Apa sebab seorang wanita tidak boleh berpuasa

Dalam hitungan hari, kita sudah memasuki bulan puasa Ramadan. Wanita yang sedang haid tidak boleh berpuasa. Selain karena larangan agama, ternyata ada fakta medis di balik ketentuan ini. Salah satunya, memaksakan diri untuk menahan lapar dan haus saat menstruasi malah bisa memicu munculnya sejumlah gejala dan membuat tubuh menjadi tidak nyaman. Apa saja alasan medis wanita haid tidak boleh berpuasa?

Puasa adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadan. Semua orang yang berada dalam keadaan sehat fisik dan mental wajib menjalaninya. Namun, ada beberapa ketentuan yang memperbolehkan seorang muslim melewatkan puasa, salah satunya sedang haid. Wanita haid yang tidak berpuasa bisa menggantinya dengan melakukan ibadah yang sama setelah Idul Fitri.

Selain dilarang agama, ternyata ada fakta medis yang menjadi alasan wanita haid tidak boleh berpuasa, di antaranya:

Darah haid biasanya cukup banyak, berasal dari peluruhan dinding rahim yang sebelumnya menebal karena persiapan implantasi sel telur yang sudah dibuahi. Perdarahan ini cenderung deras ketika hari pertama haid dan berangsur menurun pada hari berikutnya hingga selesai. Banyak keluarnya darah ini membuat wanita yang sedang haid rentan mengalami lemas dan lesu.

Gejala khas saat haid adalah nyeri atau kram perut. Rasa sakit ini berasal dari peluruhan dinding rahim. Sebagian wanita hanya mengalami nyeri perut beberapa jam awal saat haid, tapi sebagian lain mungkin merasakannya sepanjang hari. Pada kasus yang parah, nyeri haid tidak tertahankan dapat menurunkan kesadaran (pingsan). Rasa nyeri yang tak tertahankan dan berulang sebaiknya dibicarakan dengan dokter.

Selain nyeri perut, wanita yang sedang haid juga rentan mengalami migrain. Saat hal ini terjadi, kemungkinan besar wanita haid tidak nyaman untuk berpuasa.

4. Sensitif Terhadap Rasa Nyeri

Saat haid, wanita mengalami penurunan hormon estrogen. Kondisi ini membuatnya lebih sensitif terhadap rasa sakit, sehingga ia mudah lelah, nyeri punggung, dan gangguan kesehatan lain. Sering kali, kondisi ini diatasi dengan konsumsi obat pereda nyeri.

Sudah disebutkan bahwa saat haid banyak darah dikeluarkan dari dalam tubuh. Akibatnya, tubuh kehilangan banyak zat besi sehingga menimbulkan gejala lemas. Apabila seorang wanita memaksakan diri berpuasa dengan kondisi ini, berikut dampak yang perlu diwaspadai:

  • Tubuh semakin lemas dan disertai pusing, akibat suplai oksigen yang rendah.
  • Nyeri dada yang menyebabkan detak jantung lebih cepat dan napas pendek. Kondisi ini terjadi akibat rendahnya suplai oksigen pada jantung yang tidak bisa dibawa oleh sel darah, akibat rendahnya zat besi dalam tubuh. Pada kondisi yang parah, gejala ini dapat menyebabkan pembengkakan jantung hingga gagal jantung.
  • Kulit pucat serta tangan dan kaki dingin. Gejala ini menandakan bahwa kadar zat besi dalam tubuh sangat rendah, sehingga mulai mengganggu peredaran darah pada anggota gerak (tangan dan kaki).
  • Ingin konsumsi makanan tidak sehat. Pasalnya, kekurangan zat besi saat haid memicu keinginan konsumsi makanan tidak sehat. Misalnya, gorengan, makanan cepat saji, minuman manis, dan lainnya.
  • Bagi setiap wanita, mengalami siklus menstruasi setiap bulannya adalah hal yang sangat wajar. Namun, siklus menstruasi yang dialami setiap wanita tentunya akan memiliki pola dan gejala yang berbeda. Normalnya, siklus menstruasi berjalan selama 4 minggu dari hari pertama menstruasi hingga hari pertama menstruasi selanjutnya. oleh karena itu, pastikan tubuh dalam keadaan fit di saat tetap melakukan puasa.

Jakarta -

Ramai di media sosial soal unggahan yang membahas alasan perempuan haid atau datang bulan masih bisa berpuasa. Wakil Ketua MUI Anwar Abas tak sependapat.

Adalah akun Instagram mubadalah.id yang mengunggah 'alasan perempuan haid boleh berpuasa'. Dilihat detikcom pada Minggu (2/5/2021), unggahan itu menyebutkan tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an yang melarang perempuan haid berpuasa. Kemudian, disebutkan juga bahwa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa.

Menurut Wakil Ketua MUI Anwar Abas, hadis dari Aisyah Ra memang menjadi salah satu rujukan soal perempuan yang haid dalam puasa. Hadis dari Aisyah itu disampaikan oleh Imam Muslim. Dalam hadis itu, diceritakan bahwa Aisyah isteri nabi berkata:

"Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada salat." (HR Muslim).

Anwar Abas juga memberikan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad SAWdalam bentuk dialog, beliau bersabda:

"Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab, Ya." (HR Bukhari).

Dari dua hadis tersebut, Anwar Abas menyimpulkan bahwa perempuan yang haid itu tidak bisa berpuasa. Namun mereka wajib mengganti di hari lain di luar bulan Ramadhan.

"Jadi dengan demikian wanita yang haid itu tidak gugur kewajibannya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Dengan kata lain dia tetap wajib berpuasa tapi dia melaksanakan puasanya bukan ketika dia haid di bulan Ramadhan tersebut tapi dia meng-qada atau menggantinya di hari-hari di bulan lain atau di luar bulan Ramadhan," kata Anwar Abas saat dihubungi, Minggu (2/5).

Soal perempuan haid tak boleh puasa pun sudah jadi kesepakatan para ulama. Sehingga, setiap muslim harus mematuhinya.

"Para ulama sudah sepakat bahwa wanita yang haid tidak sah puasa. Masalah puasa ini adalah masalah ta'abbudi (ibadah) bukan masalah ta'aqquli (rasional) jadi harus ada dasar syar'iyyan-nya. Dan di antara dasarnya adalah 2 hadis di atas," kata Anwar.

"Hukum dasar ibadah itu haram kecuali kalau ada dalil yang membolehkannya. Jadi kita tidak boleh pakai rasio dan atau logika dalam menghadapinya. Tapi harus dasarkan ibadah kita pada dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an dan assunah," ujarnya.

Simak juga 'Ahli Gizi: Tidur Setelah Puasa Tidak Apa-apa':

(aik/aik)

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ulama-ulama fikih telah memberikan perhatian luarbiasa tentang persoalan haid. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat. Fikih memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas.

Dalam QS Al Baqarah 184-185 memang tidak disebutkan secara eksplisit larangan puasa bagi perempuan haid. Namun pembacaan terhadap suatu dalil harus dengan cara istiqra’ ma’nawi (integralistik).

Dalam kitab Sahih Muslim dan Bukhari terdapat sebuah hadis yang isinya dialog antara Rasulullah Saw dengan seorang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” Kemudian Rasul menjawab, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?” Respon Rasulullah kepada perempuan di atas merupakan kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban. Jenis kalimat ini biasanya disebut dengan kalimat retoris, sehingga sekalipun bersifat tanya namun maksudnya pernyataan yang mengandung penegasan.

Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib mengqadha’ di luar bulan Ramadan. Ada pun maksud perempuan kurang agamanya karena mereka diperbolehkan meninggalkan puasa dan salat saat sedang haid. Namun kekurangan ini tidak lantas membuat mereka berdosa dan tercela, karena memang aturan ini murni datang dari agama. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt. I

slam tidak mengajarkan ketaatan yang keras kepala dan berlebih-lebihan. Selain hadis di atas, ada pula hadis maukuf yang datang dari Aisyah Ra menyatakan bahwa “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ salat’.” Hadis maukuf ini dapat ditemui dalam Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Karena itulah, tidak heran bila Wahbah Zuhaili mengatakan bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya. Bukan saja tidak sah, tetapi juga haram dilaksanakan. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid maka wajib mengganti puasa di luar bulan Ramadan.

Dalam Islam terdapat batasan-batasan ibadah untuk perempuan dewasa (baligh). Indikator baligh bagi perempuan adalah mengeluarkan darah menstruasi atau haid. Sejak haid pertama, perempuan dianggap mukalaf dan hukum Islam berlaku kepadanya. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah periode haid dianggap dalam keadaan berhadas sehingga ia dilarang melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat dan puasa.

Menurut Wahbah Zuhaili, bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya. Bukan saja tidak sah, tetapi juga haram dilaksanakan. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid maka wajib mengganti puasa di luar bulan Ramadan. Karenanya, pengecualian perempuan haid dari kewajiban puasa bukan opsional melainkan obligasional.

Namun beberapa waktu belakangan muncul wacana perempuan haid boleh menjalankan ibadah puasa. Alasannya tidak ada larangan syariat yang secara zahir melarang puasa bagi perempuan haid. Sependek pembacaan, pendapat ini bukan saja tidak masyhur, tapi memang tidak pernah ada yang berpendapat seperti ini sebelumnya. Sehingga kesan yang kita dapatkan bukan argumentasi syari, melainkan opini yang memaksa.

Perempuan Haid dalam Pandangan Islam

Dalam tradisi Yahudi, perempuan haid dianggap sebagai perempuan kotor yang bisa mendatangkan bencana. Sehingga mereka harus diangsing dari masyarakat, diisolasi ke tempat karantina, dan tidak diajak makan bersama. Bagi orang Yahudi, adanya bawaan biologis alamiah dalam diri perempuan seperti haid ini dianggap memiliki hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Padahal secara fisiologis, haid menandakan telah terbuangnya sel telur yang sudah matang. Tidak ada hubungannya dengan kesialan hidup seseorang.

Pandangan Yahudi di atas menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjadi sebab turunnya QS. Al Baqarah ayat 222 yang isinya agar menjauhi tempat keluarnya darah haid. Kemudian Nabi Saw menambahkan dengan bersabda, “berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks.” Perempuan haid tetap bisa berkumpul, makan bersama keluarga, tidur satu selimut bersama suaminya. Karenanya, dalam Islam yang dianggap kotor adalah darahnya, dan bukan si perempuan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan kaedah umum kedokteran yang menempatkan darah haid sebagai zat kotor yang harus dibuang.

Ulama-ulama fikih juga memberikan perhatian luarbiasa tentang persoalan haid ini. Di antara kitab yang mampu menghasilkan satu jilid besar tentang masalah haid (bersama dengan nifas dan istihadhah) adalah Imam Haramain dan Abu al-Faraj ad-Darimi. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat. Fikih memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas.

Dalam fikih, haid dipandang sebagai hadas besar sehingga menuntut seseorang untuk mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu. Sedangkan orang yang telah buang air kecil tergolong hadas kecil sehingga hanya dengan wudhu untuk membuatnya suci kembali. Apabila dalam kondisi darurat air maka diperbolehkan menggunakan debu untuk tayamum. Dalam Islam, hadas merupakan sesuatu kondisi alamiah, temporer, dan aksidental yang dialami oleh setiap manusia. Hadas sama sekali bukan hal yang dipandang negatif, termasuk dengan haid.

Larangan Puasa Bagi Perempuan Haid

Dalam QS. Al Baqarah ayat 184-185 disebutkan orang-orang diperkenankan tidak menjalani ibadah puasa yaitu orang sakit (marid) atau dalam perjalanan (musafir) dan wajib menggantinya di hari yang lain, sedangkan orang-orang yang wajib membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) diperuntukkan bagi mereka yang dalam kondisi sangat berat (yutiqunahu), misalnya, lanjut usia, wanita hamil atau menyusui.

Dalam QS Al Baqarah 184-185 memang tidak disebutkan secara eksplisit larangan puasa bagi perempuan haid. Namun pembacaan terhadap suatu dalil harus dengan cara istiqra’ ma’nawi (integralistik). Dalam kitab Sahih Muslim dan Bukhari terdapat sebuah hadis yang isinya dialog antara Rasulullah Saw dengan seorang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” Kemudian Rasul menjawab, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”

Respon Rasulullah kepada perempuan di atas merupakan kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban. Jenis kalimat ini biasanya disebut dengan kalimat retoris, sehingga sekalipun bersifat tanya namun maksudnya pernyataan yang mengandung penegasan. Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib qadha’ di luar bulan Ramadan.

Ada pun maksud perempuan kurang agamanya karena mereka diperbolehkan meninggalkan puasa dan salat saat sedang haid. Namun kekurangan ini tidak lantas membuat mereka berdosa dan tercela, karena memang aturan ini murni datang dari agama. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt. Islam tidak mengajarkan ketaatan yang keras kepala dan berlebih-lebihan.

Selain hadis di atas, ada pula hadis maukuf yang datang dari Aisyah Ra menyatakan bahwa “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk qadha’ salat’.” Hadis maukuf ini dapat ditemui dalam Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Pertanyaan yang mungkin bisa diajukan adalah apakah hadis maukuf dapat dijadikan hujjah? Dalam kaidah hadis disebutkan bahwa hadis maukuf murni (ucapan sahabat yang tidak memiliki hubungannya dengan ketetapan Rasulullah), maka tidak dapat dijadikan hujjah. Misalnya salat tarawih 23 rakaat yang dikerjakan Sahabat Nabi, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Syarat hadis maukuf dapat dijadikan hujjah apabila termasuk ke dalam kategori marfu‘. Dengan kata lain, apabila hadis maukuf tersebut terdapat karinah-karinah yang dapat dipahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, maka boleh berhujjah dengan hadis tersebut.

Contohnya pernyataan Aisyah di atas merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat, namun dapat dijadikan hujjah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”. Meskipun frasa ‘diperintahkan’ tidak langsung menyebut Rasulullah, namun kita semua paham bahwa maksud ‘Aisyah adalah perintah Rasulullah Saw. Karenanya, sejak zaman kenabian hingga sahabat, perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan diwajibkan menggantinya di luar bulan Ramadan.

Dengan demikian, hukum dalam Islam ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan. Artinya, sejak kedatangan Nabi Saw, Islam telah melakukan koreksi besar-besaran terhadap situasi haid yang awalnya menghina perempuan menjadi memanusiakan perempuan. Diperbolehkannya tidak menjalankan puasa saat haid merupakan bentuk rahmat dari Allah kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107) dan berusaha tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78). (Ilham Ibrahim)

Editor: Fauzan AS