Bagaimana mencegah terjadinya ketidaksesuaian dalam proses pengadaan barang dan jasa

Proses pengadaan Barang / Jasa pemerintah pada dasarnya merupakan penyelenggaraan hukum administrasi negara, yang memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Bentuk hukum administrasi negara antara lainnya adalah mengenai: Filsafat dan Dasar-Dasar Umum Pemerintahan dan Administrasi Negara; Organisasi Pemerintahan dan Administrasi Negara; Tata Pemerintahan; Kegiatan-kegiatan operasional Administrasi Negara; Administrasi Keuangan Negara; Administrasi Kepegawaian Negara; Badan Usaha Negara; Hukum Perencanaan Negara; Hukum Pengawasan Administrasi Negara; Hukum Kearsipan dan Dokumentasi Negara; Hukum Sensus; dan Statistik Negara.

Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya.

Pemahaman singkat yang bisa muncul tentunya pemberlakuan sanksi yang ada tentunya sanksi yang bersifat administrasi. Pemahaman ini tentunya benar, namun tidak sepenuhnya benar. Adanya unsur penggunaan keuangan negara menjadikan proses pengadaan barang/jasa ini juga dapat bersanding dengan sanksi lain yang terkait. Sering muncul dalam pembicaan maupun pemberitaan, ketika adanya kesalahan administrasi atau urusan tata usaha yang berakhir dengan sanksi pidana.

Mengutip analisis yang disusun oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi dalam Buku Swakelola Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, bahwa dalam mengulas sanksi tentunya tidak dalam rangkaian maksud membuat gambaran menakutkan atas proses pengadaan. Uraian pembahasan ini lebih bersifat membuat jelas pemahaman, serta dapat dijadikan referensi bagi para pihak agar terhindar dari tindakan yang bertentangan dengan aturan-aturan yang mendasari dan berkaitan. Sehingga dengan mengetahui adanya konsekuensi “Sanksi”, perjalanan pengadaan ini menjadi proses yang tertib, cermat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kata “Sanksi” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pola arti yang setara dari beberapa definisi yang diangkat, seperti dengan definisi sanksi sebagai tanggungan (tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan; imbalan negatif berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan di dalam hukum. Dari pemilahan kata tersebut, sanksi dapat dipahami sebagai ketentuan berupa tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian, ketentuan atau peraturan, sehingga apabila terjadi pelanggaraan maka dikenakan tindakan atau hukuman bagi yang melanggar perjanjian, ketentuan atau peraturan dimaksud.

Dari definisi tersebut di atas, pembahasan “sanksi” dalam pelaksanaan pengadaan yang tata caranya diatur oleh peraturan perundang-undangan, erat kaitannya dalam pembahasan dari tinjauan aspek hukum. Dalam konstelasi hukum, sebagaimana yang muat di dalam “Black’s Law Dictionary”, sanction (sanksi), adalah “A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”, atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang, peraturan, atau perintah.

Dalam penerapan kehidupan sehari-hari secara umumnya dan aplikasi dalam penyelengaraan pemerintahan khususnya, sekurang-kurangnya dikenal tiga pengelompokan jenis sanksi hukum, yaitu : 1) sanksi hukum pidana; 2) sanksi hukum perdata; dan 3) sanksi administratif. Satu persatu dapat diulas sebagai berikut :

Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana.

Menurut Roeslan Saleh (Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, 1983), bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yg dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.

Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum, dan atau perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Namun perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-undang.

Di Indonesia, sumber hukum yang menyatakan adanya pidana terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk aturan umum dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya di luar KUHP. KUHP sebagai induk aturan umum mengikat peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP, namun dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus tersebut dapat mengatur sendiri atau menyimpang dari induk aturan umum, seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Bentuk Hukuman Pidana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

  1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:
  1. hukuman mati
  2. hukuman penjara
  3. hukuman kurungan
  4. hukuman denda
  1. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:
  1. pencabutan beberapa hak yang tertentu
  2. perampasan barang yang tertentu
  3. pengumuman keputusan hakim

Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa :

    1. Putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contohnya seperti putusan perceraian suatu ikatan perkawinan.
    2. Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya. Contohnya seperti putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak tertentu.
    3. Putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan, dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contohnya seperti putusan sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.

Pada hakekatnya hukum administrasi negara memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan Hukum Administrasi Negara.

Bentuk hukum administrasi negara digambarkan oleh Prajudi Atmosudirdjo (Hukum Administrasi Negara, 1986) antara lainnya adalah mengenai:

  1. Filsafat dan Dasar-Dasar Umum Pemerintahan dan Administrasi Negara;
  2. Organisasi Pemerintahan dan Administrasi Negara
  3. Tata Pemerintahan
  4. Kegiatan-kegiatan operasional Administrasi Negara;
  5. Administrasi Keuangan Negara
  6. Administrasi Kepegawaian Negara;
  7. Badan Usaha Negara;
  8. Hukum Perencanaan Negara;
  9. Hukum Pengawasan Administrasi Negara;
  10. Hukum Kearsipan dan Dokumentasi Negara;
  11. Hukum Sensus dan Statistik Negara

Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Bentuknya dapat berupa denda, pencabutan izin, sanksi finansial, pengurangan izin kapasitas produksi, teguran dan peringatan.

Lebih lanjut bahasan sanksi ini akan ditinjau dari aspek Sanksi dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Sanksi dalam Pertanggungjawaban Keuangan Negara, dan Sanksi dalam Urusan Tata Usaha Negara.

  • Sanksi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Melihat dasar aturan yang dipergunakan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat diketahui bahwa rumpun hukum yang dipergunakan adalah hukum administrasi negara, yang sifatnya mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

Pengaturan tentang Sanksi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur di dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya, sampai dengan perubahan yang Kedua yaitu Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015. Di dalam pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan dan sanksi yang dapat dikenakan bagi para pihak dalam pelaksaan pengadaan sesuai ranah dan fungsi tanggungjawab masing-masing.

Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak adalah sebagai berikut :

  1. Penyedia Barang/Jasa
    1. berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain.
    3. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.
    4. mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
    5. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab.
    6. ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
    7. terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa.
    8. Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian negara.
  1. Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
    1. terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh  Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
    2. terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
  1. Pejabat Pembuat Komitmen
    1. terjadi cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam Kontrak.
    2. terjadi keterlambatan pembayaran

Jika melihat bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak yang diatur di dalam Pasal-pasal tersebut, kecendurangan awal yang dapat dilihat adalah perbuatan-perbuatan penyimpangan tersebut diberlakukan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang menggunakan Penyedia.

Adapun bentuk sanksi yang dapat dikenakan para pihak tersebut sesuai dengan pelanggaran adalah sebagai berikut :

Pemberian sanksi administratif, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan kepada penyedia sesuai dengan ketentuan administrasi yang diberlakukan dalam peraturan pengadaan ini. Bentuk-bentuk sanksi administrasi yang dapat dikenakan kepada penyedia adalah :

        1. Digugurkan penawarannya atau pembatalan pemenang atas ditemukan adanya penyimpangan upaya mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan, melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran di luar prosedur, dan membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar.
        2. Pemberlakukan denda terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan. Sanksi ini juga dapat diterapkan dalam konteks perdata sebuah perjanjian atau kontrak.
        3. Pencairan jaminan yang diterbitkan atas pelanggaran yang dilakukan. Untuk selanjutnya dicairkan masuk ke kas negara / daerah.
        4. Penyampaian laporan kepada pihak yang berwenangan menerbitkan perizinan, terhadap penyimpangan yang dilakukan sehingga dianggap perlu untuk dilakukan pencabutan izin yang dimiliki.
        5. Pemberlakukan sanksi administrasi berupa pengenaan sanksi finansial atas ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
        6. Kewajiban untuk menyusun perencanaan ulang dengan biaya sendiri atas Konsultan perencana yang tidak cermat dalam menyusun perencanaan dan mengakibatkan kerugian negara. Sanksi ini juga dapat diterapkan dalam konteks perdata sebuah perjanjian atau kontrak

Dalam hal yang melakukan pelanggaran adalah  PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang notabenenya adalah berstatus pegawai negeri, maka jika ditetapkan telah melakukan pelanggaran seperti tidak belakukan tahapan proses pengadana yang telah diatur atau melakukan kecurangan dalam proses pengadaan, berlaku sanksi yang diatur di dalam aturan kepegawaian yang diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan sanksi, seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian, sesuai ketentuan peraturan kepegawaian.

      1. Sanksi Pencantuman Dalam Daftar Hitam

Pemberian sanksi Pencantuman Dalam Daftar Hitam kepada Penyedia, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.  

Pada tahapan proses pemilihan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa dapat dikenakan sanksi blacklist apabila:

    1. terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
    2. mempengaruhi ULP (Unit Layanan Pengadaan)/Pejabat Pengadaan/PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Dokumen Pengadaan dan/atau HPS yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat;
    3. mempengaruhi  ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung  maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan  prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
    4. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk  mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
    5. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
    6. mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
    7. membuat  dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
    8. mengundurkan diri pada masa  penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
    9. menolak untuk menaikkan nilai jaminan pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80% HPS;
    10. mengundurkan diri/tidak hadir bagi pemenang dan pemenang cadangan  1 (satu) dan 2 (dua) pada saat klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya dengan alasan yang tidak dapat  diterima  oleh  ULP/Pejabat  Pengadaan dalam pelaksanaan pengadaan jasa konsultansi;
    11. memalsukan data tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri;
    12. mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan 1 (satu)  dan 2 (dua) pada saat penunjukan Penyedia Barang/Jasa dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh PPK; dan/atau
    13. mengundurkan diri  dari  peraksanaan penandatanganan  kontrak dengan arasan  yang  tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima  oleh PPK.

Pada tahapan kontrak, Penyedia Barang/Jasa yang telah terikat kontrak dikenakan sanksi blacklist apabila:

  1. terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
  2. menolak menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan;
  3. mempengaruhi PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. melakukan  pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan;
  5. melakukan perbuatan lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak oleh PPK;
  6. meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak secara tidak bertanggungjawab;
  7. memutuskan kontrak secara sepihak karena kesalahan Penyedia  Barang/Jasa; dan/atau
  8. tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi audit pihak yang berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara.

Gugatan adalah pengajuan yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat dan tergugat).

Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak yang membuat perjanjian dapat mengambil jalur hukum secara perdata jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak.

Hal ini dipahami sebagai bagian dari azas dalam sebuah perjanjian yaitu Asas pacta sunt servanda atau sering disebut asas kepastian hukum merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Hakim atau pihak lain harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

      1. Pelaporan Secara Pidana Kepada Pihak Berwenang

Laporan pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.

Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak dapat mengambil jalur hukum dengan membuat laporan secara pidana kepada pihak yang berwenang, jika diduga terjadinya peristiwa pidana dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seperti pemalsuan dokumen, praktik KKN, dan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara.

Pemberlakukan tuntuan ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat dikenakan berupa:

        1. terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh  Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
        2. ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia; atau dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak.

Dengan pertimbangan kompleksitas penyimpangan yang terjadi, dapat dimungkinkan pihak yang melakukan kesalahan dikenakan sanksi berlapis sesuai dengan sifat pelanggarannya. Seperti contoh penyedia yang menyampaikan data yang tidak benar/palsu dalam penawarannya, maka dapat dikenakan sanksi administrasi, pengenaan daftar hitam, dan laporan secara perdata kepada pihak yang berwenang.

Dalam pembahasan sanksi pada pelaksanaan swakelola yang didasari dengan kontrak, yaitu jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola dan swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola, perlu menuangkan kesepakatan perdata dalam hal sanksi bagi pihak yang terikat. Memang dalam pelaksanaannya sering diliputi keengganan para pihak, khususnya jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola. Namun dengan dengan pertimbangan capaian sasaran kegiatan, perlu disusun dengan cerman klausul sanksi dalam kontrak bagi pelaksana swakelola. Berbeda dengan dokumen kontrak lainnya, untuk kegiatan swakelola yang belum tersedia model kontrak dalam standard biding document. Kontrak harus dibuat oleh masing/masing K/L/D/I sesuai dengan karakteristik dan ruang lingkup pekerjaan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (TOR) masing-masing.

  • Sanksi Dalam Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Pengadaan barang/jasa pemerintah tidak terlepas dari Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Bahkan ruang lingkup yang diatur di dalam Peraturan Presidennya pun pelaksanaan pengadaan melekat ketika dananya bersumber dari APBD/APBN. Dengan konsekuensi logis ini perhatian tidak boleh lepas bahwa dalam pelaksanaan pengadaan yang menggunakan keuangan negara, juga dipayungi sanksi jika terjadi penyimpangan dalam penggunaannya.

Di dalam Pasal 34  dan 35 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur ketentuan pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi dalam penyelenggaraan Keuangan negara. Hal-hal yang termaktub dalam aturan tersebut adalah :

  1. Menteri/ Pimpinan lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
  2. Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
  3. Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang keuangan negara.
  4. Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
  5. Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
  6. Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
  7. Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara, yaitu Pasal 59 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara

Dengan memahami adanya konsekuensi logis berupa sanksi ketika terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, hal ini perlu menjadi stimula para pihak pelaksana pengadaan untuk bekerja dengan tertin, profesional dan bertanggungjawab.

  • Sanksi Dalam Urusan Tata Usaha Negara

Sebagaimana dalam bahasannya sebelumnya, penyelenggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat diketahui bahwa rumpun hukum yang dipergunakan adalah hukum administrasi negara atau yang juga dipahami dengan istilah tata usaha negara, yang sifatnya mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Dengan dasar ini, pemahaman singkat yang bisa muncul tentunya pemberlakuan sanksi yang ada tentunya sanksi yang bersifat administrasi. Pemahaman ini tentunya benar, namun tidak sepenuhnya benar. Adanya unsur penggunaan keuangan negara menjadikan proses pengadaan barang/jasa juga dapat bersanding dengan sanksi lain yang terkait.

Sering muncul dalam pembicaan maupun pemberitaan, ketika adanya kesalahan administrasi atau urusan tata usaha yang berakhir dengan sanksi pidana. Untuk ini pada bahasan ini perlu dibahas fenomena pembelakuan sanksi dalam koridor hukum.

Proses pengadaan merupakan proses administrasi negara yang kemudian dapat berkembangan menjadi ranah perdata ketika terjadi ikatan perjanjian dalam proses pengadaan tersebut. Namun kadang mencengangkan, sesekali klausul pidana mewarnai realita yang ada. Hal ini sejalan dengan yang ungkapkan oleh Hazewinkel-Suringga sebagaimana dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro (Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 2003) bahwa tidak pernah dapat dikatakan secara tepat, dimana letak batas antara hukum pidana dan hukum perdata, antara hukum pidana dan hukum pendidikan, antara hukum pidana dan hukum administrasi.

Demikian eratnya hubungan antara hukum pidana dengan cabang hukum lainnya khususnya dalam hal ini hukum administrasi negara, sehingga Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tanda-tanda batas antara hukum pidana disatu pihak dan hukum tata usaha negara di pihak lain, terletak pada rasa  keadilan. Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa.

Dari klausul sanksi yang diatur di dalam peraturan pengadaan barang/jasa, jelas perumus peraturan menempatkan hukum pidana sebagai hukum pembantu bagi hukum adminitrasi negara karena penetapan sanksi pidana merupakan sarana untuk menegakkan hukum administrasi negara. Ditambah lagi dengan adanya Dengan adanya undang-undang yang mengatur pidana khusus, maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara hukum administrasi dengan hukum pidana.

Di dalam rangka pelaksanaan suasana tertib atas konsekuensi hukum, maka berbagai program dan kebijaksanaan pembangunan negara perlu didukung dan ditegakkan oleh seperangkat kaidah peraturan perundang-undangan yang antara lain memuat aturan dan pola perilaku-perilaku tertentu, berupa larangan-larangan, kewajiban-kewajiban dan anjuran-anjuran. Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural.

Please follow and like us:

Bagaimana mencegah terjadinya ketidaksesuaian dalam proses pengadaan barang dan jasa

Bagaimana mencegah terjadinya ketidaksesuaian dalam proses pengadaan barang dan jasa