Apa maksud dari malaikat langit turun pada agama khonghucu

Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini.
Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala.
Tag ini diberikan pada Oktober 2016.

Tuhan dalam agama dan Kepercayaan Tionghoa adalah konsep ketuhanan dalam agama masyarakat Tionghoa. Dalam agama Khonghucu [Rujiao] sebutan Tuhan adalah 天 TIAN [baca, Ti'en] yang berarti Satu Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Esa. Dalam kitab suci agama Khonghucu 五經 Wujing [Kitab Yang Lima] ada beberapa istilah/sehutan Tuhan seperti Huang Tian, Min Tian, Shang Di dsb. Nabi Kongzi menyebutnya dengan TIAN. Konsep ketuhanan dalam agama Khonghucu seperti tersurat dalam Kitab Zhong Yong Bab XV sifat Tuhan itu Maha Roh, dilihat tiada tampak, didengar tiada terdengar, namun setiap wujud tiada yang tanpa Dia. Adapun kenyataan Tuhan itu tidak dapat diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan. Demikianlah kesempurnanNya hingga terasakan di atas dan di kanan kiri kita.

Secara umum, orang Tionghoa biasa menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai Thian Kong [Tian Gong] atau Thi Kong, ada pula yang menyebutnya sebagai Siang Te atau Shang Di [上帝]. Sebenarnya pengertian ini rancu, sebab pengertian Thian Kong dan Shang Di maknanya agak berbeda. Istilah Thian [Tian] sebenarnya secara harafiah berarti ‘langit’, yang menunjukkan tempat kediaman dari Shang Di [Siang Te], sedangkan Shang Di sendiri berarti ‘yang termulia yang berada paling atas’.

Dalam buku-buku Tiongkok kuno [sebelum era Laozi], orang Tiongkok sudah mempercayai adanya ‘sesuatu’ sebagai penguasa segala sesuatu di jagat raya ini. ‘Sesuatu’ ini umumnya disebut Shang Di atau Thian, sebab menurut mereka, ‘sesuatu’ penguasa kedudukannya pastilah di atas. Sejalan dengan pemujaan kepada Shang Di atau Thian, mereka juga mempercayai bahwa di tempat-tempat tertentu memiliki penguasa-penguasa sendiri [semacam penguasa lokal], sehingga timbul juga pemujaan kepada ‘penguasa-penguasa lokal’ tersebut [misalnya penguasa sungai, penguasa gunung, penguasa bumi, dan sebagainya].

Setelah era Laozi, pemujaan kepada Shang Di dan pemujaan kepada ‘penguasa-penguasa lokal’, sedikit demi sedikit mulai tertata bentuknya sehingga hierarki pemerintahan langit menjadi semakin jelas. Menurut buku ‘Myths and Legends of China’ karanganvWerner, orang Tionghoa percaya bahwa pemerintahan surga / langit / kayangan, termasuk para dewa dan malaikat, dipimpin oleh suatu sistem pemerintahan yang mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di bumi. Dalam sastra Tionghoa disebutkan sebagai Tian Di Yi Li atau ‘Langit dan bumi punya tatanan yang sama’.

Pemimpin tertinggi dan berkuasa penuh atas jagat raya, dipegang oleh Siang Te [Shang Di], dan menteri-menterinya dijabat oleh para dewa, baik sipil maupun militer. Kaisar yang memerintah di daratan Tiongkok dipercayai sebagai utusan dari langit [utusan Siang Te] yang diberi mandat untuk memerintah di bumi [oleh sebab itu, Kaisar Tiongkok selalu disimbolkan sebagai naga – hewan perkasa dari langit. Jubah kebesaran Kaisar disebut jubah Naga. Selain Kaisar, tidak seorangpun boleh menggunakan attribut ataupun hiasan Naga. Bagi yang melanggar akan terkena hukuman pancung, sebab berarti dia men-sejajar-kan kedudukannya sama dengan kaisar]. Upacara sembahyang kepada Siang Te hanya dilakukan oleh Kaisar dan keluarga kerajaan, rakyat tidak boleh mengikuti ataupun menghadirinya. Bagi rakyat, memuja Kaisar sebagai utusan Siang Te yang ada di dunia, sudah merupakan wujud pemujaan kepada Siang Te sendiri. Bila ada rakyat yang berani memuja kepada Siang Te secara langsung, berarti men-sejajar-kan dirinya dengan kaisar dan dapat dikenai hukuman mati.

Karena rakyat tidak mempunyai hak untuk memuja Shang Di secara langsung, maka ketika mereka mempunyai seorang Kaisar yang lalim dan penindas kaum lemah, rakyat mulai mencari objek pengaduan agar penderitaan mereka berubah menjadi baik. Rakyat kemudian mempersonifikasikan dan melakukan pemujaan kepada Thian [Tian], yang sebenarnya hanyalah tempat kediaman Siang Te. [Mungkin mirip dengan zaman sekarang, dimana apabila ada kepala pemerintahan yang korupsi, maka rakyat lalu berbondong-bondong datang dan berunjuk-rasa di gedung kepala pemerintahan tersebut]. Pemujaan kepada Thian tidak dilarang oleh Kaisar, bahkan Kaisar juga kadang-kadang ikut memujanya [di Beijing ada ‘Tian Tan’ – altar pemujaan kerajaan], sedangkan rakyat biasanya melakukan pemujaan di depan pintu rumah masing-masing.

Dengan adanya pengaruh Taoisme, maka kemudian bermunculan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai Shang Di. Dalam buku-buku kuno, tokoh Shang Di memiliki beberapa sebutan, antara lain: Ming Ming Shang Di, Tang Tang Shang Di, Wei Huang Shang Di, Yuan Shi Tian Zun, Yu Huang Shang Di, dan lain-lain.

Setelah munculnya pengaruh Konfusianisme, mulailah upacara sembahyang kepada Shang Di tertata lebih jelas. Dalam ajaran Konfusius, dikenalkan adanya tiga unsur dalam alam semesta, yaitu unsur Tian Huang [Penguasa Langit], Di Huang [Penguasa Bumi] dan Ren Huang [Penguasa Manusia]. Penguasa tertinggi terletak pada Tian Huang atau Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai Huang Tian Shang Di. Pemujaan kepada Huang Tian Shang Di, banyak dilakukan oleh kaisar-kaisar dari zaman dinasti Ming dan Qing. Hal ini disimpulkan karena pada Altar ‘Tian Tan’ terdapat sebilah papan suci yang bertuliskan Huang Tian Shang Di. Selanjutnya...

Setelah zaman dinasti Song [tahun 960 – 1280], pengertian Thian dan Siang Te menjadi kabur, apalagi Kaisar sudah tidak begitu keras memberikan larangan pemujaan kepada Siang Te. Kemudian pada zaman dinasti Qing, bangsa Manchuria menjajah bangsa Han, akibatnya banyak para tokoh bangsa Han yang harus melarikan diri dari kejaran pasukan Manchuria. Mereka banyak yang bersembunyi di kebun tebu, sehingga pasukan Manchuria tidak bisa melihatnya. Setelah aman, mereka kembali ke rumah masing-masing dan mensyukuri keselamatan mereka itu dengan mengadakan sembahyang King Thi Kong [Jing Tian Gong]. Sembahyang King Thi Kong ini biasanya dilakukan pada tanggal 8 malam tanggal 9 bulan 1 Imlek, tepat jam 12 tengah malam. Tradisi ini turun temurun hingga sekarang.

  • Shangdi

  • Pengertian Thian Diarsipkan 2010-12-27 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tuhan_dalam_agama_dan_Kepercayaan_Tionghoa&oldid=19513512"

13 Oktober 2020 [tanggal 27 bulan 8 Imlek] adalah hari ulang tahun kelahiran Nabi Khongcu yang ke-2571 tahun. Karyanya bagi dunia pendidikan, etika moral, tata kenegaraan, dan tata hubungan serta kesusilaan antar sesama manusia, juga  manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, demikian besar pengaruhnya pada bangsa Asia pada umumnya. Sehingga, dunia mengakuinya sebagai seorang nabi, guru agung sepanjang masa.

Dalam mengenang hari kelahirannya, kita ajak para pembaca untuk membuka kembali lembaran kehidupan Nabi Khongcu yang telah meninggalkan kita 2499 tahun lamanya [wafat tahun 479 SM]. Sebuah peristiwa yang telah lampau sekali, bahkan banyak hal telah dilupakan orang. Namun, dikarenakan kebajikan mulia yang disumbangkannya kepada umat manusia, maka karyanya dibukukan oleh murid-murid serta pengikutnya, dan dilestarikan secara turun-temurun sampai sekarang. Ajarannya disebut agama Ru [Ru-jiao] atau di Indonesia disebut sebagai agama Khonghucu. 

Nabi Khongcu, sewaktu lahir diberi nama kecil Kong Qiu alias Zhong Ni. Dia merupakan putera kedua dari ayah yang bernama Kong Shu Liang He dan Ibu bernama Yan Zheng Zai. Ia mempunyai sembilan kakak perempuan dan satu abang dari lain ibu. 

Dikisahkan, Ibunda Yan Zeng Zai yang sering mendaki bukit Ni memanjatkan doa, memohon ke hadirat Tuhan agar dikaruniai seorang putra. Selang tidak berapa lama pada suatu malam, dia diberi penglihatan: Datang Malaikat Bintang Utara berkata, “Terimalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, seorang putra agung nan suci, seorang nabi. Engkau akan melahirkannya di lembah Kong Sang.” 

Sejak kejadian itu, Ibu Yan mulai mengandung dan diberi penglihatan lain. Datang seekor Qi-lin [hewan suci bertubuh kijang, bertanduk tunggal, bersisik seperti naga, berekor seperti lembu]. Dari mulutnya, menyembur keluar sebuah kitab kumala [Yu Shu] yang bertuliskan: “Putra sari air suci akan datang untuk menggantikan Dinasti Zhou yang sudah lemah, dan akan menjadi Raja tanpa mahkota”. 

Setelah itu, Ibu Yan mengikatkan pita merah pada tanduk hewan suci tersebut. Setelah hamil selama 11 bulan, lahirlah seorang bayi pada tanggal 27 bulan 8 tahun 551 SM [jaman Chun Qiu], di negeri Lu, kota Zou Yi, desa Chang Ping, lembah Kong Sang [sekarang Kota Qufu, Provinsi Shandong, Tiongkok]

Sewaktu kelahiran Kong Qiu tampak tanda-tanda menakjubkan, yaitu: muncul dua ekor naga berjaga mengitari tempat kelahiran; datang lima Malaikat Tua menyambut; malam itu bintang utara bersinar terang, langit jernih, bumi damai; terdengar musik nan merdu mengalun di angkasa; angin bertiup sepoi-sepoi dan keesokan harinya matahari bersinar hangat;  Sungai Kuning yang biasa airnya keruh bergolak, menjadi jernih dan tenang alirannya; dari langit terdengar suara, “Tuhan telah berkenan menurunkan seorang putra yang nabi”; muncul sumber air hangat untuk memandikan sang bayi di lantai gua Kong Sang; pada tubuh sang bayi, tampak 49 tanda-tanda luar biasa yang bermakna: Yang akan menetapkan hukum abadi dan membawa damai bagi dunia.

Usia tiga tahun, Kong Qiu kehilangan ayah. Sejak itu, ia ikut Ibunda Yan berpindah ke dekat rumah nenek. Ia dibesarkan Ibunda Yan dan juga mendapat bimbingan dari nenek luarnya. 

Ketika usia tujuh tahun, meski dalam kemiskinan, Ibunda Yan menyekolahkan Kong Qiu di perguruan Yan Ping Zhong; seorang cendekiawan dari Negeri Qi. Di sekolah ini, para murid diajarkan cara menyiram, membersihkan lantai, bertanya jawab dengan guru, juga pendidikan budi pekerti, musik, menunggang kuda, memanah, sastra dan berhitung. 

Pada usia 15 tahun, Kong Qiu telah menetapkan hati untuk teguh dalam belajar. Masa kecil Kong Qiu bukanlah masa yang bahagia. Ia terbiasa mengerjakan banyak pekerjaan kasar. Dalam kitab Lun Yu tertulis, Nabi bersabda: “Aku bukanlah pandai sejak lahir. Aku hanya suka belajar hingga lupa makan dan minum. Di dalam mengajar juga tidak merasa lelah…. Waktu kecil banyak pekerjaan kasar pernah kulakukan, maka banyaklah pengetahuan dan keterampilan saya.” Beliau juga pandai dalam hal memanah dan mengendarai kereta kuda.

Ketika Kong Qiu berusia 17 tahun, Ibunda tercinta yang banyak bekerja keras membesarkan anaknya, sehingga kurang terawatlah kesehatannya, meninggal dunia dalam usia 35 tahun. Kong Qiu bersedih dan menyemayamkan peti jenazahnya di tepi jalan kota, berharap ada orang yang mengetahui letak makam ayahnya, agar dapat dimakamkan bersama. Tiga hari kemudian, datanglah seorang nenek mengaku tetangga Ibunda Yan, memberi petunjuk pada Kong Qiu tentang letak makam ayahnya. Maka terkabullah niatnya untuk menyatukan kedua orang tuanya di makam yang berdampingan.

Dari kisah masa kecil Nabi Khongcu [Kongzi], dapatlah kita petik beberapa suri tauladan. Pertama,  semangat juang seorang ibu membesarkan anaknya seorang diri, meski miskin tetapi mengutamakan pendidikan anaknya. Kedua, kesadaran seorang anak yang telah kehilangan ayah sejak kecil, untuk tidak mengecewakan harapan sang ibu, menjadi anak yang patuh, berbakti, teguh dalam semangat belajar, rajin membantu ibunya. 

Tidaklah dapat disangkal bahwa dibalik kebesaran nama Nabi Khongcu terdapat jerih payah ibunda Yan yang tidak ternilai harganya. Maka berbanggalah wahai para ibu yang bekerja keras mendidik dan mendorong anak-anaknya untuk maju. Karena kabahagiaan yang diperoleh ketika melihat anak berhasil adalah kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan uang berapa pun juga.

Ws. Ir. Djohan Adjuan  [Tokoh Khonghucu]

[sumber: kemenag.go.id]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề