Apa judul buku yang dibuat Douwes Dekker karena menentang sistem tanam paksa?

Max Havelaar karya Multatuli. Foto: //blog2.nl [Putri Puspita]

Pada tahun 1859, Eduard Douwes Dekker, seorang keturunan Belanda yang begitu membela Indonesia, menulis buku yang berjudul Max Havelaar. Dalam buku ini Douwes Dekker menggunakan nama samaran "Multatuli".  

Lelang Kopi

Arti judul buku "Max Havelaar” adalah Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Isi buku ini berupa kritik akan kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan.

Isi Buku

Buku merupakan kumpulan dari berbagai jalinan kisah cerita. Mulainya adalah kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang orang kaya yang kikir. Cerita ini merupakan simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari daerah jajahannya. Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini, misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda.

Selain cerita tersebut, juga ada komentar dan tulisan mengenai pengalaman Multituli yang bekerja untuk Hindia Belanda.

Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung kepada Raja William III untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang di atas daerah jajahan Belanda.

Kritik dan penghargaan

Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik. Namun, tetap jaja buku dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Bahkan, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam the New York Times tahun 1999 sebagai "Buku yang Membunuh Kolonialisme".

Jakarta -

Pada tahun 1830 kondisi ekonomi di negeri Belanda sangat buruk, beban hutang juga semakin besar. Untuk menyelamatkannya, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara tersebut.

Kemudian Van den Bosch mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. Hal tersebut dinamakan sistem tanam paksa atau Cultur Stelsel.

Tujuan diciptakannya sistem tanam paksa adalah menutup defisit keuangan negeri Belanda. Dikutip dari Buku Siswa Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTS Kelas 8 yang ditulis Nurhayati, M.Pd., ketentuan sistem tanam kerja sama pada lembaran negara nomor 22 tahun 1834 ternyata dilanggar dalam pelaksanaannya.

Misalnya yang tertuang dalam perjanjian adalah tanah yang digunakan untuk cultur stelsel seperlima sawah. Namun dalam praktiknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.

Selain itu, tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian.

Dengan banyaknya penyimpangan yang dilakukan, seperti yang disebutkan di atas, adapun beberapa tokoh yang menentang sistem tanam kerja paksa, mengutip dari buku Seri IPS Sejarah SMP Kelas VIII oleh Drs. Prawoto, M.Pd. yaitu:

1. Eduard Douwes Dekker [1820-1887]

Ia adalah mantan asisten residen di Lebak [Banten] sehingga sangat mengetahui penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah di bawah sistem tanam paksa. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar [lelang kopi perdagangan Belanda] dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa.

2. Fransen van der Putte [1822-1902]

Ia menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan tanam paksa dalam bukunya berjudul Sulker Constracten, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti "Kontrak Gula." Ia bersama dengan Douwes Dekker merupakan tokoh penentang tanam paksa dari golongan liberal.

3. Baron van Hoevell [1812-1870]

Ia adalah seorang pendeta Belanda yang menuntut pemerintah pusat dan gubernur jendral agar memperhatikan nasib dan kepentingan rakyatnya.
Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.

4. Golongan pengusaha

Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.

Nah, itulah tokoh-tokoh yang menentang sistem tanam paksa pada masa pemerintahan Belanda. Semoga menambah pemahaman detikers tentang sejarah Indonesia, ya.

Simak Video "Singgah ke Tugu VOC, Peninggalan Belanda di Halmahera"

[row/row]

Lihat Foto

britannica.com

Eduard Douwes Dekker

KOMPAS.com - Eduard Douwes Dekker merupakan keturunan Belanda yang memperjuangan keadilan rakyat Indonesia, terlebih pada sistem tanam paksa.

Eduard Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita.

Melalui nama pena tersebut, Multatuli menulis novel sebagai wujud penentangan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap keterlaluan memperlakukan bangsa Indonesia.

Datang ke Indonesia

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica [2015], Eduard lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Ayahnya merupakan seorang kapten kapal dan termasuk keluarga yang mapan serta berpendidikan.

Eduard kemudian sekolah di sekolah latin dan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Meski terkenal sebagai murid yang cerdas, Eduard ternyata merasa bosan menempuh pendidikan, hingga akhirnya membuat prestasinya merosot dan dikeluarkan dari sekolah.

Baca juga: Biografi Florence Nightingale, Pelopor Perawat Modern

Eduard dikenal sebagai salah satu penulis terhebat di Belanda dengan ide-ide radikal, meski memiliki gaya yang biasa saja.

Pada tahun 1838, Multatuli pergi ke Hindia Belanda dan bekerja saat Kerajaan Belanda mengalami krisis keunagan dan menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia.

Multatuli bekerja sebagai pegawai sipil hingga akhrinya diangkat sebagai asisten residen dui AMbon pada 1851 dan pada tahun 1857 dipindahkan menjadi asisten residen di Lebak.

Selama menjalani tugasnya di Lebak, Multatuli melihat bagaimana Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan rakyat Indonesia dengan tidak adil, terlebih untuk kemakmuran rakyat.

Lihat Foto

britannica.com

Eduard Douwes Dekker

KOMPAS.com - Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830.

Setiap desa wajib menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, sepeti kopi, tebu, dan indigo.

Ketentuan sistem tanam paksa tersebut tertuang dalam lembaran negara tahun 1834 Nomor 22.

Tanam paksa yang diterapkan Belanda ternyata mendapat kecaman dari berbagai pihak. Dengan kecaman tersebut, Belanda akhirnya menghapus sistem tanam paksa.

Beberapa tokoh penentang sistem tanam paksa, yaitu:

Baca juga: Palaksanaan Tanam Paksa di Indonesia

Dalam buku Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli Di SUmatera Timur Awal Abad ke-20 [1997] oleh Jan Breman, Eduard Douwes Dekker mengarang buku berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Perdagangan Belanda yang terbit pada tahun 1860.

Dalam buku tersebut, Douwes Dekker mengajukan tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk memperhatikan kehidupan bangsa Indonesia.

Hal ini karena kejayaan Belanda merupakan hasil keringat rakyat Indonesia. Douwes Dekker mengusulkan sikap balas budi Belanda kepada bangsa Indonesia, dengan:

  1. Pendidikan yang layak untuk masyarakat Indonesia
  2. Membangun sakuran pengairan
  3. Meminddahkan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya

Baca juga: Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi

Baron van Hoevell

Bersama Fransen van de Putte, Baron berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda. Baron menganggap kebijakan-kebijakan pemerinta Belanda tidak pro rakyat.

Meski sempat diusir oleh pemerintah Belanda, Baron terus berjuang demi kesejahteraan rakyat pribumi.

Video yang berhubungan

Salah seorang pengkritik terkenal sistem Tanam Paksa adalah seorang mantan asisten residen di Lebak, Banten yang bernama Eduard Douwes Dekker. Kritiknya ditulis dalam buku yang berjudul Max Havelaar (1860) dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Buku ini mengisahkan masyarakat petani pribumi yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda. 

Berdasarkan penjelasan tersebut, jawaban yang tepat adalah A.

Halaman ini berisi artikel tentang penulis Belanda yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli. Untuk tokoh pergerakan nasional Indonesia E.F.E. Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi, lihat Ernest Douwes Dekker.

Untuk kegunaan lain, lihat Douwes Dekker.

Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetail bila perlu. [Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini]

Eduard Douwes Dekker [2 Maret 1820 – 19 Februari 1887], atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli [dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita"], adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar [1860], novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker

Lahir[1820-03-02]2 Maret 1820
Amsterdam, BelandaMeninggal19 Februari 1887[1887-02-19] [umur 66]
Ingelheim am Rhein, JermanPekerjaan KebangsaanBelanda

Eduard memiliki saudara bernama Jan yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.

Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.

Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.

Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak terlupakan selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

Rumah sakit Natal, Mandailing Natal, dulu kantor dan kediaman Douwes Dekker

Patung Eduard Dekker di Amsterdam, Belanda.

Ketika ayahnya pulang dari perjalanan, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini memunculkan niat pada ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri [ambtenaar] di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.

Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.

Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatra Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis keturunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah, sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Kariernya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu. Eduard menerima jabatan ini dan ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun. Ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Eduard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang sangat murah.

Belum satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa dan bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.

Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip diantaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, "aku" dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker diberlebih-lebihkan.

Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën [Gagasan-gagasan] yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool [Sekolah para Raja], dipentaskan dengan sukses.

Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool [diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat] menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.

Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, tetapi ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda [misal tanam paksa] melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakikatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

  • Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film yang dibuat tahun 1976 [sumber:[[1]] ] dan baru dirilis di Indonesia pada tahun 1988 dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.

Museum Multatuli terletak di Amsterdam di Korsjespoortsteeg 20, tempat lahir Eduard Douwes Dekker. Selain di Amsterdam, Museum Multatuli juga telah dibuka pada 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia.[1]

  • 1843 - De eerloze [naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven [1864]]
  • 1859 - Geloofsbelydenis [diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad]
  • 1860 - Indrukken van den dag
  • 1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
  • 1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
  • 1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
  • 1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
  • 1860 - Max Havelaar aan Multatuli
  • 1861 - Het gebed van den onwetende
  • 1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
  • 1861 - Minnebrieven
  • 1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie [brochure]
  • 1862 - Brief aan Quintillianus
  • 1862 - Ideën I [terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse]
  • 1862 - Japansche gesprekken
  • 1863 - De school des levens
  • 1864-1865 - Ideën II
  • 1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven [naskah drama]
  • 1865 - De zegen Gods door Waterloo
  • 1865 - Franse rymen
  • 1865 - Herdrukken
  • 1865 - Verspreide stukken [diambil dari Herdrukken]
  • 1866-1869 - Mainzer Beobachter
  • 1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
  • 1869-1870 - Causerieën
  • 1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
  • 1870-1871 - Ideën III
  • 1870-1873 - Millioenen-studiën
  • 1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus
  • 1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië
  • 1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten [esai satir]
  • 1872 - Brief aan den koning
  • 1872 - Ideën IV [terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool]
  • 1873 - Ideën V
  • 1873 - Ideën VI
  • 1874-1877 - Ideën VII
  • 1887 - Onafgewerkte blaadjes
  • 1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel [naskah drama]
  • 1897 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy [editor Willem Frederik Hermans]

  1. ^ "10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli". Historia. 14 Februari 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Juni 2020. Diakses tanggal 3 Februari 2022. 

  • [Inggris] [Belanda] Multatuli Museum
  • [Inggris] Multatuli Archives Diarsipkan 2005-03-05 di Wayback Machine.
  • [Inggris] Foto Multatuli Diarsipkan 2009-06-20 di Wayback Machine.
  • [Belanda] Max Havelaar Foundation
  • [Belanda] 150 jaar Max Havelaar Diarsipkan 2010-04-14 di Wayback Machine.
  • [Belanda dan Jerman] 'Max Havelaar' [Project Gutenberg Library]: //www.gutenberg.org/ebooks/11024 dan //www.gutenberg.org/ebooks/31527 [Inggris] 'Walter Pieterse: A Story of Holland' [Project Gutenberg Library]: //www.gutenberg.org/ebooks/30135 Perihal 'Multatuli' selengkapnya dari 'Project Gutenberg Library']: //www.gutenberg.org/ebooks/search/?query=Multatuli

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Eduard_Douwes_Dekker&oldid=20834782"

Video yang berhubungan