Bagaimana cara mengatasi sumber daya manusia yang tidak memadai dalam perdagangan internasional

Oleh:

ANTARA/Raisan Al Farisi Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan uji laboratorium limbah Sungai Citarum di Laboratorium Karakterisasi Material, Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI, Bandung, Jawa Barat, Senin (25/3/2019).

Bisnis.com, JAKARTA — Kerja sama riset berbasis inovasi antara perguruan tinggi dan dunia industri perlu dilakukan. 

Dalam Global Innovation Index 2019, posisi Indonesia dalam hal inovasi dikancah dunia berada di urutan 85, jauh dibawah negara Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. 

Dewan Kehormatan Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saefuddin mengatakan posisi Indonesia dalam Global Innovation Index menunjukkan kualitas SDM terutama di bidang kesehatan, pendidikan, riset, dan birokrasi pemerintahan. 

"Bila kita masih rendah berarti komponen itu masih jauh dari memadai. Itu yang jadi kendala indeks inovasi Indonesia masih di bawah," ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (25/7/2019). 

Untuk meningkatkan inovasi Indonesia, yang perlu dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan dan birokrasi yang berkaitan dengan riset serta pendidikan tinggi. 

"Saya merasa kehadiran SMK itu mubazir, tidak diperlukan. Bisa diganti dengan lembaga talenta. Di pendidikan menengah cukup SMA 2 tahun, terus program talenta 1 tahun. Program talenta ini berisi pendidikan IT dan talenta kreativitas," katanya. 

Peningkatan riset di perguruan tinggi harus dilakukan dengan basis outcome yang dapat menyumbang inovasi dan kebaharuan baru.  

Selama ini, riset diperguruan tinggi terlalu berbasis administrasi sehingga cenderung menghambat inovasi dan tidak menyumbang indeks inovasi. 

Selain itu yang perlu dilakukan yakni insentif pajak harus berkaitan dengan outcome based research. Namun, pemberian insentif ini harus dibarengi dengan perubahan birokrasi pada riset sehingga akan berdampak pada indeks inovasi Indonesia. 

"Perlu ada mandat riset bagi kampus besar yang sudah mapan. Riset tanpa mandat, negara tidak dapat apa-apa dan indeks inovasi Indonesia juga tidak akan berubah. Mandatkan kepada perguruan tinggi seperti IPB untuk riset pangan, ITB untuk teknologi informasi, kesehatan ke UI, dan kampus di Provinsi mandatkan untuk penguatan sumber daya lokal di tempat itu," terang Asep. 

Pemberian mandat ini juga dapat dilakukan ke beberapa perguruan tinggi untuk bergabung dalam konsorsium riset mandat tertentu. 

"Bila outcome (hasilnya) berdampak pada ekonomi dan indeks inovasi global, perguruan tinggi diberi insentif lagi, misalnya kemudahan pengiriman posdoct atau lainnya atau bisa juga insentif bebas pajak PPH bagi peneliti dalam tim mandat," ucapnya. 

Menurutnya, masih sedikitnya riset yang menghasilkan inovasi karena tak adanya grand design riset secars nasional. Selain itu, peneliti merasa jago sendiri dan merasa berhasil memenangkan riset kompetitif

"Cenderung peneliti itu-itu saja. Hasilnya hanya menaikan citra dirinya saja, paling jauh citra kampus tetapi bukan negara," kata Asep. 

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko menuturkan rendahnya inovasi yang dilakukan oleh Indonesia juga karena riset yang masih sedikit. 

Terlebih, perguruan tinggi swasta sangat sulit untuk memperoleh pendanaan dari Kemenristekdikti sehingga riset yang dilakukan tak begitu banyak. 

Selain itu,  tema yang dipilih peneliti, jarang yang aplikatif atau sesuai dengan kebutuhan industri atau yang menghasilkan inovasi sehingga riset yang dihasilkan hanya berupa kertas saja atau pelaporan.

Menurutnya, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan  kepada industri untuk bekerja sama perguruan tinggi dalam melakukan riset yang menghasilkan inovasi sebagai upaya untuk meningkatkan Global Innovation Index Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak industri yang melakukan riset sendiri atau menggunakan lembaga asing.

"Perlu ada grand design riset, riset seperti apa yang dibutuhkan, arahnya kemana dan sebagainya," ucap Budi. 

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azzam mengatakan posisi Indonesia dalam Global Innovation Index yang di bawah negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam ini menjadi alarm untuk sungguh-sungguh memperbaiki iklim iptek supaya lebih efektif lagi. 

Menurutnya, yang perlu dilakukan saat ini kerjasama yang intens antara bisnis-pemerintah-akademisi untuk membangun riset yang innovatif dan meningkatkan daya saing industri serta ekspor.

"Yang perlu di bangun ekosistem innovasi. Kelemahan masih suka jalan sendiri-sendiri. Perlu juga diubah pendekatan risetnya dimana harus didorong innovasi yang dekat dengan pasar," tutur Bob.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Oleh:

Bisnis/Andrew Mackinnon/marinetraffic.com Ilustrasi - Kapal MV Navios Verde

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri menyebut salah satu kendala yang dihadapi oleh Indonesia untuk mengembangkan ekspor jasa adalah kurangnya kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang berkompetensi.

Menurutnya, Indonesia mempunyai SDM berkualitas yang berkompetensi dan mampu bersaing dengan SDM dari negara-negara tetangga. Sayangnya, jumlah SDM tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan SDM yang tak mempunyai kompetensi atau berpendidikan rendah.

Hanif mengatakan SDM di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan persentase mencapai 58%. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan bagi pengembangan ekspor jasa.

"Ada jagoan-jagoan SDM kita yang tampil di perlombaan atau kompetisi-kompetisi internasional, jumlahnya tapi tak banyak. Contohnya seperti mencari tukang las atau welder bersertifikasi, ada memang, tapi jumlahnya berapa? Kita cari 100 misalnya dapatnya hanya berapa," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/10).

Sebagai upaya menyiapkan SDM, termasuk untuk ekspor jasa lanjut Hanif saat ini pemerintah melalui Kemnaker mengembangkan program pendidikan dan pelatihan vokasi yang meliputi tiga lembaga vokasi yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Balai Latihan Kerja (BLK), dan Politeknik.

Namun, dia menyadari bahwa pendidikan dan pelatihan vokasi tidak cukup untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi SDM di Tanah Air. Oleh karena itu, Kemnaker pada 2020 menyiapkan kartu pra-kerja sebagai upaya meningkatkan kemampuan (upskilling) dan menambah kembali kemampuan (reskilling) SDM tersebut.

Ekspor jasa dinilai sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan bonus demografi yang akan dialami pada tahun 2030 hingga 2045. Pada periode itu, 70% populasi Indonesia merupakan penduduk usia produktif.

"Tuntutan terhadap skill berubah, ini satu kunci agar Indonesia bisa eksis dalam beberapa tahun kedepan. Bonus demografi ini bisa kita optimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tegas Hanif.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tak menampik bahwa salah satu kendala yang dihadapi Indonesia untuk meningkatkan ekspor jasa adalah kualitas SDM yang belum memadai. Dia menyebut SDM Indonesia masih sulit bersaing dengan SDM dari sejumlah negara tetangga.

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menjelaskan SDM Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga lantaran selama ini tidak pernah ada konsep standarisasi yang jelas untuk pengembangan SDM, mulai dari pendidikan formal, pelatihan hingga peningkatan kualitas saat di dunia kerja.

Oleh karena itu, saat ini pemerintah fokus untuk mengembangkan konsep pengembangan SDM yang menyesuaikan kebutuhan industri global melalui pendidikan dan pelatihan vokasi.

"Jalur science basic tetap perlu tetapi lebih mendesak pelatihan vokasi, pelatihan ketenagakerjaan yang dibutuhkan," katanya.

Adapun ,Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Dody Edward mengatakan penggiatan ekspor jasa merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Kemendag untuk mengantisipasi dampak dari resesi ekonomi yang semakin meluas. Ekspor jasa disebut sebagai bagian dari upaya Kemendag mendiversifikasi ekspor.

"Diversifikasi produk ekspor termasuk [di dalamnya] penggiatan ekspor jasa,” katanya.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Editor: Wike Dita Herlinda

Bagaimana cara mengatasi sumber daya manusia yang tidak memadai dalam perdagangan internasional
INDONESIA merupakan negara dengan penduduk ketiga terbesar di dunia. Indonesia juga mempunyai letak geografis yang cukup strategis, di mana sumber daya alam yang dimiliki sangat melimpah. Kekayaan ini menjadi sia-sia apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola sumber daya alam yang ada. Untuk mengelolanya diperlukan SDM yang memiliki kualitas baik. Dengan menempati posisi penduduk ketiga terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa mengelola sumber daya alamnya dengan baik. Tapi pertanyaannya, apakah kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki negeri ini berbanding lurus dengan tingkat kualitasnya?

Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki suatu negara bisa dilihat dari tinggi atau rendahnya kreativitas dan produktivitasnya. Seperti halnya produktivitas kita pada bidang teknologi saja masih sangat rendah. Kita cenderung menjadi konsumen dibandingkan menjadi produsen. Dari sektor pangan pun, kita masih banyak melakukan impor beras. Hal ini menunjukan kualitas sumber daya manusia di Indonesia sangatlah rendah.

Untuk mengatasi rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia, diperlukan pemerataan penguasaan teknologi, kualitas pendidikan dan manajemen pendidikan di Indonesia, minimnya fasilitas pendidikan serta buruknya manajemen pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil yang cenderung diabaikan, menyebabkan tidak tercipta nya pemerataan. Di sinilah peran pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan harus mulai memperhatikan tingkat pendidikan di daerah terpencil dan perbatasan Indonesia dengan cara mengirimkan tenaga pengajar yang kompetitif dan memiliki kualifikasi serta memfasilitasi perangkat yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan di daerah tersebut.

Bagaimana cara mengatasi sumber daya manusia yang tidak memadai dalam perdagangan internasional
NET

Selain aspek teknis penyelenggaraan pendidikan, aspek psikologis juga perlu diperhatikan. Karena pada dasarnya bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang bodoh secara intelektual, melainkan tidak adanya semangat serta motivasi dalam diri orang-orang Indonesia. Masih banyak yang menganggap bahwa menempuh pendidikan adalah suatu beban bukan sebuah kebutuhan. Bangsa Indonesia harus menjadikan pendidikan menjadi sebuah budaya seperti hal nya Negara-negara maju lain. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam peningkatan sumber daya manusia adalah spiritual. Banyak orang Indonesia yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat spiritual yang baik. Aspek spiritual bisa mencegah orang untuk melakukan hal-hal yang merugikan orang lain seperti hal nya korupsi yang seakan sudah menjadi budaya dalan Negara ini.

Agar dapat bersaing dengan negara maju, Indonesia perlu memperkuat spesialisasi bidang keilmuan, karena ciri dari suatu ilmu memiliki perkembangan adalah semakin banyaknya spesialisasi bidang keilmuan. Terlebih Indonesia akan menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di mana para pekerja asing bebas keluar masuk Indonesia.

Pada akhirnya kesimpulan yang didapat adalah peningkatan sumber daya manusia tidak hanya dilakukan dari segi teknis penyelenggaraan pendidikan tetapi dari segi psikologi dengan membangun lingkungan yang edukatif agar terciptanya motivasi belajar, dari segi spiritual sebagai pengontrol diri, dan memperkuat spesialisasi bidang keilmuan. Apabila hal-hal tersebut dijalankan dan dilakukan dengan baik maka sumber daya manusia Indonesia akan bisa tumbuh dan bersaing dengan Negara-negara maju lain. (Arizal Zul Lathiif /Mahasiswa Akuntansi 2014 /FPEB)