Bagaimana cara menanggulangi rusaknya terumbu karang di wilayah perairan laut Indonesia?

Jakarta, Humas LIPI. Tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] dari Pusat Penelitian Oseanografi melihat kerusakan terumbu karang yang berakibat buruk bagi ekosistem laut masih terus terjadi belakangan ini. Kendati beragam upaya telah dilakukan pemerintah dan stakeholders terkait perbaikannya, namun pemerintah perlu lebih mempergencar lagi upaya itu. Utamanya, pemulihan kerusakan dengan budidaya terumbu karang.  

“Budidaya terumbu karang bisa menjadi solusi untuk memelihara ekosistem terumbu karang yang rusak. Budidaya perlu digalakkan agar kondisi terumbu karang di Indonesia tetap terjaga kelestariannya,” Kata Suharsono, peneliti senior Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dalam Media Briefing “Hasil-Hasil Riset Kelautan” usai pembukaan Oceanography Science Week [OSW] 2018, Selasa [20/2/2018], di Jakarta.

 

Kendati demikian, Suharsono menyebutkan bahwa kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya terumbu karang saat ini masih rendah. Selain itu, ditambah dengan kapabilitas dan kapasitas stakeholders terkait masin minim dalam budidaya terumbu karang. “Inilah yang perlu ditingkatkan dan diperhatikan oleh pemerintah,” sambungnya.

  Selain mempergencar budidaya terumbu karang, Suharsono juga mendorong agar semua pemangku kepentingan bahu-membahu dalam mengurangi faktor penyebab kerusakan terumbu karang. “Kesadaran bersama harus terus dipupuk agar terumbu karang tetap lestari,” tuturnya.   Selama ini, faktor signifikan penyebab kerusakan terumbu karang adalah perubahan iklim dan polusi akibat ulah manusia. Selain juga, faktor lain seperti penyakit, predasi maupun pemakaian alat tangkap nelayan yang juga merusak.   Intan Suci Nurhati, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menambahkan, terumbu karang yang telah rusak biasanya tumbuh dalam kondisi rentan osteoporosis, yang akhirnya menjadi rapuh. Kasus ini banyak terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta.   Untuk mengatasi permasalah ini, kata Intan, lagi-lagi faktor penyebab kerusakan perlu dicegah, terutama karena ulah manusia yang merusak ekosistem laut. Kesadaran akan pentingnya ekosistem laut perlu selalu ditumbuhkembangkan, salah satunya adalah dengan tidak membuang sampah ke laut.

 

  Beralih ke mikroplastik, Muhammad Reza Cordova, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI lainnya memperlihatkan bahwa sampah menjadi faktor signifikan dalam peningkatan polusi di laut. “Sekitar 32 persen sampah plastik masuk ke dalam ekosistem laut dan darat. Kemudian, sebanyak 40 persen berakhir di tempat pembuangan akhir dan hanya 2 persen saja yang mengalami proses daur ulang,” jelasnya.   Dikatakannya, sampah plastik yang masuk ke laut memiliki bahaya yang besar bagi ekosistem laut. “Misalnya, sampah plastik yang berukuran  5 mm atau disebut mikroplastik bisa menjadi makanan binatang laut atau ikan. Dan itu tentu membahayakan karena bisa menyebabkan kematian bagi binatang tersebut,” ungkapnya.   Contoh mikroplastik yang termakan binatang laut adalah pada penyu. Binatang ini tidak bisa membedakan antara plastik dengan ubur-ubur. “Masuknya plastik dalam organ penyu bisa merobek usus dan membuat binatang ini mati secara perlahan,” tutupnya. [lyr/ed: pwd,dig] 

Sumber : Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI

Sivitas Terkait : Prof.Dr. Suharsono

Sebagai wilayah peralihan antara daratan dan lautan, kawasan pesisir memiliki keunikan ekosistem yang sangat beragam dan bernilai ekonomis tinggi terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial ekonomi, tekanan terhadap kawasan pesisir pun semakin bertambah dan mengancam masa depan sektor kelautan dan perikanan. Sumber daya pesisir dan lautan merupakan salah satu potensi penting yang dimiliki Indonesia, mengingat sebagai negara kepulauan, 62 persen dari wilayah nasional merupakan lautan. Sementara luas wilayah pesisir diperkirakan mencapai dua pertiga dari luas daratannya. Sayangnya, potensi yang melimpah ini secara umum belum mampu meningkatkan perekonomian nasional. Kemiskinan masih dirasakan masyarakat. Terutama mereka yang menggantungkan mata pencarian pada bidang kelautan dan perikanan. Dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 Km, setidaknya ada 42 daerah kota dan 181 daerah kabupaten yang berada di daerah pesisir, di mana diperkirakan 70 persen dari penduduk Indonesia bermukim di kawasan ini dan 2,2 juta diantaranya berprofesi sebagai nelayan. M Zia Ul Haq, pemerhati pengelolaan pesisir dan Laut dari Coral Reaf Rehabilititation and Management Program Coral Triangle Initiative [Coremap CTI] mengatakan pada dasarnya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di berbagai daerah di Indonesia menghadapi persoalan sama. Mulai dari illegal fishing, destruktif fishing di mana praktik penangkapan ikan bersifat merusak lingkungan, konflik nelayan antar daerah hingga pengolahan hasil produksi perikanan dan lain sebagainya. Kondisi ini menurut Zia Ul Haq semakin diperburuk dengan menurunnya kualitas ekosistem terumbu karang dan berdampak pada menurunnya produksi hasil perikanan. "Hampir 60 persen kerusakan terumbu karang disebabkan faktor manusia. Sisanya faktor alam. Andil dominan manusia dalam perusakan terumbu karang mulai pembuangan limbah produksi tanpa proses awal, hingga perilaku wisatawan yang kurang mempedulikan kelangsungan terumbu karang. Termasuk penangkapan ikan secara berlebihan menggunakan alat tangkap yang merusak," tambahnya. Berdasarkan World Resources Institute [2011] penangkapan ikan secara berlebihan dan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan perairan dilaporkan memengaruhi 55 persen terumbu karang dunia. Luas terumbu karang Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 18 persen dari luas terumbu karang dunia. Namun, hingga akhir 2015, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] mencatat, kondisi terumbu karang di laut Indonesia hanya 27,01 persen yang kini berada dalam kondisi baik. Kerusakan terumbu karang tidak hanya memberikan pengaruh berupa penurunan keragaman hayati, tetapi juga berdampak sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir [nelayan] dengan menurunnya tangkapan ikan. Jamaludin misalnya, nelayan di Pulau Abang, Batam ini menceritakan buruknya kondisi perikanan saat ini. "Dulu, hasil tangkapan banyak. Cukup pakai pancing saja sudah banyak. Sekarang susah sekali," katanya. Rehabilitasi terumbu karang dan pengelolaan kawasan perairan yang berkelanjutan oleh masyarakat lokal menjadi langkah yang perlu diupayakan bersama untuk menjamin keberlangsungan sektor perikanan dan kelautan di Indonesia. Sejak lama, berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menangani pesisir. Salah satunya program yang digagas Cormap CTI. Hingga kini, setidaknya ada 16 kabupaten-kota yang terlibat dalam program ini. "Upaya yang kami lakukan adalah rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang untuk memberdayakan dan mendukung masyarakat pesisir untuk mengelola dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan sumber daya ikan yang berkelanjutan," kata Witono, Pejabat Pembuat komitmen Coremap CTI Kota Batam. Membangun kesadaran masyarakat, terutama masyarakat pesisir tentang nilai ekonomi jangka panjang dari lingkungan pesisir yang dikelola secara lestari bukanlah hal mudah. Pendidikan dan sosialisasi tentang pengelolaan pesisir yang lestari pun perlu dilakukan. Bahkan, sedari dini mungkin. Dimulai dari bangku sekolah. "Bahkan sampai sekarang, masih banyak yang belum paham apakah sebenarnya terumbu karang. Ini masuk hewan atau tumbuhan," kata M Zia Ul Haq saat melakukan sosialisasi tentang terumbu karang di SMA Negeri 10 Batam di Sijantung Galang, Kota Batam, beberapa waktu lalu. Sosialisasi ke sekolah, merupakan bagian dari program Cormap CTI untuk mulai membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi terumbu karang. Program bertajuk Lestarikan Terumbu Karang go to school ini, biasanya di mulai dengan memperkenalkan si umbu. Yakni maskot terumbu karang yang terbuat dari boneka dan digunakan untuk memperkenalkan kepada siswa apa itu terumbu karang. Pemutaran film tentang konservasi juga menjadi bagian dari sosialisasi agar murid-murid dapat lebih memahami konservasi terumbu karang dan dampaknya di masa depan.

Sementara beberapa murid di SMA Negeri 10 Batam yang ditemui mengaku mendapatkan pengalaman dan ilmu tentang terumbu karang. Meski tinggal di pulau, namun banyak siswa yang mengaku kurang memahami apa itu terumbu karang dan dampaknya. "Saya baru tahu kalau ternyata terumbu itu hewan," ujar Novi, siswa SMA Negeri 10 Batam.

Sumber : Koran Jakarta, edisi 29 November 2016. Hal: 14

Misalkan ketinggian wilayah soa 700 mdpal,suhu udaranya 23,5derajat celsius.berpakah suhu wilayah bajawa dan riung bila ketinggian bajawa 1500 mdpal d … an riung 200mdpal

Motif batik ceplok memiliki makna berkumpulnya semua hal baik. jelaskan hal baik apa saja yang dimaksud dalam makna motif batik teplok

Nama perlawanan, tokoh perlawanan, latar belakang, proses, akhir

Nilai guna suatu baraang yang berubah apa bila barang tersebut diolah dah berubah menjadi barang yang akan dikosumsi di sebut dengan

Air bersih bagi penduduk perkotaan khususnya Jakarta bukan lagi sebagai barang yang bebas diperoleh, hal ini disebabkanA.sudah di atur oleh pdamB.hany … a tersedia di tempat khususC.tidak ada tempat untuk sumurD.untuk memperolehnya harus dengan pengorbanan​

bantu jawab bang soAl Ips kelas 7​

Pada pemerintahan orde baru perekonia indonesia mengalami kemajuan yg cukup pesat apa sj yg hal hal yang mendukung kemajuan tersebut

Pada umumnya orang berbelanja selalu menawar harga yang lebih murah dari harga yang ditawarkan oleh penjual. perilaku tersebut didasarkan

Jika kita sudah terbiasa menjaga kerukunan dari lingkungan rumah, maka kita akan terbiasa melakukannya di lingkungan yang..a. lebih majub. lebih luasc … . lebih modernd. lebih sempittolong bantu ya kka ;]​

Pada peta tersebut, deskripsikan Secara singkat kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia​

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề