Berikut faktor yang tidak mempengaruhi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah

Profil Menteri

Tentang Kami

Struktur Organisasi

AKIP

Kinerja

Lembar Informasi

Perwakilan

Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi minus 3,49 persen pada kuartal III 2020. Hal tersebut mendorong Indonesia ke dalam jurang resesi setelah pada kuartal sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen.

Kontraksi ekonomi Indonesia pada kuartal lalu juga menambah panjang daftar negara yang masuk ke dalam jurang resesi sepanjang 2020. Indonesia sendiri terakhir kali mengalami resesi pada 1997-1998 ketika krisis moneter menghantam Asia.

Ekonomi Indonesia berada dalam teritori negatif selama enam bulan pada 1997 dan berlanjut pada sembilan bulan pertama tahun 1998. Lantas hal-hal apa saja yang menyebabkan sebuah negara mengalami resesi?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Resesi sendiri terjadi ketika keseluruhan permintaan menjadi lesu dan pertumbuhan output (pertumbuhan barang atau jasa) merosot. Secara teknis, keadaan resesi terjadi ketika ekonomi menunjukkan gejala-gejala ini selama lebih dari dua kuartal fiskal berturut-turut dan disertai dengan penurunan lapangan kerja.

Namun, titik di mana perekonomian secara resmi jatuh ke dalam resesi bergantung pada berbagai faktor. Setidaknya ada enam fenomena utama yang dapat menyebabkan sebuah negara dapat terjun ke dalam jurang resesi.

Pertama, guncangan ekonomi tiba-tiba yang dapat menimbulkan kerusakan finansial yang serius. Pandemi global covid-19 ini merupakan salah satu contohnya. Di Indonesia, ketakutan orang terpapar virus telah menyebabkan aktivitas perekonomian hampir lumpuh.

Orang-orang takut keluar rumah dan pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus. Salah satu dampak rendahnya mobilitas orang adalah terpuruknya sektor transportasi.

Pada kuartal II, berdasarkan catatan BPS, sektor transportasi dan pergudangan menjadi sumber kontraksi ekonomi tertinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya, yakni minus 30,8 persen. Hal serupa juga terjadi pada kuartal III lalu di mana sektor tersebut mengalami minus 16,7 persen.

Faktor kedua yang dapat menyebabkan resesi adalah utang yang berlebihan. Apalagi jika individu atau sebuah bisnis tak mampu membayar tagihan utang-utangnya. Meningkatnya default utang dan kebangkrutan dapat dengan mudah membalikkan perekonomian.

Faktor ketiga adalah menggelembungnya aset. Ketika keputusan investasi didorong oleh emosi investor bisa menjadi terlalu optimis selama ekonomi kuat dan mulai menggembungkan pasar saham atau gelembung real estat. Ketika gelembung itu meletus, panic selling dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

Keempat, faktor penyebab resesi adalah inflasi atau deflasi berkepanjangan. Seperti diketahui, inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Ia bukan lah hal yang buruk, tetapi jika inflasi berlebihan resesi bisa terjadi lantaran daya beli tergerus dan konsumsi yang jadi salah satu penggerak perekonomian melemah.

[Gambas:Video CNN]

Kelima, sama seperti inflasi, kondisi deflasi berkepanjangan bisa jadi faktor penyebab kontraksi ekonomi dan resesi. Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut. Ketika umpan balik deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti berbelanja, yang merusak ekonomi.

Terakhir adalah perubahan teknologi. Jika dilihat sepintas, hal ini memang meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang.

Namun perubahan besar dalam teknologi ternyata juga dapat menyebabkan resesi, misalnya ketika Revolusi Industri membuat banyak profesi menjadi tak lagi berguna dan pengangguran bertambah banyak.

(hrf/sfr)

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS HM.4.6/575/SET.M.EKON.3/10/2022

Tak Hanya Bersiap Hadapi Krisis Global, Indonesia Juga Tengah Menuju Endemi Covid-19

Jakarta, 11 Oktober 2022

Di tengah ketidakpastian global yang memberikan tekanan pada pemulihan ekonomi dunia, fundamental perekonomian Indonesia mampu memperlihatkan kinerja yang tetap impresif. Meski pada Juli 2022 International Monetary Fund (IMF) merevisi proyeksi ekonomi global dari 3,6% menjadi 3,2%, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup tinggi yakni di angka 5,3%. Kinerja IHSG juga tercatat cukup baik di tengah tekanan global dan pelemahan indeks saham global, di mana pada 10 Oktober 2022 IHSG mencatat return 6% (ytd) di posisi 6.982,5.

Walaupun terjadi goncangan, namun indikator eksternal Indonesia relatif kuat. Volatility Index Indonesia senilai 30,49 atau masih dalam batas nilai indikatif 30. Kemudian terkait level indeks Exchange Market Pressure (EMP) per September 2022 berada di angka 1,06 atau masih berada di bawah batas treshold level satu yaitu sebesar 1,78. Demikian pula juga dengan perbandingan Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan Meksiko, Turki, Brasil, dan Afrika selatan.

Berbagai kebijakan seperti pengetatan terhadap suku bunga telah dilakukan oleh beberapa negara, termasuk Amerika, Indonesia, India, Inggris, Jerman dan Afrika selatan dalam menghadapi tantangan global. Indonesia sendiri telah menyesuaikan suku bunga sebesar 50 bp pada September 2022 menjadi 4,25.

Pada Konferensi Pers setelah Sidang Kabinet Paripurna yang diselenggarakan di Istana Negara Jakarta, Selasa (11/10), disampaikan bahwa terdapat 28 negara yang terdaftar untuk memperoleh bantuan IMF, di mana 14 diantaranya masih dalam proses.

“Indonesia faktor eksternalnya masih sangat kuat. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam negara yang rentan terhadap masalah keuangan. Bahkan di antara negara G20, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan ekonominya nomor 2 tertinggi setelah Saudi Arabia. Jadi, dari segi faktor eksternal Indonesia aman,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada konferensi pers tersebut.

“Dari internal, ekonomi kita kuat karena kita punya domestic market. Sekarang konsumsi turut menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi, terlebih diprediksi di tahun depan pun pertumbuhan ekonomi kita diantara 4,8%–5,2%. Jadi tentu berbagai lembaga yang memprediksi tersebut, melihat bahwa Indonesia relatif kuat,” imbuh Menko Airlangga.

Dalam kesempatan tersebut, Menko Airlangga juga menyampaikan pentingnya untuk terus mendorong keberlanjutan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di mana akan dilanjutkan dengan bunga 6%. Sedangkan KUR untuk sektor pertanian akan diminta untuk dipertahankan di angka 3%. 

Terkait perkembangan G20, Menko Airlangga menyampaikan bahwa arahan Presiden Joko Widodo agar seluruh kegiatannya dapat disosialisasikan dengan lebih baik lagi. Kemudian diharapkan juga deliverables yang dihasilkan memiliki manfaat untuk Indonesia selaku tuan rumah.

Terkait dengan update kondisi Covid-19, secara keseluruhan dalam 6 bulan terakhir perkembangannya sudah mulai melandai dan kasus konfirmasi harian secara nasional ada di angka 1.195 kasus sehingga relatif rendah. Dan sejak tanggal 10 Agustus 2022 Rt Indonesia sudah mencapai <1. Diharapkan nilai Rt ini dapat bertahan dalam 3 bulan, sehingga Indonesia dapat mengambil langkah untuk mencabut aturan wajib masker sebagai langkah menuju endemi.

“PPKM akan dievaluasi sampai dengan akhir bulan ini, dan akhir bulan depan akan ditentukan bagaimana pelaksanaan PPKM ke depan disertai catatan bahwa vaksinasi booster diekstensifikasikan di bulan November, Desember, dan Januari. Kalau kita bisa jaga di bulan Februari kasusnya landai, maka kita bisa lepas dari pandemi Covid-19 ini,” pungkas Menko Airlangga. (map/fsr)

***

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Haryo Limanseto

Website: www.ekon.go.id Twitter, Instagram, Facebook, TikTok, & YouTube: @PerekonomianRI Email:

LinkedIn: Coordinating Ministry for Economic Affairs of the Republic of Indonesia

Berikut faktor yang tidak mempengaruhi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah
Presiden Soeharto menandatangi perjanjian dengan IMF. Michel Camdessus terlihat memandanginya dengan bersedekap. AP Photo

TEMPO.CO, Jakarta - Krisis moneter atau Krismon 1998 bisa jadi merupakan momen paling menyedihkan bagi napas politik dan ekonomi Indonesia, seluruh negeri bergejolak akibat peristiwa tersebut. Nilai mata uang rupiah anjlok dan perekonomian rakyat morat-marit, merupakan salah satu pemicu mahasiswa turun ke jalan menuntut agar Soeharto hengkang dari kursi jabatan Presiden yang memangkunya selama tiga dekade.

Sebenarnya bukan hanya Indonesia yang mengalami krismon 1998, beberapa negara di Asia seperti Thailand dan Korea Selatan juga mengalaminya di tahun tersebut. Tetapi, di antara negara-negara lain, krisis ekonomi yang Indonesia alami dinilai yang paling buruk. Bagi masyarakat yang pernah mengalaminya. Memberikan trauma tersendiri bagi mereka.

Tiada akibat tanpa sebab, krisis moneter tak lantas secara tiba-tiba terjadi tanpa penyebab, dilansir dari berbagai sumber, berikut ini merupakan serangkaian faktor dari sektor ekonomi, soal, dan politik turut menyumbang sebab terjadinya krisis moneter 1998.

1. Rupiah Anjlok

Tahun 1997 bisa jadi awal indikasi terjadinya krisis moneter 1998, dimulai dari bulan Agustus nilai mata uang rupiah terus terjun bebas dan mencapai nilai terendah di bulan berikutnya, September. Hanya dalam jangka waktu setahun, yang awalnya kedudukan nilai mata uang rupiah berada di angka Rp 2.380 per satu dolarnya, mengalami penurunan hingga 600 persen. Puncaknya pada bulan Juli 1998, nilai mata uang rupiah benar-benar terpuruk, titik tukar rupiah ke dalam dolar mencapai Rp 16.650. Meski pada 31 Desember 1998 nilai rupiah mulai bangkit dan dihargai Rp 8.000 per dolarnya, hal ini tak banyak memberi pengaruh sebab ekonomi rakyat sudah kadung terpuruk.

2. Membengkaknya utang luar negeri

Selain anjloknya nilai mata uang rupiah pada 1997 sampai 1998, krisis moneter tersebut juga dipicu oleh membengkaknya angka utang luar negeri oleh swasta. Yakni, pada Maret 1998, 72,5 miliar dolar AS dari 138 miliar dolar AS merupakan utang swasta yang dua dari tiga utang tersebut merupakan utang jangka pendek yang jatuh tempo masa tenggat pembayaran di tahun tersebut. Sementara cadangan devisa senilai 14.44 miliar dolar AS yang dimiliki Indonesia jauh dari kata cukup untuk membayar utang, apalagi beserta bunganya. Faktor utang luar negeri yang membengkak itulah yang menjadi salah satu penyebab perekonomian Indonesia mendapatkan tekanan berat.

3. Krisis kepercayaan

Kebijakan pemerintah dalam menangani krisis keuangan yang dinilai plintat-plintut menyebabkan kepercayaan masyarakat dan pasar mulai runtuh. Ditambah lagi dengan kondisi kedua Presiden Soeharto yang kian memburuk membuat suksesi mengalami ketidakpastian. Akibatnya investor asing enggan memberikan bantuan finansial secara cepat. Hal inilah yang juga menjadi sebab krisis moneter 1998.

4. Paket Solusi IMF yang Berujung Kegagalan

IMF sebagai organisasi dana moneter internasional sempat memberikan sejumlah solusi untuk membantu Indonesia menanggulangi krisis moneter dengan menawarkan paket reformasi keuangan. Ali& alih-alih solusi tersebut membawa dampak yang bagus, paket reformasi keuangan yang dianjurkan IMF malah membuat nasabah memutuskan untuk menarik dana besar-besaran. Kondisi ini makin memperparah krisis ekonomi 1998, sebab membuat bank-bank memberikan pinjaman secara terbatas, di sisi lain Bank Indonesia juga harus menggelontorkan banyak dan krisis moneter terus berlanjut dan makin parah.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Baca: Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Ini Bedanya dengan Krisis 1998