Bagaimana tindak lanjut kaum non muslim setelah dapat menghapus sistem kekhalifahan di Turki

Sama seperti kekhalifahan dan kerajaan Islam sebelumnya, Turki Utsmani juga menunjukkan perhatian yang besar dan pengakuan hak-hak non-muslim di wilayah mereka. Prinsip ini telah dituntunkan oleh syariat Islam, bagaimana hendaknya interaksi negara kepada non-muslim. Mereka dilindungi, diberikan kebebasan beragama, dan bebas dari penganiayaan. Di antara pengaturan yang pertama dibuat adalah Perjanjian Umar ibn al-Khattab yang menjamin orang-orang Nasrani di Jerusalem dengan kebebasan beragama dan keselamatan dalam penunaiannya.

Undang-Undang Perlindungan Terhadap Non-Muslim

Pengaturan dan undang-undang hak masyarakat non muslim ini pun segera dipraktikkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih ketika menaklukkan Konstantinopel tahun 1453 dengan mayoritas komunitas Nasrani-nya. Sejarah mencatat, Konstatinopel adalah pusat Kristen Ortodoks dunia dan masih memiliki populasi yang besar. Sebagai sebuah kerajaan yang wilayah kekuasaannya meluas hingga Eropa, semakin bertambah pula non muslim yang berada dalam otoritas Turki Utsmani. Sebagai contoh, pada tahun 1530, lebih dari 80% rakyat Turki Utsmani di Eropa adalah non muslim. Untuk mengatur ini, Sultan Muhammad menerapkan sistem baru yang kemudian dikenal dengan sistem millet.

Setiap agama terakomodir dengan sistem ini. Millet berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “bangsa”, hal ini menunjukkan bahwa Turki Utsmani menyatakan bahwa mereka adalah pelindung bangsa-bangsa yang ada di dalam pemerintahannya. Setiap agama dianggap millet sendiri, dengan beberapa millet yang ada di kesultanan. Sebagai contoh, semua orang Kristen Ortodoks di Kekaisaran Ottoman dianggap sebagai merupakan millet, sementara semua orang Yahudi merupakan millet lain.

Setiap millet diizinkan untuk memilih tokoh agama sendiri untuk memimpin mereka. Dalam kasus Gereja Ortodoks [Gereja terbesar di Kekaisaran Ottoman], Patriark Ortodoks [Uskup Agung Konstantinopel] adalah pemimpin terpilih millet. Para pemimpin millet diizinkan untuk menegakkan aturan agama mereka sendiri pada orang-orang mereka. Hukum Islam [Syariah] tidak memiliki wewenang hokum atas non-Muslim di Kekaisaran Ottoman.

Dalam kasus kejahatan, orang akan dihukum sesuai dengan aturan agama mereka sendiri, bukan syariat Islam atau hukum agama lainnya. Sebagai contoh, jika seorang Kristen terbukti mencuri, dia akan dihukum sesuai dengan hukum Kristen dalam masalah pencurian. Jika seorang Yahudi yang mencuri, dia harus dihukum sesuai dengan hukum Yahudi, dll. Syariat hukum Islam akan diterapkan jika yang melakukan pidana adalah seorang Muslim, atau ketika ada kasus yang melibatkan dua orang dari millet yang berbeda [missal Yahudi dengan Islam atau Kristen dengan Yahudi pen.]. Dalam hal ini, seorang hakim Muslim akan memimpin kasus dan ia akan memutuskan sesuai dengan penilaian terbaik.

Selain hukum agama, millet diberi kebebasan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, mengembangkan lembaga mereka sendiri [gereja, sekolah, dll], dan mengumpulkan pajak. Pemerintah Turki Utsmani hanya melakukan kontrol atas millet melalui para pemimpin mereka. Para pemimpin millet wajib melapor ke sultan. Jika ada masalah dalam sebuah millet, sultan akan berkonsultasi dengan pemimpin millet. Secara teoritis, populasi Muslim di Kerajaan Turki Utsmani juga merupakan millet, dengan sultan [raja] sebagai pemimpin milletnya.

Kesuksesan Sistem Millet

Dalam kurun kekuasaan Kerajaan Turki Utsmani, antara tahun 1300 hingga 1922, sistem millet berhasil menciptakan kerukunan beragama dan dan rasa tanggung jawab dari setiap lapisan masyarakat di seluruh kerajaan. Semakin luas wilayah kekuasaan kerajaan, maka semakin banyak tata aturan millet yang berlangsung. Ada sismtem millet untuk Armenia, Katolik, dan Kristen Ortodoks, dengan masing-masing sektenya yang dibagi lagi lebih spesifik oleh gereja-gereja di daerah masing-masing.

Sistem millet ini tidak berlangsung sampai akhir Kerajaan Utsmani. Setelah kerajaan mulai mundur dan lemah pada tahun 1700-an dan 1800-an, campur tangan Eropa di kerajaan pun menguat. Ketika oragnisasi liberal disahkan tahun 1800-an, sistem millet dihapuskan, dan sistem pemerintahan sekuler ala Eropa lebih ditonjolkan. Turki Utsmani dipaksa untuk menjamin “hak” agama minoritas, padahal hakikatnya mengekaang kebebasan mereka. Bukannya diizinkan untuk memerintah diri mereka sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan, semua kelompok agama dipaksa untuk mengikuti aturan yang sama yakni hukum sekuler. Hal ini menjadikan sebuah akhir yang menyebabkan ketegangan umat beragama di kerajaan. Dan kemudian menjadi salah satu penyebab genosida terhadap orang-orang Armenia di Perang Dunia I, hari-hari keruntuhan Utsmani.

Sistem millet adalah solusi yang unik dan kreatif untuk menjalankan sebuah kerajaan multi-etnis dan multi-agama. Hak dan kebebasan diberikan kepada agama minoritas dalam kurun waktu yang panjang. Sementara Eropa pada tahun 1900-an masih disibukkan dengan penganiayaan atas nama agama, Turki Utsmani telah menciptakan sistem pluralistik agama yang harmonis dan stabil, yang menjamin kebebasan beragama selama ratusan tahun.

Sumber: – Itzkowitz, Norman. Ottoman Empire And Islamic Tradition. Chicago: University Of Chicago Press, 1981. Print.

– Ochsenwald, William, and Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New York: McGraw-Hill, 2003. Print.

Mustafa Kemal Ataturk merupakan tokoh yang paling berperan dalam modernisasi Turki. Mustafa Kemal Ataturk meniru dan menerapkan pola serta konsep-konsep Barat dalam memodernisasi Turki. Mustafa Kemal Ataturk percaya bahwa hanya dengan berkiblat ke Barat Turki dapat maju dan mengejar ketertinggalannya. Penelitian ini bertujuan untuk 1] Mengkaji latar belakang keterlibatan Mustafa Kemal Ataturk dalam modernisasi Turki tahun 1923-1938; 2] Mengkaji tindakan Mustafa Kemal Ataturk dalam mengubah keadaan politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya serta agama, masyarakat Turki tahun 1923-1938; 3] Mengkaji dampak modernisasi Turki yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk terhadap keadaan politik, agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Turki. Metode penelitian yang adalah metode penelitian sejarah yaitu 1] heuristik; 2] kritik; 3] Interpretasi; 4] historiografi. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptis analitis dengan pendekatan sosiologi politik. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa westernisasi, sekularisme dan nasionalisme merupakan inti dari pemikiran Mustafa Kemal Ataturk dalam memodernisasi Turki. Modernisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk bukan bertujuan untuk menghilangkan agama atau menghapus agama Islam dari kehidupan rakyat Turki, melainkan untuk pemisahan yang jelas antara urusan agama dan urusan negara. Dengan demikian agama tidak akan dipolitisi atau politik diagamakan. Mustafa Kemal Ataturk mengganti semua unsur tradisional yang berlaku pada masa kekhalifahan Turki Utsmani dengan unsur modern. Modernisasi merupakan jalan satu-satunya bagi bangsa Turki untuk maju. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa modernisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk disebabkan oleh kemunduran Dinasti Turki Utsmani. Modernisasi Mustafa Kemal Ataturk bertujuan untuk memajukan dan membangkitkan Turki dengan penghapusan sistem pemerintahan Islam dan unsurunsur yang berhubungan dengan Islam. Sistem pemerintahan khilafah diganti dengan sistem pemerintahan republik. Selain itu sistem pendidikan, sistem perekomian dan sistem sosial dan budaya juga diganti dengan sistem modern. Semua perubahan itu menyebabkan runtuhnya sistem pemerintahan Islam dan Mustafa Kemal Ataturk dianggap telah mencabut akar-akar dogmatisme Islam.

Sekularisme di Turki mendefinisikan hubungan antara agama dan negara di Turki. Sekularisme [atau laïcité] pertama kali diperkenalkan pada tahun 1928 amendemen Konstitusi tahun 1924, yang dihapus ketentuan yang menyatakan bahwa "Agama Negara adalah Islam", dan kemudian reformasi dari presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk, yang mengatur persyaratan administratif dan politik untuk menciptakan negara modern, demokratis, sekuler, dan selaras dengan Kemalisme.

Protes Republik berlangsung pada tahun 2007 dalam mendukung Reformasi Kemalisme, khususnya negara sekularisme dan demokrasi, terhadap yang dirasakan Islamisasi Turki di bawah pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan.

Sembilan tahun setelah pengenalan, laïcité secara eksplisit dinyatakan dalam artikel kedua dari konstitusi Turki pada 5 Februari 1937. Saat ini Konstitusi 1982 tidak mengakui suatu agama resmi atau mempromosikan apapun.[1]

Prinsip sekularisme Turki, lebih kepada pemisahan antara negara dan agama dan Atatürk sebagai intelektual Turki "mencari" sekularisme sebagai prinsip moderinisasi negara dan juga gagasan progresif yang meliputi tidak hanya kehidupan politik dan pemerintahan namun juga lingkungan sosial dan budaya masyarakat yang masih didominasi dengan takhayul, dogma dan ketidaktahuan.[2]

Tidak seperti definisi lain dari sekularisme di mana sekularisme bermaksud pemisahan antara gereja dan negara, di Turki istilah laiklik menunjukkan kontrol negara dan peraturan hukum agama.[3]

"laïcité" Turki merupakan panggilan untuk pemisahan agama dan negara, tetapi juga menggambarkan keadaan sikap sebagai salah satu dari "netralitas aktif". Tindakan Turki yang berkaitan dengan agama secara hati-hati dianalisis dan dievaluasi melalui Presidensi Urusan Agama [Diyanet Işleri Başkanlığı atau hanya Diyanet]. Tugas-tugas Kepresidenan Urusan Agama adalah "untuk melaksanakan pekerjaan yang menyangkut keyakinan, ibadah, dan etika Islam, mencerahkan masyarakat tentang agama mereka, dan mengelola tempat ibadah suci".[4]

Sejarah sekularisme di Turki meluas ke Tanzimat reformasi Kesultanan Utsmaniyah. Puncak kedua dalam sekularisme terjadi selama Era Konstitusi Kedua. Bentuk Sekularisme di Turki saat ini dicapai oleh Reformasi Atatürk.

Kesultanan Utsmaniyah

Pembentukan struktur [Putusan lembaga Kesultanan Utsmaniyah] dari Kesultanan Utsmaniyah [abad ke-13] adalah sebuah negara Islam di mana kepala Utsmaniyah negara adalah Sultan. Sistem sosial ini diselenggarakan di sekitar Millet. Struktur millet memungkinkan gelar besar dalam agama, budaya dan etnis kontinuitas untuk non-populasi Muslim di seluruh subdivisi dari Kesultanan Utsmaniyah dan pada saat yang sama diizinkan masuknya mereka ke dalam sistem administrasi, ekonomi dan sistem politik Utsmaniyah.[5] Gubernur yang ditunjuk mengumpulkan pajak dan memberikan keamanan, sementara masalah agama atau budaya setempat diserahkan kepada masing-masing wilayah untuk memutuskan. Di sisi lain, sultan adalah Muslim dan undang-undang yang mengikat mereka didasarkan pada Syariah, badan hukum Islam, serta berbagai kebiasaan budaya. Sultan, yang dimulai pada tahun 1517, juga seorang Khalifah, pemimpin dari seluruh ummat Muslim di dunia. Pada pergantian abad ke-19 elit penguasa Utsmaniyah mengakui kebutuhan untuk merestrukturisasi sistem legislatif, militer dan peradilan untuk mengatasi saingan politik baru mereka di Eropa. Ketika sistem millet mulai kehilangan efisiensinya karena munculnya nasionalisme di dalam perbatasannya, Kesultanan Utsmaniyah mengeksplorasi cara-cara baru untuk mengatur wilayahnya yang terdiri dari beragam populasi.

Sultan Selim III mendirikan sekolah militer sekuler pertama dengan mendirikan unit militer baru, Nizam-ı Cedid, pada awal 1792. Namun abad terakhir [abad ke-19] dari Kesultanan Utsmaniyah memiliki banyak reformasi yang jauh jangkaunnya. Reformasi ini memuncak dengan Tanzimat yang merupakan era reformasi awal Utsmaniyah. Setelah Tanzimat, aturan, seperti yang berkaitan dengan status pemerataan warga non-Muslim, pembentukan parlemen, pengabaian hukuman abad pertengahan untuk kemurtadan,[6] serta kodifikasi konstitusi kesultanan dan hak-hak subyek Utsmaniyah didirikan. Perang Dunia Pertama membawa jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah dan penyatuan kesultanan Utsmaniyah berikutnya oleh sekutu yang menang. Oleh karena itu, Republik Turki sebenarnya adalah negara-bangsa yang dibangun sebagai hasil dari sebuah kerajaan yang hilang.

Reformasi Republik

 

Mustafa Kemal Atatürk mengenalkan Penulisan alfabet baru Turki dari sebelumnya Abjad Arab-Persia diganti menjadi Latin.

Kemenangan dari pandagan Negara kebangsaan melawan pandangan Negara agama membuka pintu bagi serangkaian yang akan mengikat satu sama lain dalam jalan menuju modernisasi negara. Perubahan mayortias dalam perubahan ini adalah hukum, pendidikan, tulisan, bahasa dan kehidupan serta budaya secara umum. Perubahan ini didefinisikan sebagai Revolusi Republik dalam pandangan yang baru.[7] Secara historis, reformasi Atatürk mengikuti periode Tanzimat kesultanan Utsmaniyah, yang berarti "reorganisasi", yang dimulai pada tahun 1839 dan berakhir dengan Era Konstitusi pertama pada tahun 1876.[8]

Kaum muda Turki dan para intelektual Utsmani lainnya mengajukan pertanyaan tentang posisi Kesultanan menyangkut Barat [terutama diartikan Kristen Eropa]. Kaum tersebut melambangkan Barat sebagai pengaruh intelektual dan ilmiah, dan memberikan cetak biru bagi masyarakat ideal masa depan. Reformasi ini juga menyatakan pernyataan yang telah diputskan bahwa "Turki akan melihat ke Barat".[9]

Agenda Politik Erdoğan terhadap Islamisasi

 

Presiden Recep Tayyip Erdogan mempromosikan Islamisasi di Turki, yang memungkinkan perempuan dapat memilih untuk mengenakan hijab di depan umum, meninggalkan prinsip-prinsip sekuler.

Menurut salah satu pengamat [Mustafa Akyol], di bawah partai yang berbasis Islam Partai Keadilan dan Pembangunan [AKP] pemerintah Recep Tayyip Erdogan, yang dimulai pada tahun 2007, "ratusan petugas sekuler dan sekutu sipil mereka" dipenjara, dan pada tahun 2012 "penjaga sekuler tua" dalam posisi otoritas digantikan oleh anggota/pendukung partai AKP dan Gerakan Gülen.[10] Pada 25 April 2016, juru bicara Parlemen Turki İsmail Kahraman mengatakan dalam konferensi ulama dan penulis Islam di Istanbul bahwa "sekularisme tidak akan memiliki tempat dalam konstitusi baru, karena Turki adalah sebuah negara Muslim dan oleh karena itu kita harus memiliki konstitusi agama."[Salah satu tugas juru bicara Parlemen Turki adalah menulis rancangan konstitusi baru untuk Turki.][11]

Beberapa masyarakat juga mengeluh bahwa di bawah kepemimpinan Erdogan, peran lama Diyanet—mempertahankan kontrol atas lingkungan agama Islam di Turki - "sebagian besar telah dipalingkan".[12] Sekarang sangat meningkat dalam ukuran, Diyanet mempromosikan jenis tertentu dari Islam konservatif [Hanafi Sunni] Islam di Turki, mengeluarkan fatwa melarang kegiatan seperti "merayakan Tahun Baru [budaya barat], lotre, dan tato";[13] dan memproyeksikan ini "Islam Turki" di luar negeri.[14]

Pemerintah Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan [AKP] mengejar agenda kebijakan Islamisasi pendidikan yang eksplisit untuk "meningkatkan generasi yang taat" terhadap perlawanan sekuler[15][16] dalam proses yang menyebabkan kehilangan pekerjaan dan sekolah bagi banyak warga negara Turki yang tidak beragama.[17] Setelah kudeta pada Juli 2016, Presiden Erdogan yang disebut "hadiah dari Allah",[18] ribuan orang disingkirkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan [AKP] terutama pengikut gerakan Gulen, yang diduga telah meluncurkan kudeta, tetapi juga para sekuler yang tersisa.[19] Satu penjelasan untuk akhir dari sekularisme di Turki adalah bahwa sosialisme dilihat sebagai ancaman dari kiri ke "supremasi kapitalis", dan nilai-nilai Islam dipulihkan dalam sistem pendidikan karena "tampaknya paling cocok untuk menetralisir tantangan apa pun dari kiri hingga kapitalis supremasi."[20]

Isu-isu yang berkaitan dengan sekularisme Turki dibahas menjelang pemilihan presiden tahun 2007, di mana partai yang berkuasa memilih seorang kandidat dengan koneksi Islam, Abdullah Gül, untuk pertama kalinya di republik yang berbasis sekuler. Sementara beberapa wilayah di Turki telah menyatakan keprihatinan bahwa pencalonan dapat mewakili langkah menjauh dari tradisi sekuler Turki, termasuk prioritas Turki pada kesetaraan antara jenis kelamin, yang lain telah menyarankan bahwa partai konservatif telah secara efektif mempromosikan modernisasi sambil menjangkau lebih banyak unsur tradisional dan agama dalam masyarakat Turki.[21][22] Pada 22 Juli 2007 dilaporkan bahwa partai yang lebih konservatif memenangkan pemilu yang lebih besar dari yang diharapkan dalam pemilihan parlemen.[23]

Penjagaan dan Pemeliharan Turki atas identitas sekuler telah menjadi masalah yang mendalam dan sumber ketegangan. Pada musim semi 2007 Protes Republik [bahasa Turki: Cumhuriyet Mitingleri] adalah serangkaian damai massa aksi unjuk rasa yang berlangsung di Turki dalam mendukung Kemalis cita-cita negara sekularisme.[24]

Aturan konstitusional yang melarang diskriminasi atas dasar agama diambil dengan sangat serius. Turki, sebagai negara sekuler, secara hukum melarang pemakaian penutup kepala [hijab atau sejenisnya] dan pakaian simbolik politik untuk kedua jenis kelamin di gedung-gedung dan sekolah-sekolah pemerintah.[25] Pada tahun 2004, terdapat kasus yang diajukan oleh Turki ke Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia terhadap mahasiswa kedokteran yang menentang hukum Turki tentang pelarangan menggunakan hijab namun pada 10 November 2005 hukum tersebut dinyatakan sah.[26]

Penerapan ketat sekularisme di Turki telah dikreditkan karena memungkinkan perempuan untuk memiliki akses ke peluang yang lebih besar, dibandingkan dengan negara-negara dengan pengaruh agama yang lebih besar dalam urusan publik, dalam hal pendidikan, pekerjaan, kekayaan serta kebebasan politik, sosial dan budaya.[27]

Juga paradoksal dengan sekularisme Turki adalah kenyataan bahwa kartu dokumen identitas warga Turki termasuk spesifikasi agama pemegang kartu.[28] Sekolah Hanafi utama Islam sepenuhnya diatur oleh negara, melalui Diyanet İşleri Başkanlığı [Direktorat Urusan Agama], yang mengawasi semua masjid, mendidik para imam yang bekerja di dalamnya, dan menyetujui semua konten untuk layanan keagamaan dan doa. Yang juga menunjuk imam, yang diklasifikasikan sebagai pegawai negeri.[29]

  • Islam di Turki

  1. ^ "Turkey". The World Factbook. Central Intelligence Agency [US]. 2008-07-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-27. Diakses tanggal 2008-08-01. 
  2. ^ Daver, BÜLENT. "Secularism in Turkey". Atatürk Araştırma Merkezi Başkanlığı. PROF. DR. BÜLENT DAVER. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-22. Diakses tanggal 11/27/2018. Prinsip ini, tidak seperti di negara-negara barat, tidak disadari oleh arus evolusioner dan gagasan para filsuf, disebarkan di antara sebagian besar rakyat sepanjang abad, tetapi lebih oleh aksi langsung dan tegas dan antusiasme revolusioner dari elit yang sangat kecil yang terdiri dari birokrat dan perwira tentara muda.  Periksa nilai tanggal di: |access-date= [bantuan]
  3. ^ Öztürk, Ahmet Erdi; Sözeri, Semiha. "Diyanet as a Turkish Foreign Policy Tool: Evidence from the Netherlands and Bulgaria". Religion and Politics Section of the American Political Science Association [dalam bahasa Inggris]: 3, 5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 September 2018. 
  4. ^ Basic Principles, Aims And Objectives Diarsipkan 2008-01-08 di Wayback Machine., Presidency of Religious Affairs
  5. ^ "Secularism: The Turkish Experience" [PDF]. Diarsipkan dari versi asli [PDF] tanggal 2008-06-27. Diakses tanggal 2013-09-28. 
  6. ^ Hussain, Ishtiaq [2011-10-07]. "The Tanzimat: Secular Reforms in the Ottoman Empire" [PDF]. Faith Matters. Diakses tanggal 2013-09-28. 
  7. ^ Berkes, Niyazi. Türkiye'de Çağdaşlaşma [dalam bahasa Turki] [edisi ke-2]. YKY yayımcı. hlm. 521. 
  8. ^ Cleveland, William L & Martin Bunton, A History of the Modern Middle East: Edisi Ke-4, Westview Press: 2009, hlm. 82.
  9. ^ Hanioglu, Sükrü [2011]. Ataturk: An Intellectual Biography. Princeton University Press. hlm. 54. 
  10. ^ Akyol, Mustafa [July 22, 2016]. "Who Was Behind the Coup Attempt in Turkey?". New York Times. Diakses tanggal 23 July 2016. 
  11. ^ "'We are a Muslim country': Turkey's parliament speaker advocates religious constitution". RT. 26 April 2016. Diakses tanggal 25 July 2016. 
  12. ^ Lepeska, David [17 May 2015]. "Turkey Casts the Diyanet". Foreign Affairs. Diakses tanggal 27 July 2016. 
  13. ^ Cornell, Svante [2015-10-09]. "The Rise of Diyanet: the Politicization of Turkey's Directorate of Religious Affairs". turkeyanalyst.org. Diakses tanggal 2016-07-27. 
  14. ^ Tremblay, Pinar [April 29, 2015]. "Is Erdogan signaling end of secularism in Turkey?". Al Monitor. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 August 2016. Diakses tanggal 25 July 2016. 
  15. ^ Sukru Kucuksahin [20 June 2016]. "Turkish students up in arms over Islamization of education". Al-Monitor. 
  16. ^ Zülfikar Doğan [29 June 2016]. "Erdogan pens education plan for Turkey's 'devout generation'". Al-Monitor. 
  17. ^ Sibel Hurtas [13 October 2016]. "Turkey's 'devout generation' project means lost jobs, schools for many". Al-Monitor. 
  18. ^ "Coup Was 'Gift From God' for Erdogan Planning a New Turkey". Bloomberg.com. 2016-07-17. Diakses tanggal 2017-01-09.  Lebih dari satu parameter |work= dan |newspaper= yang digunakan [bantuan]
  19. ^ "Leftists, Kemalists suspended from posts for being Gülenists, says CHP report | Turkey Purge". turkeypurge.com. Diakses tanggal 2017-01-09. 
  20. ^ "Turkey's journey from secularism to Islamization: A capitalist story". Your Middle East. May 23, 2016. Diakses tanggal 2017-01-09.  Lebih dari satu parameter |work= dan |newspaper= yang digunakan [bantuan]
  21. ^ Tavernise, Sabrina. "In Turkey, a Sign of a Rising Islamic Middle Class," New York Times, April 25, 2007.
  22. ^ "Turkey 'must have secular leader'", BBC News, April 24, 2007.
  23. ^ Tavernise, Sabrina. "Ruling Party in Turkey Wins Broad Victory," New York Times, July 23, 2007.
  24. ^ "Secular rally targets Turkish PM". BBC News. 2007-04-14. Diakses tanggal 2008-08-05. 
  25. ^ "The Islamic veil across Europe". BBC News. 2006-11-17. Diakses tanggal 2006-12-13. 
  26. ^ "Leyla Şahin v. Turkey". European Court of Human Rights. 2005-11-10. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-04. Diakses tanggal 2008-08-21. 
  27. ^ Çarkoğlu, Ali [2004]. Religion and Politics in Turkey. UK: Routledge. ISBN 0-415-34831-5. 
  28. ^ State ID cards Diarsipkan 2016-08-25 di Wayback Machine., General Directorate of Population and Citizenship Matters, Ministry of the Interior [Turki]
  29. ^ Fox, Jonathan. World Survey of Religion and the State, Cambridge University Press, 2008,

  • Ahmet T. Kuru. Secularism and State Policies toward Religion The United States, France, and Turkey Cambridge University Press, 2009.
  • Sevinc, K., Hood, R. W. Jr., Coleman, T. J. III, [2017]. Secularism in Turkey. In Zuckerman, P., & Shook, J. R., [Eds.], The Oxford Handbook of Secularism. Oxford University Press.'

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sekularisme_di_Turki&oldid=19642823"

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề