Bagaimanakah proses penyelesaian kasus kejahatan Hak Asasi Manusia internasional

Latuharhary – Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Disinyalir bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM [penyelidik] dan Jaksa Agung [penyidik dan penuntut], menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Hal ini diungkapkan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Amiruddin, dalam konferensi pers Catatan Penegakan HAM 2019 yang dilakukan secara daring, Selasa [09/06/20]. “Fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik memastikan Jaksa Agung melanjutkan prosesnya ke pengadilan”, jelas Amir.Senada dengan Amir, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Munafrizal Manan, mengungkapkan jika pengembalian berkas dari Jaksa Agung dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan mandat Komnas HAM. Komnas HAM dituntut untuk melebihi batas kewenangannya sebagai penyelidik.“Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik saja untuk menemukan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM yang berat dalam suatu peristiwa. Jaksa Agung sebagai penyidik dengan lingkup menentukan tersangka, membuat tuntutan dan memprosesnya di pengadilan”, jelas Munafrizal.Terkait pembahasan untuk meningkatkan kewenangan Komnas HAM, tidak serta merta menjadi solusi atas mandeknya proses hukum kasus pelanggaran HAM yang berat. Munafrizal berpendapat jika Komnas HAM ditingkatkan kewenangannya juga sebagai penyidik misalnya, namun penuntutan tetap saja ada di Jaksa Agung maka tidak solutif. “Hal ini justru akan menjadikan problem tersendiri lagi”, lanjutnya.Menurutnya, sulit jika tidak ada kemauan serius dari Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Bahkan untuk menggambarkan situasi hukum yang terjadi, Munafrizal mengutip pernyataan pakar hukum terkenal, B.M.Taverne yang berbunyi ‘Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa Undang-Undang sekalipun’.“Ini menggambarkan jika penegakan hukum tanpa Undang-Undang pun sebenarnya dapat ditegakan asalkan penegak hukumnya serius”, tekan Munafrizal.Hairansyah, Wakil Ketua Komnas HAM yang turut hadir dalam konferensi pers ini pun ikut berpendapat. Menurutnya kewenangan dan political will dari Negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan karena tingkat kepentingannya tidak hanya HAM. Lebih lanjut Hairansyah meminta kepada publik untuk selalu mendorong dan menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.“Konstitusi UUD  1945 sudah jelas, Komnas HAM membantu memformulasikan berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999, dan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008. Kewajiban menyelesaikannya ada di Negara termasuk Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Lembaga terkait di dalamnya”, pungkas Hairansyah.Hingga saat ini hanya tiga kasus yang ditindaklanjuti Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Ketiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura. Tercatat masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat terombang-ambing tanpa kepastian hukum. [Ratih/Ibn/RPS]

 

Proses peradilan Internasional mengacu pada peraturan yang digariskan dalam Internasional Criminal Court [ICC] atau mengacu kepada yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional [MPI]. Peradilan HAM

 Internasional pada dasarnya bertitik tolak dari dua persoalan utama yaitu sebagai berikut.

1. Pengakuan [Acknowledgement]

Pengakuan tentang adanya pelanggaran HAM di masa

lampau.

2. Akuntabilitas [Accountability]

Menghukum pelaku pelanggar HAM yang berat dan sekaligus mengembalikan harkat dan martabat korban pelanggaran HAM tersebut. Dalam pelaksanaannya ada pendapat yang pro dan kontra terhadap konsep pengakuan sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Pendapat yang pro dan kontra tersebut berpusat pada masalah penghukuman [stencing] sebagai salah satu konsekuensi hukum dan peradilan HAM Internasional.

Pendapat ProKontra

- Penghukuman dapat memelihara keadilan bagi korban [Retributif Justice].

- Memperkuat legitimasi pemerintahan transisi.

- Mencegah terjadinya pelanggaran HAM.

- Penghukuman dapat menimbulkan pembalasan dendam.

- Menciptakan distorsi sosial yang berkepanjangan.

- Tidak relevan dengan pelanggaran ham.

Konsekuensi jika suatu Negara tidak menegakkan HAM

Konsepsi tentang HAM dewasa ini telah berkembang pesat dari wujud yang sempit seperti paham liberalisme dan individualisme menuju ke arah paham kemanusiaan yang lebih luas dan lebih mendalam. Itulah yang menyebabkan mengapa HAM harus ditegakkan di setiap negara. Karena kalau tidak, maka konsekuensinya negara yang mengabaikan HAM akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hubungan dengan negara-negara lain di dunia berupa sanksi nasional, regional, dan internasional.

Pada dasarnya kekuatan penunjang utama HAM adalah kekuatan moral dan hati nurani kemanusiaan yang didukung oleh kekuasaan pendapat umum dunia. Oleh karena itu, perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar negara tersebut dapat melaksanakan fungsi perlindungan dan penegakan HAM sehingga eksistensi keutuhan wilayah serta kesatuan politik negara tersebut tidak diancam dan dibahayakan oleh penegak HAM.

Kasus-kasus di negara yang tidak menegakkan HAM pada umumnya disebabkan belum dipahaminya konsep HAM yang modern dan adanya akses pelanggaran disiplin serta tata tertib oleh beberapa oknum di lapangan. Oleh karena itu, pengertian-pengertian HAM dan kaitannya dengan kehidupan perlu dimasyarakatkan ke seluruh kalangan dan lapisan.

Sanksi Internasional atas Pelanggaran HAM

Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku, melainkan degradasi terhadap kemanusiaan dengan cara merendahkan martabat dan derajat manusia. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu identik dengan pelanggaran hukum walaupun terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dan tujuan tertentu dan bersifat kolektif baik berdasarkan agama, etnik, atau ras tertentu.

Dewasa ini pelanggaran HAM tidak sebatas yuridikasi nasional, melainkan sudah menjadi yuridikasi internasional. Menghadapi masalah pelanggaran HAM yang terjadi di setiap negara di dunia, diperlukan sanksi internasional yang mengacu kepada ketentuan dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional [International Criminal Court] atau SMPI atau Statu Roma [SR. 1998] atau dapat juga mengacu kepada praktik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti di Rwanda [1994].

Jika dianalisis secara seksama jiwa SMPI/SR terletak pada mukadimahnya yang antara lain berbunyi bahwa “Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional [MPI] bersifat komplementer terhadap yuridiksi pengadilan nasional”. Hal ini berarti jika di suatu negara terjadi kasus pelanggaran HAM berat [kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi] yuridiksi MPI tidak otomatis berlaku di negara tersebut.

Namun ada ketentuan lain dalam SMPI/SR yang menyatakan bahwa yuridiksi MPI dapat memasuki wilayah suatu negara jika negara tersebut tidak berkeinginan atau tidak mampu melaksanakan tugas penyidikan atau penuntutan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.

1. Proses peradilan atau putusan pengadilan yang dijatuhkan ditujukan untuk melindungi seseorang dari pertanggungjawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam SMPI/SR.

2. Proses persidangan ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili seseorang ke hadapan sidang pengadilan.

3. Persidangan dilaksanakan tidak secara independent atau bersifat memihak sehingga tidak konsisten dengan tujuan pemberian sanksi melalui sidang pengadilan.

Ketentuan mengenai prakondisi dalam SMPI/SR 1998 diperluas dalam Statu Mahkamah Ad Hoc Rwanda dan bekas jajahan Yugoslavia dengan menambah satu prakondisi lain yaitu jika proses peradilan nasional mendakwa pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana biasa [ordinary crimes]. Seluruh ketentuan mengenai prakondisi tersebut disebut prinsip Inadmissibility. Ketentuan tentang prinsip ini bersifat unik dan mengandung standar ganda. Di satu sisi kedaulatan hukum negara anggota PBB diakui dalam melaksanakan sanksi/proses peradilan pelanggaran HAM, tetapi di sisi lain dapat dikesampingkan jika prakondisi yang ditetapkan dilanggar. Dengan ketentuan ini secara tidak langsung, status hukum dan yuridiksi MPI berada di atas seluruh sistem peradilan nasional sehingga dapat dikatakan MPI merupakan suprapengadilan nasional.

Referensi bacaan Hak Asasi Manusia Karya Sri Widayati, S.Pd

[illustration from pinterest and belong to the owner]

Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini.

Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian [crimes against peace], kejahatan perang [war crimes], dan kejahatan terhadap kemanusiaan [crimes against humanity]. Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility.

Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional [International Law Commission] melalui Resolusi Majelis Umum PBB no.174[II]. Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi [pasal 16] –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility, kejahatan genosida [pasal 17], kejahatan terhadap kemanusiaan [pasal 18], kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya [pasal 19], serta kejahatan perang [pasal 20].

Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia [ICTY]. Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.

Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda [International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR] yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida [pasal 2]; kejahatan terhadap kemanusiaan [pasal 3]; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 [pasal 4].

Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional.

Ketika Statute for an International Criminal Court [Statuta Mahkamah Pidana Internasional] yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah: perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara [equal gravity] [pasal 7 ayat 1.b][pasal 8 ayat 2.b.xxii][pasal 8 ayat 2.e.vi]. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề