Bagaimana kondisi ekonomi pada masa pemerintahan BJ Habibie?

Jakarta - Presiden Ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf [BJ] Habibie menjabat sejak 21 Mei 1998 sempai 20 Oktober 1999. Habibie naik menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri karena tekanan dari mahasiswa dan kondisi perekonomian Indonesia yang diterpa krisis moneter.

Selama 1998, kondisi perekonomian Indonesia mengalami perlambatan. Salah satu yang paling kentara adalah melemahnya kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat [AS] yang jatuh hingga Rp 16.650 dari sebelumnya pada awal 1998 berada di kisaran Rp 6000 per dollar AS.

Kebijakan awal yang dilakukan Habibie adalah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.

Selain itu, krisis moneter menyebabkan banyak perusahaan dan bank yang tutup karena tidak mampu bertahan dari krisis moneter yang menyerang Indonesia, Malaysia, Thailand, hingga Korea Selatan.

Untuk mengatasi krisis berkepanjangan, sejak awal masa pemerintahannya, Habibie mengumumkan sejumlah kebijakan ekonomi yang dapat segera mengeluarkan Indonesia dari krisis moneter.

Kebijakan awal yang dilakukan Habibie adalah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Negara [BPPN] melalui Keputusan Presiden [Kepres] Nomor 27 Tahun 1998. 

BPPN berfungsi untuk melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Selain itu bertanggungjawab juga untuk melakukan proses likuidasi terhadap beberapa bank swasta yang bermasalah. 

Habibie juga menginisiasi implementasi kebijakan moneter atas saran International Monetary Fund [IMF] yang sebelumnya sudah mengucurkan pinjaman sebesar 8.34 miliar dollar AS. 

Selain itu, Habibie juga menandatangani 2 Undang-Undang [UU], yakni UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat dan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Namun, meski sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan, di akhir masa pemerintahannya, pereknomian Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan. 

Pada pertengahan tahun 1999, nilai tukar rupiah terhadap dollar kembali menurun. Selain itu, arus investasi ke Indonesia pasca krisis moneter 1998 masih tersendat.

Hal ini kemudian mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya merangkak 0.79%. Namun, hal tersebut jauh lebih baik dari tahun 1998 yang pertumbuhan Indonesia mengalami perlambatan sampai -13.13%.

Setelah memimpin selama 17 bulan, Habibie kemudian digantikan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang dilantik pada 20 Oktober 1999. []

Situasi Ekonomi Masa Reformasi di mulai dari masa Presiden B.J Habibie, Setelah terjadi pergantian presiden dari Soeharto ke presiden B.J Habibie kebijakan dalam bidang ekonomi juga mengalami perubahan. 

Tiga Program Ekonomi Pemerintah B.J Habibie 

Dalam bidang ekonomi Presiden Habibie mempunyai tiga program yaitu program jangka pendek, jangka menengah dan program jangka panjang. Tujuan program jangka pendek ini untuk mengurangi beban masyarakat, terutama masyarakat miskin dan yang berpenghasilan rendah.  

Seperti program jaringan pengaman sosial [JPS], penyediaan kebutuhan pokok rakyat serta pengendalian harga. Dalam program jangka menengah, hal- hal yang dilakukan meliputi upaya penyehatan sistem perbankan untuk membangkitkan kembali kepercayaan dan kegiatan dunia usaha. 

Situasi Ekonomi Masa Reformasi, khususnya investor luar negeri serta pengendalian laju inflasi dan berbagai upaya reformasi struktural untuk memperkuat landasan perekonomian nasional dengan meningkatkan efisiensi dan daya saing. 

Sedangkan dalam program jangka panjang sedang diletakkan landasan bagi perekonomian yang maju, modern, mandiri dan berkualitas, terbuka bagi semua kalangan serta membangun institusi ekonomi yang berorientasi ke pasar dalam negeri dan pasar global. 

Program Ekonomi Pemerintah Abdurrahman Wahid 

Pada 1999 terjadi kembali perubahan pimpinan di Indonesia. Presiden B.J habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

Pada bidang perekonomian, Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi ekonomi Indonesia yang relatif lebih stabil dari pemerintahan Habibie, nilai tukar Rupiah berada dikisaran Rp 6.700/US$. indeks harga saham gabungan [IHSG] berada di level 700. 

Dengan bekal ini di tambah legitimasi yang dimilikinya sebagai presiden bersama wapres yang dipilih secara demokratis, Indonesia mestinya sudah bisa melaju kencang. 

Namun Presiden Abdurrahman Wahid bersama kabinetnya menolak melanjutkan semua hasil kerja keras kabinet pemerintahan Habibie misalnya Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah [PKM]. 

Yang selama pemerintahan Habibie menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dijadikan kementerian nonportofolio atau menteri negara non Departemen. 

Pemerintah Gus Gus Tanpa Bantuan Dana dari IMF 

Selama pemerintahan Abdurrahman Wahid IMF tak pernah mencairkan pinjamannya, Bagaimanapun juga presiden Abdurrahman Wahid telah membuktikan kepada dunia luar, bahwa Indonesia bisa diurus tanpa bantuan dana dari IMF.

Baca juga Megawati Otomatis Menjadi Presiden Indonesia ke Lima 23 Juli 2001

Pemerintahan Abdurahman Wahid juga memiliki gagasan sekuritisasi aset yaitu aset-aset negara, terutama barang tambang bisa dinilai dulu, kemudian pemerintah bisa mengeluarkan saham atas aset-aset Negara tersebut yang kemudian diperjual-belikan dipasar modal untuk membiayai pembangunan nasional. 

Artikel Terkait

BJ Habibie, Pendekatan "Ajaib", dan Krisis Ekonomi 1998

Gejolak nilai tukar rupiah masih membayangi Indonesia seiring dengan dinamika ketidakpastian ekonomi global.

Hingga saat ini, Pemerintah dan Bank Indonesia tetap masih mewaspadai gejolak rupiah.

Saat krisis keuangan tahun 1998 silam, Indonesia pernah memiliki pengalaman kejatuhan rupiah hingga Rp 17.000 per dollar AS.

Namun dengan berbagai langkah tepat dan terukur BJ Habibie, Presiden Ri ketika itu, rupiah bisa merangkak naik hingga Rp 6.500 per dollar AS.

Habibie punya pendekatan "ajaib" memahami gejolak nilai tukar rupiah saat itu.

Habibie bukanlah seorang ahli ekonomi. Ia seorang engineer pesawat terbang. Hal itulah yang membuat banyak ekonom tak yakin Habibie mampu mengangkat ekonomi Indonesia paska-krisis 1998.

Namun hasil berkata lain, pemerintahan Habibie justru mampu menjawab pesimisme itu. Pendekatan Habibie dalam melihat kondisi ekonomi, termasuk nilai tukar rupiah menjadi pembeda.

Habibie memahami kondisi ekonomi menggunakan pendekatan aeronautical atau aeronautika. Ia melihat kejatuhan rupiah pada 1998 ibarat pesawat terbang dalam keadaan stall.

Stall merupakan posisi saat pesawat kehilangan daya angkat. Bagian depan pesawat mengarah ke atas dengan sudut lebih dari 15 derajat. Kondisi ini bisa menyebabkan pesawat jatuh.

"Bayangkan pesawat sudah stall, mau jatuh, sama dia bisa stabil lagi sehingga cruising [terbang datar], descending [pesawat terbang turun], dan bisa soft landing," kata ekonom Umar Juoro di Habibie Center, Jakarta, pada Oktober 2018.

Habibie tak melihat kondisi ekonomi dan rupiah dari sisi statik ekonomi. Namun melihat dari sisi yang dinamik aeronautika.

Pesawat terbang bisa stall dan jatuh bebas akibat kecepatannya berada di bawah kecepatan minimum. Terangkatnya moncong pesawat disebabkan gaya gravitasi bumi.

Hal yang paling penting dalam menerbangkan pesawat yakni gaya angkat atau lift dengan gravitasi harus seimbang. Oleh karena itu, agar pesawat tak jatuh maka kondisinya harus seimbang.

Inilah yang dilihat Habibie dari kondisi rupiah 1998. Ibarat pesawat terbang, rupiah saat itu sudah mengalami stall. Oleh karena itu perlu cara agar rupiah bisa stabil lebih dulu.

Keseimbangan menjadi basis. Dalam aeronautika, untuk meningkatkan kecepatan atau menurunkan kecepatan, maka dibutuhkan kesimbangan dengan gravitasi. Inilah yang disebut sebagai aerodinamika.

"Gerakan rupiah itu adalah gerakan seperti gerakan di udara, mengalami turbulensi. Sementara struktur ekonomi itu kan keseimbangan. Makanya Pak Habibie selalu sebut kata-kata kesimbangan itu banyak sekali," kata dia.

"Sebetulnya kalau mau di lihat ekonomi sekarang yang demikan besar triliunan dollar dan globalisasi itu, ekonomi itu pesawat udara, pesawat jet. Makanya Pak Habibie ingin jangan sampai dia crash. Karena kalau crash itu berarti konstruksinya hancur," sambung Umar.

Dengan pendekatan aeronautical itulah Habibie mengambil kebijakan-kebijakan saat menggantikan Soeharto sebagi Presiden RI ke-3 pada 21 Mei 1998 � 20 Oktober 1999.

Hasilnya

Meski umur masa pemerintahnya tak panjang, BJ Habibie dikenal sebagai pionir reformasi di bidang ekonomi.

Umar mengatakan, Habibie memahami betul bahwa masalah ekonomi 1998 tak lagi sebatas ekonomi semata namun sudah menjalar ke krisis kepercayaan atau trust.

Misalnya dalam kasus IMF yang meminta pemerintah menutup 16 bank pada 1 November 1997, termasuk bank yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto. Tujuannya, kepercayaan rakyat kepada pemerintah muncul.

Namun pasar menyambut negatif keputusan itu. Masyarakat malah panik dan berbondong-bondong menarik dananya dari bank.

Untuk menghentikan rush, pemerintah melalui Bank Indonesia [BI] terpaksa mengambil dua langkah. Pertama, menjamin 100 persen semua simpanan di bank. Kedua, menaikkan suku bunga deposito hingga 60 persen.

"Makanya saat IMF mengatakan IMF yang mendikte, Pak Habibie bilang 'Jangan mendikte Anda, saya tahu bahwa kami butuh kredibilitas'. Jadi dia enggak hanya menerima gitu aja. Masalahnya bukan masalah ekonomi lagi, tapi juga emosional," ucap Umar.

Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Habibie memiliki basis untuk mengembalikan kepercayaan kepada ekonomi nasional.

Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono saat berbincang dengan Kompas.com sempat mengungkapan beberapa kebijakan massa pemerintahan BJ Habibie.

Pada 21 Agustus 1998, pemerintah mengeluarkan paket restrukturasi perbankan untuk membangun kembali perbankan yang sehat. Lewat kebijakan ini beberapa bank di-merger untuk menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan, salah satu hasilnya adalah Bank Mandiri.

Pemerintahan Habibie juga mengambil keputusan besar untuk memisahkan Bank Indonesia [BI] dari pemerintah. Dengan pemisahan itu, BI menjelma menjadi lembaga independen dan mendapatkan lagi kepercayaan.

Umar mengatakan, kebijakan Habibie memisahkan BI dari pemerintah sangat sederhana yakni agar BI tidak lagi diperintah atau ditekan oleh penguasa seperti massa Orde Baru.

Selain itu masuknya investor asing dan mulai pulihnya kepercayaan berimbas kepada penguatan nilai tukar rupiah.

Meski sempat ada di jurang Rp 16.800 per dollar AS, nilai tukar rupiah secara perlahan merangkak naik hingga mampu menguat di angka Rp 6.500 per dollar AS di era Habibie.

Kondisi pertumbuhan ekonomi membaik menjadi 0,79 persen pada 1999, naik dari 1998 yang sempat -13,13 persen.

Begitu pun dengan tingkat kemiskinan jadi 23,4 persen pada 1999, menurun dari 1998 yang mencapai 24,2 persen. Ketimpangan atau gini ratio pada 1998-1999 sebesar 0,3.

[Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian Kompas pada tanggal 11 Agustus 2019 dan bisa ditemukan di: sini]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề