Bagaimana upaya pemerintah untuk memaksimalkan program BPJS kesehatan brainly

Jakarta (17/2) -- Sasaran pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan diharapkan berlandaskan pada keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang di dukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.

Sementara, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021, diharapkan tujuan pemerataan pembangunan dapat tercapai dengan memanfaatkan kearifan lokal untuk percepatan penurunan kemiskinan dan pemulihan ekonomi nasional. 

Asisten Deputi Penanganan Kemiskinan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Ade Rustama menjelaskan, salah satu strategi penguatan program pemberdayaan masyarakat adalah dengan melakukan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari tingkat pemerintah daerah, tingkat kabupaten, hingga desa. 

Asdep Ade menyampaikan, salah satu targeting dari pemutakhiran DTKS adalah integrasi bansos dan digitalisasi penyaluran, afirmasi penargetan untuk pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan layanan dasar. 

"Dengan data tersebut, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dengan program pemberdayaan di masing-masing Kementerian/Lembaga," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Identifikasi Program Pemberdayaan Sosial Dalam RKP 2021 dan RPJMN 2020-2024, yang diselenggarakan secara daring, dan diikuti oleh perwakilan kementerian dan lembaga terkait, pada Kamis (11/2) silam.

Ade menjelaskan, program pemberdayaan masyarakat masuk ke dalam salah satu program prioritas di bidang pengentasan kemiskinan. 

"Salah satu strategi penurunan kemiskinan yang penting selain mengurangi beban pengeluaran adalah dengan meningkatkan pendapatan seperti peningkatan akses permodalan, peningkatan kualitas produk dan akses pemasaran, pengembangan keterampilan dan layanan usaha, serta pengembangan kewirausahaan, kemitraan, dan keperantaraan," tuturnya.

Ade Rustama menyampaikan beberapa poin yang perlu diperhatikan Kementerian/Lembaga dalam melalsanakan program pemberdayaan masyarakat. Pertama, masing-masing Kementerian/Lembaga yang merupakan pelaksana teknis program pemberdayaan masyarakat perlu melakukan sinergi program yang berkaitan. 

Kedua, selain sinergi program, sinergi dalam penetapan lokasi dan pendamping juga menjadi hal yang penting. Dalam unsur penetapan lokasi dapat dilakukan melalui pendekatan kawasan yang menyasar fokus kawasan prioritas pemerintah atau di satu desa yang sama. Sementara dalam unsur pendamping dapat diidentifikasi kemudian disinergikan antar program untuk mengoptimalkan capaian program pemberdayaan di masing-masing Kementerian/Lembaga.

"Kemudian, yang perlu disinergikan lainnya adalah kelembagaan yang menaungi beberapa program pemberdayaan, sehingga tujuan akhir meningkatkan pendapatan masyarakat  dalam percepatan penurunan kemiskinan dan pemulihan ekonomi segera tercapai," pungkas Ade.

Sebagai informasi, rapat koordinasi ini dilaksanakan dilakukan sebagai langkah awal untuk sinergi program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan agar terjadi peningkatan pendapatan di masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat juga diperlukan untuk mendukung program prioritas nasional di tahun 2021 yaitu Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pasca bencana pandemi COVID-19.

Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof. G.A. Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat itu, mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang saat itu mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah berkembang pesat.

Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil beserta anggota keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari nanti, klimaks dari pembangunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai melalui suatu sistem yang dapat menjamin kesehatan seluruh warga bangsa ini. Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968 dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta keluarganya. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya. Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Askes Komersial.  Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat. PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial, maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Askes (Persero).  Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan resmi beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT Askes (Persero). Hal ini berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun 2011 pemerintah menetapkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.

Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.

Oleh Ega Rosalina[1]

Bagaimana upaya pemerintah untuk memaksimalkan program BPJS kesehatan brainly
Bedasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak tahun 2001 hingga 2010, biaya kesehatan per kapita di Indonesia terus meningkat hingga lebih dari tiga ratus persen dan masih terus meroket sampai saat ini.

Upaya pemerintah menyiasati masalah ini dengan menerapkan prinsip gotong royong melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sayangnya, belum berjalan maksimal. Meski sudah hampir dua tahun lamanya BPJS Kesehatan mengelola program ini, lemahnya sosialisasi tentang sistem dan prosedur serta kualitas pelayanan yang rendah masih menjadi persoalan yang paling sering dikeluhkan konsumen.

Hingga bulan Juni, jumlah panggilan yang dilakukan oleh masyarakat ke call center BPJS Kesehatan mencapai lebih dari empat ratus ribu panggilan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sejak BPJS Kesehatan mengelola program JKN pada tahun 2014, tak sedikit masyarakat yang makin dibuat bingung oleh sistem dan prosedur baru yang mereka terapkan.

Permasalahan tersebut memunculkan berbagai masalah baru seperti kacaunya proses pendaftaran, pembayaran iuran, sampai pemanfaatan fasilitas kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat sebagai pengguna kartu ‘sakti’ keluaran BPJS Kesehatan lah yang mendapat kerugian paling besar. Setelah mendaftar, banyak status fasilitas kesehatan masyarakat yang tertera di kartu BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan yang mereka pilih. Masyarakat menuding ini terjadi akibat kelalaian petugas saat memasukkan data peserta.

Sayangnya, BPJS Kesehatan tidak memiliki cara yang solutif untuk menyelesaikan permasalahan ini. Masyarakat justru dipaksa menunggu setidaknya tiga sampai empat bulan sebelum BPJS Kesehatan bisa memperbaiki kesalahan mereka. Akibatnya, masyarakat harus menambah biaya transportasi jika jarak fasilitas kesehatan yang dipilihkan BPJS Kesehatan lebih jauh dari tempat tinggal mereka. Atau bahkan, masyarakat terpaksa menjalani pengobatan di fasilitas kesehatan lain yang lebih dekat yang biaya pengobatannya tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Parahnya lagi, masyarakat tetap diwajibkan membayar iuran meski dalam jangka waktu tersebut mereka tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan gratis.

_________________________________

… Namun, agar dapat melakukan pengawasan, masyarakat harus terlebih dahulu memahami apa saja sesungguhnya hak dan kewajiban mereka.

Tidak hanya itu, pada saat mengakses pelayanan, masyarakat sering kali dibuat geram oleh ulah  rumah sakit mitra BPJS Kesehatan. Masyarakat sering kali mendapat pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar yang telah mereka bayarkan.

Alasan kamar penuh menjadi modus yang paling sering digunakan oleh pihak rumah sakit untuk menolak pasien pengguna kartu ‘sakti’ itu. Tidak jarang pula rumah sakit mengatakan bahwa mereka kehabisan obat untuk peserta BPJS Kesehatan. Akibatnya, masyarakat harus kembali merogoh kantong untuk membeli obat yang mereka butuhkan.

Sudah menjadi tugas dan kewajiban BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Untuk itu, sejak awal, BPJS Kesehatan harus membekali para pekerjanya dengan pengetahuan mendalam mengenai tata cara penanganan keluhan terhadap pelayanan kesehatan yang baik dan benar. Tidak cukup hanya memahami peraturan menyangkut sistem dari program JKN dan prosedur yang berlaku, petugas BPJS Kesehatan juga harus memiliki kemampuan berempati kepada masyarakat sebagai pengguna layanan.

BPJS Kesehatan juga wajib memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai hak dan kewajiban masyarakat kepada para petugasnya di lapangan agar mereka dapat langsung memberi jawaban sewaktu warga datang bertanya. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan perlu mengembangkan sebuah mekanisme penanganan keluhan yang tersistematis dan terstandar.

BPJS Kesehatan dapat memulainya dengan mendokumentasikan berbagai praktik baik di lapangan yang telah dilakukan para petugasnya dalam menangani keluhan masyarakat. Berkaca dari praktik-praktik baik tersebut, BPJS Kesehatan bisa membuat sebuah prosedur operasional standar yang baru terkait penanganan keluhan masyarakat dan menanamkan informasi ini kepada para petugasnya.

Kemudian, BPJS Kesehatan wajib mensosialisasikan prosedur baru ini kepada seluruh petugasnya masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dengan mentransparansikan prosedur tersebut, secara tidak langsung, BPJS Kesehatan telah mempermudah masyarakat dalam membantu diri mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Selain itu, langkah ini juga dapat memberi peluang kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi memperbaiki pelayanan BPJS Kesehatan, termasuk mengawasi kinerja para petugasnya. Ini penting karena tanpa kontrol dan pengawasan dari masyarakat BPJS Kesehatan tidak akan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan berkewajiban membantu masyarakat memenuhi kewajiban dan mendapatkan hak mereka.

Jika masyarakat ikut aktif berpartisipasi mengawasi kinerja dan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan tidak akan ada lagi pihak-pihak tak bertanggung jawab yang berani memperdaya masyarakat. Dengan begitu, pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan dapat membaik hingga akhirnya diharapkan dapat menjadi perpanjang-tanganan Negara dalam memenuhi hak seluruh warga negara atas kesehatan.

Artikel ini dimuat di Surat Kabar the Jakarta Post pada tangal 22 November 2015 dengan judul How to Deal with Complaints about Health Services.

[1] Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), sebuah lembaga non profit yang fokus pada isu pelayanan publik, transparansi, dan pengelolaan keuangan publik.