Apa yang dimaksud dengan reproduksi sehat

Kesehatan Reproduksi (Kespro) adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi adalah aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Ruang lingkup pelayanan kesehatan Repoduksi menurut International Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan seksual, sunat perempuan dan sebagainya. Hal ini dituangkan dalam Penjelasan Umum PP 61 tahun 2014 tentang Kespro.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi di tetapkan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2014. PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, dan Penjelasan Atas PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kespro (Kesehatan Reproduksi) ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559 oleh Menkumhan Amir Syamsudin pada tanggal 21 Juli 2014 di Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

Pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (4), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dasar hukum PP 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah:

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi hakekatnya telah tertuang dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata- mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak-hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif dan terjangkau.

Untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi melalui pelayanan kesehatan yang aman, efektif, dan terjangkau tersebut diwujudkan berbagai upaya kesehatan, diantaranya reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, upaya kesehatan ibu, dan kehamilan diluar cara alamiah yang diatur dalam Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (4), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Ruang lingkup pelayanan kesehatan Repoduksi menurut International Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan seksual, sunat perempuan dan sebagainya.

Dari lingkup pelayanan kesehatan reproduksi tersebut, masalah kesehatan ibu, infertilitas dan aborsi menjadi isu yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan reproduksi terutama pada kesehatan reproduksi perempuan.

Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi dan memerlukan perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya. Sedangkan infertilitas dan aborsi menjadi isu penting karena sangat terkait dengan aspek etikolegal.

Kesehatan ibu yang disebut juga sebagai kesehatan maternal, merupakan bagian dari kesehatan reproduksi perempuan yang mencakup kesehatan reproduksi sejak remaja, saat sebelum hamil, hamil, persalinan, dan sesudah melahirkan.

Pasal 126 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Dalam kurun waktu 2 (dua) dekade terakhir, penurunan angka kematian ibu belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus.

Negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, larangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tetapi kenyataannya, tindakan aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan.

Pada kondisi berbeda akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Dan kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi.

Mengenai tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan. Dengan informasi dan edukasi tersebut, diharapkan dapat menurunkan kejadian premarital seks, seks bebas serta angka kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menjurus ke aborsi dan infeksi menular seksual termasuk penularan HIV dan AIDS.

Dalam dunia kedokteran, penanganan masalah infertilitas dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Pilihan terakhir untuk membantu pasangan suami istri dengan masalah infertilitas dan sangat menginginkan keturunan adalah melalui teknologi yang dikenal sebagai assisted reproduction. Assisted reproduction merupakan istilah umum untuk berbagai metode yang bertujuan untuk menghasilkan kehamilan pada seorang perempuan melalui cara-cara di luar cara alami. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur mengenai hal tersebut yaitu Pasal 74 dan Pasal 127.

Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan diluar cara alamiah berkembang sebagai pemecahan terhadap permasalahan infertilitas. Pada awalnya teknologi tersebut muncul untuk membantu pasangan suami istri yang benar-benar membutuhkan bantuan untuk mendapatkan keturunan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan ilmu-ilmu pendukungnya, teknologi ini berkembang begitu pesat. Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah tidak sekedar prosedur mempertemukan spermatozoa dengan ovum agar terjadi pembuahan serta prosedur pemindahan zygot atau embrio tetapi telah berkembang beberapa prosedur yang perlu dikaji secara etik, moral, dan hukum seperti frozen embryo, fetal reduction, donor sperma, surrogate mother, dan sex selection. Bahkan saat ini telah dikenal teknik human cloning yang merupakan teknologi reproduksi manusia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang reproduksi manusia yang begitu pesat, tidak dapat diimbangi kecepatannya oleh hukum untuk mengatur pelaksanaannya. Hukum harus dengan tegas memberikan batasan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dalam pelaksanaan pelayanan reproduksi dengan bantuan agar apa yang pada awalnya ditujukan untuk kebaikan tidak menimbulkan efek, atau hal-hal lain yang menyertai, yang sebenarnya tidak diperbolehkan, seperti fetal reduction.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan pada tindakan aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan di luar cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini mengatur:

  1. tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah;
  2. pelayanan kesehatan ibu;
  3. indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi;
  4. reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah;
  5. pendanaan; dan
  6. pembinaan dan pengawasan.

Berikut adalah isi dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kespro dalam format tidak asli:

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
  2. Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
  3. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan kepada remaja dalam rangka menjaga kesehatan reproduksi.
  4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada suatu rangkaian organ, interaksi organ, dan zat dalam tubuh manusia yang dipergunakan untuk berkembang biak.
  5. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada perempuan sejak saat remaja hingga saat sebelum hamil dalam rangka menyiapkan perempuan menjadi hamil sehat.
  6. Pelayanan Kesehatan Masa Hamil adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan sejak terjadinya masa konsepsi hingga melahirkan.
  7. Pelayanan Kesehatan Masa Melahirkan, yang selanjutnya disebut Persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam sesudah melahirkan.
  8. Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada ibu selama masa nifas dan pelayanan yang mendukung bayi yang dilahirkannya sampai berusia 2 (dua) tahun.
  9. Pelayanan Kesehatan Seksual adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan pada kesehatan seksualitas.
  10. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah adalah upaya memperoleh kehamilan di luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan seksual antara suami dan istri apabila cara alami tidak memperoleh hasil.
  11. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Ruang lingkup pengaturan Kesehatan Reproduksi dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:

  1. pelayanan kesehatan ibu;
  2. indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi; dan
  3. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.

Pasal 3

Pengaturan Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk:

  1. menjamin pemenuhan hak Kesehatan Reproduksi setiap orang yang diperoleh melalui pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan; dan
  2. menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi agar mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.

Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama menjamin terwujudnya Kesehatan Reproduksi.

Pasal 5

Pemerintah bertanggung jawab terhadap:

  1. penyusunan kebijakan upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
  2. penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau serta obat dan alat kesehatan yang menunjang pelayanan kesehatan reproduksi;
  3. pembinaan dan evaluasi manajemen Kesehatan Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
  4. pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup nasional dan lintas provinsi; dan
  5. koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di bidang kesehatan, serta pendanaan penyelenggaraan upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup nasional dan lintas provinsi.

Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab terhadap:

  1. penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan, program, bimbingan, dan koordinasi di bidang Kesehatan Reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi;
  2. pembinaan dan evaluasi manajemen program Kesehatan Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi sesuai standar dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi;
  3. pengelolaan, koordinasi dan pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi;
  4. pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan di rumah sakit lingkup provinsi;
  5. penyediaan buffer stock obat essensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program Kesehatan Reproduksi dalam lingkup provinsi;
  6. koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan penyelenggaraan upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi; dan
  7. pengelolaan audit maternal perinatal lingkup provinsi.

Pasal 7

Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap:

  1. penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan kesehatan reproduksi di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan lingkup kabupaten/kota;
  2. penyelenggaraan manajemen Kesehatan Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sesuai standar dalam lingkup kabupaten/kota;
  3. penyelenggaraan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota termasuk fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan milik pemerintah dan swasta;
  4. pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan di rumah sakit lingkup kabupaten/kota;
  5. pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan perawat di seluruh Puskesmas di kabupaten/kota;
  6. pemetaan dan penyediaan tenaga bidan di desa bagi seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota, termasuk penyediaan rumah dinas atau tempat tinggal yang layak bagi bidan di desa;
  7. penyediaan obat essensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program kesehatan reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota;
  8. penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota; dan
  9. penyelenggaraan audit maternal perinatal lingkup kabupaten/kota.

  1. Setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
  2. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedini mungkin dimulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik.
  3. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan melalui:
    1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja;
    2. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan Sesudah Melahirkan;
    3. pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi dan kesehatan seksual; dan
    4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
  4. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
  1. Pelayanan kesehatan ibu yang diselenggarakan melalui pendekatan promotif dan preventif dilakukan oleh tenaga kesehatan dan/atau tenaga nonkesehatan terlatih.
  2. Pelayanan kesehatan ibu yang diselenggarakan melalui pendekatan kuratif dan rehabilitatif harus dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
  1. Dalam rangka menjamin kesehatan ibu, pasangan yang sah mempunyai peran untuk meningkatkan kesehatan ibu secara optimal.
  2. Peran pasangan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. mendukung ibu dalam merencanakan keluarga;
    2. aktif dalam penggunaan kontrasepsi;
    3. memperhatikan kesehatan ibu hamil;
    4. memastikan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan;
    5. membantu setelah bayi lahir;
    6. mengasuh dan mendidik anak secara aktif;
    7. tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga; dan
    8. mencegah infeksi menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).

  1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja bertujuan untuk:
    1. mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi; dan
    2. mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggung jawab.
  2. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja diberikan dengan menggunakan penerapan pelayanan kesehatan peduli remaja.
  3. Pemberian Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja harus disesuaikan dengan masalah dan tahapan tumbuh kembang remaja serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, mempertimbangkan moral, nilai agama, perkembangan mental, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan melalui pemberian:
    1. komunikasi, informasi, dan edukasi;
    2. konseling; dan/atau
    3. pelayanan klinis medis.
  2. Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi materi:
    1. pendidikan keterampilan hidup sehat;
    2. ketahanan mental melalui ketrampilan sosial;
    3. sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
    4. perilaku seksual yang sehat dan aman;
    5. perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
    6. keluarga berencana; dan
    7. perilaku berisiko lain atau kondisi kesehatan lain yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi.
  3. Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan, konselor dan konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya.
  4. Pelayanan klinis medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk deteksi dini penyakit/screening, pengobatan, dan rehabilitasi.
  5. Pemberian materi komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui proses pendidikan formal dan nonformal serta kegiatan pemberdayaan remaja sebagai pendidik sebaya atau konselor sebaya.

  1. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil bertujuan untuk mempersiapkan perempuan dalam menjalani kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat, serta memperoleh bayi yang sehat.
  2. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
    1. pemeriksaan fisik;
    2. imunisasi; dan
    3. konsultasi kesehatan.
  3. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil berupa pemeriksaan fisik dan imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b harus dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
  4. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil berupa konsultasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangannya dan/atau tenaga nonkesehatan terlatih.
  1. Pelayanan Kesehatan Masa Hamil diberikan dalam bentuk pelayanan antenatal.
  2. Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan janin serta mencegah komplikasi pada masa kehamilan, persalinan, dan sesudah melahirkan.
  3. Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai standar secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali selama masa kehamilan.
  4. Pelayanan antenatal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
  1. Pelayanan antenatal diberikan secara terpadu dengan pelayanan kesehatan lainnya untuk mendeteksi faktor risiko dan penyulit yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu serta janin.
  2. Setiap ibu hamil dengan faktor risiko dan penyulit wajib dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi risiko dan penyulit.
  3. Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Setiap ibu berhak atas Persalinan yang aman dan bermutu.
  2. Persalinan yang aman dan bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. pencegahan infeksi;
    2. pemantauan dan deteksi dini adanya faktor risiko dan penyulit;
    3. pertolongan persalinan yang sesuai standar;
    4. melaksanakan inisiasi menyusu dini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    5. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu dan tepat waktu.
  3. Persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan di fasilitas pelayanan kesehatan.
  4. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dijangkau, Persalinan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
  1. Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan meliputi:
    1. pelayanan nifas;
    2. pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu Ekslusif; dan
    3. pelayanan pola asuh anak dibawah 2 (dua) tahun.
  2. Pelayanan nifas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan berupa promosi kesehatan, deteksi dini gangguan kesehatan fisik dan mental, serta pencegahan dan penanganannya oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
  3. Pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu Ekslusif dan pola asuh anak dibawah 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa pemberian informasi dan edukasi melalui penyuluhan, konseling, dan pendampingan.
  4. Pelayanan yang mendukung pemberian Air Susu Ibu Ekslusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Pelayanan Kesehatan Masa Hamil, Persalinan, dan Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

  1. Pelayanan pengaturan kehamilan dilakukan berupa pemberian:
    1. komunikasi, informasi, dan edukasi melalui penyuluhan; dan/atau
    2. konseling.
  2. Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan membantu pasangan dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk melahirkan, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak.
  3. Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penyelenggaraan program keluarga berencana.
  1. Setiap orang berhak mendapatkan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang keluarga berencana.
  2. Komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan siklus kehidupan manusia.
  1. Pelayanan kontrasepsi diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
  2. Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan sumber daya manusia, logistik, pendanaan, dan alat kontrasepsi.
  3. Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya manusia, logistik, pendanaan, dan alat kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  1. Setiap orang berhak memilih metode kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan.
  2. Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama.
  3. Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa pelayanan kontrasepsi dengan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Implant, dan Metode Operasi Wanita (MOW)/Metode Operasi Pria (MOP) harus dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan.
  1. Setiap pasangan yang sah harus mendukung pilihan metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
  2. Setiap pasangan yang sah harus berpartisipasi dalam penggunaan metode kontrasepsi.
  1. Pelayanan kontrasepsi darurat diberikan pada ibu yang tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.
  2. Pemberian kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai standar.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 26

  1. Setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
  2. Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehidupan seksual yang:
    1. terbebas dari infeksi menular seksual;
    2. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;
    3. terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
    4. mampu mengatur kehamilan; dan
    5. sesuai dengan etika dan moralitas.

Pasal 27

  1. Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan melalui:
    1. keterampilan sosial;
    2. komunikasi, informasi, dan edukasi;
    3. konseling;
    4. pengobatan; dan
    5. perawatan.
  2. Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara terpadu oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29

  1. Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual.
  2. Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. upaya perlindungan dan penyelamatan korban;
    2. upaya forensik untuk pembuktian; dan
    3. identifikasi pelaku.
  3. Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang
    2. pengobatan luka dan/atau cedera;
    3. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual;
    4. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;
    5. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan
    6. rehabilitasi psikososial.
  4. Ketentuan mengenai penanganan korban kekerasan seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian KelimaPelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi

Pasal 30

  1. Setiap perempuan berhak atas Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi.
  2. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melindungi organ dan fungsi reproduksi agar terbebas dari gangguan, penyakit atau kecacatan pada perempuan.
  3. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan tahapan siklus reproduksi perempuan sesuai standar.

  1. Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
    1. indikasi kedaruratan medis; atau
    2. kehamilan akibat perkosaan.
  2. Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
  1. Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi:
    1. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau
    2. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
  2. Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
  1. Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
  2. Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
  3. Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
  4. Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
  1. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
    1. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
    2. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
  1. Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
  2. Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
    2. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri;
    3. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
    4. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
    5. tidak diskriminatif; dan
    6. tidak mengutamakan imbalan materi.
  3. Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
  4. Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
  1. Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
  2. Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
  3. Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
  1. Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
  2. Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
  3. Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
    1. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
    2. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
    3. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
    4. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
    5. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
  4. Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
    1. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
    2. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
    3. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
    4. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
  1. Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
  2. Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga.
  3. Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

  1. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah hanya dapat dilakukan pada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.
  2. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
  3. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama.
  4. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

Pasangan suami isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) yang ingin menggunakan pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus memenuhi persyaratan meliputi:

  1. telah dilakukan pengelolaan infertilitas dengan tepat;
  2. terdapat indikasi medis;
  3. memahami prosedur konsepsi buatan secara umum;
  4. mampu/cakap memberikan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent);
  5. mampu membiayai prosedur yang dijalani;
  6. mampu membiayai persalinan dan membesarkan bayinya; dan
  7. cakap secara mental.

Pasal 42

  1. Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus didahului dengan konseling dan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent).
  2. Konseling dan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengelolaan lebih lanjut terhadap kelebihan embrio.
  3. Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sebelum dan sesudah mendapatkan pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.
  4. Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
  5. Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

  1. Kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh manusia (ferlilisasi invitro) yang tidak ditanamkan pada rahim harus disimpan sampai lahirnya bayi hasil Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.
  2. Penyimpanan kelebihan embrio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang setiap 1 (satu) tahun atas keinginan pasangan suami istri untuk kepentingan kehamilan berikutnya.
  3. Kelebihan embrio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ditanam pada:
    1. rahim ibu jika ayah embrio meninggal atau bercerai; atau
    2. rahim perempuan lain.
  4. Dalam hal pasangan suami istri pemiliknya tidak memperpanjang masa simpan kelebihan embrio, fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus memusnahkan kelebihan embrio.

Pasal 44

Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah dilarang untuk tujuan memilih jenis kelamin anak yang akan dilahirkan kecuali dalam hal pemilihan jenis kelamin untuk anak kedua dan selanjutnya.

Pasal 45

  1. Pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah harus dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi persyaratan, standar, dan memiliki izin dari Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 46

  1. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah wajib membuat pencatatan dan pelaporan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan dinas kesehatan provinsi.
  2. Setiap pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIPENDANAAN

Pasal 47

Pendanaan Kesehatan Reproduksi dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber lain yang sah yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian KesatuPembinaan

Pasal 48

Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu, aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, dan Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.

Pasal 49

  1. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditujukan untuk:
    1. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses pelayanan Kesehatan Reproduksi;
    2. menggerakkan dan melaksanakan pelayanan Kesehatan Reproduksi;
    3. memfasilitasi dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan;
    4. memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan reproduksi sesuai dengan standar dan persyaratan; dan
    5. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya dan kesehatan dalam pelayanan kesehatan reproduksi.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
    1. komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat;
    2. pendayagunaan tenaga kesehatan; dan
    3. dukungan pendanaan.

Bagian KeduaPengawasan

Pasal 50

  1. Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap setiap penyelenggara pelayanan kesehatan reproduksi.
  2. Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam melaksanakan pengawasan dapat mengikutsertakan organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan yang terkait.

Pasal 51

  1. Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 39, Pasal 40 ayat (4), Pasal 43 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 44, dan Pasal 46 sesuai dengan kewenangan masing-masing.
  2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. teguran tertulis;
    2. denda administratif;
    3. pencabutan izin sementara; dan/atau
    4. pencabutan izin tetap.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 52

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2014
 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2014
 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd

AMIR SYAMSUDIN

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 169

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro)