Apakah yang menjadi perhatian utama politik luar negeri Indonesia pada awal reformasi

Jakarta, Humas LIPI. Dua dekade Reformasi merupakan periode penting yang patut dikaji sebagai pijakan awal untuk melihat kiprah yang telah dibangun Indonesia seiring perubahan rezim. Salah satunya adalah pada level hubungan antarnegara. Hal inilah yang dituangkan oleh delapan peneliti bidang perkembangan politik internasional Pusat Penelitian Politik LIPI dalam buku terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia dengan judul “Potret Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi. “Buku bunga rampai yang terdiri atas tujuh bab ini membahas kiprah politik Indonesia setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi”, jelas Nuke, dalam webinar diskusi Potret Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi, pada Selasa 29/9.

Nuke menjelaskan, perjalanan politik luar negeri Indonesia baik di era Reformasi maupun sesudahnya tidak luput dari tantangan yang dihadapi. Beberapa diantaranya dapat dilihat dari aspek normatif, kelembagaan, dan strategis dalam kaitannya dengan keterlibatan Indonesia di tingkat global. “Potret politik luar negeri Indonesia tidak saja sekadar potret yang diam, melainkan akan terus meniti jalan panjang dalam balutan politik bebas aktif,” tutur Nuke.

Diketahui bersama, sejak era Reformasi pasca-tumbangnya Orde Baru terjadi sebuah babak baru kehidupan bernegara di Indonesia yang menuntut keberpihakan pada aspirasi rakyat seiring demokratisasi. Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Siswanto menjelaskan bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia di era Reformasi dibagi ke dalam dua era, yaitu transisi dan stabil. Pada era transisi, menurut Siswanto, kepala negara masih memfokuskan perhatian pada penyelesaian isu domestik, yaitu keamanan,  integrasi, dan ekonomi. Politik luar negeri cenderung bersifat inward looking dan condong pada diplomasi bilateral. Kemudian pada era stabil yang dimulai sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono dan berlanjut di bawah Presiden Joko Widodo, politik luar negeri lebih mengarah pada outward looking policy. “Kedua presiden ini melakukan diplomasi bilateral dan multilateral”, jelas Siswanto.

Pembicara kedua, Hamdan Basyar, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, lebih lanjut memaparkan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan pada relasi Indonesia dengan Palestina. Menurut Hamdan, selama dua dekade reformasi ini, dukungan Indonesia terhadap Palestina tetap tinggi, hanya berbeda dalam cara memberikan dukungan. Namun, sejak era Orde Baru hingga Reformasi saat ini, dukungan Indonesia terhadap Palestina maupun hubungan baik Indonesia dengan kawasan Timur Tengah dan Dunia Islam tidak menjadikan ‘faktor Islam’, sebagai pertimbangan utama. “Politik luar negeri Indonesia yang lebih mendukung Palestina dan anti-Israel adalah dalam rangka untuk menolak Israel yang masih menjajah Palestina, ujar Hamdan.

Pembicara lain yang juga peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Agus R. Rahman, menyoroti kebijakan politik negara yang dikaitkan dengan geografi wilayah. Menurutnya, posisi geopolitik merujuk pada hubungan politik dan teritori dalam skala lokal atau internasional. “Indonesia sebagai negara kepulauan dan sekaligus sebagai silang dunia yang meletakkan Selat Malaka sebagai lokus utamanya telah disadari secara mendasar, baik dari sisi kesejahteraan maupun sisi United Nations Conventions on the Law of the Sea [UNCLOS 1982]”, terang Agus.

“Sayangnya, dari sisi kebijakan, posisi Selat Malaka belum menjadi hal yang utama, walau Indonesia telah mempunyai konsep Poros Maritim Dunia atau PMD,” kata Agus. Menurutnya, implementasi PMD diharapkan akan menjamin pencapaian ambisi Indonesia sebagai negara maritim yang aman, maju, modern, demokratis, dan sejahtera dengan dukungan perekonomian maritim dan pertahanan/keamanan maritim yang handal. [swa/ed:mtr]

Dua dekade Reformasi merupakan periode penting yang patut dikaji sebagai pijakan awal untuk melihat kiprah yang telah dibangun Indonesia seiring perubahan rezim. Salah satunya adalah pada level hubungan antarnegara. Hal inilah yang dituangkan oleh delapan peneliti bidang perkembangan politik internasional Pusat Penelitian Politik LIPI dalam buku terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia dengan judul “Potret Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi. “Buku bunga rampai yang terdiri atas tujuh bab ini membahas kiprah politik Indonesia setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi”, jelas Nuke, dalam webinar diskusi Potret Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi, pada Selasa 29/9.

Nuke menjelaskan, perjalanan politik luar negeri Indonesia baik di era Reformasi maupun sesudahnya tidak luput dari tantangan yang dihadapi. Beberapa diantaranya dapat dilihat dari aspek normatif, kelembagaan, dan strategis dalam kaitannya dengan keterlibatan Indonesia di tingkat global. “Potret politik luar negeri Indonesia tidak saja sekadar potret yang diam, melainkan akan terus meniti jalan panjang dalam balutan politik bebas aktif,” tutur Nuke.

Diketahui bersama, sejak era Reformasi pasca-tumbangnya Orde Baru terjadi sebuah babak baru kehidupan bernegara di Indonesia yang menuntut keberpihakan pada aspirasi rakyat seiring demokratisasi. Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Siswanto menjelaskan bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia di era Reformasi dibagi ke dalam dua era, yaitu transisi dan stabil. Pada era transisi, menurut Siswanto, kepala negara masih memfokuskan perhatian pada penyelesaian isu domestik, yaitu keamanan, integrasi, dan ekonomi. Politik luar negeri cenderung bersifat inward looking dan condong pada diplomasi bilateral. Kemudian pada era stabil yang dimulai sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono dan berlanjut di bawah Presiden Joko Widodo, politik luar negeri lebih mengarah pada outward looking policy. “Kedua presiden ini melakukan diplomasi bilateral dan multilateral”, jelas Siswanto.

Pembicara kedua, Hamdan Basyar, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, lebih lanjut memaparkan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan pada relasi Indonesia dengan Palestina. Menurut Hamdan, selama dua dekade reformasi ini, dukungan Indonesia terhadap Palestina tetap tinggi, hanya berbeda dalam cara memberikan dukungan. Namun, sejak era Orde Baru hingga Reformasi saat ini, dukungan Indonesia terhadap Palestina maupun hubungan baik Indonesia dengan kawasan Timur Tengah dan Dunia Islam tidak menjadikan ‘faktor Islam’, sebagai pertimbangan utama. “Politik luar negeri Indonesia yang lebih mendukung Palestina dan anti-Israel adalah dalam rangka untuk menolak Israel yang masih menjajah Palestina, ujar Hamdan.

Pembicara lain yang juga peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Agus R. Rahman, menyoroti kebijakan politik negara yang dikaitkan dengan geografi wilayah. Menurutnya, posisi geopolitik merujuk pada hubungan politik dan teritori dalam skala lokal atau internasional. “Indonesia sebagai negara kepulauan dan sekaligus sebagai silang dunia yang meletakkan Selat Malaka sebagai lokus utamanya telah disadari secara mendasar, baik dari sisi kesejahteraan maupun sisi United Nations Conventions on the Law of the Sea [UNCLOS 1982]”, terang Agus.

“Sayangnya, dari sisi kebijakan, posisi Selat Malaka belum menjadi hal yang utama, walau Indonesia telah mempunyai konsep Poros Maritim Dunia atau PMD,” kata Agus. Menurutnya, implementasi PMD diharapkan akan menjamin pencapaian ambisi Indonesia sebagai negara maritim yang aman, maju, modern, demokratis, dan sejahtera dengan dukungan perekonomian maritim dan pertahanan/keamanan maritim yang handal.

Artikel ini akan membahas mengenai politik luar negeri indonesia, politik luar negeri bebas aktif, pelaksanaan politik luar negeri indonesia, pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, pelaksanaan politik luar negeri, masa reformasi, politik luar negeri era reformasi.


Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi akibat transisi pemerintahan. 

Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. 

Politik luar negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.

Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J.Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. 

Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds [IMF] dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor-Timur dari NKRI. 

Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. 

Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. 

Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua dan isu perbaikan ekonomi.

Diplomasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. 

Ancaman integrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan diprioritaskan. 

Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk dan kondusif. 

Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang agak stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.

Belajar dari pemerintahan presiden yang sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945.

Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.

Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. 

Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.

Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] dilantik menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY merupakan Presiden Indonesia pertama yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung.

SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. 

Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. 

Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. 

Indonesia tidak pandang bulu bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia. Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:

  1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain [Jepang, China, India, dll].
  2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahanperubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri [internasional].
  3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja [baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional] yang bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
  4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya. 

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề