Apa sajakah fungsi kesantunan dalam berbahasa
Kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa,[1] baik saat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Kesantunan berbahasa merupakan bidang kajian pragmatika, yang antara lain telah dituliskan oleh Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Leech (1983), serta Pranowo (2009).[2] Robin Lakoff (1973) menyatakan "kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interaksi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).[3] Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai "strategi untuk menghindari konflik" yang "dapat diukur berdasarkan derajat upaya yang dilakukan untuk menghindari situasi konflik". Enam maksim kesantunan (politeness maxims) yang diajukan oleh Leech adalah sebagai berikut:
Artikel bertopik linguistik ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kesantunan_berbahasa&oldid=18582958" Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos Kita dapat menyimpulkan bahwa memiliki kesantunan dalam berbahasa itu sangat dibutuhkan, karena salah satunya penyebab kekerasan ataupun pertengkaran dimulai dari ketidaksantunan bahasa yang digunakan oleh seseorang. Sering kali orang merasa tersinggung karena bahasa yang digunakan oleh seseorang atau orang lain, dan dapat menimbulkan pertengkaran. Kesantunan dalam berbahasa di pemuda-pemudi saat ini pun sudah sangat rendah, karena generasi sekarang cenderung menggunakan bahasa-bahasa yang disingkat dan cenderung tidak baku sama sekali. Mengemukakan pendapat pun menjadi tidak baik dan malah menggunakan bahasa yang tidak benar. Didikan orang tua yang tidak tegas akan anak yang menggunakan bahasa tidak benar dalam kehidupan sehari-hari. Penyebab dari menurunnya kesantunan dalam berbahasa itu disebabkan oleh rendahnya penghayatan masyarakat terhadap budaya, dan juga faktor-faktor sebagai berikut. Faktor waktu adanya perbedaan saat waktu masih dalam kerjaan dengan sekarang, dahulu berbicara sangat santun dan sopan kepada sesame karena memiliki tata karma yang tinggi. Faktor yang berikutnya adalah faktor tempat, perbedaan tempat pun mempengaruhi perbedaan cara kita berbicara, jika di kantor berbeda dengan orang yang berbicara di lingkungan pasar. Pergaulan global dan pertukaran informasi pun dapat mempengaruhi kesantunan berbahasa. Dari semua kepentingan memiliki kesantunan dalam berbahasa ada beberapa banyak hambatan dalam upaya pembelajaran tata krama berbahasa. Contohnya, tayangan televisi yang sangat bertolak belakang dengan prinsip tata kehidupan dan tata krama orang timur. Lalu sekolah juga dinilai kurang memperhatikan kesantunan berbahasa dan lebih mengutamakan keenceran otak siswa dalam penguasaan iptek. Selain dalam lingkungan sekolah pun dalam lingkungan keluarga belajar bahasa pun kadang diabaikaan, padahal belajar bahasa seharusnya dilaksanakan setiap hari agar anak dapat menggunakan bahasa yang benar. Dengan kesantunan yang benar dan penggunaan bahasa yang benar, dapat timbullah keharmonisan dalam pergaulan dengan lingkungan sekitar. Penanaman kesantunan berbahasa juga sangat berpengaruh positif terhadap kematangan emosi seseorang. Berbahasa yang santun seharusnya sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki oleh setiap orang sejak kecil, anak perlu dibina dan dididik berbahasa yang santun, karena jika dibiarkan anak bisa menjadi orang yang kasar, arogan, dan tidak punya nilai etika serta agama. Agar anak pun mengerti dan bisa menanamkan kesantunan berbahasa kepada anak sebaiknya memberikan prinsip mengerti, merasakan, dan melaksanakan. |