Jakarta, CNBC Indonesia - Di saat nilai tukar rupiah dan Surat Berharga Negara [SBN] tertekan, Indeks Harga Saham Gabungan [IHSG] justru terapresiasi pada penutupan perdagangan perdana pekan ini, Senin [22/2/2021].
IHSG mampu melenggang ke zona hijau saat finish. Indeks saham acuan pelaku pasar domestik itu ditutup naik 0,38%. Data perdagangan menunjukkan ada 239 saham yang mencatatkan kenaikan nilai kapitalisasi pasar.
Sementara itu sebanyak 224 saham harganya mengalami koreksi dan sisanya yaitu 180 saham harganya flat alias stagnan. Investor asing masih berburu aset ekuitas dalam negeri. Hal ini tercermin dari transaksi beli bersih asing yang mencapai Rp 516 miliar kemarin.
Di kawasan Asia Pasifik, indeks acuan saham Benua Kuning cenderung bergerak variatif [mixed]. Namun lebih banyak yang mengalami koreksi. Hanya lima indeks saham Asia yang berhasil mencatatkan penguatan termasuk IHSG.
Indeks Nikkei225 [Jepang] berhasil memimpin penguatan dengan apresiasi sebesar 0,46% dan disusul oleh indeks saham TAIEX [Taiwan] yang naik 0,42%. Di posisi ketiga ada IHSG.
Berbeda nasib dengan IHSG, nilai tukar rupiah justru melemah cukup tajam di hadapan 'Sang Maha Dolar'. Di arena pasar spot, nilai US$ 1 setara dengan Rp 14.110. Nilai tukar rupiah melemah 0,36% kemarin.
Rupiah yang sebelumnya menjadi kebanggaan karena stabil di level Rp 14.000/US$ cenderung menguat kini menunjukkan tanda-tanda berbalik arah. Namun rupiah tidak sendiri. Mayoritas mata uang utama Asia juga melemah di hadapan greenback.
Di pasar SBN, harga surat utang pemerintah berdenominasi rupiah kembali tertekan. Koreksi harga tercermin dari kenaikan imbal hasil [yield] SBN tenor 10 tahun sebesar 6,2 basis poin [bps].
Penurunan harga SBN dipicu oleh kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Belakangan ini kenaikan imbal hasil nominal US Treasury atau surat utang negara Paman Sam tengah menjadi sorotan pelaku pasar global.
Pasalnya kenaikan suku bunga obligasi akan berpengaruh terhadap harga aset-aset berisiko seperti saham yang sejak kuartal keempat tahun lalu cenderung uptrend. Ini menjadi risiko tersendiri bagi investor yang sebagian besar portofolionya berisi aset-aset ekuitas.
Page 2
Kenaikan yield obligasi pemerintah AS juga membuat harga saham di Bursa New York ikut goyang. Imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS mengalami kenaikan yang signifikan dalam waktu singkat.
Kini yield nominal instrumen investasi pendapatan tetap AS bertenor 10 tahun sudan menyentuh level 1,36%. Padahal imbal hasilnya sempat jatuh ke bawah 1% tahun lalu.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS dipicu oleh ekspektasi kenaikan inflasi. Ketika harga-harga mulai naik, maka investor cenderung menginginkan imbal hasil yang lebih menarik dari surat utang. Hal ini membuat harganya terkoreksi.
Di tengah era suku bunga rendah, imbal hasil riil [setelah dikurangi inflasi] obligasi pemerintah AS sempat jatuh ke teritori negatif. Namun belakangan ini imbal hasil riilnya ikut terangkat naik meski masih sangatlah rendah.
Naiknya yield membuat pasar saham Wall Street tertekan. Pasalnya selama ini aset ekuitas cenderung diuntungkan dengan rendahnya suku bunga sehingga membuat valuasinya menjadi lebih atraktif. Ketika kondisi berubah, tren pun berbalik arah.
Pada perdagangan perdana pekan ini, tiga indeks saham utama Bursa New York mengalami koreksi. Indeks S&P 500 ditutup drop 0,77%. Sementara indeks Nasdaq Composite masing-masing melemah 2,46%. Hanya Indeks Dow Jones Industrial Average [DJIA] yang selamat. Itupun kenaikannya tipis hanya 0,09%.
Kendati banyak yang khawatir terhadap kenaikan yield di tengah valuasi saham-saham AS yang sudah terbilang mahal, ada juga analis yang melihat bahwa kenaikan yield tidak akan berdampak signifikan berdampak ke pasar saham.
Salah satunya adalah Chief Market Strategist perusahaan keuangan AS Truist yaitu Keith Lerner. Dalam wawancaranya dengan CNBC International, Lerner mengatakan bahwa kenaikan yield tak akan menjadi ancaman bagi pasar saham yang sedang bullish.
Lebih lanjut Lerner mengungkapkan ada empat hal yang mendukung pendapatnya yaitu prospek pemulihan ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter yang supportif, perbaikan kinerja keuangan perusahaan serta valuasi saham yang masih menarik.
Page 3
Kinerja bursa saham AS yang kurang ciamik dini hari tadi tentu saja bukan kabar baik bagi bursa saham Asia yang akan buka pagi ini. Namun apa yang diungkapan oleh Lerner ada benarnya.
Pemerintah AS masih terus berupaya untuk menggelontorkan stimulus fiskal bernilai jumbo. Kombinasi Joe Biden dan Janet Yellen dinilai mampu untuk membawa perekonomian terbesar di dunia tersebut pada pemulihan dengan ditopang oleh bantuan fiskal senilai US$ 1,9 triliun.
Dari sisi moneter, bos The Fed yakni Jerome Powell juga berulang kali menegaskan bahwa pengetatan moneter adalah hal yang prematur untuk dilakukan saat ini. Tapering belum akan dilakukan dan suku bunga tak akan dinaikkan setidaknya untuk kurun waktu dua tahun ke depan.
Era suku bunga rendah dan likuiditas yang berlimpah memang saat yang tepat untuk berinvestasi ke aset-aset berisiko seperti saham. Hal inilah yang membuat harga saham-saham di berbagai negara tak terkecuali Indonesia berangsur-angsur pulih. Bahkan ada yang tembus rekor all time high seperti di AS.
Adanya pandemi Covid-19 membuat investor berburu saham-saham yang resilien dan memberikan prospek yang cerah. Salah satunya adalah saham-saham di sektor teknologi.
Tren berinvestasi di sektor teknologi juga sudah menular ke Tanah Air. Semakin hits-nya praktik bank digital di dalam negeri membuat saham-saham bank mini melesat.
Banyak dari bank-bank BUKU I dan II yang belum memenuhi ketentuan permodalan yang ditetapkan OJK menjadi incaran korporasi, perbankan lain bahkan sampai start up.
Tren digital banking yang digadang-gadang jadi solusi untuk inklusi keuangan Indonesia membuat gairah investor meningkat. Saham-saham yang bakal dijadikan bank digital tanpa cabang tak luput menjadi serbuan investor tak terkecuali investor ritel yang semakin agresif di Tanah Air.
Saham-saham bank kecil seperti PT Bank Jago Tbk [ARTO], PT Bank Harda Internasional Tbk [BBHI], PT Bank Bumi Artha Tbk [BNBA], PT Bank Capital Indonesia Tbk [BACA] dan PT Bank Net Syariah Indonesia Tbk [BANK] cenderung mengalami kenaikan nilai kapitalisasi pasar yang signifikan setelah rilis resmi maupun rumor bahwa bank tersebut akan disulap jadi bank digital beredar.
Tren bullish saham di berbagai negara juga membuat para founder start up teknologi di Indonesia semakin agresif untuk melantai di bursa saham. Tren penggunaan perusahaan cek kosong [blank check company] yang dikenal dengan sebutan Special Purpose Acquisition Company [SPAC] juga semakin marak.
Jumlah SPAC terus bertambah. Di Tanah Air emiten milik Sandiaga Uno yakni PT Saratoga Investama Sedaya Tbk [SRTG] lewat anak perusahaannya yaitu PT Nugraha Eka Kencana bahkan sudah menjadi salah satu anchor investor SPAC milik mitra investasinya yaitu Provident Group.
Konon kabarnya salah satu start up unicorn yang sudah ngebet untuk melantai di bursa saham adalah Traveloka. Beredar isu bahwa Traveloka sedang menjajaki kerja sama dengan dua SPAC yaitu COVA dan PAQU [Provident] untuk melantaikannya di bursa Nasdaq.
Adanya sentimen commodity supercycle serta perkembangan mobil listrik yang semakin agresif juga membuat harga nikel sebagai komponen utama penyusun baterainya terus menguat. Kenaikan harga nikel juga turut menjadi sentimen positif untuk emiten sektor tambang yang punya portofolio nikel.
Selain soal bank digital, SPAC dan nikel, investor juga perlu mencermati pergerakan harga saham-saham emiten batu bara Tanah Air. Pasalnya pemerintah baru saja menggelontorkan insentif fiskal berupa royalti nol persen untuk batu bara yang digunakan dalam proyek hilirisasi bernilai tambah ekonomi.
Page 4
Market - Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 February 2021 06:13
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Korea Selatan Februari 2021 [04.00 WIB]
- Rilis data Indeks Harga Rumah China Januari 2021 [08.30 WIB]
- Rilis data Jumlah Uang Beredar [M2] di Indonesia Januari 2021 [10.00 WIB]
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
[twg/twg]
TAG: ihsg rupiah sbn saham obligasi valuta asing us treasury dolar as
Terpopuler
Bagaimana menjelaskan hubungannya antara
kedua indeks tersebut? Beberapa bacaan yang
mudah diunduh dari internet seperti Olesen &
Risager [2000], Li [2006] dan Tirkonnen
[2008] dapat dijadikan referensi untuk melihat
hubungan antara kedua pasar tersebut.
Dengan asumsi tidak ada arbitrage antara kedua
pasar, secara teoritis hubungan antara pasar
saham dan pasar obligasi dapat dituliskan
dalam persamaaan berikut [Olesen & Risager,
2000]:
[1]
dimana
dan
masing-
masing menggambarkan nilai harapan imbal
hasil bersyarat pada pasar saham dan obligasi
di waktu t atas semua informasi yang tersedia
pada waktu t, dan
adalah premium risiko
[risk premium] pasar saham relatif terhadap
pasar obligasi. Risk premium ini muncul karena
secara teoritis pasar saham lebih berisiko
daripada pasar obligasi, sehingga pemodal yang
secara umum takut terhadap risiko [risk averse]
akan meminta kompensasi lebih atas risiko
tersebut dalam bentuk tambahan imbal hasil
tertentu.
Persamaan ini menyatakan bahwa dalam
jangka panjang kedua pasar tersebut akan
bergerak bersamaan [interdependent atau co-
integrated] dengan arah pergerakan yang
berlawanan karena jika pada satu pasar dapat
diperoleh imbal hasil di atas normal maka
dana dari pasar yang lain akan mengalir ke
pasar tersebut sehingga akan terjadi
peningkatan harga di pasar pertama dan
penurunan harga di pasar kedua. Hal ini
akan menyebabkan harapan imbal hasil pada
pasar pertama akan menurun, sedangkan
harapan imbal hasil di pasar kedua akan
meningkat sehingga akan dicapai
keseimbangan antara kedua harapan imbal
hasil kedua pasar tersebut sebagaimana
dinyatakan dalam persamaan [1] di atas.
Secara ringkas dapat disimpulkan menurut
pendekatan ini hubungan antara pasar
saham dan obligasi seharusnya bernilai
negatif.
Sementara itu, Li [2006] menggunakan model
Fed sebagai dasar studi empirisnya. Dengan
mengasumsikan imbal hasil yang diharapkan
[required return] saham dan obligasi identik, laju
pertumbuhan saham sama dengan nol, dan
semua earning dibayarkan dalam bentuk dividen
maka hubungan Price-earning ratio [P/E] suatu
pasar saham akan akan berbanding terbalik
dengan yield pasar obligasi [rb] sebagaimana
diilustrasikan melalui persamaan berikut:
[2]
Menurut model Fed ini, karena yield
berhubungan terbalik dengan harga, maka
dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
harga saham dan harga obligasi akan bernilai
positif.
Tirkonnen [2008] meringkas beberapa studi
empiris hubungan kedua pasar tersebut dan
menemukan hasil empiris yang berbeda untuk
negara yang berbeda. Sementara itu, dalam
studi yang sama juga disurvei beberapa
metodologi pengujian empiris yang pernah
dipergunakan untuk melihat hubungan kedua
pasar tersebut seperti bermacam-macam
seperti Generalized Method of Moments [GMM],
Vector Autoregression [VAR], Granger causality
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
Grafik 2. Scatter Plot Imbal Hasil Harian Indeks Harga
Saham Gabungan [IHSG] dan Indeks Obligasi
Pemerintah [IPO] Periode 25 Januari 2005 – 13 Maret
2009