Bolehkah kita membantu orang lain dengan mengharap imbalan jelaskan

Nasehat Dhuha Sabtu,  20 November 2021 | 14 Rabiul  Akhir 1443 H | Oleh :  Sularto

Klikbmi, Tangerang – Pandemi covid-19 ini telah memberikan dampak yang luar biasa bagi  kita. Dunia usaha mengalami banyak kebangkrutan yang menyebabkan banyak sekali orang kehilangan pekerjaan. Selain itu, banyak sekali orang menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan sudah tidak mampu menggaji mereka. Sehingga, banyak kepala keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam situasi seperti ini, tentu menjadi momentum yang sangat baik untuk mengulurkan tangan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan kita.

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, dianjurkan untuk saling membantu terhadap sesama manusia lain. Dengan membantu orang yang mengalami kesusahan dan membutuhkan bantuan, kita telah melakukan kewajiban sebagai umat muslim. Sebagaimana perintah Allah dalam (Q.S. al-Maidah[5]: 2) yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. al-Maidah[5]: 2)

Dalam surah di atas disebutkan bahwa kita harus senantiasa tolong-menolong dalam hal kebaikan dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat dosa. Kita sebagai umat muslim harus senantiasa bermanfaat untuk orang lain dengan cara menolong orang yang sedang mengalami kesusahan. Dalam (Q.S. at-Taubah[9]: 71) juga terdapat perintah untuk tolong-menolong:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71)

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha perkasa, Maha bijaksana”.(Q.S. at-Taubah[9]: 71)

Membantu orang lain bukan hanya dalam bentuk harta atau materi saja, tetapi bisa dalam bentuk tenaga dan fikiran. Hal ini dapat dicontohkan ketika keluarga yang sedang melakukan isolasi mandiri tersebut ingin membeli obat atau makanan tetapi kita tidak punya uang, kita bisa menolong untuk membelikan saja tetapi uang dari mereka. Ketika mereka sedang isolasi mandiri dan bingung harus melakukan apa, kita bisa memberikan nasehat atau perhatian kepada mereka agar mereka tetap tenang dan tidak merasa sendiri.

Dengan kita memberikan dukungan, maka mereka akan merasa diperhatikan dan memiliki semangat untuk sembuh. Terkadang kita berfikir bahwa bantuan yang kita berikan kepada orang lain itu kecil, tetapi bisa jadi apa yang telah kita lakukan itu sangat berarti bagi orang lain. Untuk itu marilah kita biasakan untuk selalu membantu orang lain, meskipun dari hal kecil sekalipun.

Berikut beberapa manfaat tolong –  menolong antar sesama yang bisa kita rasakan:

  1. Dihormati dan dihargai. Kita akan dihargai dan dihormati oleh orang yang lain. Tetapi jika kita menolong orang lain, tidak boleh mengharapkan imbalan apapun kepada orang yang telah kita tolong. Kita harus ikhlas dalam memberikan bantuan kepada orang lain.
  2. Bersyukur. Dengan membantu orang lain, kita akan merasa lebih mampu dari orang yang membutuhkan, sehingga akan meningkatkan rasa syukur.
  1. Mengurangi stress. Dengan membantu orang lain, kita akan merasa bahagia karena sudah bermanfaat untuk orang lain.
  2. Meningkatkan kepedulian sosial. Ketika kita senang membantu orang lain, maka akan meningkatkan rasa kepedulian dan kepekaan terhadap orang yang membutuhkan bantuan.
  3. Menciptakan persaudaraan dan persatuan. Saling tolong menolong antar sesama dapat menumbuhkan rasa persaudaraan, karena  kita akan merasa saling membutuhkan satu sama lain. Selain itu, tolong-menolong juga dapat menciptakan persatuan, meskipun beda agama, suku dan ras.
  4. Menularkan kebaikan. Sikap saling tolong menolong dapat menumbuhkan kebaikan antar sesama. Dengan tolong-menolong, kita akan merasa saling membutuhkan.

Kita dianjurkan untuk saling tolong menolong dan memudahkan urusan orang lain. Dengan demikian, Allah akan melepaskan dirinya dari satu kesusahan pada hari kiamat kelak, serta akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat.

Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).

Menolong  sesama juga memiliki beberapa keuatamaan. Di antaranya mengacu kepada kisah Rasulullah yang tertuang dalam dalam hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani berikut: Dikutip dari buku “Menjadi Manusia Luhur” yang ditulis Arjuna Wibowo, pada suatu hari Rasulullah Saw ditanya oleh sahabat beliau: “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan apakah perbuatan yang paling dicintai Allah? Rasulullah Saw menjawab: “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak bermanfaat dan berguna bagi manusia yang lain. Sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapus kesusahan orang lain, atau melunasi utang orang yang tidak mampu untuk membayarnya, atau memberi makan kepada mereka yang sedang kelaparan dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang sedang kesusahan itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku ini selama satu bulan.” (HR. Thabrani).

Beberapa orang dari kalangan sufi mengatakan bahwa amal ibadah yang dilakukan karena mengharapkan pahala, apalagi karena takut mendapatkan siksa jika meninggalkannya, menunjukkan rendahnya kualitas amal seseorang. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam sebuah kitabnya sebagai berikut:

 وما وقع في كلام بعض اهل التصوف مما نقصا أو انحطاطا في حال من يعمل غلى رجاء الثواب أو خوف العقاب. 

Native Banner 1

Artinya: Sebagaimana terdapat dalam ucapan sebagian ahli tasawuf tentang rendahnya kualitas seseorang yang beramal karena mengharap pahal atau takut siksa. (lihat Nafaisul Uluwiyyah fi al-Masail al-Sufiyyah [Dar al-Hawi, Cetakan I, 2003], hal. 51). 

Tentu saja pernyataan itu membuat banyak orang awam mengalami kebingungan. Karena faktanya sebagian besar dari mereka beribadah karena adanya pahala dan dosa. Sebab hal ini merupakan janji Allah sebagaimana disebutkan di dalam dua ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

Native Banner 2

  وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ 

Artinya: Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS al-Maidah 9).

  ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ شَآقُّوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ ۖ وَمَن يُشَآقِّ ٱللَّهَ فَإِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ 

Artinya: Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr 4).

Artikel diambil dari: Bolehkah Beramal karena Mengharapkan Pahala?

Atas pernyataan dari sebagian kalangan sufi di atas, Sayyid Abdullah al-Haddad memberikan tanggapan di halaman yang sama dalam kitab tersebut sebagai berikut:

  بأن ذالك رجاء محمود وسعي مبارك مشكور. وعليه يعمل السلف والخلف من صالحي المؤمنين، فإن العبد خلق ضعيفا فقيرا لا غني به عن فضل ربه الغني الكبير.

Artinya: Sesungguhnya beramal karena mengharapkan pahala adalah perbuatan terpuji, usaha yang penuh barakah dan menguntungkan. Orang-orang salaf dan khalaf (masyarakat dulu dan sekarang) dari kalangan mukminin yang saleh, beramal juga dengan berpengharapan seperti itu. Manusia sesungguhnya diciptakan dalam keadaan lemah dan fakir; ia membutuhkan karunia Tuhannya Yang Maha Kaya. 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, beramal karena mengharapkan pahala bukanlah persoalan tercela. Amal seperti itu terpuji dan diberkati oleh Allah SWT. Mengharapkan pahala dari Allah sama saja mengharapkan balasan di akhirat. Jadi pahala itu bernilai ukhrawi dan bukan duniawi sehingga seseorang yang beramal karena mengharapkan pahala tetap tergolong seorang hamba yang ikhlas. 

Kedua, salafussalih (orang-orang salih zaman old) dan khalafussalih (orang salih zaman now) juga mengharapkan pahala dalam beramal ibadah kepada Allah SWT. Mereka tidak mengharapkan balasan atau penghargaan yang bersifat duniawi seperti popularitas di tengah masyarakat, kedudukan terhormat, ataupun harta kekayaan yang berlimpah. 

Ketiga, manusia itu sesungguhnya lemah sepanjang zaman dan karenanya membutuhkan karunia Allah. Hanya Allah yang bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan manusia dengan karunia-Nya. Karunia itu berupa pahala sebagai bekal hidup abadi di akhirat nanti. 

Namun demikian Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad tidak bermaksud menyalahkan pernyataan kalangan sufi sebagaimana disebutkan di atas. Justru memberikan penjelasan apa yang sebenarnya mereka maksudkan sebagai berikut:

  فذالك محمول على قصد التنبيه به على أن الذي يعمل لمجرد امتثال الأمر أفضل من الراجي والخائف والأمر كذالك

Artinya: Ucapan itu mengandung maksud sebagai peringatan bahwa sesungguhnya beramal karena semata-mata ingin melaksanakan perintah Allah lebih utama daripada karena berharap mendapatkan pahala dan takut terkena siksa. Begitulah masalahnya. 

Baca Juga: Selaksa Kebaikan dari Kegemaran Membaca Al-Qur’an

Jadi, beramal semata-mata karena ingin melaksanakan perintah Allah lebih mulia daripada karena berharap mendapatkan sesuatu atau sebaliknya karena takut sesuatu. Logikanya jika seseorang beramal karena dijanjikan mendapatkan sesuatu, maka jika Allah tidak menjanjikan apa pun, maka orang tersebut tidak akan beramal. Demikian pula, jika seseorang beramal karena takut ancaman, maka ketika ancaman tidak ada, ia tidak akan beramal. 

Kesimpulannya, beramal karena berharap mendapatkan pahala diperbolehkan. Dan orang-orang dengan tipe seperti ini disebut oleh Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai al-rajun. Demikian pula, beramal karena takut mendapat siksa jika meninggalkannya juga tidak menjadi persoalan. Orang-orang dengan tipe seperti ini disebut al-khaifun. Sedangkan orang-orang yang beramal semata-mata karena ingin melaksanakan perintah Allah disebut al-‘arifun. Ketiga tipologi itu, menurut Sayyid Abdullah al-Haddad, merupakan maqam-maqam di mana tipologi yang disebut terakhir merupakan yang tertinggi.   

Adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.