Bagaimana jika etika tidak diterapkan dalam kehidupan

political, government, law

Seringkali kita bertanya-tanya jika membaca berita mengenai mundurnya seorang politisi ataupun pejabat negara di Jepang dari jabatannya setelah serangkaian skandal atau berita mengenai suatu kegagalan yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya, antara lain: mengapa ‘pengunduran diri’ merupakan metode yang banyak ditempuh oleh politisi ataupun pejabat negara di Jepang yang terlibat skandal, serta apa alasan orang Jepang menempuh metode tersebut. 

Di dalam bukunya yang berjudul “Comparing Asian Politics: India, China, and Japan” (2015), Sue Ellen M. Charlton menyebutkan bahwa di era pemerintahan Tokugawa (zaman Edo) dahulu, orang Jepang terkenal memiliki nilai-nilai pengorbanan diri dan dedikasi yang tinggi terhadap komunitasnya. Nilai lain yang dimiliki oleh mereka adalah loyalitas, dimana seseorang memberikan loyalitasnya kepada keluarga, kampung halaman, komunitas, serta kepada negara. Di masa tersebut, loyalitas juga dapat berbentuk tindakan seppuku (hara-kiri) yang dilakukan oleh seorang samurai (prajurit) dengan menusuk perutnya menggunakan pedang.  

Di era modern Jepang saat ini, nilai-nilai tradisional tersebut diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk lain seperti: kerja keras, rasa hormat, pelayanan, kinerja nyata, serta moral yang tinggi kepada komunitas dan negaranya. Nilai-nilai tersebut masih mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam etika politik dan pemerintahan, dapat dikatakan bahwa metode pengunduran diri seorang politisi ataupun pejabat negara di Jepang dianggap sebagai bentuk rasa tanggung jawab yang bersangkutan karena telah merugikan kepentingan bersama dan malah mengutamakan kepentingan pribadi. 

Indonesia Saat Ini

Indonesia sebenarnya memiliki nilai-nilai tradisional yang juga ditanamkan sejak dahulu, seperti: nilai-nilai budaya, agama, dan adat istiadat yang bermacam-macam bentuknya dari Sabang hingga Merauke. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain seperti: kejujuran, keteladanan, sportifitas, toleransi, tanggung jawab, reputasi, disiplin, etos kerja, gotong royong, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut sangat dihormati dan dipatuhi oleh segenap elemen masyarakat hingga saat ini dan juga diimplementasikan di dalam pemerintahan. Bahkan mengenai etika politik dan pemerintahan yang diatur di dalam perundangan, secara khusus ada juga aturan yang menegaskan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada publik, seorang pejabat negara harus siap mundur dari jabatannya apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai, ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. 

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini masih jauh jika dibandingkan dengan keadaan di negara Jepang. Meskipun tidak dapat dibandingkan secara fair (apple to apple) karena kedua negara memiliki kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukum (ekosospolbudhuk) yang sangat berbeda, namun jika menyoroti secara khusus terkait etika politik dan pemerintahan di kalangan elite politisi dan pejabat negara di Indonesia, nilai-nilai tradisional Indonesia yang tertanam yang telah disebutkan tadi tidak nampak terlihat pada diri mereka seperti apa yang nampak terlihat pada kalangan politisi dan pejabat negara di Jepang. 

Seorang politisi maupun pejabat negara  yang terlibat dalam kasus hukum, hendaknya dengan berjiwa ksatria dapat menghadapinya sesuai dengan nilai-nilai etika dan budaya yang tertanam di bangsa ini. Apalagi melihat cita-cita bangsa Indonesia adalah menuju kepada negara hukum (rechtsstaat) dimana dalam prosesnya penegakan hukum harus dilaksanakan secara tegas dan tidak tebang pilih demi mencapai kepastian hukum. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak yang sama di hadapan hukum (equality before the law) untuk mendapatkan proses peradilan yang jujur dan terbuka (fair trial) serta imparsial, sehingga pada akhirnya tidak berpotensi melakukan tindakan menghalangi proses hukum (obstruction of justice).  

Jika kita menyalakan televisi, ada sebuah kasus hukum yang terjadi akhir-akhir ini yang menjerat seorang pejabat negara. Yang bersangkutan seharusnya mengikuti proses hukum yang berlaku, namun pada faktanya dirinya tidak menunjukan sikap kepatuhan tersebut. Bahkan atas kasus hukum yang menimpa dirinya, banyak kejadian-kejadian unik yang akhirnya menggagalkan proses hukum yang seharusnya bisa dilaksanakan lebih cepat. Terdengar kabar di media massa bahwa kasus tersebut akan dibawa penasihat hukumnya kepada Pengadilan HAM Internasional. Pernyataan tersebut membuat para ahli hukum bertanya-tanya, apalagi melihat bahwa kasus hukum yang menimpa pejabat negara tersebut bukan merupakan kasus pelanggaran HAM (seperti kejahatan atas kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi menurut Statuta Roma) tetapi merupakan tuduhan atas tindak pidana korupsi yang sedang diproses oleh KPK. Tidak ada pengabaian atas due process of law antara lain: yang bersangkutan dibela oleh penasihat hukum, diberi kesempatan mengajukan praperadilan, mengajukan saksi fakta dan ahli dan hak untuk membela diri. Jika yang dipersoalkan adalah hak asasi manusia, proses praperadilan sendiri pada dasarnya dilaksanakan dengan ruh penghormatan atas hak asasi manusia terhadap tersangka/terdakwa, dengan lebih mempersoalkan proses penangkapan, penyidikan, dan penyelidikan dan bukan bukti-bukti material perkara. Secara umum tuduhan atas kasus hukum ini tidak berdampak signifikan secara internasional melainkan merupakan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang bisa diselesaikan melalui pengadilan tipikor di dalam negeri.

Masyarakat Indonesia tentunya dapat menilai melalui apa yang terpapar di media massa, apakah hukum berjalan dengan sepatutnya ataukah masih berada di titik nadirnya. Hingga kini belum terdengar berita apakah pejabat negara yang terlibat kasus hukum tersebut akan mengundurkan diri dari jabatannya sesuai dengan etika politik dan pemerintahan sebagaimana mestinya. Melalui banyaknya tayangan yang menampilkan tingkah akrobatik kalangan elite politisi dan pejabat negara Indonesia, masyarakat Indonesia dapat segera menyimpulkan bahwa meskipun nilai-nilai tradisional Indonesia telah tertanam sejak dahulu namun budaya kepatuhan serta jiwa sportifitas rupanya belum mendarah daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Jika kita melihat kepada apa yang terjadi pada negara Jepang, memang sepertinya masih terasa jauh bagi politisi serta pejabat negara ini untuk menuju ke arah sana. Namun selalu ada kesempatan bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk maju demi kepentingan bangsa dan negara. Atas dasar ketertinggalan dengan bangsa lain, Indonesia harus bisa mengejar untuk menjadi negara modern yang dapat berpolitik dengan nilai-nilai tradisional yang dibanggakan. Tentunya, semua berawal dari niat yang mulia dari para politisi dan pejabat negara Indonesia.

Written by Frans Hendra Winarta

Published on Koran Seputar Indonesia

<< Back

Pelanggaran etika dapat terjadi di mana saja, termasuk di dalam dunia bisnis. Demi mendapatkan keuntungan yang besar, tak jarang banyak perusahaan yang berusaha untuk menghalalkan segala cara. Padahal, sebenarnya praktik curang ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merugikan perusahaan itu sendiri.

Begitulah yang disampaikan oleh Pakar Etika Bisnis dan Profesi Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Mahfud Sholihin, Ph.D. Ia mengatakan bahwa bisnis yang dibangun dengan tidak etis pastinya tidak akan sustain. "Bisnis yang tidak etis akan merugikan masyarakat. Etika bisnis memberikan dampak positif bagi pelaku bisnis maupun perusahaan, masyarakat pun juga diuntungkan dengan hal itu," jelasnya saat dihubungi oleh Kagama.co.id.

Meski telah banyak yang memahami konsekuensi atas pelanggaran etika bisnis, nampaknya kesadaran akan pentingnya etika bisnis perlu terus digalakkan. Sebab, dalam praktiknya masih sering ditemukan pelanggaran terhadap etika bisnis oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan, dan tak jarang diwarnai praktik-praktik tidak terpuji atau moral hazard.

Sebagai contoh, apabila ditinjau dari sisi lingkungan, bisnis yang etis, menurut Mahfud, adalah bisnis yang tidak akan merusak lingkungan. Ini terjadi karena jika perusahaan merusak lingkungan dalam jangka panjang, maka perusahaan dipastikan akan terkena masalah. Lebih parahnya lagi dampak yang terjadi di masa depan, lingkungan yang rusak bisa menjadi sumber bencana. Mahfud menambahkan bahwa terdapat pelanggaran etika lain yang kerap ditemui, misalnya pelanggaran etika terhadap karyawan, khususnya terkait gaji, pesangon, jam kerja, dan sebagainya. "Bisnis yang etis, pasti karyawannya akan berkomitmen terhadap perusahaan, bahkan bisa bekerja lebih dari harapan perusahaan dan semakin inovatif sehingga menguntungkan perusahaan," tutur Mahfud.

Begitu juga sebaliknya, bisnis yang etis adalah bisnis yang juga mengurangi probabilitas karyawan untuk dipecat atau terkena PHK. Apalagi di era digital saat ini, merujuk pada pemikiran seorang ahli, Mahfud menerangkan bahwa isu etika bisnis yang laten, identifikasinya meliputi suap, pencurian, pemaksaan, intimidasi, penipuan, dan diskriminasi.

"Misalnya penipuan di era digital, bentuknya seperti manipulasi laba dan manipulasi informasi. Demikian juga pencurian data pribadi lewat platform digital. Lima bahaya laten itu masih terjadi di era digital," ungkapnya.

Mengutip dari salah seorang pakar, Mahfud mengatakan bahwa isu etika paling banyak ditemui di era digital, di antaranya ada privasi, nanoteknologi, menggeser pekerjaan orang dengan teknologi, dan sebagainya. "Celakanya, lingkungan bisnis di era digital yang tidak etis ini menimbulkan dampak yang semakin masif," ujar Mahfud.

Ia mengungkapkan bahwa terjadi perbedaan terhadap pelanggaran etika bisnis. Dulu, dampak pelanggaran etika bisnis hanya menyebar di lingkungan sekitar perusahaan. Namun, di era digital ini dampaknya bisa lebih luas, bahkan sampai ke tingkat global. "Saat ini era digital memang tak bisa dihindari, tetapi harus ada upaya untuk mengurangi pelanggaran etika bisnis ini, agar tidak merugikan masyarakat", jelasnya.

Mahfud mengatakan bahwa inilah saatnya Pendidikan Etika berperan untuk memerangi pelanggaran etika bisnis di era digital seperti sekarang. Seperti contoh di level perguruan tinggi, ia menyampaikan bahwa penting untuk menghadirkan satu mata kuliah yang fokus membahas etika bisnis. Lebih baik lagi, ia menyarankan agar perguruan tinggi menyisipkan pemahaman-pemahaman etika bisnis di setiap mata kuliah, utamanya yang berkaitan langsung dengan dunia usaha dan ekonomi. Menurutnya, hal ini penting karena mambangun proses untuk menuju perilaku yang etis harus diawali dengan membangun kesadaran. Sebab, banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya melanggar etika bisnis. Ia memberi contoh perilaku terkait ketidaksadaran tersebut.

"Tidak sadar bahkan sudah menjadi kebiasaan, misalnya menggunakan barang kantor untuk kepentingan pribadi.", jelasnya. 

"Itu karena mereka nggak sadar ada yang namanya isu etika sehingga mereka memberikan judgement bahwa semua yang mereka lakukan aman karena diperbuat tanpa sadar," tambahnya.

Mahfud berpendapat bahwa setelah membangun kesadaran, penting kemudian memahami tentang berbagai pelanggaran etika, sampai memunculkan niat untuk tidak melanggar etika. Namun, tentu saja niat tersebut butuh dukungan dari lingkungan. Untuk itu, ia menyarankan bahwa lingkungan bisnis maupun pemerintah sudah selayaknya mempunyai regulasi yang baik untuk mengatur hal ini. "Kemudian yang nggak kalah penting adalah enforcement-nya. Siapa pun yang salah harus dihukum agar menimbulkan efek jera," tuturnya. Saat ditanya mengenai regulasi apa yang harus diterapkan. Menurut Mahfud, etika baru bisa efektif ditegakkan apabila sudah didukung dengan perangkat hukum sehingga perlu adanya peraturan perundang-undangan yang concern membahas isu etika bisnis.

Sumber: Kagama.co.id