Bagaimana mencegah terjadinya ketidaksesuaian dalam proses pengadaan barang dan jasa
Proses pengadaan Barang / Jasa pemerintah pada dasarnya merupakan penyelenggaraan hukum administrasi negara, yang memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Bentuk hukum administrasi negara antara lainnya adalah mengenai: Filsafat dan Dasar-Dasar Umum Pemerintahan dan Administrasi Negara; Organisasi Pemerintahan dan Administrasi Negara; Tata Pemerintahan; Kegiatan-kegiatan operasional Administrasi Negara; Administrasi Keuangan Negara; Administrasi Kepegawaian Negara; Badan Usaha Negara; Hukum Perencanaan Negara; Hukum Pengawasan Administrasi Negara; Hukum Kearsipan dan Dokumentasi Negara; Hukum Sensus; dan Statistik Negara. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Pemahaman singkat yang bisa muncul tentunya pemberlakuan sanksi yang ada tentunya sanksi yang bersifat administrasi. Pemahaman ini tentunya benar, namun tidak sepenuhnya benar. Adanya unsur penggunaan keuangan negara menjadikan proses pengadaan barang/jasa ini juga dapat bersanding dengan sanksi lain yang terkait. Sering muncul dalam pembicaan maupun pemberitaan, ketika adanya kesalahan administrasi atau urusan tata usaha yang berakhir dengan sanksi pidana. Mengutip analisis yang disusun oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi dalam Buku Swakelola Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, bahwa dalam mengulas sanksi tentunya tidak dalam rangkaian maksud membuat gambaran menakutkan atas proses pengadaan. Uraian pembahasan ini lebih bersifat membuat jelas pemahaman, serta dapat dijadikan referensi bagi para pihak agar terhindar dari tindakan yang bertentangan dengan aturan-aturan yang mendasari dan berkaitan. Sehingga dengan mengetahui adanya konsekuensi “Sanksi”, perjalanan pengadaan ini menjadi proses yang tertib, cermat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata “Sanksi” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pola arti yang setara dari beberapa definisi yang diangkat, seperti dengan definisi sanksi sebagai tanggungan (tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan; imbalan negatif berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan di dalam hukum. Dari pemilahan kata tersebut, sanksi dapat dipahami sebagai ketentuan berupa tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian, ketentuan atau peraturan, sehingga apabila terjadi pelanggaraan maka dikenakan tindakan atau hukuman bagi yang melanggar perjanjian, ketentuan atau peraturan dimaksud. Dari definisi tersebut di atas, pembahasan “sanksi” dalam pelaksanaan pengadaan yang tata caranya diatur oleh peraturan perundang-undangan, erat kaitannya dalam pembahasan dari tinjauan aspek hukum. Dalam konstelasi hukum, sebagaimana yang muat di dalam “Black’s Law Dictionary”, sanction (sanksi), adalah “A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”, atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang, peraturan, atau perintah. Dalam penerapan kehidupan sehari-hari secara umumnya dan aplikasi dalam penyelengaraan pemerintahan khususnya, sekurang-kurangnya dikenal tiga pengelompokan jenis sanksi hukum, yaitu : 1) sanksi hukum pidana; 2) sanksi hukum perdata; dan 3) sanksi administratif. Satu persatu dapat diulas sebagai berikut : Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana. Menurut Roeslan Saleh (Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, 1983), bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yg dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja. Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum, dan atau perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Namun perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-undang. Di Indonesia, sumber hukum yang menyatakan adanya pidana terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk aturan umum dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya di luar KUHP. KUHP sebagai induk aturan umum mengikat peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP, namun dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus tersebut dapat mengatur sendiri atau menyimpang dari induk aturan umum, seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bentuk Hukuman Pidana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa :
Pada hakekatnya hukum administrasi negara memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan Hukum Administrasi Negara. Bentuk hukum administrasi negara digambarkan oleh Prajudi Atmosudirdjo (Hukum Administrasi Negara, 1986) antara lainnya adalah mengenai:
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Bentuknya dapat berupa denda, pencabutan izin, sanksi finansial, pengurangan izin kapasitas produksi, teguran dan peringatan. Lebih lanjut bahasan sanksi ini akan ditinjau dari aspek Sanksi dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Sanksi dalam Pertanggungjawaban Keuangan Negara, dan Sanksi dalam Urusan Tata Usaha Negara.
Melihat dasar aturan yang dipergunakan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat diketahui bahwa rumpun hukum yang dipergunakan adalah hukum administrasi negara, yang sifatnya mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Pengaturan tentang Sanksi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur di dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya, sampai dengan perubahan yang Kedua yaitu Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015. Di dalam pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan dan sanksi yang dapat dikenakan bagi para pihak dalam pelaksaan pengadaan sesuai ranah dan fungsi tanggungjawab masing-masing. Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak adalah sebagai berikut :
Jika melihat bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak yang diatur di dalam Pasal-pasal tersebut, kecendurangan awal yang dapat dilihat adalah perbuatan-perbuatan penyimpangan tersebut diberlakukan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang menggunakan Penyedia. Adapun bentuk sanksi yang dapat dikenakan para pihak tersebut sesuai dengan pelanggaran adalah sebagai berikut : Pemberian sanksi administratif, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan kepada penyedia sesuai dengan ketentuan administrasi yang diberlakukan dalam peraturan pengadaan ini. Bentuk-bentuk sanksi administrasi yang dapat dikenakan kepada penyedia adalah :
Dalam hal yang melakukan pelanggaran adalah PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang notabenenya adalah berstatus pegawai negeri, maka jika ditetapkan telah melakukan pelanggaran seperti tidak belakukan tahapan proses pengadana yang telah diatur atau melakukan kecurangan dalam proses pengadaan, berlaku sanksi yang diatur di dalam aturan kepegawaian yang diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan sanksi, seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian, sesuai ketentuan peraturan kepegawaian.
Pemberian sanksi Pencantuman Dalam Daftar Hitam kepada Penyedia, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan. Pada tahapan proses pemilihan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa dapat dikenakan sanksi blacklist apabila:
Pada tahapan kontrak, Penyedia Barang/Jasa yang telah terikat kontrak dikenakan sanksi blacklist apabila:
Gugatan adalah pengajuan yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat dan tergugat). Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak yang membuat perjanjian dapat mengambil jalur hukum secara perdata jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak. Hal ini dipahami sebagai bagian dari azas dalam sebuah perjanjian yaitu Asas pacta sunt servanda atau sering disebut asas kepastian hukum merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Hakim atau pihak lain harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Laporan pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak dapat mengambil jalur hukum dengan membuat laporan secara pidana kepada pihak yang berwenang, jika diduga terjadinya peristiwa pidana dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seperti pemalsuan dokumen, praktik KKN, dan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara. Pemberlakukan tuntuan ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat dikenakan berupa:
Dengan pertimbangan kompleksitas penyimpangan yang terjadi, dapat dimungkinkan pihak yang melakukan kesalahan dikenakan sanksi berlapis sesuai dengan sifat pelanggarannya. Seperti contoh penyedia yang menyampaikan data yang tidak benar/palsu dalam penawarannya, maka dapat dikenakan sanksi administrasi, pengenaan daftar hitam, dan laporan secara perdata kepada pihak yang berwenang. Dalam pembahasan sanksi pada pelaksanaan swakelola yang didasari dengan kontrak, yaitu jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola dan swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola, perlu menuangkan kesepakatan perdata dalam hal sanksi bagi pihak yang terikat. Memang dalam pelaksanaannya sering diliputi keengganan para pihak, khususnya jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola. Namun dengan dengan pertimbangan capaian sasaran kegiatan, perlu disusun dengan cerman klausul sanksi dalam kontrak bagi pelaksana swakelola. Berbeda dengan dokumen kontrak lainnya, untuk kegiatan swakelola yang belum tersedia model kontrak dalam standard biding document. Kontrak harus dibuat oleh masing/masing K/L/D/I sesuai dengan karakteristik dan ruang lingkup pekerjaan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (TOR) masing-masing.
Pengadaan barang/jasa pemerintah tidak terlepas dari Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Bahkan ruang lingkup yang diatur di dalam Peraturan Presidennya pun pelaksanaan pengadaan melekat ketika dananya bersumber dari APBD/APBN. Dengan konsekuensi logis ini perhatian tidak boleh lepas bahwa dalam pelaksanaan pengadaan yang menggunakan keuangan negara, juga dipayungi sanksi jika terjadi penyimpangan dalam penggunaannya. Di dalam Pasal 34 dan 35 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur ketentuan pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi dalam penyelenggaraan Keuangan negara. Hal-hal yang termaktub dalam aturan tersebut adalah :
Dengan memahami adanya konsekuensi logis berupa sanksi ketika terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, hal ini perlu menjadi stimula para pihak pelaksana pengadaan untuk bekerja dengan tertin, profesional dan bertanggungjawab.
Sebagaimana dalam bahasannya sebelumnya, penyelenggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat diketahui bahwa rumpun hukum yang dipergunakan adalah hukum administrasi negara atau yang juga dipahami dengan istilah tata usaha negara, yang sifatnya mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Dengan dasar ini, pemahaman singkat yang bisa muncul tentunya pemberlakuan sanksi yang ada tentunya sanksi yang bersifat administrasi. Pemahaman ini tentunya benar, namun tidak sepenuhnya benar. Adanya unsur penggunaan keuangan negara menjadikan proses pengadaan barang/jasa juga dapat bersanding dengan sanksi lain yang terkait. Sering muncul dalam pembicaan maupun pemberitaan, ketika adanya kesalahan administrasi atau urusan tata usaha yang berakhir dengan sanksi pidana. Untuk ini pada bahasan ini perlu dibahas fenomena pembelakuan sanksi dalam koridor hukum. Proses pengadaan merupakan proses administrasi negara yang kemudian dapat berkembangan menjadi ranah perdata ketika terjadi ikatan perjanjian dalam proses pengadaan tersebut. Namun kadang mencengangkan, sesekali klausul pidana mewarnai realita yang ada. Hal ini sejalan dengan yang ungkapkan oleh Hazewinkel-Suringga sebagaimana dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro (Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 2003) bahwa tidak pernah dapat dikatakan secara tepat, dimana letak batas antara hukum pidana dan hukum perdata, antara hukum pidana dan hukum pendidikan, antara hukum pidana dan hukum administrasi. Demikian eratnya hubungan antara hukum pidana dengan cabang hukum lainnya khususnya dalam hal ini hukum administrasi negara, sehingga Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tanda-tanda batas antara hukum pidana disatu pihak dan hukum tata usaha negara di pihak lain, terletak pada rasa keadilan. Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Dari klausul sanksi yang diatur di dalam peraturan pengadaan barang/jasa, jelas perumus peraturan menempatkan hukum pidana sebagai hukum pembantu bagi hukum adminitrasi negara karena penetapan sanksi pidana merupakan sarana untuk menegakkan hukum administrasi negara. Ditambah lagi dengan adanya Dengan adanya undang-undang yang mengatur pidana khusus, maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Di dalam rangka pelaksanaan suasana tertib atas konsekuensi hukum, maka berbagai program dan kebijaksanaan pembangunan negara perlu didukung dan ditegakkan oleh seperangkat kaidah peraturan perundang-undangan yang antara lain memuat aturan dan pola perilaku-perilaku tertentu, berupa larangan-larangan, kewajiban-kewajiban dan anjuran-anjuran. Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural. Please follow and like us:
|