Berikut ini adalah perubahan dalam bidang budaya pada masa pemerintahan kolonial Belanda kecuali



KONTAN.CO.ID - Bangsa Eropa yang datang dan menjajah Indonesia membawa banyak pengaruh. Kolonialisme dan imperialisme yang mereka terapkan berdampak di banyak aspek kehidupan rakyat Nusantara pada saat itu.  Dampak positif dan negatif muncul dan mempengaruhi tatanan kehidupan rakyat Indonesia. Meskipun ada sisi baik, kolonialisme dan imperialisme lebih banyak membawa dampak buruk bagi rakyat pribumi.  Bersumber dari e-Modul Sejarah Indonesia Kelas 11 Kemendikbud Ristek, kekejaman para penjajah tersebut bahkan dituliskan dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli.  Hal inilah yang kemudian memicu banyaknya perlawanan rakyat Indonesia terhadap kaum penjajah. Keinginan untuk lepas dari belenggu bangsa Eropa, mendorong banyak tokoh melakukan peperangan terhadap penjajah.  Perlawanan terjadi tidak hanya dengan kekuatan fisik saja, tetapi juga secara diplomasi. Perjuangan diplomasi ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi dengan tujuan yang sama yaitu merdeka dari bangsa penjajah.  Baca Juga: Buruan Daftar! Telkom Indonesia Buka Lowongan di Banyak Posisi, Ini Syaratnya

Dampak kolonialisme dan imperialisme di bidang sosial budaya

Pada masa penjajahan terutama masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial sering berkomunikasi dengan bahasa Belanda.  Kebiasaan tersebut sedikit banyak mempengaruhi budaya penduduk Indonesia terutama bidang bahasa. Beberapa kata dalam bahasa Indonesia memiliki kemiripan dengan bahasa Indonesia.  Contohnya, kain untuk mengeringkan badan setelah mandi dalam bahasa Belanda adalah Handdoek, sedangkan dalam bahasa Indonesia adalah Handuk.  Selain bahasa, bangsa Barat juga memperkenalkan berbagai macam hiburan seperti musik internasional hingga tarian dansa.  Ilmu arsitektur khas bangsa Barat juga banyak digunakan pada masa penjajahan. Banyak bangunan bersejarah seperti Lawang Sewu di Kota Semarang yang menjadi saksi bisu dampak kolonialisme di bidang budaya.  Sedangkan dalam bidang sosial bisa dilihat dari menyebarnya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Penyebaran agama Katolik dan Kristen Protestan tidak lepas dengan para misionaris yang berasal dari bangsa Barat.  Baca Juga: Gejala KIPI setelah Vaksin Covid-19 pada Anak Usia 6-11 Tahun dan Cara Menanganinya Selain penyebaran agama baru, berikut ini dampak lain kolonialisme dan imperialisme di bidang sosial:  1. Terjadi perubahan pelapisan sosial dalam masyarakat pada masa kolonial, yaitu:
  • Golongan Timur Asing yang terdiri dari orang Cina dan Timur Jauh
  • Golongan Eropa yang terdiri dari orang Belanda dan orang Eropa lainnya
  • Golongan pribumi
2. Ada mobilitas sosial dengan adanya gelombang transmigrasi, terutama untuk memenuhi tenaga-tenaga di perkebunan-perkebunan di luar Jawa yang dibuka oleh Belanda. 3. Muncul kelompok buruh dan kelompok majikan. Hal ini disebabkan berdirinya pabrikdan perusahaan sehingga pekerjaan masyarakat Indonesia menjadi dinamis. 4. Munculnya masyarakat terdidik karena tuntutan memenuhi pegawai pemerintah sehingga menyebabkan didirikannya sekolah-sekolah di berbagai kota. Faktor ini kemudian mendorong lahirnya elit terdidik atau priyai cendikiawan di perkotaan.  5. Terbentuknya status sosial dimana yang tertinggi adalah Eropa lalu Asia dan Timur yang terakhir kaum Pribumi. 6. Adanya penindasan dan pemerasan secara kejam. Tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, seperti upacara dan tata cara yang berlaku dalam lingkungan istana menjadi sangat sederhana, bahkan cenderung dihilangkan. Tradisi tersebut secara perlahan-lahan digantikan oleh tradisi pemerintah Belanda. 7. Daerah Indonesia terisolasi di laut sehingga kehidupan berkembang ke pedalaman. Kemunduran perdagangan di laut secara tak langsung menimbulkan budaya feodalisme di pedalaman. Dengan feodalisme rakyat pribumi dipaksa untuk tunduk atau patuh pada tuan tanah sehingga kehidupan penduduk Indonesia mengalami kemerosotan.  Baca Juga: Larangan dan Lokasi Vaksin Covid-19 untuk Anak Usia 6-11 Tahun, Orangtua Wajib Tahu

 

Dampak kolonialisme dan imperialisme di bidang pendidikan

Pendidikan di Indonesia berkembang dan dianggap penting setelah adanya kebijakan Politik Etis pada masa Kolonial Belanda.  Sekolah-sekolah mulai dibangun menggunakan sistem pendidikan barat dan hanya kalangan bangsawan saja yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut.  Meskipun seakan memberikan kesempatan untuk rakyat pribumi mengenyam pendidikan, tujuan dibangun sekolah oleh pemerintah Belanda adalah untuk kepentingan mereka sendiri.  Belanda sengaja mendirikan sekolah agar bisa mendapatkan sumber daya manusia [SDM] yang terdidik dan terampil namun murah. Dampak dari kolonialisme dan imperialisme Belanda di bidang pendidikan bisa di lihat di daftar berikut ini: 
  • Munculnya golongan-golongan terpelajar di Indonesia.
  • Bangsa Indonesia bisa membaca dan menulis sehingga dapat menjadi tenaga-tenaga kerja di perusahaan Belanda.
  • Bangsa Indonesia menjadi tahu perkembangan yang terjadi di dunia luar.
Munculnya golongan terpelajar di Indonesia yang mampu membaca, menulis, dan paham tentang dunia luar, kemudian mendorong perjuangan para pemuda terpelajar untuk melakukan perlawanan secara diplomasi.  Organisasi pelajar pertama yang didirikan pada masa penjajahan adalah Boedi Oetomo. Organisasi yang didirikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Sutomo dan Suraji, menjadi pelopor bangkitnya pergerakan nasional di Indonesia.  Setelah Boedi Oetomo berdiri, banyak organisasi lainnya yang berdiri. Meskipun banyak organisasi yang terbentuk, tujuan dari organisasi tersebut tetap sama yaitu berjuang untuk melepaskan Indonesia dari jajahan kolonialisme.   Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


tirto.id - Pada abad ke-15, negara-negara Eropa mulai mencari wilayah baru untuk melakukan ekspansi perdagangan setelah wilayah perdagangan internasional di kawasan Konstantinopel dikuasai oleh imperium Turki Utsmani.

Turki Utsmani menerapkan peraturan yang ketat pada wilayah kekuasaan mereka, sehingga pedagang dari daratan Eropa pada akhirnya melakukan penjelajahan samudera ke wilayah Timur dunia.

Awalnya Portugis dengan semboyan 3G [Gold, Glory dan Gospel] memprakarsai pencarian wilayah baru tersebut. Lalu disusul oleh negara Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris yang turut merambah daerah Timur.

Nusantara [Indonesia] menjadi salah satu wilayah yang merasakan kehadiran para pendatang baru tersebut. Tahun 1510, tanah Maluku menjadi lokasi pendaratan Portugis dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque.

Kemudian Spanyol masuk ke wilayah Maluku juga pada tahun 1521 dan mulai mencari kekayaan alam yang ada di sana.

Tanah Jawa mulai kedatangan bangsa Belanda di daerah Banten tahun 1596, kemudian disusul oleh Inggris yang masuk pada tahun 1811.

Kehadiran berbagai bangsa asing tersebut sudah tentu memberi banyak pengaruh atau dampak bagi kehidupan rakyat nusantara, termasuk untuk bidang budaya dan pendidikan. Ada sisi baik, namun banyak pula sisi buruk yang dirasakan oleh warga pribumi.

Berikut ini dampak kolonialisme dalam bidang budaya dan pendidikan yang dirasakan oleh masyarakat nusantara kala itu, merujuk modul ajar kemdikbud.go.id Sejarah Indonesia kelas XI:

Bidang Budaya

Kolonialisme memberi banyak pengaruh budaya pada rakyat di nusantara. Bangsa Barat yang datang ke wilayah jajahan ini, menganggap kaum pribumi sebagai masyarakat kelas III yang derajatnya lebih rendah dibanding kaum Timur Asing yang disebut masyarakat kelas II, sedangkan Bangsa Barat sebagai masyarakat kelas I.

Akibatnya, pribumi merasa lebih rendah dan cenderung mengagungkan Barat dan budayanya serta orang asing yang datang ke tanah mereka.

Selain itu, pemerintah kolonial juga memberantas budaya feodal dengan tidak memberi keistimewaan kepada para bangsawan dan raja-raja di nusantara.

Penguasa pribumi perlahan ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, menghilangkan status kebangsawanan mereka, serta hak-hak istimewa yang dimiliki oleh mereka diabaikan. Padahal sebelumnya masyarakat sangat meenghormati kaum bangsawannya.

Sebaliknya, masyarakat dituntut untuk mengakui dominasi penjajah, menghormati, taat dan bahkan memberikan semua kekayaan tanahnya untuk penjajah.

Budaya Barat seperti dansa-dansi, pergaulan bebas pria wanita, pesta dan mabuk-mabukan juga kerap dilakukan sehingga menggeser nilai budaya nusantara dan budaya keraton atau kerajaan yang ada saat itu.

Perubahan budaya lain yang terjadi di nusantara adalah masuknya agama Kristen di tanah air yang sebelumnya banyak pemeluk agama Islam, Hindu, Budha, dll.

Era masa pemerintahan Raffles menandai munculnya perkembangan ilmu pengetahuan di nusantara, khususnya Jawa. Ia menulis buku History of Java yang berisi berbagai aspek sosial dan budaya yang terjadi saat itu.

Ada pula menteri pemerintahan Batavia bernama Crawfurd yang menulis buku History of the East Indian Archipelago dalam 3 jilid. Buku tersebut banyak membahas masalah kemanusiaan yang terjadi di tanah jajahan ini.

Lalu pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melihat buruknya kondisi di Hindia Belanda [nusantara] sehingga melontarkan kritikannya pada pemerintah kolonial. Menurut Van Kol, selama 1 abad lebih Belanda telah merebut hasil bumi dan keuntungan lain dari tanah jajahannya ini, namun tidak mengembalikan satu persen pun untuk mensejahterakan masyarakat.

Van Deventer pada tahun 1899 menulis buku berjudul “Hutang Kehormatan" yang berisi anjuran untuk menerapkan politik balas budi [politik etis] kepada Hindia Belanda. Menurutnya, sudah waktunya Belanda membalas budi pada rakyat di bidang pendidikan, irigasi, serta imigrasi/transmigrasi.

Bidang Pendidikan

Seiring berlakunya politik etis pada awal abad 20, masa pemerintahan kolonial di nusantara memasuki babak baru. Irigasi, pendidikan dan transmigrasi mulai berlangsung di bawah pimpinan Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda [1909-1916].

Pada masa tersebut, perlahan terjadi perubahan di nusantara. Pembangunan jalan mulai dilakukan, demikian pula jalur kereta api Jawa dan Madura. Namun rakyat kecil masih harus menerima banyak ketidakadilan dengan menjadi pekerja namun tanpa bayaran atau hanya sedikit sekali upahnya.

Batavia [Jakarta] paling banyak menikmati kemajuan tersebut, diantaranya dengan kehadiran trem listrik. Irigasi yang mulai dibangun juga membuat kondisi pertanian meningkat.

Pendidikan pun mulai diperkenalkan melalui berdirinya sekolah-sekolah, dengan persyaratan tertentu bagi pribumi yang ingin belajar. Hanya bangsawan dan pejabat pribumi saja yang menikmati pendidikan.

Ini juga yang memulai RA Kartini membuat sekolah khusus wanita, karena rasa prihatin pada diskriminasi pendidikan. Surat suratnya pada Ny. R.M. Abendanon di Belanda menjelaskan hal tersebut.

Tahun 1900 tercatat ada 169 Eurepese Lagree School [ELS] di seluruh Hindia Belanda. Selanjutnya dapat meneruskan jenjang lebih tinggi ke STOVIA [School tot Opleiding van Indische Artsen] ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School [HBS].

Terdapat pula sekolah OSVIA [sekolah calon pegawai] yang berjumlah enam buah. Ditambah sekolah guru atau Kweekkschool yang sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.

Jenjang pendidikan pun mulai dibentuk dengan didirikannya pendidikan dasar seperti Hollands Inlandse School [HIS] kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [MULO].

Dilanjut dengan sekolah menengah disebut Algemene Middelbare School [AMS], lalu sekolah Hogere Burger School [HBS].

Khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu" yang murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua" yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro".

Baca juga:

  • Perjalanan Ferdinand Brockhall, Belanda Kelahiran Jawa Era Kolonial
  • Melawan Pengaruh Kolonialisme Terhadap Standar Kecantikan

Baca juga artikel terkait KOLONIAL atau tulisan menarik lainnya Cicik Novita
[tirto.id - cck/dip]


Penulis: Cicik Novita
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Kontributor: Cicik Novita

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề