugian sosial dan ekonomi, karena orang miskin tidak sepenuhnya berpartisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi sehingga kreatifitas mereka terkungkung dalam lingkungan mereka sendiri. Walhasil, dampak yang terjadi yaitu tindak kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan lain-lain.

  1. Telaah kritis pendekatan pembangunan ekonomi dalam menanggulangi kemiskinan

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu instrument penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Asumsinya ketika meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka kesejahteraan masyarakat pun ikut meningkat. Namun dalam kenyataannya, hal ini tidak terbukti. Menurut Wirutomo (2014), bahwa pendekatan pembangunan ekonomi meskipun akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi pendekatan ini tidak menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat secara adil. Selain itu, pendekatan ini juga menciptakan pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, mengindahkan nilai-nilai budaya lokal, dan tidak demokratis atau non partisipan serta mengabaikan pembangunan yang bersifat berkelanjutan (Jones & Truell, 2012; Bonoli, 2006 dalam Rovny, 2014; UNDP, 1997 dalam Wirutomo, 2014).

Dalam perpektif ekonomi, masalah kemiskinan dipandang sebagai kurangnya pendapatan masyarakat disebabkan sumberdaya yang mereka miliki tidak cukup atau memadai (lihat Singh, 2014). Sehingga dalam mengentaskan kemiskinan selalu berorientasi pada pemenuhan materi, selain itu, orang miskin diposisikan sebagai objek dalam pembangunan (Wirutomo, 2014).Implikasinya yaitu orang-orang miskin tidak dilibatkan dalam proses pembangunan sehingga kesempatan mereka untuk berpartisipasi pun hilang.

Dalam konteks Indonesia, negara Indonesia menganut strategi pembangunan yang berorientasi pada strategi trickle down effect (Prayitno, 2009). Dalam strategi trickle down effect memandang bahwa pemerataan pembangunan dapat terwujud di suatu negara, ketika negara tersebut mengenjot pertumbuhan ekonominya setinggi-tingginya. Ketika pertumbuhan ekonominya sudah tinggi maka hasilnya akan mengucur ke bawah sehingga masyarakat miskin akan menikmati hasilnya. Namun, fenomena yang terjadi dewasa ini memperlihatkan bahwa strategi tersebut tidak terbukti, nyatanya pertumbuhan ekonomi selalu di motori oleh pihak swasta yang setiap saat selalu membuat wadah baru bagi setiap tetasan yang diharapkan mengucur kepada masyarakat miskin.

Dengan demikian, mengutip pendapat Korten (1990), menyatakan bahwa pendekatan pembangunan terutama pembangunan ekonomi telah menghasilkan tiga krisis global utama, yaitu kekerasan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. Selain itu, pembangunan ekonomi yang terpisah dengan pembangunan sosial juga akan menuai kegagalan dalam mengentaskan kemiskinan karena pembangunan ekonomi seringkali mengabaikan pembangunan yang bersifat berkelanjutan, terjadinya kesenjangan sosial, kehilangan kesejahteraan diakibatkan karena kapasitas individu rendah dan sebagainya (Jones & Truell, 2012; Bonoli, 2006 dalam Rovny , 2014).

  1. Pembangunan sosial (social development) sebagai alternative pengentasan kemiskinan

Sebagai pendekatan, pembangunan sosial bukanlah sebuah konsep baru, pendekatan ini hadir di akhir 1970 an sebagai sebuah wacana yang bertujuan untuk menghilangkanbeberapaekses negative dari pembangunan ekonomi yang tidak diinginkan seperti kesenjangan sosial dan ekonomi, disintegrasi sosial dan lain-lain(Zuvekas, 1979 dalam Pillai dan Gupta, 2009; Chua dkk, 2010). Bagi beberapa orang, pembangunan sosial dipahami sebagaipengembangan lembaga-lembaga sosial yang efisien yang menghasilkan pembangunan ekonomi. Selain itu, pembangunan sosialjuga dipahami sebagaipencapaian kualitas kehidupan yang diinginkan. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan sosial mengacu pada pengembangan masyarakat secara keseluruhan (Pradhan, Mukhopadhyay, Gunashekar, Samadhan, & Pandey, 2013).

Midgley(1997) mendefinisikanpembangunan sosial sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana, yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.Dari definisi tersebut, Midgley tidak mendikatomikan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Sebab pembangunan ekonomibertujuan untuk mempercepat mobilitas sosial dan ekonomi suatu masyarakat dengan atribut yang dinilai secara ekonomis, sedangkan pembangunan sosialbertujuanuntuk memfasilitasi partisipasimasyarakat di semua lembaga sosial (lihat Drolet dan Sampson, 2014; Bhuiyan, 2011).

Drolet dan Sampson (2014)mengatakan bahwa pembangunan sosialmerupakan sebuah pendekatan yang unik karena menggabungkan berbagai unsur sosial dalam masyarakat untuk meningkatkan kapasitas individu, keluarga, masyarakat daripada hanya mengandalkan pembangunan ekonomi saja. Bukan berarti pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi merupakan dua entitas yang saling berlawanan, melainkan keduanya dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Gray, 2006; Healy, 2008; Midgley, 1995, dalam Drolet dan Sampson, 2014).

Konsep pembangunan sosial juga sering dipertukarkan dengan konsep kesejahteraan sosial. Karena dalam konsep kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat tidak hanya di ukur dengan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (misalnya pendapatan, pendidikan, dan kesehatan), melainkan ketika masyarakat dapat mengelolah masalah-masalah sosial (misalnya kemiskinan, kriminalitas, dll) dan meningkatnya peluang masyarakat dalam berpartisipasi (Midgley dalam Adivar dkk, 2010). Untuk melakukan hal tersebut, maka dibutuhkan peningkatan kapasitas individu dan masyarakat. Dengan meningkatnya kapasitas individu dan masyarakat maka mereka akan mampu memenuhi kebutuhan dasar, mengelolah masalah-masalah sosial, dan mampu memaksimalkan peluang yang ada.

Untuk itu, dalam mewujudkan tujuan pembangunan sosial diperlukan strategi yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Midgley (1997) mengemukakan ada 3 (tiga) strategi utama yaitu:

  1. Pembangunan Sosial melalui Individu (social development by inddividuals), di mana strategi ini bertujuan untuk membangun kemampuan individu-individu dalam masyarakat agar individu-individu tersebut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini lebihmengarah pada pendekatan individualis atau 'perusahaan'(individualist or enterprise approach).
  2. Pembangunan Sosial melalui Komunitas (Social Development by Communitites), di mana dalam strategi ini masyarakat secara bersama-sama mengembangkan komunitas localnya.Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatankomununitarian (communitarian approach).
  3. Pembangunan Sosial melalui pemerintah (Social Development by Government), di mana lembaga-lembaga dalam organisasi pemerintahan melakukan atau menjalankan pembangunan social. Pendekatan ini lebih dikenal dengan namapendekatan statis (statist approach).

Dalam konteks Indonesia, ketiga strategi diatas harus digunakan sekaligus. Artinya, ketika pemerintah melakukan pembangunan social dalam rangka mengentaskan masalah kemiskinan, maka peran-peran dari swasta dan sektor ketiga (masyarakat madani) harus dilibatkan. Sehingga, dalam menangani permasalahan kemiskinan dapat berjalan secara efektif.

Seperti yang sudah di uraikan diatas, bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Untuk itu dalam mengentaskannya kita tidak hanya berfokus pada pembangunan ekonomi semata seperti di praktekan oleh banyak negara, salah satunya negara Indonesia. Melainkan pembangunan social juga harus di perhitungkan, karena pendekatan ini hadir sebagai respons atas kegagalan pembangunan ekonomi. Cox dan Pawar dalam Drolet dan Sampson (2014), mengemukakan bahwa pembangunan sosialmerupakan sebuah pendekatan yang berpusat pada manusia, dimana kesejahteraan masyarakat lebih di utamakan ketimbang struktur dan system. Artinya, dengan meningkatkannya kemampuan individu, komunitas, dan masyarakat dipastikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan akan terwujud.

Untuk mengentaskan masalah kemiskinan tidak boleh hanya menekankan pada pendekatan pembangunan ekonomi semata. Walaupun pembangunan ekonomi memiliki peran penting dalam mengentaskan kemiskinan, akan tetapi pembangunan ekonomi seringkali menuai kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan rakyat misalnya terjadi pengangguran, kesenjangan sosial, disintegrasi sosial, ketidakadilan sosial dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional.

Oleh karena itu, dalam mengentaskannya, pembangunan ekonomi harus bersinergi dengan pembangunan sosial, dimana pembangunan sosial bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, partisipasi masyarakat, dan keadilan sosial. Dengan meningkatnya kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat, maka akan berimplikasi pada kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar, mampu mengelolah masalah-masalah sosial, dan mampu memaksimalkan peluang yang ada.

Referensi:

Adivar, B., Atan, T., Oflac, B. S., & Orten, T. (2010). Improving social welfare chain using optimal planning model. Supply Chain Management: An International Journal, 15(4), 290305.

Bhuiyan, S. H. (2011). Social Capital and Community Development: An Analysis of Two Cases from India and Bangladesh. Journal of Asian and African Studies, 46(6), 533-545.

Cecchini, S. (2014). Social Protection, Poverty and Inequality: A Comparative Perspective. Journal of Southeast Asian Economies, 31(1), 18-39.

Chua, H.-w., Wong, A. K. W., & Shek, D. T. L. (2010). Social Development in Hong Kong: Development Issues Identified by Social Development Index (SDI). Social Indicators Research, 95(3).

Drolet, J. L., & Sampson, T. (2014). Addressing climate change from a social development approach: Small cities and rural communities adaptation and response to climate change in British Columbia, Canada. International Social Work, 113.

Hatta, Z. A., & Ali, I. (2013). Poverty Reduction Policies in Malaysia: Trends, Strategies and Challenges. Asian Culture and History, 5(2).

Jones, D. N., & Truell, R. (2012). The Global Agenda for Social Work and Social Development: A place to link together and be effective in a globalized world. International Social Work, 55(4), 454472.

Kiggundu, M. N. (2012). Anti-poverty and progressive social change in Brazil: lessons for other emerging economies. International Review of Administrative Sciences, 78(4), 733756.

Midgley, J. (1997). Social Welfare in Global Context. SAGE Publications. California.

Pillai, V. K., & Gupta, R. (2009). SOCIAL DEVELOPMENT AND 'RISE OF THE REST'. International Review of Modern Sociology, 35(2), 241-258.

Pradhan, R. P., Mukhopadhyay, B., Gunashekar, A., Samadhan, B., & Pandey, S. (2013). Financial development, social development, and economic growth: the causal nexus in Asia. Decision, 40(1-2), 69-83.

Prayitno, U, Singgih. (2009). Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial: Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat. Dalam Widiowati, D. (2009).Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Jakarta. P3DI.

Rovny, A. E. (2014). The capacity of social policies to combat poverty among new social risk groups. Journal of European Social Policy, 119.

Singh, R. (2012). Human Development Indeks and Poverty Linkages. IJMT, 2(5).

Surkov, S. A. (2014). The Study of Poverty as a Deterrent to Economic Development of Russia. International Journal of Economics and Finance, 6(3).

Wirutomo, P. (2014). Sociological Reconceptualization of Social Development: With Empirical Evidence from Surakarta City, Indonesia. Asian Social Science, 10(11).

Yanagisawa, A. (2011). Poverty: social control over our labor force. International Journal of Social Economics, 38(4).