Apa yang diresahkan masyarakat tentang lgbt

#HRCFellow – Indonesia di mata dunia terkenal dengan negara yang memiliki sistem demokrasi yang sangat baik, namun dengan demokrasi ini justru memicu timbulnya intoleransi yang tak terbelenggu, tak terkecuali tindakan intoleransi besar-besaran terhadap kaum minoritas seperti kaum LGBT.

LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Di Indonesia khususnya di beberapa daerah tertentu umumnya menolak keras keberadaan LGBT. Maka ketika membicarakan mengenai hak-hak dasar warga negara, komunitas LGBT banyak menemukan kesulitan dan benturan sosial. Terlebih lagi jika kita melihat adat istiadat di Indonesia dan masyarakat yang berpegang teguh kepada doktrin keagamaan yang konservatif. Kaum LGBT dan mereka yang menyuarakan hak-hak dasar komunitas kaum LGBT seringkali dianggap sebagai perusak agama dan penyebab turunnya azab Tuhan. Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat yang membenci, menolak, takut, merasa jijik, bahkan mengucilkan dan menjauhi orang-orang LGBT.

Fenomena ini membuktikan dengan jelas bahwa masyarakat Indonesia sulit memberikan ruang untuk pemenuhan hak-hak kelompok LGBT ini sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Berbagai pelanggaran HAM mereka dapati, mulai dari kekerasan verbal seperti cibiran, hingga kekerasan fisik seperti disiram air, ditelanjangi, bahkan dibunuh masih terjadi, apalagi mereka yang dari kalangan transgender atau waria.

Kasus Diskriminasi LGBT di Indonesia

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus LGBT di Indonesia, yang bahkan beberapa di antaranya disoroti oleh negara lain:

  1. Kasus hukum cambuk pasangan gay di Aceh

Pada tahun 2017 kemarin, terdakwa pasangan gay berinisial MH (20) dan pasangannya, MT (24), menjalani hukuman cambuk 80 kali cambukan di depan umum. Pasangan itu didakwa melanggar Pasal 63 ayat 1 juncto Pasal 1 angka 28 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 mengenai hukum jinayah yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan liwath diancam hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Kasat Pol PP dan WH Kota Banda Aceh, Yusnardi, menyatakan kasus liwath atau hubungan sesama jenis itu baru pertama kali ditemukan setelah Qanun (Peraturan Daerah di Aceh) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah mulai berlaku. Kejadian ini disorot media asal Inggris, BBC. Mereka menulis artikel berjudul ‘No place to hide for LGBT people in Indonesia’s Aceh province.’

  1. Kasus pernikahan gay di Bali

Pada September 2015, warga Bali dihebohkan dengan pernikahan pasangan dua pria dengan beda warga negara di sebuah hotel di daerah Ubud Kabupaten Gianyar, Bali. Pernikahan itu dihadiri seorang pemangku (pemimpin upacara agama Hindu) dan dihadiri oleh kedua orang tua salah satu mempelai pasangan sejenis itu.

Tindakan pasangan ini membuat Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, naik pitam. Made Mangku menegaskan bahwa hal itu sangat dilarang, apalagi menurut agama Hindu. “Ndak boleh itu, di mana itu. Menurut agama Hindu sangat dilarang itu. Makannya pengin tahu di mana persisnya lalu kita tegur. Kita sampaikan ke Majelis Desa Pakraman atau Majelis Desa Madya. Saya kira itu benar-benar satu aib lagi,” kata Made Mangku.

Berita ini mengundang kontroversi bagi pemberitaan dari media asing. Salah satunya berasal dari Australia, News.com.au. Dalam satu artikelnya, media ini menuliskan judul ‘Controversy after gay marriage wedding in Bali’ sebagai tajuk pemberitaannya. Dituliskan dalam artikel itu, kemungkinan besar pasangan itu berasal dari Amerika Serikat dan Indonesia.

  1. Penggerebekan pesta gay di Jakarta

Pada tahun 2017, terjadi penggerebekan pesta gay di Jakarta. Penggerebekan 141 pria diduga homoseksual, di ruko yang diduga sebagai lokasi pesta seks gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara menjadi sorotan dunia.

Media asing dari beberapa negara turut menyoroti peristiwa tersebut. Dari Asia, Media Singapura, New Straits Times, menulis artikel tersebut dengan judul ‘Indonesian police arrest 141 men in Jakarta over ‘gay party’. Dari Australia, ABC News, melaporkan insiden itu dengan ‘Indonesia police arrest dozens in raid on Jakarta gay sauna’. Media Amerika Serikat, New York Times, mengutip media ini dengan judul ‘Indonesia Police Arrest 141 Men Accused of Having Gay Sex Party’. Sementara BBC, dalam artikel berjudul ‘Indonesian police arrest 141 men over ‘gay sex party’, mengupas berita ini, termasuk biaya Rp 185 ribu yang harus dibayar para pengunjung yang juga datang dari Singapura dan Inggris. Sedangkan media Inggris lainnya, The Guardian, memuat artikel ‘Indonesian police arrest more than 140 men at alleged gay sauna party’.

Selain 3 kasus tersebut, masih banyak sekali kasus–kasus diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia.

Juru bicara Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, Rupert Colville, menyatakan hukum di Indonesia tidak adil karena para pelaku LGBT yang ditangkap tidak terlibat tindak kejahatan apapun. Menurut Colville, kaum LGBT di Indonesia ditangkap hanya karena orientasi seksualnya dan dijerat dengan undang-undang antipornografi yang selalu digunakan untuk menjerat penyuka sesama jenis.

Colville menegaskan memperlakukan pelaku LGBT seperti penjahat hanya karena orientasi seksualnya atau gender melanggar hukum internasional. Menurutnya, itu sama saja merendahkan martabat mereka sebagai manusia, pemaksaan menjalani pemeriksaan medis juga merupakan bentuk perlakuan kejam dan tidak manusiawi, apalagi mereka selalu dituduh terlibat pelacuran, yang dalam kenyataannya tidak terbukti.

Lalu bagaimanakah cara mengatasinya?

Pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan LGBT yang juga adalah warga negara Indonesia. Diskriminasi muncul karena tidak ada peran negara. Kemudian, undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan kaum LGBT harus direvisi dan tentunya jugajangan biarkan kelompok LGBT berjuang mempertahankankan hak-haknya sendirian, dalam kesunyian. Mereka adalah teman kita, saudara kita: mereka adalah kita. Tidak boleh ada orang yang masuk penjara karena berbeda orientasi seksualnya dan identitas gendernya. Dukungan sepenuhnya harus kita berikan kepada kelompok LGBT dari kriminalisasi.

Penulis: Suleman Editor: Nindhitya Nurmalitasari

*Artikel opini dalam seri #HRCFellow ditulis oleh peserta Human Rights Cities Youth Fellowship 2. Artikel merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap atau pendapat INFID.

LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual dan transeksual. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an yang mewakili semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual dan transgender.  Orientasi seksual dari LGBT yang terdiri dari tiga komponen yaitu perilaku, identitas dan keinginan. Ketiga komponen ini tidak kongruen dalam setiap individu. Misalnya individu memiliki perilaku seksual sesama jenis namun beberapa hanya menunjukkan ketertarikan sesama jenis tetapi tidak aktif secara seksual (Ard dan Makadon, 2012).

Menjadi LGBT tidaklah mudah. Banyak masalah yang dialami diantaranya penyakit terkait perilaku seks, pemakaian narkoba, depresi, stigma dan diskriminasi. Terkait permasalahan narkoba, penelitian menunjukan individu LGBT memiliki angka yang tinggi dalam penggunaan dan ketergantungan zat dibanding populasi pada umumnya. Internalisasi dari rasa malu, stigma, dan sikap negatif dari masyarakat menjadi perhatian terhadap masalah kesehatan mental. Lesbian dan biseksual wanita lebih banyak dilaporkan menderita gangguan depresif dan transgender memiliki angka tinggi dalam ide untuk bunuh diri (Wilkinson, 2009).

Kesehatan jiwa klien LGBT yang menggunakan narkoba mempunyai stressor yang bertambah meliputi perjuangan untuk mengukuhkan identitas seksual atau gendernya; konflik batin yang datang dari teman dan keluarganya; ketakutan menghadapi stigma, prasangka, dan kekerasan. Stigma didefinisikan sebagai tanda ‘aib’ yang dihubungkan dengan kondisi, kualitas dan orang tertentu. Stigma berdasar pada asumsi dan diekspresikan melalui tindakan bahkan diskriminatif yang secara langsung berdampak pada kesejahteraan individu dan komunitas Perlakuan negatif atau persepsi kelompok oleh masyarakat, penyedia layanan kesehatan, anggota masyarakat, dan keluarga dapat mempengaruhi pandangan hidup seseorang, akses ke sumber daya dan dukungan, dan berdampak pada kesejahteraan, kesehatan dan peluang pembangunan di masa depan.

Stigmatisasi pada klien LGBT memiliki relasi dengan kerentanan yaitu situasi ketiadaan atau kelemahan dalam ikatan komunitas yang berdampak pada masalah penggunanan zat dan masalah lainnya. Selain itu, dampak dari diskriminasi dan stigmatisasi adalah adanya stress minoritas yaitu level stress kronis yang dihadapi oleh kelompok minoritas yang terstigmatisasi (Herek, 2009).

Penggunaan narkoba di kalangan LGBT mempunyai karakteristik masing-masing. Berdasarkan penelitian dari Rahim dkk (2014), lingkungan komunitas gay menjadi sarana dalam pengkonsumsian tramadol dan somadril yang didapatkannya ketika kumpul bersama komunitas dan juga mengakibatkan hubungan seks yang berisiko, karena dampak dari penggunaan obat-obatan tersebut yaitu bisa menyebabkan penggunannya mabuk atau lupa diri. Dibble & Robertson (2010) menyatakan lesbian lebih sering menggunakan zat/ alkohol daripada wanita heteroseksual. Hal ini disebabkan lesbian kerap stress menghadapi homophobia (rasa takut pada kaum LGBT) dan merasakan  diskriminasi. Gangguan penggunaan zat pada transgender berhubungan erat dengan depresi (Nuttbrock dkk, 2014), Post traumatic stress disorder (Rowe dkk, 2015), pekerja seks (Hoffman, 2014) dan diskriminasi gender (Rowe dkk, 2015).

Berdasarkan paparan penelitian di atas terkait kondisi klien LGBT yang juga memiliki gangguan penggunaan zat, perhatian dari masyarakat khususnya professional di bidang adiksi sangat dibutuhkan. Kesulitan mengakses layanan kesehatan sebagai dampak dari adanya stigma dan diskriminasi menjadi kendala dalam mencapai pemulihan. Hak asasi manusia dalam masalah ini harus disetarakan terlepas dari adanya isu agama dan budaya sehingga klien LGBT mendapat hak yang sama untuk mendapat perlakuan yang baik dan dapat mengakses layanan kesehatan.

Daftar Pustaka:

DAP Colombo Plan. (2021). The Intersection of Substance Use, Sexual Orientation and Gender Identity (SOGI) Modul Participant.

Rahim, Fisranudin; Thaha, Ridwan M.; Natsir, Sudirman. (2014). Penyalahgunaan Obat Tramadol dan Somadril terhadap Perilaku Seks Berisiko Komunitas Gay kota Makassar. Makasar : Universitas Hasanudin

Terkait