Bandingkan tujuan belajar fiqih dengan tujuan belajar unsur fiqih

Bandingkan tujuan belajar fiqih dengan tujuan belajar unsur fiqih

(Ilustrasi: NU Online) (Ilustrasi: NU Online)

Masyarakat Muslim tidak lepas ajaran syariat, yang tercakup dalam hukum fiqih. Fiqih menjadi ilmu yang penting, karena ia membahas mulai cara ibadah, interaksi antarsesama dan banyak lainnya.

Ajaran fiqih yang diajarkan dan diamalkan oleh Muslim Indonesia, kebanyakan mengikuti hasil putusan maupun kaidah-kaidah mazhab Imam Asy-Syafi’i. Begitupun kitab fiqih yang populer dikaji di sebagian besar pesantren Indonesia, adalah karya para ulama yang bermazhab Syafi’i, seperti Imam an Nawawi, Imam Ar Romli, dan banyak lainnya.

Bagi kalangan awam yang belum mencapai kemampuan ahli fiqih dan merumuskan hukum, memiliki kewajiban mengikuti suatu mazhab fiqih. Tentu ini bukan tanpa alasan. Melalui ijtihad para imam, dalil dari Al-Quran dan hadits disarikan serta dipahami untuk diamalkan umat Islam. Mengabaikan ijtihad para imam mazhab, merupakan hal yang gegabah dan kiranya cukup arogan.

Baca juga: Memahami Esensi dalam Bermazhab


Imam Al Syathibi dalam kitab Al I’tisham membagi tiga kalangan mukallaf dalam memahami dan mengamalkan syariat: 

الْمُكَلَّفُ بِأَحْكَامِهَا لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أُمُورٍ ثَلَاثَةٍ

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُجْتَهِدًا فِيهَا، فَحُكْمُهُ مَا أَدَّاهُ إِلَيْهِ اجْتِهَادُهُ فِيهَا، لِأَنَّ اجْتِهَادَهُ فِي الْأُمُورِ الَّتِي لَيْسَتْ دَلَالَتُهَا وَاضِحَةً إِنَّمَا يَقَعُ مَوْقِعَهُ عَلَى فَرْضِ أَنْ يَكُونَ مَا ظَهَرَ لَهُ هُوَ الْأَقْرَبُ إِلَى قَصْدِ الشَّارِعِ وَالْأَوْلَى بِأَدِلَّةِ الشَّرِيعَةِ؛ دُونَ مَا ظَهَرَ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمُجْتَهِدِينَ.

“Kalangan pertama adalah orang-orang yang telah mencapai tingkatan mujtahid, sehingga dapat melakukan penggalian dan perumusan hukum, yang dengan pengetahuannya ia harus melakukan hal yang lebih ia pahami sebagai syariat dari nash agama.” 

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُقَلِّدًا صِرْفًا خَلِيًّا مِنَ الْعِلْمِ الْحَاكِمِ جُمْلَةً. فَلَابُدَّ لَهُ مِنْ قَائِدٍ يَقُودُهُ.

“Kemudian yang kedua adalah kalangan yang mesti taqlid, yaitu yang belum memiliki kemampuan untuk memahami dan merumuskan hukum fiqih. Kalangan awam ini, ia mesti mengikuti seorang imam mazhab yang melakukan ijtihad tadi.”

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ بَالِغٍ مَبْلَغَ الْمُجْتَهِدِينَ. لَكِنَّهُ يَفْهَمُ الدَّلِيلَ وَمَوْقِعَهُ. وَيَصْلُحُ فَهْمُهُ لِلتَّرْجِيحِ بِالْمُرَجِّحَاتِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي تَحْقِيقِ الْمَنَاطِ وَنَحْوِهِ

“Dan kalangan ketiga adalah yang belum mencapai kemampuan ijtihad, namun mengetahui cara perumusan putusan fiqih, sehingga dapat membandingkan istinbath para ulama. Ia bisa memiliki kapasitas tersebut di satu bidang tertentu, namun di bidang lain yang belum diketahui, maka ia harus mengikuti ijtihad para imam mazhab sebagaimana kalangan awam.”

Baca juga: Menggali Hukum Islam


Melalui metodologi dan kaidah yang disusun para imam mazhab, tiap kesimpulan hukum yang disajikan bisa berbeda. Memahami istinbath hukum menjadi cara mengenali perbedaan pemahaman fiqih, baik dalam perbedaan dalam internal mazhab, maupun di mazhab lainnya.

Perbedaan itu meliputi banyak hal. Mengapa Imam As Syafii menilai bacaan basmalah dalam al-Fatihah itu wajib dalam shalat, sedangkan Imam Malik tidak? Mengapa Imam Abu Hanifah menganggap hanya air liur anjing yang najis, sedangkan bulu dan kulitnya tidak? Kiranya mengenali perbedaan ini bukan suatu hal yang terlarang.

Melihat bahwa kerap kesimpulan hukum dalam satu mazhab, alih-alih dari mazhab lain itu berbeda, menunjukkan ragam cara ulama mazhab memahami Al-Qur’an dan hadits Nabi. Lantas, apa pentingnya mengenal fiqih perbandingan (al-fiqh al-muqâran) untuk kalangan awam?

Hendaknya orang tidak fanatik atas mazhab yang diikutinya. Sebagaimana disebutkan Syekh Said Ramadhan al Buthi dalam buku Al Lâ Madzhabiyah, orang yang belum memiliki kemampuan merumuskan hukum harus mengikuti para imam mazhab, namun hendaknya tidak meyakini bahwa yang dianutnya lebih unggul dibanding mazhab lainnya.

Baca juga: Mengenal Kitab-kitab Fiqih Perbandingan Mazhab


Perlu ditekankan saat mengenal dan mempelajari fiqih perbandingan tidak boleh mencampur aduk hukum fiqih seenaknya. Kewajiban mengikuti mazhab tertentu harus dipedomani. Bagi kalangan awam, mengenal fiqih perbandingan ini bisa memberi pemahaman bahwa hukum Islam begitu luas. Ia akan lebih jernih merespon perbedaan pendapat dan tak buru-buru menghakimi salah kepada orang yang tak sepaham.

Kalangan yang awam yang mengenal berbagai ragam hukum fiqih, hendaknya menjadikan diri lebih bijaksana memahami perbedaan pandangan hukum fiqih. Meskipun akses berbagai kitab begitu mudah saat ini, hal itu tidak menjadikan seseorang yang bisa membacanya sekonyong-konyong memiliki otoritas untuk melakukan perumusan hukum dan berfatwa. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)
 

Berita seputar Forum R20

Oleh: Dr Jamal Ma’mur Asmani, Dosen Ushul Fiqh IPMAFA Pati

الغاية من تدريس الفقه والاصول ؟

Apa tujuan mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh ?

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan pertanyaan di atas.

Tujuan Ilmu Fiqh

Tujuan mengkaji ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada perbuatan dan ucapan manusia (تطبيق الاحكام الشرعية علي افعال الناس واقوالهم ). Fiqh menjadi rujukan ulama untuk mengetahui hukum syara’ dari ucapan dan perbuatan yang dilakukan manusia. Fiqh juga menjadi rujukan hakim (qadli) dalam memberikan keputusan, dan rujukan juru fatwa (mufti) dalam fatwanya.

Tujuan Ilmu Ushul Fiqh

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan lima tujuan mengkaji ushul fiqh.

Pertama, mengkaji sejarah. Mengkaji kaidah-kaidah yang ada dalam ushul fiqh akan diketahui sumber hukum kajian ulama fiqh yang ahli ijtihad, metode penetapan hukumnya (مدارك الفقهاء المجتهدين وطرق استنباطهم) dan menghubungkannya untuk mengetahui hukum syara’ secara mendalam, sehingga diperoleh pemahaman dan ketenangan hati.

Kedua, mengkaji sesuatu secara ilmiah dan menindaklanjuti dalam amaliah. Maksudnya adalah mendapatkan kemampuan untuk menetapkan hukum berdasarkan dalil (استنباط الاحكام من الادلة). Hal ini bagi mujtahid. Sedangkan bagi orang yang bertaklid (muqallid), mengkaji ushul fiqh membuat muqallid mampu memahami sumber-sumber hukum hukum dan sandaran yang digunakan para imam mujtahid dalam menetapkan hukum, sehingga hati bisa tunduk dan tenang dengan pendapat imam mujtahid. Hal ini mendorongnya untuk mengamalkan pendapat mujtahid, patuh, dan tunduk dengan hukum syara’ yang menjadi pijakan kebahagiaan dunia-akhirat (مناط السعادة الدنيوية والاخروية).

Ketiga, mendorong ijtihad. Mengkaji ushul fiqh bagi mujtahid akan membantunya dalam kegiatan استنباط الاحكام من الادلة. Mengkaji ushul fiqh bagi para peneliti dan ilmuwan juga mendorong lahirnya proses ترجيج (mengunggulkan hukum) dan تخريج (mengeluarkan hukum dari sumbernya) atas pendapat ulama ahli fiqh terdahulu. Selain itu, mengkaji ushul fiqh juga mendorong lahirnya hukum syara’ terhadap persoalan-persoalan baru yang terjadi di tengah masyarakat, akibat munculnya kebutuhan-kebutuhan individu dan sosial.

Hal ini menjadi keniscayaan mengingat teks-teks al-Qur’an dan sunnah selesai dan terbatas, dan peristiwa baru dan problem yang bermunculan tidak pernah berhenti. Sedangkan sesuatu yang sudah selesai tidak mampu meliputi sesuatu yang tidak pernah selesai kecuali dengan ijtihad (لان نصوص الكتاب والسنة متناهية محدودة والحوادث والقضايا العارضة للناس غير متناهية, وما يتناهي لايحيط باحكام غير المتناهي الا بطريق الاجتهاد). Ijtihad tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah ushul dan menemukan illat-illat (legal reason) hukum syara’.

Keempat, melakukan perbandingan (مقارنة). Perbandingan yang produktif tidak terjadi tanpa berpegang kepada dalil naqli, akal, dan ushul fiqh. Perbandingan madzhab di era sekarang menjadi kebutuhan mendesak, baik dalam konteks syariat dalam berbagai madzhab atau antara syariat dan undang-undang formal. Di dua hal ini, mengetahui kaidah-kaidah ushul adalah keharusan, dan pijakan utamanya adalah dalil-dalil hukum.

Perbandingan yang mendalam akan berujung pada perbedaan beberapa pendapat madzhab dan mengunggulkan pendapat yang paling kuat dalilnya (ترجيح الاقوي دليلا). Di sini tampak fungsi mengkaji ushul fiqh bagi muqallid (orang yang taklid) agar ia mampu membandingkan dalil yang digunakan madzhabnya dan dalil madzhab lain.

Kelima, mengokohkan agama. Mengkaji ushul fiqh menjadi jalan mengikat dasar-dasar hukum syara’ dan dalil-dalilnya dan mendorong mukallaf (muslim-akil-baligh) menunaikan hukum-hukum syariat dan perintah-perintah agama (القيام بالتكاليف والاوامر الدينية). Dari tujuan ini, ulama ahli ushul berkata: fungsi ushul fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Allah Ta’ala yang menjadi sebab memperoleh kebahagiaan agama dan dunia.

Setelah menjelaskan lima tujuan mempelajari ushul fiqh, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan, bahwa tidak relevan orang yang berkata: bahwa sesungguhnya hukum-hukum syara’ sudah dibukukan (kodifikasi) dan sudah dituntas oleh ulama ahli ijtihad (mujtahid). Manusia sekarang tinggal mengambil pendapat-pendapat mereka. Oleh sebab itu, mengkaji ushul fiqh untuk melatih ijtihad ditutup pintunya.

Ucapan ini dijawab: “Mengunci pintu ijtihad ditujukan bagi orang yang tidak punya kemampuan yang cukup untuk ijtihad. Hal ini dibuktikan dengan ulama-ulama kontemporer (العلماء المتاْخرون ) yang menutup pintu ijtihad mereka bergegas mengkaji ushul fiqh sehingga banyak dari mereka yang tuntas mempelajarinya karena manfaat mengakaji ilmu ini yang sangat besar”.

Kesimpulan (والخلاصة):

Ushul fiqh termasuk ilmu utama bagi semua mujtahid, juru fatwa, dan semua pelajar yang ingin mengetahui bagaimana metode menetapkan hukum berdasarkan dalil. Orang yang tidak membutuhkan ushul fiqh adalah orang awam yang mencukupkan diri dengan pendapat ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasi (دليل وبرهان).

Sedangkan orang alim: adalah orang yang tidak cukup dengan hanya menerima hukum dari para imam, tapi ia mengkaji dalil-dalil setiap hukum, kemudian dari kajian itu ia berlatih serius untuk berijtihad yang bermanfaat untuk mengetahui hukum-hukum peristiwa baru dan kejadian-kejadian baru yang terus terjadi (معرفة احكام الحوادث والوقائع الجديدة).

Catatan:

Banyak kasus-kasus baru akibat revolusi teknologi informasi membutuhkan jawaban hukum, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pertahanan keamanan, dalam skala lokal, regional, nasional, dan global. Oleh sebab itu, ilmu ushul fiqh sangat dibutuhkan kapanpun dan dimanapun supaya lahir produk hukum yang dinamis, solutif, dan kontekstual.

IPMAFA, 1-03-2018

Bandingkan tujuan belajar fiqih dengan tujuan belajar unsur fiqih