Apa perbedaan penokohan dan perwatakan di dalam seni peran
PerwatakanPerwatakan adalah penggambaran watak atau sifat tokoh cerita. Perwatakan berfungsi menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan tertentu dengan cara menggambarkan watak atau sifat-sifat tokoh-tokoh cerita. Show Watak atau tokoh dalam cerita terbagi atas 3 macam, yaitu : 1. Tokoh Protagonis adalah tokoh utama dalam drama yang dimunculkan untuk mengatasi berbargai persoalan yang dihadapi dalam cerita. 2. Tokoh Antagonis adalah tokoh yang melawan Protagonis. 3. Tokoh Tritagonis adalah tokoh pendamai yaitu tokoh yang tidak memiliki sifat Protagonis dan Antagonis. Penokohan Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh itu. Penokohan dapat digambarkan melalui dialog antartokoh, tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama, atau pikiran-pikiran tokoh. Melalui penokohan, dapat diketahui bahwa karakter tokoh adalah seorang yang baik, jahat, atau bertanggung jawab.
Suatu pementasan drama memiliki para pemain yang memerankan
Diantaranya terdapat protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, foil, peran yang sangat menonjol adalah peran protagonis dan antagonis, karena antara kedua karakter ini konflik akan terlihat jelas. Ketika kita menyaksikan sebuah pementasan drama pasti terdapat alur Biasanya seseorang merasa bingung dengan alur yang digunakan dalam sebuah cerita. Apakah alur yang digunakan tersebut alur maju ataukah alur mundur. Untuk mempermudah menentukan alur maka terdapat struktur dramatik yang membantu. Dalam alur terdapat struktur dramatik, Pengertian Tokoh dan Penokohan Menurut Para AhliPengertian Penokohan Menurut Para Ahli Menurut Santosa, dkk (2008:90) penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu dengan peran yang lain. Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi tersebut. Penokohan atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Egri dalam Santosa, dkk (2008:90), berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada alur. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita Hamzah (1985 dalam Santosa, dkk, 2008:90). Menurut Luxemburg, Bal, dan Weststeijn (1984:171), istilah tokoh dipergunakan apabila membahas mengenai sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sedangkan istilah pelaku bila kita membahas instasi atau peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa. Luxemburg membagi pelukisan watak menjadi dua, yaitu pelukisan watak secara eksplisit dan pelukisan watak secara implisit. Pelukisan watak secara eksplisit, watak seorang tokoh dapat dilukiskan oleh komentator seorang pelaku lain. Seorang tokoh juga dapat melukiskan wataknya sendiri. Di sini seluruh tokoh itu merupakan dasar apakah dia pantas dipercaya atau tidak. Pelukisan watak secara implisit, pelukisan ini terjadi lewat perbuatan dan ucapan, dan sebetulnya lebih penting daripada pelukisan eksplisit. Hudson (1958 dalam Budianta, 2002:106) menyatakan bahwa alur lebih penting daripada tokoh karena tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan tokoh lebih penting daripada alur karena alur hanya dipergunakan untuk mengembangkan tokoh. Hudson cenderung mengatakan bahwa pementingan terhadap tokoh lebih utama dibandingakan dengan pementingan terhadap alur, hal ini disebabkan sesuatu cerita akan meninggalkan kesan yang dalam dan bahkan mungkin abadi lantaran penokohan di dalam cerita itu begitu kuat dan meyakinkan dalam membangun alur cerita. Pengertian Tokoh Menurut Para Ahli Dalam bukunya, Hudson mendefinisakan bahwa Wahyuningtyas dan Santosa (2011:3) membagi tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya dibedakan menjadi tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa (Wiyatmi, 2006:50). Baca juga: Contoh Soal Cerita Persamaan Linear Tiga Variabel Menurut Santosa, dkk (2008:90), peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab dengan adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan peran. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut. Protagonis adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan peran adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu cita-cita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga menentukan jalannya cerita. SESEORANG: Kenapa kamu memanggil aku malam-malam begini? MUNIR: Habis aku gerah Pak. Di mana-mana ada ketidakadilan. Di mana-mana berserakan ketidakbenaran. Di mana-mahna rakyat ditindas semena-mena. Penguasa sudah merajalela, menindas rakyat yang memiliki negeri ini. Harusnya mereka menjadi abdi, tapi malah mereka yang kenyang sendiri, memperbudak dan menjahanami rakyat. Di mana letak kebenaran. Di mana letak demokrasi. Mana itu kerakyatan dan keadilan sosial serta peri kemanusiaan yang digembar-gemborkan. SESEORANG: Jadi kamu mau protes? MUNIR:Protes sekaligus memberitahukan bahwa sekarang bukan waktunya tidur. Semua orang harus bangun dan melihat segala kecurangan, ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan ini. Tidak boleh ada dispensasi. Rakyat sudah terlalu menderita, nanti mereka bisa melawan bersama seperti Korawa dan Pandawa dalam Perang Bharatayudha. Dari cuplikan drama Jangan Menangis Indonesia diatas, peran protagonis dalam drama tersebut adalah Seseorang, dapat dilihat dalam naskah tersebut bahwa Seseorang ini menjadi peran utama yang dijadikan tempat pengaduan tokoh lain. Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif terhadap tokoh protagonis. Pada drama Jangan Menangis indonesia yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Jendral, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dialog “ Dalam dialog tersebut sudah tergambar jelas bahwa peran yang dibawakan oleh Jendral ini mengandung unsur yang kontra dengan tokoh Seorang yang menjadi tempat curahan hati tokoh lain. Deutragonis Tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis. Kernodle (dalam Dewojati, 2010:170) mengungkapkan bahwa karakter biasanya diciptakan dengan sifat dan kualitas yang khusus. Karakter tidak hanya berupa pengenalan tokoh melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo atau irama permainan tokoh, tetapi juga sikap batin tokoh yang dimilikinya. Setiap karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan erat dengan karakter yang lain.
adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis. Baca juga: Invers Matriks a 1 3 1 5 Adalah Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia. Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir. Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku.
Adapun teknik penggambaran tokoh dalam menentukan suatu tokoh dalam sebuah drama. Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (1966 dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:4) sebagai berikut.
(1) Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung.
(2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan), teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh). Kita banyak berhutang budi kepada Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang telah menulis Struktur dramatik ini tidak dapat dipisahkan dengan alur karena keduanya memiliki atau membentuk struktur dan saling berkesinambungan dari awal cerita sampai akhir. Fungsi dari struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke dalam laku cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan kesimpulan. I Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.
Pada bagian ini mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Disini juga sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi, amukan, ketakutan, dan kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut. Klimaks adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran. Dengan terbongkarnya semua masalah yang melingkupi keseluruhan lakon diharapkan penonton akan mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni pada jiwa penonton.
Resolusi adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan dipermainkan.
Kesimpulan adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita atau sedih. Menurut Dewojati (2010:164), pola struktur alur Freytag seperti di atas tidak dipakai secara patuh oleh para penulis drama modern. Pada drama modern biasanya posisi klimaks diletakkan di dekat bagian akhir cerita (Whiting dalam Dewojati (2010:165)). 2. Menurut Hudson dalam Tambajong (1981:35), alur dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada bagian eksposisi ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan dan membeberkan karakter-karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain sebagainya. Pada insiden permulaan ini mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini akan menggerakkan alur dalam lakon. Pada bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.
Krisis adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak bisa apa-apa. Menurut Hudson dalam Santosa, dkk (2008:80), klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun. Penyelesaian atau Semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan. Mathews dalam Santosa, dkk (2008:80), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau dihadapi. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi. Bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. Nilai tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan. Sebuah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi. Komplikasi merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang. Nilai tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini. Mempertemukan masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi. Tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks. Model struktur dramatik dari Cassady dalam Santosa, dkk (2008:82) menekankan pentingnya
Kernodle dalam Dewojati (2010:167) membagi perkembangan alur menjadi beberapa bagian seperti berikut. Menjelaskan kepada penonton apa yang telah terjadi sebelumnya dan bagaimana situasinya sekarang ini. Selanjutnya, alur kemudian bergerak ke titik serangan yang memicu munculnya kekuatan penggerak.
Munculnya komplikasi demi komplikasi dalam cerita yang menimbulkan ketegangan. Kemudian ketegangan meningkat dalam minor climax (klimaks kecil), yang lalu diikuti oleh penurunan.
Terdapat konflik masa depan. Hal ini ditegaskan dengan adanya situasi “ancaman” yang mendorong masuknya peristiwa ke dalam ketegangan besar, krisis besar, memuncaknya ketegangan dalam klimaks besar.
Menurut Altenbernd dalam Dewojati (2010:186), konflik Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan unsur penting dalam sebuah pementasan drama. Dengan adanya penokohan ini penonton bisa membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lainnya karena setiap tokoh mempunyai peran dan karakter yang berbeda-beda yaitu p rotagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, foil, utilityatau
Struktur dramatik merupakan bagian dari alur sehingga struktur dramatik dan alur ini tidak dapat dipisahkan. Bila alur tidak ada maka struktur dramatik ini juga tidak akan ada karena struktur dramatik mengacu pada alur. Struktur dramatik menjelaskan lebih mendetail mengenai unsur-unsur alur dengan berbagai pendapat para ahlinya. Dewojati, Cahyaningrum. 2010.Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemanto, Bakdi. 2001.Jagat Teater.Yogyakarta: Media Pressindo. Sumarwahyudi. 2011.Filsafat Ilmu Seni. Malang: Pustaka Kaiswaran. Supriyono. 2011.Tata Rias Panggung. Malang: Bayumedia Publishing. Tambajong, Japi. 1981.Dasar-dasar Dramaturgi.Bandung: Harapan Bandung. Wahyuningtyas, Sri, dan Wijaya Heru Santosa. 2011.Sastra: Teori dan Implementasi.Surakarta: Yuma Pustaka.Wariatunnisa, Alien dan Yulia Hendrilianti. 2010.Seni Teater untuk SMP atau MTs Kelas VII, VIII, dan IX(Rahmawati, Irma dan Ria Novitasari, Ed). Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Wiyanto, Asul. 2005.Kesusastraan Sekolah.Jakarta: Grasindo Anggota Ikapi. |